Anda di halaman 1dari 17

BAB I

ANALISIS TERHADAP PENERAPAN HUKUM MATERIAL

ADAT JAWA

Di Indonesia terdapat berbagai daerah hukum adat yang membedakannya


antara daerah-daerah hukum adat yang ada. Seperti telah diketaui, van volenhoven
dalam bukunya Het Adatrech van naderlands indie membagi hukum adat dalam
19 wilayah hukum. Perbedaan hukum adat diantara wilayah hukum tersebut
timbul dari kebiasaan yang berlaku dikalangan masyarakat tertentu yang
kemudian menjadi aturan dengan sanksi menurut kesepatan bersama.

Dalam suatu lingkungan hukum masih didapatkan pula perbedaaan. Akan


tetapi perbedaan itu tidak menghilangkan pokok yang sama. Demikian halnya
dalam lingkungan hukum adat jawa.1

Jawa sebagai daerah hukum adat yang menjadi objek pembahasan dalam
hal ini, kebiasaan-kebiasaan yang ada dan dilakukan dalam masyarakat adalah
merupakan sebuah kepentingan bersama sebagai bentuk pranata hukum secara
sosial. Bentuk pranata hukum dalam masyarakat ini pada akhirnya dikenal sebgai
adat atau hukum adat. Sumber hukum adat yang indonesia yang penting sekali
adalah masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu, untuk memahami hukum adat
dijawa, maka perlu terlebih dahulu memahami bagaimana keadaan
masyarakatnya.2

1
Soejono Soekanto, Meninjau Hukum Adat Indonesia,(Jakarta : PT. Raja Gafindo Persada,
2005).
2
Soerojo Kartohadiprodjo, Pengantar Dan Asas-Asas Hukum Adat, (Jakarta : PT. Gunung
Agung, 1995).

1
a. Upacara pernikahan adat jawa

tahapan-tahapan dalam upacara pernikahan adat jawa sebagai berikut:3

1. Nontoni

Pada tahap ini dibutuhkan perananan seorang perantara. Perantara ini


merupakan utusan dari keluarga calon prian untuk menemui keluarga calon
pengantin wanita. Pertemuan ini dimaksudkan untuk nontoni, atau melihat calon
dari dekat. Biasanya, utusan datang ke rumah calon pengantin wanita bersama
calon pengantin pria. Di rumah itu, para calon mempelai bisa berjumpa langsung
meskipun hanya sekilas.

2. Nakokake / nglamar

Sebelum melangkah ketahap selanjutnya perantara akan menanyakan


beberapa hal pribadi seperti sudah adakan calon bagi calon mempelai wanita. Bila
belum ada calon, maka utusan dari calon pengantin pria memberitahukan bahwa
keluarga calon pengantin pria berkeinginan untuk berbesan. Lalu calon pengantin
wanita diajak untuk bertemu dengan calon pengantin pria untuk ditanya
kesediaaannya untuk menjadi istrinya.

Bila calon pengantin wanita setuju, maka perlu dilakukan langkah-langkah


selanjutnya. Langkah selanjutnya tersebut adalah ditentukannya hari H
kedatangan utusan untuk melakukan kekancingan rembang( peningset). Peningset
ini merupakan suatu simbol bahwa calon pengantin wanita sudah diikat secara
tidak resmi oleh calon pengantin pria. Peningset biasanya berupa kalpika(cincin),
sejumlah uang, dan oleh-oleh berupa makanan khas daerah.

3. Pasang Tarub

Bila tanggal dan hari pernikahan telah disetujui, maka dilakukan langkah
selanjutnya yaitu pemasangan tarub menjelang hari pernikahan. Tarub dibuat dari
daun kelapa yang sebelumnya telah dianyam dan diberi kerangka dari bambu, dan
ijuk ata welat sebagai talinya. Agar pemasangan tarub ini selamat, dialkukan

3
Ahmadsfarid.blogspot.com/2016/04/makalah-adat-istiadat-jawa-timur.html?m=1 (diakses
pada tanggal 1/11/2018 jam 20.00)

2
upacara sederhana berupa penyajian nasi tumpeng lengkap. Bersama dengan
pemasangan tarub, dipasang juga tuwuhan. Yang dimaksud dengan tuwuhan
adalah sepasang pohon pisang raja yang sedang berbuah, yang dipasang dikanan
kiri pintu masuk. Pohon pisang melambangkan keagungan dan mengandung
makna berupa harapan agar keluarga baru ini nantinya cukup harta dan keturunan.
Biasanya di kanan kiri pintu masuk dipasang daun kelor yang bermaksud untuk
mengusir segala pengaruh jahat yang akan memasuki tempat upacara, begitu juga
janur yang berupa simbol keagungan.

