Anda di halaman 1dari 11

Orang Jawa yang dimaksud di sini adalah semua orang yang berbudaya Jawa, yang berasal dari dan

bertempat kediaman di daerah povinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur dengan pusat budayanya di Yogyakarta dan Surakarta yang menurut istilah M.M. Djojodigoeno disebut daerah kejawen. Jadi semua orang di Jawa itu berbudaya satu. Mereka berpikiran dan berperasaan seperti moyang mereka di Jawa Tengah dengan kota-kota Yogya dan Sala sebagai pusat kebudayaan. Dasar kehidupan orang Jawa ialah pada somah (se-omah, serumah)yang merupakan keluarga batih terdiri dari ayah, ibu, dan anak-anak yang serumah tangga, termasuk anak tiri, anak pungut, pembantu dan orang numpang yang menetap. Dalam suatu tempat kediaman (dukuh) yang somah-somahnya masih mampak sejauh daun kelapa memandang (seayubing blarak), merupakan kesatuan masyarakat ketetanggaan (tetangga tepara) yang pergaulannya seharihari akrab berdasarkan atas rasa kekeluargaan. Dalam hidup bertetangga antara somah yang satu dan somah yang lain walaupun tidak ada pertalian darah atau pertalian perkawinan, namun tak ubahnya seperti anggota kerabat sendiri.oleh karenanya walaupun masyarakat Jawa dikatakan bersifat parentalatau blateral namun lebih kuat hubungan teritorialnya dari hubungan parentalnya. Dalam urusan kekeluargaan somahselain kakek nenek (mbah), ayah (bapak), ibu (bu), atau paman (pak lik) atau bibi (bu lik), kakak pria (mas), atau kakak wanita (mbakyu) dari pertalian darah atau karena pertalian perkawinan dapat pula digunakan anggota keluarga akuan yang juga dipanggil sebagai paman (lilik) atau bu-lik, mas atau mbakyu, yang dirasakan akrab, untuk mewakili urusan keluarga keluar somah, misalnya untuk diajak melaksanakan acara pelamaran untuk suatu perkawinan, walaupun hanya karena hubungan ketetanggaan saja. Orang Jawa tidak mengenal tata-tertib adat pergaulan bujang gadis untuk berkasih cintaseperti orang Batak atau orang Lampung. Pertemuan bujang gadis dapat terjadi pada kesempatan-kesempatan terluang, ketika diadakan acara selamatan keluarga, acara ziarah ke kuburan, makam leluhur (sadranan), acara kesenian (wayang), acara kematian dan sebagainya. Dalam pergaulan bujang gadis itu bukan tidak terjadi hal-hal yang memalukan dikarenakan gadis sudah hamil terlebih dahulu sebelum perkawinan dilaksanakan. Jika hal itu terjadi terpaksa orang tua segera melaksanakan perkawinan anaknya secara darurat (nikah tambelan), baik dengan pemuda yang berbuat atau dengan orang lain agar anak yang lahir mempunyai ayah. Dalam keadaan yang biasa jika seorang pemuda berminat untuk kawin, maka ia membicarakan oada orang tuanya, begitu pula sebaliknya jika orang tua sudah berminat mengawinkan anaknya maka dibicarakannya dengan anaknya. Orang tua menurut adat lama akan merasa senang bila putranya atau putrinya dapat kawin dengan pria atau wanita yang masih ada hubungan sanak (misanan) atau masih satu kakek nenek yang menurunkan mereka (nakdulur) atau masih satu canggah (mindoan). Tetapi anak muda sekarang, apalagi yang sudah banyak bergaul, tidak suka lagi kawin dengan anggota yang masih ada hubungan kerabat atau yang sekampung, mereka lebih suka kawin dengan pria atau wanita pilihan

