Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kedudukan umat Islam di berbagai Negara di Asia Tenggara ini bermacam - macam. Di
Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam, umat Islam adalah sebagai mayoritas, sedangkan
di Thailand, Singapura, dan Filiphina, mereka berada dalam minoritas. Agama yang dipeluk
oleh kebanyakan rakyat Thailand adalah Budhisme. Negara Gajah Putih inilah yang akan
pemakalah bahas dalam makalah singkat dan sederhana ini.

Budha adalah agama terbesar di Thailand dan resmi menjadi agama kerajaan. Kehidupan
Budha telah mewarnai hampir seluruh sisi kehidupan di Thailand, dalam pemerintahan
(kerajaan), sistem dan kurikulum pendidikan, hukum, dan lain sebagainya. Namun terdapat
agama-agama lain, diantaranya adalah Islam, Kristen, Konghucu, Hindu dan Singh.

Brunei Darussalam adalah sebuah negara kecil yang terletak di Asia Tenggara.
Letaknya di bagian utara Pulau Borneo/Kalimantan dan berbatasan dengan Malaysia. Brunei
terdiri dari dua bagian yang dipisahkan di daratan oleh Malaysia. Negara ini terkenal dengan
kemakmurannya dan ketegasan dalam melaksanakan syariat Islam, baik dalam bidang
pemerintahan maupun kehidupan bermasyarakat.

Kesultanan Brunei Darussalam mempunyai sejarah yang cukup panjang.Secara


kultural, hukum yang berlaku di Brunei Darussalam tidak jauh berbeda dengan tetangganya
Malaysia, karena keduanya memang mempunyai akar budaya yang sama. Meskipun sejak 1888
- 1984 Brunei menjadi negara protektorat Inggris, namun hal tersebut tidak menyebabkan
hukum Islam tidak berlaku di Brunei Darussalam. Sikap Inggris terhadap Islam sangat berbeda
dengan sikap Belanda, terutama terhadap penduduk negeri jajahannya. Kalaupun Inggris ikut
campur tangan, yang mereka lakukan adalah menempatkan Islam di bawah wewenang para
Sultan, sehingga agama menjadi kekuatan yang konservatif.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana sejarah masuknya Islam di Thailand?


2. Apa-apa saja yang berkait dengan hukum Islam di Thailand?
3. Bagaimanakah hukum Islam di Brunei Darussalam?

1
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Di Thailand

A. Sejarah Masuknya Islam Di Thailand

Diperkirakan para penyebar Agama Islam yang paling banyak datang ke Nusantara
diperkirakan sekitar tahun 1400 masehi atau secara berturut datang setelah itu hingga keabad
15 dan 16, diduga bahwa penyebar-penyebar tersebut adalah keturunan bani Abbasyiah.
Adapun pendapat lain mengatakan bahwa Islam diperkirakan datang ke negara Thailand sekitar
pada abad ke 10 atau 11 melalui jalur perdagangan. Yang mana penyebaran Islam ini dilakukan
oleh para guru sufi dan pedagang yang berasal dari wilayah Arab dan pesisir India.

Adapun pendapat lain ada yang mengatakan Islam masum ke Thailand melalui
Kerajaan Samudra Pasai di Aceh, salah satu bukti yang menguatkan pendapat ini adalah
ditemukannya sebuah batu nisan yang bertuliskan Arab di dekat Kampung Teluk Cik Munah,
Pekan Pahang yang bertepatan pada tahun 1028 M.

Sedangkan menurut pemakalah sendiri, Islam berada di daerah yang sekarang menjadi
bagian Thailand Selatan sejak awal mula penyebaran Islam dari jazirah Arab. Hal ini bisa kita
lihat dari fakta sejarah, seperti lukisan kuno yang menggambarkan bangsa Arab di Ayuthaya,
sebuah daerah di Thailand. Dan juga keberhasilan bangsa Arab dalam mendirikan Daulah
Islamiyah Pattani menjadi bukti bahwa Islam sudah ada lebih dulu sebelum Kerajaan Thai.