4. Midodaremi

Rangkaian upacara midodaremi diawali dengan upacara siraman. Upacara


siraman dilakukan sebelum acara midodaremi. Tempat untuk siraman dibuat
sedemikian rupa sehingga nampak seperti sendang yang dikelilingi oleh tanaman
beraneka warna. Pelau siraman adalah orang yang dituakan yang jumlahnya tujuh
yang diawali dengan orang tua dan kemudian dilanjutkan oleh sesepuh yang
lainnya. Setelah siraman, calon pengantin membasuh wajah dengan air kendi yang
dibawa ibunya, kemudian kendi langsung dibanting/dipecah sambil mengucapkan
kata-kata “cahayanya sekarang sudah pecah seperti bulan purnama”. Setelah itu,
calon pengantin langsung dibopong oleh ayahnya ketempat ganti pakaian.

Menginjak rangkaian upacara selanjutnya yaitu upacara midodareni.


Berasal dari kata widadari, yang artinya bidadari. Midodareni merupakan upacara
yang mengandung harapan untuk membuat suasana calon pengantin seperti
widadari. Artinya kedua calon pengantin diharapkan seperti widadara-widadari,
dibelakang hari bisa lestari, dan hidup rukun dan sejahtera.4

5. Akad nikah

Akad nikah adalah inti dari acara perkawinan. Biasanya akad nikah
dialkukan sebelum resepsi. Akad nikah disaksikan oleh sesepuh/orang tua dari
kedua calon pengantin dan orang-orang yang dituakan. Pelaksanaan akad nikah
dialkukan oleh perugas dari catatan sipil atau petugas agama.

4
Syafiunizar93.blogspot.com/2015/05/makalah-hukum-adat.html?m=1 (diakses pada
tanggal 20.30)

3
6. Panggih

Upacara panggih dimulai dengan pertukaran kembang mayang, kalpataru


dewadaru yang merupakan saranah dari rangkaian panggih. Sesudah itu
dialnjutkan dengan balangan suruh, ngidak endong dan mijiki.

7. Balangan suruh

Upacara balangan suruh dialkukan oleh kedua pengantin secara


bergantian. Gantal yang dibawa untuk melemparkan kepengantin putra oleh
pengantin putri disebut gondang kasih, sedang gantal yang dipengan pengantin
laki-laki disebut gondang tutur. Makna dari balangan suruh adalah berupa harapan
semoga segala goda akan hilang dan menjauh akibat dari dilemparnya gantal
tersebut. Dauh sirih melambangkan bahwa kedua penganten diharapkan bersatu
dalam cipta, karsa dan karya.

8. Ngidakendok
Upacara ngidak endok diawali dengan juru paes, yaitu orang yang bertugas
untuk menhias pengantin dan mengenakan pakaian pengantin, dengan mengambil
telur dari dalam bokor. Kemudian diusapkan didahi pengantin pria dan kemudian
pengantin pria diminta untuk menginjak telur tersebut. Ngidak endok mempunyai
makna secara seksual, bahwa kedua pengantin telah pecah pamornya.
9. Wiji dadi

Upacara ini dilakukan setelah acara ngidak endok. Setelah acara ngidak
endok pengantin wanita langsung membasuh kaki pengantin pria menggunakan
air yang telah diberi bunga setaman. Mencuci kaki itu merupakan harapan bahwa
benih yang akan diturunkan jauh dari mara bahaya dan menjadi keturunan yang
baik.

10. timbangan

upacara timbangan biasanya dilakukan sebelum kedua pengantin duduk


dipelaminan. Upacara timbangan ini dilakukan dengan jalan sebagai berikut: ayah
pengantin putri duduk diantara kedua pengantin. Pengantin laki-laki duduk diatas
kaki kanan ayah pengantin wanita, sedangkan pengantin wanita duduk dikaki

4
sebelah kiri. Kedua tangan ayah dirangkulkan kepundak kedua pengantin. Lalu
ayah mengatakan bahwa keduanya seimbang, sama berat dalam artian konotatif.
Dengan kedua pengantin dapat selalu saling seimbang dalam rasa, cipta dan karsa.