mereka sendiri, dan jika telah mendapatkan bakal pasangannya mereka meminta kepada orang tuanya agar mengajukan lamaran. Orang tua tidak begitu saja akan menerima pilihan anaknya, ia harus melihat bagaimana bibit, bebet, dan bobot bakal pasangannya itu. Apakah pria tau wanita itu keturunan baik-baik, apakah orang tuanya tidak berprilaku buruk, bagaimana pula prilaku dan agama bujang atau gadis yang dimaksud, apakah dapat diandalkan menjadi bapak atau ibu rumah tangga, dan bagaimana pula kedudukan sosial ekonomi orang tua atau bakal besannya. Apakah mereka tidak berbeda agama, yang akan menyulitkan perkawinan dan kehidupan rumah tangga di kemudian hari. Untuk mengetahui hal-hal tersebut adakalanya orang tua meminta bantuan seorang penghubung (dandan) yang akan berperan menghubungi pihak gadis dan meneliti keadaankehidupan mereka, demikian sebaliknya dari pihak gadis. Di pedesaan masih juga sering terjadi di kalangan masyarakat kejawen atau Islam abangan perkawinan di antara anggota keluarga terdekat asal saja bukan saudara sekandung, misalnya anak kawin dengan saudara perempuan ayah atau saudara perempuan ibu. Sesungguhnya tidak ada pantangan terhadap perkawinan serupa itu. Menurut adat Jawa jika orang tua akan menjodohkan anaknya, maka acaranya sederhana saja, ialah dimulai dari penjajakan, kemudian nontoni, ngelamar, sasrahan, paningset dan pelaksanaan upacara perkawinan 1. Penjajakan Dilakukan oleh pihak pria dengan menyuruh anggota kerabat atau tetangga dekat untuk berkunjung pada orang tua wanita. Dalam kunjunga itu suruhan itu akan bertanya-tanya tentang apakah si gadis sudah bersedia untuk momong anak. Jika dijawab belum karena masih sekolah, atau sudah ada yang meminang, maka penjajakan tidak perlu dilanjutkan. Tetapi jika dijawab sudah pandai momong anak tetapi belum ada yang mau, maka artinya bersedia untuk dilamar, atau dijawab sebenarnya sudah bisa, tetapi ia harus nglangkahi gunung artinya masih ada kakaknya yang belum kawin. 2. Nontoni Nontoni adalah upacara untuk melihat calon pasangan yang akan dikawininya. Dimasa lalu orang yang akan nikah belum tentu kenal terhadap orang yang akan dinikahinya, bahkan terkadang belum pernah melihatnya, meskipun ada kemungkinan juga mereka sudah tahu dan mengenal atau pernah melihatnya. Agar ada gambaran siapa jodohnya nanti maka diadakan tata cara nontoni. Biasanya tata cara ini diprakarsai pihak pria. Setelah orang tua si perjaka yang akan diperjodohkan telah mengirimkan penyelidikannya tentang keadaan si gadis yang akan diambil menantu. Penyelidikan itu dinamakan dom sumuruping banyu atau penyelidikan secara rahasia. Setelah hasil nontoni ini memuaskan, dan siperjaka sanggup menerima pilihan orang tuanya, maka diadakan musyawarah diantara orang tua / pinisepuh si perjaka untuk menentukan tata cara lamaran.

