Anda di halaman 1dari 9

INDAHNYA MEMBANGUN MAHLIGAI RUMAH

TANGGA
Perkawinan Dalam Budaya Masyarakat Aceh

Disusun oleh :

1. Adwilianti Istiqomah S.R


2. Annisa Ramadhani
3. Ervina Febriantie Putri
4. Gismanda Rosandy
5. Indah Rahma Yanti
6. Mohalfinoor Wirabuana
7. Nanda Datik Lufiana
8. Raehan Noval

SMA NEGERI 1 SIMPANG EMPAT


TAHUN PELAJARAN 2022/2023

1
Daftar Isi
BAB I..........................................................................................................................................
PENDAHULUAN......................................................................................................................
A. Latar Belakang...............................................................................................................
BAB II.........................................................................................................................................
PEMBAHASAN.........................................................................................................................
A. Adat Cah Rhot (Merintis Jalan).................................................................................
C. Meukeurija (Persiapan Pesta Perkawinan)..............................................................
D. Meugatib (Pernikahan atau Ijab Qabul)....................................................................
E. Intat Linto (Mengantar Mempelai Pria)...................................................................
F. Tueng Dara Baroe (Menjemput Mempelai Wanita).................................................
G. Jak Meuturi (Berkenalan)...........................................................................................
BAB III.......................................................................................................................................
PENUTUP...................................................................................................................................
A. Kesimpulan.....................................................................................................................

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Daerah Aceh merupakan salah satu kawasan yang terdiri dari beberapa etnis, yaitu
Aceh, Kluet, Alas, Aneuk Jamee, Gayo, Singkil, Simeulu, dan Tamiang. Setiap etnis memiliki
adat istiadat yang berbeda, dan ini merupakan sebuah keistimewaan dan bagian dari
kebudayaan Indonesia yang wajib dijaga. Salah satu acara adat dan tradisi budaya Aceh yang
sangat dianggap sakral adalah upacara pernikahan.
Pernikahan merupakan suatu hal yang sangat sakral di dalam tradisi budaya Aceh
karena hal ini berhubungan dengan nilai keagamaan. Pernikahan memiliki perayaan tersendiri
yang sangat dihormati oleh masyarakat. Tahap upacara pernikahan di Aceh dimulai dari tahap
pemilihan jodoh, pertunangan hingga upacara pernikahan.
Adat pernikahan Aceh merupakah salah satu prosesi pernikahan yang ada di Indonesia.
Di Adat Pernikahan Aceh, proses melamar seorang gadis akan dilakukan oleh seorang yang
dianggap bijak oleh pihak keluarga lelaki, biasanya disebut seulangke (perantara). seulangke
akan menyelidiki status gadis tersebut, jika memang masih sendiri (belum menikah),
seulangke akan mencoba untuk melamar gadis tersebut.
Pada acara lamaran adat pernikahan aceh yang telah ditentukan harinya, biasanya dari
pihak lelaki akan datang bersama dengan orang yang dituakan ke rumah gadis dengan
membawa berbagai macam syarat seperti pineung reuk, gambe, gapu, cengkih, pisang raha,
dan pakaian adat aceh. Setelah proses lamaran selesai, selanjutnya pihak wanita akan meminta
waktu untuk membicarakan hal lamaran ini kepada anak gadisnya. Apakah akan diterima atau
tidak lamaran pihak lelaki akan tergantung dari musyawarah keluarga pihak wanita.
Selanjutnya bila lamaran dari pihak lelaki di terima, maka akan ada beberapa prosesi yang
harus dilakukan sebelum menuju acara pernikahan.