11. dulangan

merupakan suatu upacara yang dilakukan dengan cara kedua pengantin


saling menyuapkan makanan dan minuman. Makna dulangan adalah sebagai
simbol seksual, saling memberi dan menerima.

12. sungkeman

sungkeman adalah suatu upacara yang dilakukan dengan cara kedua


pengantin duduk jengkeng dengan memegang dan mencium lutut kedua orang tua.
Makna upacara sungkeman adalah suatu simbol perwujudan rasa hormat anak
kepada orang tuanya.

13. kirab

upacara kirab berupa arak-arakan yang terdiri dari domas, cucuk lampah,
dan keluarga dekat untuk menjemput atau mengiri pengantin yang akan keluar
tempat panggih atau akan memasuki tempat panggih. Kirab merupakan simbol
penghormatan kepada kedua pengantin yang dianggap sebagai raja sehari yang
diharapkan kelak akan dapat memimpin dan membina keluarga dengan baik.

14. Jenang

Upacara jenang sumsuman dilakukan setelah semua acara perkawinan


selesai. Dengan kata lain jenang sumsuman meupakan ungkapan syukur karena
acara berjalan dengan baik dan selamat.

15. Boyongan/ngunduh manten

Disebut dengan boyongan karena pengantin putri dan pengantin putra


diantar oleh keluarga pihak pengantin putri kekeluarga pihak pengantin putra
secara bersama-sama. Ngundu manten diadakan dirumah pengantin laki-laki.

5
b. Ritual kematian dan kelahiran suku jawa
Adat Istiadat Suku Jawa saat Kehamilan dan Kelahiran
1. Saat seorang wanita suku Jawa mengandung, ia akan benar-benar dijaga
agar tak terjadi hal buruk pada dirinya.
2. Biasanya masyarakan jawa akan mengadakan suatu slametan. Slametan ini
dilakukan dua kali selama masa kehamilan. Pertama saat usia kandungan
mencapai usia tiga bulan. Slametan kedua saat kandungannya mencapai
umur tujuh bulan.
3. Jenis makanan yang dibuat harus lah spesifik, yaitu kue yang terbuat dari
tepung terigu yang dibungkus dengan daun nangka.
4. Pada ritual ini, wanita yang tengah mengandung dimandikan
menggunakan campuran air dan bunga. Kain yang digunakan sebagai
kemben pun jumlahnya harus tujuh dan dipakai secara bergantian saat
acara tingkeban berlangsung.

Sedangkan adat istiadat suku Jawa saat upacara kematian yaitu:

1. Ketika salah satu masyarakat suku Jawa meninggal, ada ritual-ritual yang
dilakukan. Ritual ini dimaksudkan agar orang yang meninggal bisa
diterima di akhirat dengan baik. Sebelum mayat dibawa ke kuburan, ada
ritual yang harus dilakukan bernama brobosan , yaitu melintas di bawah
mayat yang sudah ditandu dengan berjongkok.
2. Pada setiap malam dibuat aneka jenis makanan yang nantinya dibagi
kepada orang-oarng nan datang. Bentuk acaranya dikenal dengan istilah
tahlilan, karena ada pembacaan ayat-ayat Al-Quran dan juga bacaan tahlil.
Ritual ini memiliki tujuan buat mendoakan orang yang meninggal.
Slametan ini tak hanya dilakukan sampai tujuh hari ini saja tapi masih
banyak slametan lain. Ada slametan empat puluh hari, Dan juga slametan
seratus hari.