Dan lebih dari itu, penyebaran Islam di kawasan Asia Tenggara merupakan suatu
kesatuan dakwah Islam dari Arab, masa khilafah Umar Bin Khatab” (teori arab). Entah daerah
mana yang lebih dahulu didatangi oleh utusan dakwah dari Arab. Dahulu, ketika Kerajaan
Samudera Pasai ditaklukkan oleh kerajaan Siam (Thailand), banyak orang-orang Islam yang
ditawan, yang mana ketika itu Raja Zainal Abidin lah salah satu tawanan kerajaan Siam
yang kemudian di bawa ke Thailand. Para tawanan itu akan dibebaskan apabila telah
membayar uang tebusan. Kemudian para tawanan yang telah bebas itu ada yang kembali ke
Indonesia dan ada pula yang menetap di Thailand dan menyebarkan agama Islam di wilayah
Thailand Selatan yang berbatasan langsung dengan Malaysia.

Pada tahap pertama Islam diwarnai da’wah nya dengan Tasawuf setidaknya sampai
pada abad ke-17. Hal ini karena dirasa paling cocok dengan latar belakang masyarakat setempat

2
yang dipengaruhi oleh asketisme (ajaran-ajaran yang mengendalikan latihan rohani dengan
cara mengendalikan tubuh dan jiwa sehingga tercapai kebijakan-kebijakan rohani) Hindu-
Budha dan sinkretisme (proses perpaduan antara faham-faham atau aliran-aliran agama atau
kepercayaan) kepercayaan lokal dan tarekat cenderung lebih toleran dengan tradisi semacam
itu.

Sehingga ditemukan bahwa terdapat nama-nama ulama sufi terkenal sebagai penyebar
Islam, diantaranya adalah Syiekh Syafiuddin Ahmad Ad Dajjani Al-Qusyasyi, beliau adalah
seorang keturunan Abbas bin Abdul Muthalib (paman Nabi Muhammad s.a.w). diceritakan
juga bahwa ada dua orang yang sezaman/bersahabat karib yang sama-sama menjalankan
aktivitas dakwah Syeikh Syafiuddin di Pattani. Banyak yang menduga bahwa baliaulah yang
pertama mengislamkan Pattani, barangkali anggapan ini adalah satu kekeliruan karena Pattani
memeluk Islam jauh lebih awal dari kedatangan beliau ke Pattani, bahkan Pattani dianggap
tampat yang telah lama menerima Islam tak ubahnya seperti di Aceh juga.1

B. Hukum Islam Di Thailand

Secara kronologis, Pelaksanaan Hukum Islam di Asia Tenggara dapat dilihat pada
periode pra kolonialisasi, periode kolonialisasi, dan periode pasca kolonialisasi. Di masing-
masing periode ini terdapat dinamika yang berbeda sebagai konsekuensi dari wujud sosio-
politik masyarakat. Klasifikasi ini diperlukan terutama pada masa kolonialisasi dan pasca
kolonialisasi,mengingat perbedaan sikap dan kebijakan masin-masing kolonial dan pemerintah
di masing-masing negara di Asia Tenggara terhadap pelaksanaan Hukum Islam.

1. Pra-Kolononial
Sebelum kolonial Eropa (Asia Tenggara adalah negara jajahan Eropah) mengukuhkan
kekuasaannya di dunia melayu, hukum islam sebagai hukum yang berdiri sendiri telah ada
didalam masyarakat, tumbuh dan berkembang di kesultanan-kesultanan Melayu disamping
kebiasaan atau adat masyarakat. Bahkan pelaksanaan hukum Islam terlihat meliputi aspek yang
lebih luas, tidak saja hanya menyangkut perkara-perkara pribadi seperti nikah, talak, rujuk,
waris, hadhanah, tetapi juga mencakup hukum pidana termasuk hukum hudud.