1
BAB II

PEMBAHASAN

Di dalam agama Islam, pernikahan dapat diartikan bahwa suatu perjanjian suci yang
dilakukan oleh laki-laki dan perempuan yang ingin melanjutkan hubungan menjadi hubungan
yang halal. Mereka akan mengikat janji untuk menyatakan bahwa sudah siap untuk
membangun rumah tangga. Hal ini senada dengan yang diungkapkan oleh seorang ulama,
Abdurrahman Al-Jaziri yang menyatakan bahwa perkawinan adalah sebuah perjanjian suci
yang dilakukan antara laki-laki dan seorang perempuan dengan tujuan untuk membentuk
keluarga bahagia. Allah SWT berfirman dalam surah An – Nisa ayat 3 yang Artinya: “ Dan
jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim
(bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi:
dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka
(kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah
lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”
Dalam masyarakat Aceh upacara perkawinan di lakukan secara adat. Ada acara yang
perkawinan di lakukan dengan upacara adat yang lengkap dan ada yang hanya sebagian saja,
menurut kemampuan financial masing-masing.
Adat perkawinan dalam masyarakat Aceh terdiri dari beberapa tahap, yaitu tahap
sebelum, selama dan sesudah upacara perkawinan. Adat sebelum acara perkawinan, adalah
pertunangan. Dalam acara pertunangan itu sendiri terdapat kegiatan: Cah Rhot, Meulake, atau
Peukong Haba. Adat selama upacara perkawinan biasanya adalah: Meugatib (menikah) dan
Intat Linto (mengantar pengantin laki-laki ke tempat kediaman pengantin perempuan).
Sedangkan yang termasuk dalam adat sesudah perkawinan adalah: Tueng Dara Baro
(menjemput pengantin perempuan) dan Jak Meuturi (berkunjung untuk berkenalan dengan
sanak famili).
Jadi yang dimaksud dengan upacara adat perkawinan disini mencakup ketiga tahap itu,
yang puncaknya adalah atau hari “HA” nya adalah pada upacara menikah (gatib) dan
mengantar pengantin laki-laki (intat linto) ke rumah dara baro, yang biasanya dengan
mengadakan khanduri atau pesta perkawinan.
Berikut ini akan dikemukakan beberapa adat kebiasaan tersebut yang pada umumnya
merujuk kepada adat perkawinan yang terdapat di daerah-daerah pesisir Aceh:

A. Adat Cah Rhot (Merintis Jalan)


Pada masa lampau, seorang pemuda yang sudah ingin berumah tangga atau kawin tidak
secara langsung mengatakannya kepada orangtuanya, tetapi biasanya dengan tanda-tanda
yang dibuatnya. Di daerah Aceh Utara misalnya melakukan tek-tek aneuk reunyen (memukul-
mukul anak tangga rumah dengan parang) untuk memberi isyarat kepada orangtuanya tentang
keinginanya itu. Ini disebabkan karena biasanya yang mencari jodoh itu ialah orang tua,

2
malah siapa yang menjadi jodohnya seringkali tidak diketahui atau tidak pernah berjumpa
sampai dengan waktu akan dilangsungkan perkawinan. Namun itu tidak berarti bahwa pada
masa lampau, seorang pemuda tidak boleh mencari sendiri calon istrinya. Pada masa lampau,
tidak ada pergaulan muda-mudi dimana, mereka saling mencari jodoh masing-masing seperti
yang sudah lazim terjadi pada zaman sekarang.
Dalam masyarakat Aceh, yang mencari calon istri adalah pihak si pemuda, dan bila
pihak si perempuan yang mencari calon suami untuk anaknya, hal ini menjadi suatu aib.
Ungkapan narit maja yang berbunyi: “ Kon Mon Mita Tima” artinya bukan sumur mencari
timba (bukan perempuan mencari laki-laki), tetapi “Tima Mita Mon” artinya timba mencari
sumur (pihak laki-laki yang mencari calon isteri).
Manakala sudah ada kepastian tentang siapa orangnya yang akan dijadikan menantu,
maka pihak orangtua laki-laki mulai mencoba berhubungan dengan pihak orangtua anak gadis
tersebut. Biasanya dimulai dengan cara sering mengunjungi, sering menegur bila ketemu di
jalan atau menunjukan sikap tertentu seperti memuji dan sebagainya. Hal demikian sengaja
diciptakan agar pihak sigadis mengetahui bahwa orang tersebut ada sesuatu yang
diingikannya. Selanjutnya jika kedua pihak telah saling mengetahui, mulailah suatu
pembicaraan yang lebih terbuka dan mulailah diadakan persiapan untuk mengadakan
hubungan dengan pihak keluarga gadis tersebut. Hal itu disebut Cah Rhot (merintis jalan),
yaitu untuk menjajaki kemungkinan dijodohkan anaknya dengan gadis itu dan sekaligus untuk
mengetahui ihwal tentang gadis dan keluarganya.
Tugas melakukan Cah Rhot itu biasanya diserahkan kepada seseorang yang disebut
Seulangke (perantara) akan tetapi ada juga untuk tugas ini belum diserahkan
kepada Seulangke melainkan dengan memperoleh keterangan dari orang-orang yang dekat
dengan keluarga sigadis itu. Tugas Seulangke pada langkah selanjutnya adalah. Apabila
ternyata si gadis masih bebas (belum ada orang lain yang mengikatnya) dan selanjutnya
ternyata ada tanda-tanda bahwa maksud pihak keluarga si pemuda dapat diterima oleh pihak
si gadis, maka dikirimlah utusan, yaitu Seulangke tadi untuk menyampaikan maksud dan
tujuan daripada orangtua si pemuda, dan sekaligus hal-hal yang menyangkut pertunangan,
hari peresmian, dan mengenai mahar (jeunamee) serta menyampaikan pesan atau syarat-syarat
yang diajukan oleh masing-masing pihak.
Dalam masyarakat Aceh, pihak orangtua dalam memilih calon jodoh untuk anaknya
sering kali diperhatikan calon yang ideal yaitu sekurang-kurangnya perlu memenuhi lima
syarat, yaitu:
 Pertama, adalah anak yang baik perangai, watak dan perilakunya.
 Kedua, anak yang suka beribadat dan berpengetahuan luas, terutama tentang agama.
 Ketiga, anak itu memiliki sedikit kecantikan.
 Keempat, anak itu dari keturunan orang baik-baik, dan
 Kelima, (sebagai kesempurnaan) dilihat pula status sosial ekonomi orangtua anak gadis itu.