6
BAB II

ANALISIS FIQH TERHADAP PENERAPAN HUKUM ADAT JAWA

Kata nikah secara bahasa bermakna kumpul atau berkumpul. Sedangkan


arti nikah secara istilah menurut para fuqoha’ adalah “aqad yang mengandung
ketentuan ketentuan hukum kebolehan hubungan kelamin dengan lafadz nikah
atau tazwij atau yang semakna dengan keduanya” (Al-Ghamrawi, tt: 319).
Syariat nikah dalam Islam sebenarnya sangatlah simpel yaitu apabila
sebuah ritual pernikahan telah memenuhi rukun dan persyaratannya, maka sebuah
pernikahan sudah dianggap sah. Islam sendiri tidak menentukan cara dan metode
bagaimana sebuah pernikahan itu harus dilaksanakan. Semuanya dikembalikan
kepada adat-istiadat yang berlangsung di daerah yang bersangkutan. Islam hanya
memberikan batas-batasan terhadap hal-hal yang tidak diperbolehkan ketika
melaksanakan sebuah upacara pernikahan dan memberikan beberapa anjuran di
dalamnya.5
Sebelum agama Islam masuk di Indonesia adat istiadat ini telah diikuti dan
senantiasa dilakukan. Upacara-upacara adat ini sudah mulai dilakukan pada hari-
hari sebelum pernikahan serta belangsung sampai hari-hari sesudah upacara
pernikahan. Upacara ini di berbagai daerah di Indonesia tidaklah sama sebab
dilangsungkan menurut adat kebiasaan di daerah masing-masing. 6
Dalam istilah bahasa arab, adat dikenal dengan istilah ‘adat atau ‘urf yang
berarti tradisi. Adat atau ‘urf dipahami sebagai sesuatu kebiasaan yang telah
berlaku secara umum di tengah-tengah masyarakat yang berlangsung sejak lama.

Dari definisi tersebut, para ulana menetapkan bahwa sebuah tradisi yang
bisa dijadikan sebagai sebuah pedoman hukum adalah:
3. Tradisi yang telah berjalan sejak lama yang dikenal oleh masyarakat
umum.
4. Diterima oleh akal sehat sebagai sebuah tradis yang baik.
5. Tidak bertentangan dengan nash al-Qur’an dan hadis Nabi Saw.

5
Sayyid Sabiq,Fikih Sunnah, (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 2002), hlm.184-186
6
Soerojo Wignjodipoera, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat,(Jakarta: PT. Toko
Gunung Agung, 1995), hlm.137

7
Prosesi upacara yang dilaksanakan pada acara pernikahan dalam adat Jawa
adalah Nontoni, nakokake/ nglamar, pasang tarub, midodaremi, akad nikah,
panggih, balangan suruh, ngidakendok, wiji dadi, timbangan, dulangan,
sungkeman, kirab, jenang, boyongan/ngunduh manten.

Melihat pada hal diatas maka dapat dikatakan bahwa adat istiadat Jaawa
merupakan adat istiadat yang dapat dijadikan sebagai pedoman hukum dan dapat
diakui oleh syara’. Hal ini dapat berlaku demikian disebabkan oleh beberapa
sebab, yaitu:
a. Tradisi yang berlangsung didalam masyarakat Jawa telah berlangsung
sejak lama dan dilaksanakan secara turun temurun. Sehingga adat istiadat
ini merupakan produk dari nenek moyang mereka yang kemudian mereka
warisi dan dilaksanakan sampai sekarang.
b. Tradisi upacara pernikahan adat Jawa merupakan tradisi yang baik dan
perlu dilestarikan. Karena, dalam tradisi tersebut terkandung makna dan
filosofi yang bertujuan untuk memberikan rasa tentram dan bahagia serta
harapan yang baik bagi kehidupan mempelai. Tradisi tersebut juga
memberikan pendidikan yang baik bagi para generasi masyarakat dalam
mewarisi tradisi dnenek moyang.
c. Pelaksanaan tradisi yang dilaksanakan tersebut tidak ada yang
bertentangan dengan al-Qur’an dan al-Hadis. Bahkan upacara pernikahan
tersebut merupakan sebuah acara yang sesui dengan tujuan dari sebuah
walimah dalam Islam, yaitu memberikan rasa kebahagiaan kepada kedua
mempelai.

، ‫َح ُد ُك ُم الْ َم ْرأََة‬ ِ‫رسول ه‬


ِ ‫اَّلل صلى ه‬ ‫َو َع ْن َجابِ ٍر َر ِض َي ه‬
َ‫بأ‬َ َ‫اَّللُ عليه و سلّم إذَا َخط‬ ُ ‫ قال‬: ‫اَّللُ عنهُ قال‬
ِ ِ ِ
ُ‫ و ِر َجالُه‬, ‫ و أبو داود‬، ‫ (رواه أمحد‬. ‫ فَ ْليَ ْع َف ْل‬، ‫اع أَ ْن يَْنظَُر مْن َها َما يَدعُ ْوهُ إِ ََل ن َكاح َها‬
َ َ‫فَِإ ْن إِ ْستَط‬
(‫ص هححهُ احلاكِ ُم‬
َ ‫ و‬،‫ات‬
ِ
ٌ ‫ث َق‬
Dari Jabir r.a., dia berkata, bersabda Rasulullah Saw.: “Apabila seseorang
diantara kalian meminang seorang wanita, sekiranya ia dapat melihat bagian
tubuhnya yang mendorongnya untuk menikahinya, hendaklah ia lakukan.” (HR.

