TANGGA
Perkawinan Dalam Budaya Masyarakat Aceh
Disusun oleh :
1
Daftar Isi
BAB I..........................................................................................................................................
PENDAHULUAN......................................................................................................................
A. Latar Belakang...............................................................................................................
BAB II.........................................................................................................................................
PEMBAHASAN.........................................................................................................................
A. Adat Cah Rhot (Merintis Jalan).................................................................................
C. Meukeurija (Persiapan Pesta Perkawinan)..............................................................
D. Meugatib (Pernikahan atau Ijab Qabul)....................................................................
E. Intat Linto (Mengantar Mempelai Pria)...................................................................
F. Tueng Dara Baroe (Menjemput Mempelai Wanita).................................................
G. Jak Meuturi (Berkenalan)...........................................................................................
BAB III.......................................................................................................................................
PENUTUP...................................................................................................................................
A. Kesimpulan.....................................................................................................................
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Daerah Aceh merupakan salah satu kawasan yang terdiri dari beberapa etnis, yaitu
Aceh, Kluet, Alas, Aneuk Jamee, Gayo, Singkil, Simeulu, dan Tamiang. Setiap etnis memiliki
adat istiadat yang berbeda, dan ini merupakan sebuah keistimewaan dan bagian dari
kebudayaan Indonesia yang wajib dijaga. Salah satu acara adat dan tradisi budaya Aceh yang
sangat dianggap sakral adalah upacara pernikahan.
Pernikahan merupakan suatu hal yang sangat sakral di dalam tradisi budaya Aceh
karena hal ini berhubungan dengan nilai keagamaan. Pernikahan memiliki perayaan tersendiri
yang sangat dihormati oleh masyarakat. Tahap upacara pernikahan di Aceh dimulai dari tahap
pemilihan jodoh, pertunangan hingga upacara pernikahan.
Adat pernikahan Aceh merupakah salah satu prosesi pernikahan yang ada di Indonesia.
Di Adat Pernikahan Aceh, proses melamar seorang gadis akan dilakukan oleh seorang yang
dianggap bijak oleh pihak keluarga lelaki, biasanya disebut seulangke (perantara). seulangke
akan menyelidiki status gadis tersebut, jika memang masih sendiri (belum menikah),
seulangke akan mencoba untuk melamar gadis tersebut.
Pada acara lamaran adat pernikahan aceh yang telah ditentukan harinya, biasanya dari
pihak lelaki akan datang bersama dengan orang yang dituakan ke rumah gadis dengan
membawa berbagai macam syarat seperti pineung reuk, gambe, gapu, cengkih, pisang raha,
dan pakaian adat aceh. Setelah proses lamaran selesai, selanjutnya pihak wanita akan meminta
waktu untuk membicarakan hal lamaran ini kepada anak gadisnya. Apakah akan diterima atau
tidak lamaran pihak lelaki akan tergantung dari musyawarah keluarga pihak wanita.
Selanjutnya bila lamaran dari pihak lelaki di terima, maka akan ada beberapa prosesi yang
harus dilakukan sebelum menuju acara pernikahan.
1
BAB II
PEMBAHASAN
Di dalam agama Islam, pernikahan dapat diartikan bahwa suatu perjanjian suci yang
dilakukan oleh laki-laki dan perempuan yang ingin melanjutkan hubungan menjadi hubungan
yang halal. Mereka akan mengikat janji untuk menyatakan bahwa sudah siap untuk
membangun rumah tangga. Hal ini senada dengan yang diungkapkan oleh seorang ulama,
Abdurrahman Al-Jaziri yang menyatakan bahwa perkawinan adalah sebuah perjanjian suci
yang dilakukan antara laki-laki dan seorang perempuan dengan tujuan untuk membentuk
keluarga bahagia. Allah SWT berfirman dalam surah An – Nisa ayat 3 yang Artinya: “ Dan
jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim
(bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi:
dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka
(kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah
lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”
Dalam masyarakat Aceh upacara perkawinan di lakukan secara adat. Ada acara yang
perkawinan di lakukan dengan upacara adat yang lengkap dan ada yang hanya sebagian saja,
menurut kemampuan financial masing-masing.
Adat perkawinan dalam masyarakat Aceh terdiri dari beberapa tahap, yaitu tahap
sebelum, selama dan sesudah upacara perkawinan. Adat sebelum acara perkawinan, adalah
pertunangan. Dalam acara pertunangan itu sendiri terdapat kegiatan: Cah Rhot, Meulake, atau
Peukong Haba. Adat selama upacara perkawinan biasanya adalah: Meugatib (menikah) dan
Intat Linto (mengantar pengantin laki-laki ke tempat kediaman pengantin perempuan).