2. Masa Kolonialisasi

1
http://ilmu-pengetahuan21.blogspot.com/2012/08/islam-di-thailand.html

3
Dibawah jajahan negara-negara Eropah, pelaksanaan hukum Islam di Asia Tenggara
tidak mengalami perkembangan berarti, sebaliknya malah banyak mengalami pengebirian.
Melalui berbagai kebijaksanaan, kolonial berhasil mereduksi dan membatasi pelaksanaan
hukum islam. Bila sebelumnya pelaksanaan hukum islam mencakup masalah perdata dan
pidana, sekarang menjadi terbatas hanya pada perkara-perkara yang berhubungan
kekeluargaan.

Hal yang sama juga terjadi pada minoritas Muslim di Thailand. Meski mereka tidak
pernah dijajah oleh bangsa Barat, tetapi keberhasilan invansi Thai Budhis pada tahun 1786,
perlahan namun pasti, telah mengambil alih seluruh kekuasaan muslim. Kekuatan dan
keunggulan kekuasaan Thai Budha atas Pattani Islam semakin terbukti ketika agama Budha
berhasil menempel pada institusi politik Thai modern, yang kemudian juga berhasil menempel
pada ideologi negara Thailand.

Dibawah kekuasaan kerajaan Thai modern dengan mengatas namakan nasionalisme,


banyak kebijakan integrasi dan asimilasi yang dipaksakan oleh pemerintah. Kebijakan itu
merupakan kenyataan bahwa mereka harus beradaptasi dengan nilai-nilai dan norma agama
Budha. Akhirnya, pelan namun pasti. Muslim Thailand mengalami banyak hambatan untuk
mengamalkan ajaran agama mereka termasuk hukum islam. Dengan demikian, pelaksanaan
hukum Islam yang dulu didasarkan pada hukum kanun malaka versi petani, juga mengalami
pengebirian. Hal ini dapat dibuktikan dengan melihat kenyataan dewasa ini, sebagaimana
diuraikan di bawah ini, dalam pelaksanaan hukum keluarga pun masih terdapat persoalan-
persoalan.

3. Pasca-Kolonialisasi
Setelah meraih kemerdekaan, umat islam di negara-negara Asia Tenggara kembali
berupaya setahap demi setahap untuk melaksanakan hukum Islam selain bidang ibadah, seperti
masalah kekeluargaan (seperti perkawinan, perceraian, rujuk dan warisan), juga dalam hal - hal
yang berkaitan dengan mu’amalah. Namun, semua itu tentu melalui upaya keras dan proses
yang cukup panjang. Hal ini misalnya dapat dilihat pada perkembangan pelaksanaan hukum
Islam di Indonesia.

Di negara-negara yang minoritas penduduk nya beragama Islam, seperti Singapura,


Thailand dan Filipina, pengadilan agama hanya menangani perkara-perkara hukum

4
kekeluargaan. Bahkan di negara ini belum semuanya terdapat lembaga peradilan agama. Di
Thailand misalnya, belum ada pengadilan agama. Wewenang untuk mengadili urusan yang
berkaitan dengan keluarga dan warisan diserahkan kepada hakim agama yang disebut Dato
Yutitham. Inipun hanya berlaku di empat propinsi daerah Muslim di Thailand Selatan, yaitu
Pattani, Yala, Naratiwat, dan Satun. Dato Yuttitam di pilih oleh imam-imam masjid dan
langsung dikontrol oleh pengadilan umum setempat. Seluruh keputusan yang dikeluarkan
tentunya mempunyai kekuatan hukum, meski terbatas di propinsi tersebut.

Hukum Islam (mengenai keluarga dan warisan) hanya berlaku di empat provinsi bagian
selatan. Bagi muslim di propinsi lain, karena syari’ah tidak diakui secara hukum, satu - satunya
jalan adalah melalui lembaga negara bila ingin di akui secara sah.