8
Ahmad, Abu Daud. Para perawinya tsiqat (kuat). Dan dinilai shahih oleh Al-
Hakim)7

ِ ‫ع ِن الْمغِرِة اب ِن ُشعبةَ أَنهه خطَب إِمرأًَة فقال النهيب صلى ه‬


ْ ‫اَّللُ عليه و سلّم أُنْظُْر إِلَْي َها فَِإنههُ أ‬
‫َحَرى أَ ْن‬ ُّ َْ َ َ ُ ْ ْ َ ُ َ
)‫يُ ْؤَد َم بَينَ ُك َما (رواه اخلمسة إال أابداود‬
Dari Mughirah ibn Syu’ban, ia pernah meminang seorang perempuan. Lalu
Rasulullah Saw berkata kepadanya. “Lihatlah ia lebih dahulu, karena nantinya
kamu berdua bisa hidup langgeng”. (HR. Lima orang ahli hadis kecuali Abu
dawud)8

‫ أ َْوََلَ بِ َش ٍاة‬،‫ب‬ ِِ ِ ِ ٍ ٍ َ‫حديث أَن‬


ُّ ِ‫ ما أ َْوََلَ الن‬:‫ال‬
َ َ‫ َعلَى َش ْيء م ْن ن َسائه َما أ َْوََلَ َعلَى َزيْن‬،‫هيب ملسو هيلع هللا ىلص‬ َ َ‫ ق‬،‫س‬

(‫) رواه البخرى و مسلم‬

Anas r.a. berkata: Tidak pernah Nabi membuat walimah atas salah satu
istrinya sebagaimana yang dibuatnya untuk Zainab, beliau mengadakan walimah
dengan menyembelih satu kambing. (HR. Bukhari, Muslim)

Walimah merupakan amalan yang sunnah. Hal ini sesuai dengan hadits
riwayat dari Anas bin Malik, bahwa Nabi SAW pernah berkata kepada
Abdurrahman bin ‘Auf:

)‫أ َْوَِلْ َولَ ْو بِ َشاةٍ (متفق عليه‬


Adakan walimah, meski hanya dengan satu kambing.9

Maka dengan adanya sebab diatas sudah sesuai dengan ketentuan kaedah
ushul fiqh yaitu:

‫العادة احملكمة‬

7
Mardani,Op.cit., hlm. 224
8
Jamaluddin, Hukum Perkawinan 4 Mazhab, (Medan: LPPM UINSU, 2013), hlm. 12
9
Syaikh Kamil Muhammad ‘Uwaidah, Fiqih Wanita, (Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar,
2008), hlm. 516

9
Bahwa adat istiadat dan tradisi yang terdapat dalam upacara pernikahan
masyarakat Jawa telah mendapatkan legitimasi dari syara’.

Namun, terdapat salah satu bentuk kesyirikan dalam adat istiadat suku
Jawa saat upacara kematian yaitu Ketika salah satu masyarakat suku Jawa
meninggal, ada ritual-ritual yang dilakukan. Ritual ini dimaksudkan agar orang
yang meninggal bisa diterima di akhirat dengan baik. Sebelum mayat dibawa ke
kuburan, ada ritual yang harus dilakukan bernama brobosan , yaitu melintas di
bawah mayat yang sudah ditandu dengan berjongkok.

Firman Allah swt dalam Q.S An-Nisa: 48 dan Q.S An-Nisa: 116

Artinya: Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia
mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang
dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia
telah berbuat dosa yang besar.

Artinya: “Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan


(sesuatu) dengan Dia, dan dia mengampuni dosa yang selain syirik bagi siapa
yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan (sesuatu) dengan
Allah, maka sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya”

10
BAB III

ANALISIS HUKUM POSITIF INDONESIA TERHADAP PENERAPAN


HUKUM ADAT JAWA

1. Analisis Hukum Adat Tiba Rampas di Desa Cengkok Kecamatan


Ngronggot Kabupaten Nganjuk.