3. Lamaran Melamar artinya meminang, karena pada zaman dulu diantara pria dan wanita yang akan menikah terkadang masih belum saling mengenal, jadi hal ini orang tualah yang mencarikan jodoh dengan cara menanyakan kepada seseorang apakah puterinya sudah atau belum mempunyai calon suami. Dari sini bisa dirembug hari baik untuk menerima lamaran atas persetujuan bersama. Upacara lamaran: Pada hari yang telah ditetapkan, datanglah utusan dari calon besan yaitu orang tua calon pengantin pria dengan membawa oleh-oleh. Pada zaman dulu yang lazim disebut Jodang ( tempat makanan dan lain sebagainya ) yang dipikul oleh empat orang pria. Makanan tersebut biasanya terbuat dari beras ketan antara lain : Jadah, wajik, rengginan dan sebagainya. Menurut naluri makanan tersebut mengandung makna sebagaimana sifat dari bahan baku ketan yang banyak glutennya sehingga lengket dan diharapkan kelak kedua pengantin dan antar besan tetap lengket (pliket,Jawa). Setelah lamaran diterima kemudian kedua belah pihak merundingkan hari baik untuk melaksanakan upacara peningsetan. Banyak keluarga Jawa masih melestarikan sistem pemilihan hari pasaran pancawara dalam menentukan hari baik untuk upacara peningsetan dan hari ijab pernikahan. Lamarang ini bisa langsung dikaitkan dengan: Sasrahan/Asok Tukon Penyerahan sejumlah benda sebagai tanda bantuan dari pihak keluarga pria untuk persiapan acara perkawinan. Tanda penyerahan harta kekayaan dari pihak pria kepada pihak wanita, berupa uang, bahan pangan, perkakas rumah tangga, ternak (sapi, kuda, kerbau) yang diserahkan seminggu sebelum upacara pertemuan kedua pengantin. Proses ini disebut juga srakah atau sasrahan yang merupakan mas kawin. Paningset Kata peningsetan adalah dari kata dasar singset (Jawa) yang berarti ikat, peningsetan jadi berarti pengikat. Peningsetan adalah suatu upacara penyerahan sesuatu sebagai pengikat dari orang tua pihak pengantin pria kepada pihak calon pengantin putri. Menurut tradisi peningset terdiri dari : Kain batik, bahan kebaya, semekan, perhiasan emas, uang yang lazim disebut tukon ( imbalan) disesuaikan kemampuan ekonominya, jodang yang berisi: jadah, wajik, rengginan, gula, teh, pisang raja satu tangkep, lauk pauk dan satu jenjang kelapa yang dipikul tersendiri, satu jodoh ayam hidup. Untuk menyambut kedatangan ini diiringi dengan gending Nala Ganjur . Biasanya penentuan hari baik pernikahan ditentukan bersama antara kedua pihak setelah upacara peningsetan.

4. Upacara Tarub Tarub adalah hiasan janur kuning ( daun kelapa yang masih muda ) yang dipasang tepi tratag yang terbuat dari bleketepe ( anyaman daun kelapa yang hijau ). Pemasangan tarub biasanya dipasang saat bersamaan dengan memandikan calon pengantin ( siraman, Jawa ) yaitu satu hari sebelum pernikahan itu dilaksanakan. Untuk perlengkapan tarub selain janur kuning masih ada lagi antara lain yang disebut dengan tuwuhan.