B. Adat Jak Meulakee atau Peukong Haba


Tahap berikutnya yang akan dilakukan oleh pihak orangtua si pemuda adalah
mengadakan peminangan pada pihak si gadis yang disebut Jak Meulakee (pergi meminang)
atau Peukong Haba (memperkuat pembicaraan sebelumnya). Acara meminang dilakukan

3
oleh seulangkee bersama dengana kepala kampung dan orang-orang tua atau pemuka
masyarakat kampung. Biasanya (dibeberapa daerah) pada acara meminang itu turut serta pula
datang kerumah si gadis beberapa perempuan dari keluarga si pemuda (di daerah Aceh Besar
biasanya hanya laki-laki saja), dan orangtua si pemuda biasanya tidak ikut serta. Pada
kesempatan itu dibawa sirih yang disusun dengan rapi dalam tempatnya yang disebut Batee
Ranub (tempat sirih). Selain itu dibawa pula oleh-oleh berupa kain baju, selendang dan kain
sarung serta kue-kue adat (peunajoh). Yang penting pada acara peminangan adalah membawa
tanda pengikat (tanda kong haba), dan karena itu acara peminangan disebut juga acara intat
tanda (membawa tanda).
Biasanya yang menjadi tanda adalah berbentuk sebuah cincin emas seberat satu atau
dua mayam (1 mayam = 3,33 gram). Mengenai tanda itu terdapat perjanjian-perjanjian
sekiranya pertunangan itu pada suatu ketika putus di tengah jalan. Dalam hal ini berbeda
antara adat di satu daerah dengan daerah lainnya. Biasanya, apabila pihak si gadis yang
membatalkan pertunangan itu, maka tanda tersebut harus dikembalikan dua kali lipat dari
tanda yang diterimanya. Tetapi kalau pihak si pemuda yang membatalkannya maka tanda
tersebut di pandang sudah hilang. Dan seandainya lagi bila salah satu pihak meninggal dunia,
maka hal tersebut biasanya dirundingkan kembali.
Pada upacara peminangan ditentukan juga beberapa kesepakatan lain, seperti: besarnya
mas kawin, hari diadakannya pernikahan, intat linto dan hal-hal lain yang berkaitan dengan
tindak lanjut dari acara peminangan itu. Biasanya juga diingatkan akan adat yang berlaku
sehubungan dengan hubungan antara kedua orang yang sudah bertunangan, misalnya
melarang membawa calon isterinya berjalan-jalan karena hal itu dapat menimbukan fitnah.