Belum adannya perangkat kodifikasi syariah yang dapat di terima secara umum,
sebenarnya sejak tahun 1940-an telah diterapkan kodifikasi syari’ah yang sistematis mengenai
keluarga dan warisan. Kodifikasi ini tercakup dalam Undang-Undang Sipil Thailand. Seluruh
sistemnya berkaitan langsung dengan fiqih syafi’ih, karena mayoritas Muslim Thailand
menganut Mazhab ini. Dengan demikian, pertentangan antara Muslim yang berbeda Mazhab
tidak dapat di selesaikan oleh sistem peradilan yang ada. Selain itu pihak yang berurusan
terutama akan menghadapi persoalan dalam memilih otoritas keagamaan dan prosedur yang
dapat diterima oleh semuanya. Kontroversi ini kadang-kadang dapat memperburuk
pertentangan yang terjadi dalam masyarakat Islam bahkan dalam suatu keluarga.

Keterbatasan ikatan hukum bagi hukum islam karena keterbatasan subjek materinya.
Misalnya ; Secara hukum adalah sah perkawinan atau perceraian yang dilaksanakan oleh Dato
yuttitam atau imam. Namun, karena hukum negara tidak membenarkan poligami, maka
perkawinannya dengan wanita berikutnya, istri-istri dan anak cucunya tidak diakui secara
resmi. Semua hal selain dengan istri pertama dianggap tidak sah. Konsekuensinya, bagi mereka
yang menganut poligami, istri berikut serta keturunan tidak mendapatkan hak secara hukum,
seperti biaya pendidikan dan kesehatan yang diperoleh oleh sang suami.2

2.2 Di Brunei Darussalam


A. Permulaan Islam Di Brunei

2
http://ar-sembilan.blogspot.com/2013/11/sosial-budaya-islam-di-asia-tenggara.html

5
Diperkirakan Islam mulai diperkenalkan di Brunei Darussalam pada tahun 1977
melalui jalur Timur Asia Tenggara oleh pedgang-pedagang dari Cina. Islam menjadi agama
resmi negara semenjak Raja Awang Alak Betatar masuk Islam dan berganti nama menjadi
Muhammad Shah (1406-1408). Perkembangan islam semakin maju setelah pusat penyebaran
dan kebudayaan Islam, Malak jatuh ketangan portugis (1511) sehingga banyak ahli agama
Islam pindah ke Brunei. Kemajuan dan perkembangan Islam semakian nyata pada masa
pemerintahan Sultan Bolkiah (sultan ke-5), yang wilayahnya meliputi Suluk, Selandung,
seluruh Pulau Kalimantan (Borneo), Kepulauan Sulu, Kepulauan Balakac, Pulau Banggi, Pulau
Balambangan, Matanani, dan Utara Pulau Pallawan sampai ke Manila.

Pada masa Sultan Hassan (Sultan ke-9) dilakukan beberapa hal yang menyangkut tata
pemerintahan: 1) menyusun institusi-institusi pemerintahan agama, karena agama memainkan
peranan penting dalam memandu negara Brunei ke arah kesejahteraan. 2) menyusun adat-
istiadat yang dipakai dalam semua upacara, baik suka maupun duka, disamping menciptakan
atribut kebesaran dan perhiasan raja; 3) menguatkan undang-undang Islam, yaitu hukum Qanun
yang mengandung 46 pasal dan 6 bagian. Pada tahun 1888-1983 Brunei di bawah penguasaan
Inggris. Brunei memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 31 Desember 1983. Setelah
merdeka, Brunei Darussalam menjadi sebuah negara Melayu Islam Beraja “ melayu” diartikan
dengan unsur-unsur kebaikan dan menguntungkan. “Islam” diartikan sebagai suatu
kepercayaan yang dianut negara yang bermadzhab Ahlussunnah Wal Jamaah sesuai dengan
konstitusi dan cita-cita kemerdekaannya. “Beraja” adalah suatu sistem tradisi melayu yang
telah lama ada.