Dalam adat Jawa juga mengenal adanya pelarangan perkawinan. Larangan


menikah ini dimaksudkan agar para calon mempelai harus berhati-hati dalam
memilih pasangan. Ada beberapa hukum adat jawa tentang perkawinan yang
harus ditaati. Contoh hukum adat perkawinan adalah hukum adat tiba rampas
pada masyarakat Desa Cengkok kecamatan Ngronggot Kabupaten Nganjuk. Tiba
rampas adalah hukum adat yang masih banyak digunakan masyarakat Desa
Cengkok dalam memilih pasangan. Tiba rampas sendiri merupakan cara
memilih berdasarkan jumlah hari kelahiran (neptu) kedua calon mempelai
10
kemudian dibagi 3.

Hukum adat yang ada di Desa Cengkok ini tidak menyalahi peraturan
negara baik Undang-Undang no 1 tahun 1974 tentang perkawinan (UU
Perkawinan). Dalam UU perkawinan hanya mengatur tentang:

 Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai. (pasal


6 ayat 1 UU) .
 Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21
(duapuluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua. (pasal 6 ayat 2)
 Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19
(sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam
belas) tahun kecuali meminta dispensasi kepada Pengadilan atau Pejabat
lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita.
(pasal 7 ayat 1,2)

10
Franz Magniz Suseno, Etika Jawa: Sebuah Analisis Falsafi tentang Kebijaksanaan
Hidup Jawa, Cetakan Ke-8, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001), h. 55.

11
 Tidak dalam keadaan kawin kecuali agama mengizinkan poligami. (pasal 9
Jo. Pasal 3 Ayat 2 dan pasal 4 UU Perkawinan)11

2. Analisis Pernikahan Adat Jawa Dalam Hukum Positif Indonesia.

Pernikahan dalam keyakianan masyarakat desa Joho adalah sebuah akad


yang mempertemukan kedua pasang manusia untuk menjadi sebuah keluarga
dalam upacara yang sakral dan agung sesuai dengan makna dan arti pernikahan
atau perkawinan menurut Undang-Undang Perkawinan No 1 Tahun 1974, yaitu
ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri
dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa. Pemahaman masyarakat tersebut juga
sudah sesuai dengan definisi nikah dalam Kompilasi Hukum Islam.

Tujuan nikah seperti yang terdapat baik dalam Undang-Undang Perkawinan


maupun juga dalam KHI adalah untuk melaksnakan sebuah ibadah dan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang sakinah, mawaddah, dan rahmah
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

untuk memenuhi persyaratan pencatatan pernikakahan seperti yang terdapat


dalam pasal 2 UU Perkawinan dan pasal 5 KHI maka dalam tradisi masyarakat di
desa Joho juga terdapat tradisi jonggolan. Tradisi jonggolan adalah prosesi
dimana calon pengantin laki-laki dan perempuan melapor pada KUA untuk
memeriksa persyaratan pernikahan. Dan tradisi ini juga dilaksanakan sebelum
upacara perniakahan secara adat tersebut dilaksanakan.

Persetujuan kedua calon mempelai seperti yang disyaratkan oleh Undang-


Undang Perkawinan pasal 6 dan ketentuan tentang peminangan seperti yang
tertera dalam pasal 11 KHI juga sudah dapat dilihat dalam prosesi upacara pra
pernikahan, yaitu dalam upacara utusan, salar dan nglamar.

Maka bisa dilihat dari rangkaian upacara dan prosesi pernikahan dengan
adat Jawa di desa Joho merupakan sebuah kearifan lokal yang menjadi warisan

11
Undang-Undang no 1 tahun 1974 tentang perkawinan Pasal 6,7,9.

12
leluhur mereka dapat sesuai dan terserap dalam hukum positif di Indonesia,
seperti dalam undang-undang perkawinan dan kompilasi hukum Islam.12

3. Penegakan Hukum Pasal Tindak Pidana Perzinahan

Penegakan Pasal 284 KUHP di masyarakat jawa mengalami permasalahan


yang diantaranya disebabkan oleh:

Keluarga Jawa tidak terdapat kesamaan kedudukan antara suami dan isteri.
Suami mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dan penting serta mempunyai
kekuasaan yang lebih besar. Sebenarnya begitu juga isteri mempunyai peranan
penting bahkan dalam hal-hal tertentu lebih besar dari peranan suami. Karena
adanya perbedaan peran penting tersebut itu membiaskan perbedaan derajat antara
laki-laki dan perempuan.13