Sedangkan yang termasuk dalam adat sesudah perkawinan adalah: Tueng Dara Baro
(menjemput pengantin perempuan) dan Jak Meuturi (berkunjung untuk berkenalan dengan
sanak famili).
Jadi yang dimaksud dengan upacara adat perkawinan disini mencakup ketiga tahap itu,
yang puncaknya adalah atau hari “HA” nya adalah pada upacara menikah (gatib) dan
mengantar pengantin laki-laki (intat linto) ke rumah dara baro, yang biasanya dengan
mengadakan khanduri atau pesta perkawinan.
Berikut ini akan dikemukakan beberapa adat kebiasaan tersebut yang pada umumnya
merujuk kepada adat perkawinan yang terdapat di daerah-daerah pesisir Aceh:
2
malah siapa yang menjadi jodohnya seringkali tidak diketahui atau tidak pernah berjumpa
sampai dengan waktu akan dilangsungkan perkawinan. Namun itu tidak berarti bahwa pada
masa lampau, seorang pemuda tidak boleh mencari sendiri calon istrinya. Pada masa lampau,
tidak ada pergaulan muda-mudi dimana, mereka saling mencari jodoh masing-masing seperti
yang sudah lazim terjadi pada zaman sekarang.
Dalam masyarakat Aceh, yang mencari calon istri adalah pihak si pemuda, dan bila
pihak si perempuan yang mencari calon suami untuk anaknya, hal ini menjadi suatu aib.
Ungkapan narit maja yang berbunyi: “ Kon Mon Mita Tima” artinya bukan sumur mencari
timba (bukan perempuan mencari laki-laki), tetapi “Tima Mita Mon” artinya timba mencari
sumur (pihak laki-laki yang mencari calon isteri).
Manakala sudah ada kepastian tentang siapa orangnya yang akan dijadikan menantu,
maka pihak orangtua laki-laki mulai mencoba berhubungan dengan pihak orangtua anak gadis
tersebut. Biasanya dimulai dengan cara sering mengunjungi, sering menegur bila ketemu di
jalan atau menunjukan sikap tertentu seperti memuji dan sebagainya. Hal demikian sengaja
diciptakan agar pihak sigadis mengetahui bahwa orang tersebut ada sesuatu yang
diingikannya. Selanjutnya jika kedua pihak telah saling mengetahui, mulailah suatu
pembicaraan yang lebih terbuka dan mulailah diadakan persiapan untuk mengadakan
hubungan dengan pihak keluarga gadis tersebut. Hal itu disebut Cah Rhot (merintis jalan),
yaitu untuk menjajaki kemungkinan dijodohkan anaknya dengan gadis itu dan sekaligus untuk
mengetahui ihwal tentang gadis dan keluarganya.
Tugas melakukan Cah Rhot itu biasanya diserahkan kepada seseorang yang disebut
Seulangke (perantara) akan tetapi ada juga untuk tugas ini belum diserahkan
kepada Seulangke melainkan dengan memperoleh keterangan dari orang-orang yang dekat
dengan keluarga sigadis itu. Tugas Seulangke pada langkah selanjutnya adalah. Apabila
ternyata si gadis masih bebas (belum ada orang lain yang mengikatnya) dan selanjutnya
ternyata ada tanda-tanda bahwa maksud pihak keluarga si pemuda dapat diterima oleh pihak
si gadis, maka dikirimlah utusan, yaitu Seulangke tadi untuk menyampaikan maksud dan
tujuan daripada orangtua si pemuda, dan sekaligus hal-hal yang menyangkut pertunangan,
hari peresmian, dan mengenai mahar (jeunamee) serta menyampaikan pesan atau syarat-syarat
yang diajukan oleh masing-masing pihak.
Dalam masyarakat Aceh, pihak orangtua dalam memilih calon jodoh untuk anaknya
sering kali diperhatikan calon yang ideal yaitu sekurang-kurangnya perlu memenuhi lima
syarat, yaitu:
Pertama, adalah anak yang baik perangai, watak dan perilakunya.
Kedua, anak yang suka beribadat dan berpengetahuan luas, terutama tentang agama.
Ketiga, anak itu memiliki sedikit kecantikan.
Keempat, anak itu dari keturunan orang baik-baik, dan
Kelima, (sebagai kesempurnaan) dilihat pula status sosial ekonomi orangtua anak gadis itu.