Brunei merdeka sebagai negara Islam dibawah pimpinan Sultan ke-29, yaitu Sultan
Hasanah Bolkiah Mu’izzadin Waddaulah. Panggilan resmi kenegaraan Sultan adalah “Ke
Bawah Duli Yang Maha Mulia Paduka Sri Baginda Sultan dan Yang Dipertuan Negara.” Gelar
Mu’izzadin Waddaulah “(penata agama dan negara) menunjukkan ciri keIslaman yang selalu
melekat pada setiap raja yang memerintah.

Sultan telah melakukan usaha penyempurnaan pemerintah, antara lain dengan


membentuk Majelis Agama Islam atas dasar Undang-Undang Agama dan Mahkamah kadi
tahun 1955. Majelis ini bertugas menasehati sultan dalam masalah agama Islam. Langkah ini
yang ditempuh sultan adalah menjadikan Islam benar-benar berfungsi sebagai pandangan
hidup rakyat Brunei dan satu-satunya ideologi negara. Untuk itu, dibentuk jabatan hal ikhwal
agama yang tugasnya menyebarluaskan paham Islam, baik kepada pemerintah beserta

6
aparatnya maupun kepada masyarakat luas. Untuk kepentingan penelitian agama Islam, pada
tanggal 16 september 1985 didirikan pusat Dakwah, yang juga bertugas melaksanakan program
dakwah serta pendidikan pada pegawai-pegawai agama serta masyarakat luas dan pusat
pameran perkembangan dunia Islam. Di Brunei, orang-orang cacat dan anak yatim menjadi
tanggungan negara. Seluruh pendidikan rakyat (dari TK sampai perguruan tinggi) dan
pelayanan kesehatan diberikan secara gratis. Brunei juga mengembangkan hubungan luar
negeri dengan masuk Organisasi Konferensi Islam, ASEAN, dan Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Sebelum datangnya Inggris, Undang-Undang yang dilaksanakan di Brunei ialah


Undang-Undang Islam yang telah dikanunkan dengan hukum qanun Brunei. Hukum Qanun
Brunei tersebut sudah ditulis pada masa pemerintahan Sultan Hassan (1605-1619 M) yang
disempurnakan oleh Jalilul Jabbar (1619-1652 M).

Pemberian kekuasaan di bidang hukum secara penuh baru diberikan kepada Inggris
setelah ditandatanganinya perjanjian pada 1888 dalam Artikel VII yang membuat aturan:

1. Bidang kuasa sivil dan jinayah kepada jawatan kuasa Inggris untuk mengendalikan kes rakyat,
kes rakyat asing dari negara-negara jajahan Inggris dan kes rakyat negara lain jika mendapat
persetujuan kerajaan negara mereka.
2. Bidang kuasa untuk menghakimkan kes yang melibatkan rakyat Brunei jika rakyat Brunei
dalam kes tersebut merupakan seorang penuntut atau pendakwa. Tetapi jika didalam sesuatu
kes tersebut, rakyat Brunei adalah orang yang dituntut atau didakwa maka kes itu akan diadili
oleh Mahkamah Tempatan.

Kekuasaan yang lebih luas lagi dalam bidang hukum diberikan setelah adanya
perjanjian tahun 1906. Dengan perjanjian tersebut Inggris lebih leluasa mendapat kekuasaan
yang luas untuk campur tangan dalam urusan per-Uuan, Pentadbiran keadilan dan kehakiman,
masalah negara dan pemerintahan kecuali dalam perkara-perkara agama Islam.