4. Perihal Pernikahan Siri

Fakta yang ada dalam perkembangan masyarakat Jawa, pernikahan siri


sering menjadi solusi ketika seorang suami ingin menikah kembali. Pernikahan
siri diartikan tetap sah secara agama atau dengan kata lain pernikahan yang secara
hukum Islam telah memenuhi syarat dan rukun pernikahan namun, tidak sah
secara Undang-Undang karena tidak dicatatkan kepada negara melalui pejabat
urusan perkawinan. Jika melihat dari sudut pandang hukum pidana maka
pernikahan siri yang dilakukan oleh mereka yang telah memiliki pasangan yang
sah adalah suatu tindak pidana perzinahan dan diancam berdasarkan Pasal 284
KUHP. Namun jika dilihat dari sudut pandang agama Islam yang merupakan
agama yang memiliki pemeluk terbesar di pulau Jawa, pernikahan siri adalah sah
hukumnya jika memenuhi persyaratan dan rukun nikah secara hukum Islam.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pun memperbolehkan
perkawinan poligami.14

12
ibid, 56-57.
13
Tradisi Jawa Adalah Ungkapan Doa”, http//www.kompas.com (diakses pada 31 Okt
2018). 23:50 WIB.
14
Sutan Takdir Alisjahbana, Perkembangan Sejarah Kebudayaan Indonesia dilihat dari
Segi NilaiNilai (Jakarta : Balai Bahasa, 2005), h. 20.

13
BAB IV

KOLERASI PENERAPAN HUKUM ADAT DENGAN HUKUM ISLAM

Hukum adat adalah suatu hukum asli dari bangsa kita. Hukum adat tidak
akan bisa mati terhapus oleh waktu. Sedangkan hukum positif adalah hukum yang
saat ini berlaku atau hukum yang sekarang. Dalam penerapanya hukum adat,
hukum adat selalu menjadi sumber hukum bagi hukum positif Indonesia. Pada
dasarnya sistem hukum positif tidakakan pernah melenceng dari sistem hukum
adat, karena hukum positif itu sendiri tidak mungki bertentangan dengan hukum
masyrakat yang ada. Apabila hukum positif bertentangan pasti akan ditolak dalam
masyarakat.
Pada dasarnya hukum positif adalah hukum yang mengikat secara umum
atau mengikat masyarakat pada keseluruhannya. Sehingga dalam pelaksanaan
harus tidak boleh bertentangan dengan norma – norma yang hidup dalam
masyarakat. Norma – norma yang hidup dalam masyarakat secara umum dapat
disimpulkan sebagai suatu hukum yang hidup dalam masyarkat atau hukum adat.
Dari hal – hal diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa eksistensi hukum adat dalam
hukum positif Indonesia akan selalu ada dan tidak akan pernah mati. Hukum adat
dan hukum positif menjadi suatu yang saling melengkapi antara satu dengan
lainya. Hukum adat selalu akan bergerak elastik dan dinamis menyesuaikan
kehidupan dalam masyarakat dan hukum positif akan selalu tidak bertentangan
dengan hukum yang hidup dalam masyarakat atau hukum adat.
Apabila hukum adat bertentangan dengan masyarakat maka hukum adat
tersebut tidak akan bisa eksistensi, sehingga apabila dirasa sudah tidak
memberikan atau tidak sesuai dengan kehidupan masyarakat maka hukum adat
tersebut akan bergantu dengan sendirinya sesuai dengan kehidupan masyarakat
yang kompleks. Selain itu eksistensi hukum adat dalam hukum positif juga tidak
akan pernah mati.15

15
http://syariah.uin-malang.ac.id/index.php/komunitas/blog-fakultas/entry/hubungan-antara-
hukum-adat-dan hukum-positif

14
Semua orang mengakui adanya hubungan antara Hukum Adat dan Hukum
Islam. Hanya yang diperselisihkan mengenai sejauh mana hubungan itu telah
terjadi dan sejauh mana pula yang mungkin akan terjadi di berbagai daerah di
Indonesia. Untuk ini perlu kita mengetahui bahwa terjadinya hubungan antara
Hukum Adat dan Hukum Islam dalah disebabkan oleh dua hal. Pertama,
diterimanya Hukum Islam itu oleh masyarakat, serti hukum perkawinan di seluruh
Indonesia dan hukum warisan di Aceh. Kedua, Islam dapat mengakui Hukum
Adat itu dengan syarat-syarat tertentu, Diantara syarat-syarat dapat diterimanya
hukum adat oleh Islam ialah:

1. Adat itu dapat diterima oleh perasaan yang sehat dan diakui oleh pendapat
umum;

2. Tidak ada persetujuan lain antara kedua belah pihak;

3. Tidak bertentangan dengan nash, baik Al-Qur’an maupun Hadits. Nash yang
dimaksudkan disini, menurut Abu Yusuf Al-Hanafy, ialah nash yang tidak
didasarkan atau dipengaruhi oleh sesuatu adat kebiasaan sebelumnya. Contoh
nash yang didasarkan kepada adat sebelumnya, Abu Yusuf mengemukakan Hadits
jual-beli gandum, ditakar dengan sukatan. Itu tidak berarti bahwa jual-beli
gandum sekarang dengan ditimbang tidak boleh, karena hadits tersebut didasarkan
pada kebiasaan pada masa itu, bukan prinsip. Hubungan antara Hukum Adat
dengan Hukum Islam di Indonesia, semakin lama bukan semakin erat, melainkan
semakin lama semakin terasa renggangnya. Hal ini disebabkan oleh beberapa
faktor. Diantaranya ialah sebagian besar Ulama Indonesia menganut pendapat
bahwa pintu Ijtihad sudah ditutup, sedang di lain pihak, masalah-masalah baru
terus saja terjadi dalam masyarakat, disamping situasi dan kondisi juga sudah
demikian jauh bedanya dengan yang ada pada zaman pengarang kitab-kitab Fiqih
dahulu. Sebenarnya ditutupnya pintu Ijtihad itu juga merupakan suatu Ijtihad pula,
karena para ulama Fiqih pada waktu itu melihat bahwa pintu itu sudah dimasuki
oleh sembarang orang, sehingga dikuatkan akan terjadi kekacauandalam bidang
Hukum Islam, lebih-lebih karena Hukum Islam pada waktu itu tidal lagi
merupakan hukum positif yang dijalankan pemerintah, melainkan hanya
diserahkan saja pada pilihan pribadi-pribadi yang bersangkutan. Sebenarnya pintu

15
ijtihad itu tidak ditutup mati, melainkan hanya sekedar dikunci saja, sehingga
tidak semua orang dapat masuk, melainkan hanya dapat dimasuki oleh orang-
orang yang mempunyai kuncinya saja. Hal ini terbukti dengan praktek bahwa
mereka terus saja memfatwakan hukum mengenai masalah-masalah yang timbul
dalam masyarakat, meskipun mereka sendiri tidak mau menanamkan ijtihad, demi
kemaslahatan. Lalu oleh sebagian Ulama memahami hal itu secara harfiah,
sehingga mereka menutup rapat-rapat, yang kemudian menutup mati pintu ijtihad
itu.16

16
http://digilib.uin-suka.ac.id/424/

16
DAFTAR PUSTAKA

Ahmadsfarid.blogspot.com/2016/04/makalah-adat-istiadat-jawa-timur.html?m=1
Alisjahbana,Sutan Takdir, 2005, Perkembangan Sejarah Kebudayaan Indonesia
dilihat dari Segi NilaiNilai, Jakarta : Balai Bahasa

http://digilib.uin-suka.ac.id/424/
http://syariah.uin-malang.ac.id/index.php/komunitas/blog-
fakultas/entry/hubungan-antara-hukum-adat-dan hukum-positif

Jamaluddin, 2013, Hukum Perkawinan 4 Mazhab, Medan: LPPM UINSU


Kartohadiprodjo, Soerojo, 1995, Pengantar Dan Asas-Asas Hukum Adat, Jakarta :
PT. Gunung Agung
Muhammad, Syaikh Kamil, 2008,‘Uwaidah, Fiqih Wanita, Jakarta Timur:
Pustaka Al-Kautsar
Sabiq, Sayyid, 2002,Fikih Sunnah, Bandung: PT. Al-Ma’arif
Soekanto,Soejono,2005, Meninjau Hukum Adat Indonesia,Jakarta : PT. Raja
Gafindo Persada
Suseno,Franz Magniz, 2001, Etika Jawa: Sebuah Analisis Falsafi tentang
Kebijaksanaan Hidup Jawa, Cetakan Ke-8, Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama

Syafiunizar93.blogspot.com/2015/05/makalah-hukum-adat.html?m=1
Tradisi Jawa Adalah Ungkapan Doa”, http//www.kompas.com
Undang-Undang no 1 tahun 1974 tentang perkawinan Pasal 6,7,9.
Wignjodipoera, Soerojo, 1995, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat,Jakarta:
PT. Toko Gunung Agung

17

Anda mungkin juga menyukai