Tuwuhan dan gegodongan ini dipasang di kiri pintu gerbang satu unit dan dikanan pintu gerbang satu unit ( bila selesai pisang dan kelapa bisa diperebutkan pada anak-anak ) Selain pemasangan tarub diatas masih delengkapi dengan perlengkapan-perlengkapan sbb. (Ini merupakan petuah dan nasehat yang adi luhung, harapan serta do'a kepada Tuhan Yang Maha Kuasa ). Masih ada lagi petuah-petuah dan nasehat-nasehat yang dilambangkan melalui : Tumpeng kecil-kecil merah, putih,kuning, hitam, hijau, yang dilengkapi dengan buah-buahan, bunga telon, gocok mentah dan uang logam yang diwadahi diatas 5. Nyantri Upacara nyantri adalah menitipkan calon pengantin pria kepada keluarga pengantin putri 1 sampai 2 hari sebelum pernikahan. Calon pengantin pria ini akan ditempat kan dirumsh saudara atau tetangga dekat. Upacara nyantri ini dimaksudkan untuk melancarkan jalannya upacara pernikahan, sehingga saat-saat upacara pernikahan dilangsungkan maka calon pengantin pria sudah siap ditempat sehingga tidak merepotkan pihak keluarga pengantin putri. 6. Upacara Siraman Siraman dari kata dasar siram ( Jawa ) yang berarti mandi. Yang dimaksud dengan siraman adalah memandikan calon pengantin yang mengandung arti membershkan diri agar menjadi suci dan murni. Untuk menjaga kesehatan calon pengantin supaya tidak kedinginan maka ditetapkan tujuh orang yang memandikan, tujuh sama dengan pitu ( Jawa ) yang berarti pitulung (Jawa) yang berarti pertolongan. Upacara siraman ini diakhiri oleh juru rias ( pemaes ) dengan memecah kendi dari tanah liat. 7. Midodareni Midodareni berasal dari kata dasar widodari ( Jawa ) yang berarti bidadari yaitu putri dari sorga yang sangat cantik dan sangat harum baunya. Midodareni biasanya dilaksanakan antara jam 18.00 sampai dengan jam 24.00 ini disebut juga sebagai malam midodareni, calon penganten tidak boleh tidur. 8. Upacara Langkahan Langkahan berasal dari kata dasar langkah (Jawa) yang berarti lompat, upacara langkahan disini dimaksudkan apabila pengantin menikah mendahului kakaknya yang belum nikah , maka sebelum akad nikah dimulai maka calon pengantin diwajibkan minta izin kepada kakak yang dilangkahi. 9. Upacara Ijab Ijab atau ijab kabul adalah pengesahan pernihakan sesuai agama pasangan pengantin. Secara tradisi dalam upacara ini keluarga pengantin perempuan menyerahkan / menikahkan anaknya kepada pengantin pria, dan keluarga pengantin pria menerima pengantin wanita dan disertai

dengan penyerahan emas kawin bagi pengantin perempuan. Upacara ijab qobul biasanya dipimpin oleh petugas dari kantor urusan agama sehingga syarat dan rukunnya ijab qobul akan syah menurut syariat agama dan disaksikan oleh pejabat pemerintah atau petugas catatan sipil yang akan mencatat pernikahan mereka di catatan pemerintah. 10. Upacara Panggih Panggih ( Jawa ) berarti bertemu, setelah upacara akad nikah selesai baru upacara panggih bisa dilaksanaakan,. Pengantin pria kembali ketempat penantiannya, sedang pengantin putri kembali ke kamar pengantin. Setelah semuanya siap maka upacara panggih dapat segera dimulai. Untuk melengkapi upacara panggih tersebut sesuai dengan busana gaya Yogyakarta dengan iringan gending Jawa: 1. Gending Bindri untuk mengiringi kedatangan penantin pria 2. Gending Ladrang Pengantin untuk mengiringi upacara panggih mulai dari balangan ( saling melempar ) sirih, wijik ( pengantin putri mencuci kaki pengantin pria ), pecah telor oleh pemaes. 3. Gending Boyong/Gending Puspowarno untuk mengiringi tampa kaya (kacar-kucur), lambang penyerahan nafkah dahar walimah. Setelah dahar walimah selesai, gending itu bunyinya dilemahkan untuk mengiringi datangnya sang besan dan dilanjutkan upacara sungkeman Setelah upacara panggih selesai dapat diiringi dengan gending Sriwidodo atau gending Sriwilujeng. Pada waktu kirab diiringi gending : Gatibrongta, atau Gari padasih.

Perjodohan sudah ada sejak zaman Majapahit


March 24, 2011 by jogjapost in BUDAYA, CELEBRITY & LIFESTYLE, NASIONAL.