Karena undang-undang adat dan kedudukan hukum syara’ dirasa tidak begitu jelas,
kesultanan Brunei memberi petisi kepada Pesuruh Jaya British pada 2 Juli 1906 yang isinya
menuntut:

1. Setiap kasus yang berkaitan dengan agama Islam diadili oleh hakim-hakim setempat.
2. Meminta agar adat-adat dan undang-undang setempat tidak dirombak, dipindah, dan dilanggar
selama-lamanya.

7
Dari kedua petisi ini, yang disetujui oleh Inggris hanya masalah nomor satu dan
ditindaklanjuti dengan mengembangkan Mahkamah Syari’ah yang akan mengendalikan
urusan-urusan agama Islam. Sedangkan yang kedua ditolak, penolakan itu didasarkan pada
tujuan perjanjian 1906 adalah untuk memperbaiki adat dan undang-undang setempat sebagai
langkah untuk menyelamatkan Brunei dari kehilangan-kehilangan wilayahnya.

Untuk seterusnya Mahkamah Syari’ah Brunei hanya dibenarkan melaksanakan undang-undang


Islam yang berikatan dengan perkara-perkara kawin, cerai, dan ibdat (khusus) saja. Sedangkan
masalah yang berkaitan dengan jinayat diserahkan kepada undang-undang Inggris yang
berdasarkan Common Law England.

Peraturan dan perundang-undangan di Brunei terus menerus dirombak, seperti pada


tahun 1912 majelis Masyuarat Negeri telah mengundangkan undang-undang agama Islam yang
dikenal dengan “Muhammadans Marriages and Divorce Enactement.” Sampai yang terakhir
yaitu dengan diundangkannya Undang-Undang Majelis Ugama, Adat Negeri dan Mahkamah
Kadi tahun 1955, yang telah berlaku pada tanggal 1 Januari 1956. Setelah tahun itu berturut-
turut undang-Undang mengalami amandemen yaitu mulai tahun 1957, 1960, 1961, dan
1967.3 Ketika terjadi Revision Laws of Brunei pada tahun 1984, undang-undang inipun
mengalami revisi tapi hanya sedikit saja disamping namanya ditukar dengan akta Majelis
Agama dan Mahkamah Kadi Penggal 77.4

Sebenarnya perundang-undangan ini, menurut Hooker, didasarkan pada perundangan


yang berlaku di negeri Kelantan dengan mengalami penyesuaian-penyesuaian dengan kondisi
Brunei. Peraturan ini membuat peraturan tentang :
1. pendahuluan (Bagian I pasal 1-4)
2. Majelis Ugama Islam (Bagian II pasal 5-44)
3. Mahkamah syari’ah (Bagian III pasal 45-96)
4. Masalah Keuangan (Bagian IV pasal 97-122)
5. Masjid (Bagian V pasal 123-133)
6. Perkawinan dan perceraian (Bagian VI pasal 134-156)

3 Tahir Mahmud, Personal Law in Islamic Countries: History, Text and Comparative Analysis, (New Delhi: Academy of
Law and Religion, 1978), h. 198-199.
4 Haji Salim bin Haji Besar, Pelaksanaan Undang-undang Keluarga Islam di Negara Brunei Darussalam dan

Permasalahannya dalam Mimbar Hukum, h. 9-10.

8
7. Nafkah Tanggungan (Bagian VII pasal 157-163)
8. Muallaf (Bagian VIII pasal 164-168)
9. Kesalahan (Bagian IX pasal 169-195)
10. Perkara Umum (Bagian X pasal 196-204)

Undang-undang keluarga Islam Brunei yang terdapat dalam Undang-undang Majelis


Ugama Islam dan Mahkamah Kadi Penggal 77 bentuk dan kandungannya masih sama dengan
undang-undang Majelis Ugama Islam, Adat Negeri dan Mahkamah Kadi No. 20/1955. Dalam
undang-undang tersebut masalah hukum keluarga Islam diatur hanya 29 Bab yaitu di bawah
aturan-aturan Marriage and Divorce di bagian VI yang diawali dari pasal 134-156, dan
Maintenance of Dependent di bagian VII yang dimulai dari pasal 157-163.5