C. Meukeurija (Persiapan Pesta Perkawinan)


Telah menjadi adat yang terpelihara didaerah Aceh, bahwa tiap-tiap peristiwa besar,
bahwa tiap-tiap peristiwa besar yang mengenai salah seorang penduduk, termasuk upacara
perkawinan diselenggarakan secara gotong royong oleh penduduk dibawah pimpinan kepala
kampung. Seminggu sebelum pesta perkawinan dimulai, pihak keluarga mengundang kepala
kampung dan pemuka-pemuka masyarakat dalam kampung untuk menyatakan maksud
hendak melangsungkan pesta perkawinan anaknya. Semua kegiatan pesta diserahkan kepada
kepala kampung atau di Aceh dinamakan Keuchik. Kepada keluarga yang bersangkutan
ditanyakan berapa banyak tamu yang akan diundang dan berapa jumlah kaum kerabat sendiri
ditambah dengan jiran dan penduduk kampung. Jumlah undangan seluruhnya akan
menentukan berapa besar khanduri yang akan diadakan, seperti berapa ekor sapi yang akan
disembelih, berapa banyak beras serta lauk-pauk yang diperlukan untuk itu dan sebagainya.
Kepala kampung membentuk panitia yang diperlukan dengan tugasnya masing-masing.
Setelah semuannya diatur, maka pada waktu yang telah ditentukan diadakan gotong-royong
untuk mendirikan teratak, membuat dapur, tempat pencuci piring, membuat pintu gerbang dan
lain-lain. Sedangkan kaum perempuan dipimpin oleh isteri kepala kampung yang juga
membentuk kelompok-kelompok yang dianggap perlu, seperti untuk urusan penerimaan tamu,
untuk menghias kamar pengantin, juru hidang dan sebagainya.

4
Untuk pesta perkawinan yang besar biasanya di potong satu atau dua ekor sapi sehari
sebelum hari “HA” nya. Daging sapi itu kemudian dipotong kecil-kecil, sebagian
diperuntukan kepada kaum ibu untuk membuat beberapa jenis masakan adat, selebihnya
dimasak dengan campuran buah nangka atau buah pisang dalam belanga-belanga besar yang
sering disebut masakan “Kuah Beulangong”.

D. Meugatib (Pernikahan atau Ijab Qabul)


Upacara adat meugatib (acara pernikahan atau ijab qabul) merupakan acara wajib
dalam rangkaian acara suatu perkawinan, karena hal itu merupakan hukum perkawinan secara
islam. Kalau tidak dilaksanakan acara pernikahan berarti belum berlangsung acara
perkawinan, sebab acara tersebutlah yang meresmikan kedua orang secara sah menjadi suami
isteri.
Meugatib biasanya diadakan dirumah pengantin perempuan, kadang-kadang ada juga
di Meunasah atau Mesjid. Pada zaman sekarang ada juga yang di “KUA” (Kantor Urusan
Agama). Dalam upacara tersebut dibacakan perjanjian atau akad nikah antara seorang laki-
laki dengan perempuan yang akan menjadi isterinya. Perjanjian tersebut tidak langsung
diucapkan dihadapan calon isteri, tetapi dihadapan orang tua atau wali si calon isteri yang
disaksikan oleh petugas urusan agama yang mencatatkannya dalam buku nikah. Yang
menikahkan biasanya langsung oleh ayah si perempuan atau oleh walinya. Oleh karena sifat
dari ucapan akad nikah itu sangat penting, maka apabila tidak tepat atau tidak benar
diucapkan (misalnya karena gugup menjadi lupa atau tersendat-sendat mengucapkannya), si
calon linto harus mengulanginya lagi sampai dapat dilakukan dengan lancar dan benar.
Setelah selesai akad nikah, biasanya diucapkan syarat taklik, yaitu semacam perjanjian dengan
isteri yang telah dinikahinya sehubungan dengan pemberian nafkah dan jatuhnya talak atau
cerai. Semua syarat tersebut, sekarang ini telah dicantumkan dalam buku nikah. Setelah
diadakan upacara akad nikah yang diakhiri dengan pembacaan do’a, oleh ustad atau tengku
yang hadir dalam acara tersebut.

E. Intat Linto (Mengantar Mempelai Pria)


Intat Linto (upacara mengantar pengantin pria ke rumah pengantin wanita), antara
keduanya ada yang berjarak waktu beberapa hari dan ada juga yang berlangsung pada hari
bersamaan, malah ada juga yang berselang waktu sampai lebih satu tahun yang disebut
dengan nikah gantung, yang artinya si suami belum boleh pulang kerumah isterinya sekalipun
mereka secara resmi telah menikah. Sekarang ini nikah gantung sudah tidak dilakukan lagi.
Upacara intat linto biasanya dilakukan setelah pernikahan atau akad nikah berlangsung,
dan sering pula bersamaan waktunya. Artinya pada hari intat linto, upacara pernikahan
dilakukan setelah calon linto tiba di rumah dara baro yang sekaligus dirayakan dengan pesta
perkawinan atau khanduri dengan dihadiri para tamu undangan. Namun, pada masa lampau,
para tamu undangan yang datang pada acara khanduri perkawinan itu makan bersama setelah
dihidangkan oleh pihak tuan rumah, dimana mereka makan di depan hidangan tersebut, tetapi
sekarang sudah banyak dilakukan dengan sistim mengambil sendiri makanan yang telah