Pengamat politik Universitas Indonesia (UI) Boni Hargens sempat mendengar isu yang beredar soal perjodohan tersebut. Menurutnya, sangat lumrah jika terajut cinta di antara dua anak muda. Namun, isu perjodohan anak petinggi negeri ini juga dapat diplesetkan sebagai perjodohan politis. Setidaknya dapat memunculkan opini SBY butuh kekuatan keluarga tambahan untuk berkoalisi. Fenomena jodoh politis seperti ini, katanya, kerap terjadi di beberapa negara berkembang seperti Filipina dan beberapa negara di Afrika. Selain itu, pernikahan yang lebih terkesan sebagai political wedding ini bisa dipastikan akan berujung pada penguasaan jaringan ekonomi. Di Filipina fenomena seperti ini sudah terjadi. Dalam teori Hegelian, kondisi seperti ini akan menciptakan sistem bosisisme, di mana yang mengusai negara adalah beberapa orang-orang di lingkaran itu saja, ujarnya Lebih lanjut Boni menjelaskan, sebenarnya untuk contoh kasus Indonesia yang notabene memiliki suku yang heterogen, hal yang paling kuat membentuk ikatan kultural adalah dengan sentimen agama. Berbeda dengan bangsa yang cenderung homogen, kekuatan perkawinan justru lebih kuat dalam membangun ikatan kultural. Saya melihat Indonesia sedang mengalami pergesaran ke arah sana, dan efeknya bisa jadi akan muncul demokrasi monopolistik yang akan membentuk sebuah rezim dan hanya menghasilkan pemimpin dari sekelilingnya saja,katanya. Boni menambahkan, di masyarakat Jawa persoalan perkawinan tidak saja dianggap sebagai sebuah upacara sakral semata, lebih dari itu selalu tak lepas dari kekuasaan. Motif perkawinan untuk kekuasaan yang bermula dari strategi Ken Arok untuk berkuasa yang kemudian menjadi strategi ampuh yang ditiru oleh kerajaan-kerajaan di tanah Jawa selanjutnya. Selain cerita Ken Arok, perkawinan politik yang merupakan perwujudan terhadap kepentingan kekuasaan sebagai sesuatu yang sah dan formal dapat dilihat pada cerita Panji Semirang yang disusun pada masa pemerintahan Kameswara II di Kediri (1104-1222). Cerita Panji Semirang berbeda dengan Pararaton. Di sini lebih banyak bercerita tentang percintaan dan ujung-ujungnya terjadi perkawinan antara Inu Kertapati dan Candra Kirana yang membuat empat negara Kediri, Kahuripan, Gegelang, dan Singasari bersatu. Pernikahan politis seperti ini juga dilakukan pada masa Majapahit, di mana Kertarajasa menikahi putri Dara Petak dari negeri Campa untuk menanggulangi

invasi kerajaan China (Tartar). Pada masa Kerajaan Mataram (Islam) mulai dari raja pertamanya, Panembahan Senopati (Sutawijaya), hingga Sultan Agung, wanita, pernikahan, yang ternyata dapat menjadi mesin penakluk yang efektif. Panembahan Senapati menundukkan Mangir dengan mengumpankan putrinya untuk menjerat Ki Ageng Mangir. Demikian juga Madiun ditaklukkan dengan siasat simpatik, menikahi putri Panembahan Madiun. Pada masa cucu Panembahan Senapati, Sultan Agung menjadi penguasa, daerah pesisir utara dilumpuhkan dengan menaklukkan Surabaya (yang berkali-kali melakukan perlawanan) dengan menikahkan putrinya bernama Wandan Wangi dengan Pangeran Pekik.

SUMBER: Drs. Suwarna Pringgawidagda Mpd, Tata upacara dan wicara: pengantin gaya Yogyakarta, Kanisius, 2006 Prof. H. Hilman Hadikusuma, S.H. , Antropologi Hukum Indonesia, Jakarta, Alumni, 1986 Koentjaraningrat, Masyarakat desa di Indonesia masa ini , Jakarta, Universitas Indonesia Yayasan Badan Penerbit Fakultas Ekonomi, 1964 Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Jambatan, 1983

Anda mungkin juga menyukai