Untuk lebih memberikan wawasan, sebagian dari aturan ini akan dijelaskan di bawah
ini dengan diberikan perbandingan dengan negara yang berada diwilayah Asia Tenggara yaitu
Malaysia dan Singapura. Alasannya karena ketiga negara ini bertetangga dan mempunyai
kesamaan dalam warisan sosial, budaya dan adatnya, disamping itu madzhab yang dianut oleh
penduduknya adalah madzhab Syafi’i.6

5 Prof. Dr. Atho Mudzhar dan Dr. Khoerudin Nasution, Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern, (Jakarta: Ciputat Press,
2003), Cet. I, h. 178-182.
6
Tahir Mahmood, Family Law Reform in the Muslim World, (Bombay: N.M. Tripathi pvt. Ltd., 1972), h. 198.

9
KESIMPULAN

Muslim di Thailand mempunyai sejarah tersendiri yang bisa dibilang tragis dan berliku.
Mulai dari abad ke-13 dimana Agama Islam menapakkan kakinya di kerajaan Pattani dan
kemudian menjadi mayoritas di wilayah tersebut. Masyarakat muslim Thailand saat ini telah
menjadi bagian integral dari keseluruhan pemerintahan dan komunitas Thailand dari beberapa
abad yang lalu. Secara historis, kultur dan ekonomi, masyarakat minoritas muslim di Thailand
selatan telah mengalami peningkatan yang signifikan dari waktu ke waktu. Akan tetapi mereka
tetap berusaha menjadi bagian komunitas yang dipahami.

Ketidakinginan masyarakat Melayu-Muslim untuk berasimilasi dengan budaya Thai


disebabkan oleh kepercayaan mereka yang sangat kuat tentang asal-usul mereka, baik secara
historis maupun budaya, yang mempunyai hubungan dekat dengan bangsaMelayu. Pengaruh
Islam dan budaya Melayu yang kuat dari negara Malaysia juga turutandil membentuk identitas
yang demikian mengakar dalam masyarakat di Selatan,terutama Pattani.

Kesultanan Brunei, seperti juga kesultanan Malaysia, menempatkan istana sebagai


pusat kebesaran, kekuasaan, kemuliaan. Di Negara Brunei, Sultan berkuasa atas seluruh soal
dalam Negara. Brunei Darussalam mengakomodasi hukum Islam, adat, dan barat tetapi yang
sering sekali digunakan adalah hukum Muslim (Islam). Istana Brunei juga berfungsi sebagai
penaung kegiatan yang bercorak kebudayaan. Brunai Darussalam adalah satu-satunya Negara
Melayu muslim Asia Tenggara yang berhasil mengantar institusi kesultanan sebagai penerus
paling orisinil dari tradisi social politik rumpun Melayu Islam.

10
DAFTAR PUSTAKA

http://ilmu-pengetahuan21.blogspot.com/2012/08/islam-di-thailand.html

http://ar-sembilan.blogspot.com/2013/11/sosial-budaya-islam-di-asia-tenggara.html

Tahir Mahmud, Personal Law in Islamic Countries: History, Text and Comparative Analysis,

(New Delhi: Academy of Law and Religion, 1978)

Haji Salim bin Haji Besar, Pelaksanaan Undang-undang Keluarga Islam di Negara Brunei

Darussalam dan Permasalahannya dalam Mimbar Hukum

Prof. Dr. Atho Mudzhar dan Dr. Khoerudin Nasution, Hukum Keluarga di Dunia Islam

Modern, (Jakarta: Ciputat Press, 2003)

Tahir Mahmood, Family Law Reform in the Muslim World, (Bombay: N.M. Tripathi pvt. Ltd.,

1972)

11

Anda mungkin juga menyukai