5
disediakan, dan mereka dapat duduk di kursi-kursi yang telah disediakan. Biasanya acara intat
linto diadakan pada malam hari.
Linto baro diantarkan ke rumah dara baro oleh sejumlah orang yang disebut
rombongan linto atau rombongan besan dengan membawa barang-barang pembawaan linto.
Linto baro diibarat “raja sehari”, dipakaikan pakaian adat Aceh yang lengkap. Setelah itu
linto duduk bersanding di pelaminan bersama dara baroe, dan selanjutnya dilakukan adat
peusijuek yang dilakukan oleh beberpa orang tua, kerabat, sanak family atau tokoh-tokoh
terkemuka di kampung tersebut (jumlah orang yang melakukan peusijuk harus ganjil),
dimulai oleh family pihak dara baro dan pihak linto. Sewaktu acara peusijuk dilaksanakan
juga adat teumetuek, yaitu bersalaman dengan kedua pengantin seraya menggegamkan
(geupeureugam) sejumlah uang, oleh setiap orang yang melaksanakan peusijuek.
Setelah adat peusijuk linto dan dara baro, Selanjutnya diadakan jamuan makan kepada
rombongan besan dara baro (family dari pihak linto), biasanya makanan yang disediakan lebih
istimewa dalam hal lauk-pauknya dibandingkan dengan tamu-tamu yang lain. Setelah selesai
acara makan, maka para tamu pihak linto minta izin kembali pulang. Kepada linto baro
diperkenankan tinggal bermalam di rumah isterinya.

F. Tueng Dara Baroe (Menjemput Mempelai Wanita)


Acara tueng dara baro dilakukan segera atau beberapa hari setelah acara intat linto.
Pihak linto merasa malu apabila belum menerima kunjungan keluarga dara baro dan demikian
pula sebaliknya, keluraga dara baro merasa ada sesuatu yang belum selesai apabila belum
berkunjung secara adat ke rumah keluarga linto. Pada acara tueng dara baro diadakan juga
khanduri, tetapi biasanya tidak sebesar atau semeriah ketika khanduri intat linto. Dara baro
biasanya hanya diantar oleh kaum wanita saja dengan membawa kue-kue adat Aceh ke rumah
mertuanya. Pada waktu itu ia dikunjungi oleh family dari pihak suaminya sambil membawa
hadiah.

G. Jak Meuturi (Berkenalan)


Jak meuturi (berkenalan) merupakan adat berkunjung yang dilakukan oleh kedua
pasangan pengantin ke rumah family, kedua belah pihak untuk tujuan berkenalan. Dipandang
tidak beradat apabila kedua pengantin tidak berkunjung kepada sanak saudaranya, dan
biasanya kunjungan itu dilakukan segera setelah acara tueng dara baroe. Ketika kedua
pengantin itu berkunjung kepada family, mereka membawa sesuatu berupa kue-kue adat, dan
ketika mereka kembali juga mendapat pemberian, biasanya berupa uang dan barang berharga
lainnya. Kunjungan kepada family biasanya tidak bermalam, tetapi mereka diberi makan oleh
semua family yang dikunjungi itu. Kunjungan jak meuturi itu dipandang penting untuk
mempererat tali persaudaraan.

6
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari uraian makalah diatas, maka kita bisa simpulkan. Dalam adat Aceh,
pernikahan merupakan hal yang sangat penting dan sakral. Adat dan Agama dalam kehidupan
masyarakat Aceh tidak bisa di pisahkan seperti hadit maja yang berbunyi “adat ngoen agama
lage zat ngoen sifeut”, Adat dan Agama seperti zat dengan sifat atau ruh dan jasad, Begitulah
perumpaan orang Aceh. Ada beberapa tahapan yang harus dilalui mempelai untuk
meresmikan sebuah pernikahan, yaitu Adat Cah Rhot, Adat Jak Meulakee, Adat Meukerija,
Meugatib, Intat Linto, Tueng Dara Baroe dan Jak Meuturi. Dan semua tahapan tersebut
mempunyai makna tersendiri dan diselaraskan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam
Islam .

Anda mungkin juga menyukai