3
oleh seulangkee bersama dengana kepala kampung dan orang-orang tua atau pemuka
masyarakat kampung. Biasanya (dibeberapa daerah) pada acara meminang itu turut serta pula
datang kerumah si gadis beberapa perempuan dari keluarga si pemuda (di daerah Aceh Besar
biasanya hanya laki-laki saja), dan orangtua si pemuda biasanya tidak ikut serta. Pada
kesempatan itu dibawa sirih yang disusun dengan rapi dalam tempatnya yang disebut Batee
Ranub (tempat sirih). Selain itu dibawa pula oleh-oleh berupa kain baju, selendang dan kain
sarung serta kue-kue adat (peunajoh). Yang penting pada acara peminangan adalah membawa
tanda pengikat (tanda kong haba), dan karena itu acara peminangan disebut juga acara intat
tanda (membawa tanda).
Biasanya yang menjadi tanda adalah berbentuk sebuah cincin emas seberat satu atau
dua mayam (1 mayam = 3,33 gram). Mengenai tanda itu terdapat perjanjian-perjanjian
sekiranya pertunangan itu pada suatu ketika putus di tengah jalan. Dalam hal ini berbeda
antara adat di satu daerah dengan daerah lainnya. Biasanya, apabila pihak si gadis yang
membatalkan pertunangan itu, maka tanda tersebut harus dikembalikan dua kali lipat dari
tanda yang diterimanya. Tetapi kalau pihak si pemuda yang membatalkannya maka tanda
tersebut di pandang sudah hilang. Dan seandainya lagi bila salah satu pihak meninggal dunia,
maka hal tersebut biasanya dirundingkan kembali.
Pada upacara peminangan ditentukan juga beberapa kesepakatan lain, seperti: besarnya
mas kawin, hari diadakannya pernikahan, intat linto dan hal-hal lain yang berkaitan dengan
tindak lanjut dari acara peminangan itu. Biasanya juga diingatkan akan adat yang berlaku
sehubungan dengan hubungan antara kedua orang yang sudah bertunangan, misalnya
melarang membawa calon isterinya berjalan-jalan karena hal itu dapat menimbukan fitnah.
4
Untuk pesta perkawinan yang besar biasanya di potong satu atau dua ekor sapi sehari
sebelum hari “HA” nya. Daging sapi itu kemudian dipotong kecil-kecil, sebagian
diperuntukan kepada kaum ibu untuk membuat beberapa jenis masakan adat, selebihnya
dimasak dengan campuran buah nangka atau buah pisang dalam belanga-belanga besar yang
sering disebut masakan “Kuah Beulangong”.
5
disediakan, dan mereka dapat duduk di kursi-kursi yang telah disediakan. Biasanya acara intat
linto diadakan pada malam hari.
Linto baro diantarkan ke rumah dara baro oleh sejumlah orang yang disebut
rombongan linto atau rombongan besan dengan membawa barang-barang pembawaan linto.
Linto baro diibarat “raja sehari”, dipakaikan pakaian adat Aceh yang lengkap. Setelah itu
linto duduk bersanding di pelaminan bersama dara baroe, dan selanjutnya dilakukan adat
peusijuek yang dilakukan oleh beberpa orang tua, kerabat, sanak family atau tokoh-tokoh
terkemuka di kampung tersebut (jumlah orang yang melakukan peusijuk harus ganjil),
dimulai oleh family pihak dara baro dan pihak linto. Sewaktu acara peusijuk dilaksanakan
juga adat teumetuek, yaitu bersalaman dengan kedua pengantin seraya menggegamkan
(geupeureugam) sejumlah uang, oleh setiap orang yang melaksanakan peusijuek.
Setelah adat peusijuk linto dan dara baro, Selanjutnya diadakan jamuan makan kepada
rombongan besan dara baro (family dari pihak linto), biasanya makanan yang disediakan lebih
istimewa dalam hal lauk-pauknya dibandingkan dengan tamu-tamu yang lain. Setelah selesai
acara makan, maka para tamu pihak linto minta izin kembali pulang. Kepada linto baro
diperkenankan tinggal bermalam di rumah isterinya.
6
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian makalah diatas, maka kita bisa simpulkan. Dalam adat Aceh,
pernikahan merupakan hal yang sangat penting dan sakral. Adat dan Agama dalam kehidupan
masyarakat Aceh tidak bisa di pisahkan seperti hadit maja yang berbunyi “adat ngoen agama
lage zat ngoen sifeut”, Adat dan Agama seperti zat dengan sifat atau ruh dan jasad, Begitulah
perumpaan orang Aceh. Ada beberapa tahapan yang harus dilalui mempelai untuk
meresmikan sebuah pernikahan, yaitu Adat Cah Rhot, Adat Jak Meulakee, Adat Meukerija,
Meugatib, Intat Linto, Tueng Dara Baroe dan Jak Meuturi. Dan semua tahapan tersebut
mempunyai makna tersendiri dan diselaraskan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam
Islam .