A. PANGANTAN (PERNIKAHAN)
Adat pernikahan merupakan suatu tata cara yang digunakan untuk menyatukan dua
insan yang ingin membina rumah tangga. Setiap daerah pasti memiliki adat tradisi tersendiri
untuk melaksanakan pernikahan tersebut, seperti halnya masyarakat Sumbawa. Masyarakat
Sumbawa masih mengikuti tradisi yang dipakai oleh para leluhurnya untuk melaksanakan
pernikahan. Dalam tradisi upacara pernikahan Sumbawa, sebelum dilaksanakannya adat
pernikahan, ada beberapa tingkatan adat yang harus dilaksanakan seperti, bajajak
(perkenalan), bakatoan (bertanya), saputis leng (mengambil keputusan), bada’ Pangantan dan
Tama kengkam, Nyorong (menyerahkan mahar), barodak (pupur pengantin), nikah, dan basai
(resepsi). Ketujuh tahapan tersebut merupakan serangkaian proses dan biasanya dalam
tahapan proses tersebut terdapat prosesi, benda-benda atau alat yang bersifat simbolis.
Simbol-simbol yang mendukungnya mempunyai makna-makna tersendiri.
1. Bajajak
Bajajak merupakan tahap awal yang penting dan sangat menentukan berhasil tidaknya
sebuah perkawinan. Seorang lelaki yang menaruh hati pada seorang gadis sebelum resmi
meminang memerlukan waktu khusus untuk mengadakan semacam observasi mengenai
gadis tersebut. Biasanya kerabat dekatnya (saudara perempuan atau bibi) diutus
bertandang ke rumah sang gadis untuk mengadakan pendekatan sedemikian rupa
sehingga segala data tentang gadis tersebut dapat diperoleh yang meliputi kepribadian,
keterampilan, dsb, sudah tentu yang terpenting adalah kesungguhan sang gadis untuk
berumah tangga. Biasanya data tersebut dipergunakan untuk lebih memantapkan
persiapan calon mempelai pria untuk segera meminang. Berdasarkan hasil pengamatan,
ternyata tidak terdapat hambatan, pemuda itu akan langsung mengutarakan keinginannya
kepada orang tuanya supaya meminang gadis yang dimaksud untuk dijadikan istri.
2. Bakatoan (Melamar)
Bakatoan bermakna melamar adalah sebuah permintaan atau pernyataan dari laki-laki kepada
pihak perempuan untuk mengawininya, baik dilakukan oleh laki-laki secara langsung maupun
dengan perantara pihak lain yang dipercayai sesuai dengan ketentuan agama. Intinya mengajak
untuk berumah tangga. Bagi masyarakat Sumbawa, biasanya utusan yang akan menyampaikan
maksud lamaran bukanlah orangtua laki-laki melainkan menunjuk salah satu keluarganya yang di
tua-kan (disepuhkan) untuk menyampaikan pesan dan amanat kepada orangtua atau keluarga si
perempuan untuk meminangnya. Orang tua si gadis biasanya tidak langsung menerima begitu
saja maksud tersebut akan tetapi terlebih dahulu akan dimintakan persetujuan dari si gadis
sendiri apakah dia mau menerima lamaran tersebut atau menolaknya. Bila lamaran ini diterima
oleh si gadis, orang tua si gadis akan meminta waktu kepada utusan dari pihak laki-laki tadi
untuk memberitahukan rencana ini kepada seluruh keluarga, dan setelah itu baru dapat
memberikan keputusan.
Utusan dari pihak laki-laki kembali kepada pihak keluarga pemuda untuk menyampaikan berita
yang didapatnya dari keluarga si gadis dan biasanya dengan kalimat “ Roa tapi tegal dunung
mudi regam” yang artinya mau juga untuk dijodohkan dan dinikahkan, tetapi jangan dulu
dipastikan karena dua atau tiga hari lagi orang tua dari pihak si gadis akan memberitahukan
terlebih dahulu perihal tersebut kepada seluruh keluarganya. Setelah semuanya diberitahu dan
bisa menyetujuinya, kemudian akan diutus salah seorang dari keluarga si gadis guna
menyampaikan kepastian kepada orang tua pemuda. Kegiatan ini disebut “antat ling putis”
(memberitahukan kepastian).
Dalam adat masyarakat Sumbawa, saat proses Bakatoan itu pihak laki – laki
datang ke rumah pihak perempuan dengan membawa SITO. SITO adalah
bungkusan segi empat yang diisi dengan kain kebaya, dan uang seikhlasnya,
kemudian bungkusan itu diletakan diatas piring dan dibungkus dengan kain putih.
Sito ini digunakan sebagai lambang diterima atau tidaknya lamaran tersebut.
Apabila Sito ini di terima maka lamaran diterima, tapi apabila Sito ini
dikembalikan maka Lamaran tersebut tidak diterima. Sito memiliki makna sebagai
bentuk rasa terima kasih keluarga calon pengantin laki-laki kepada keluarga calon pengantin
perempuan karena lamaran diterima.
3. Basaputes
Biasa juga disebut Saputis Ling.Kegiatan basaputis disebut juga “Rapulung Bale” yaitu
kegiatan musyawarah keluarga di rumah masing-masing untuk membicarakan
masalah yang berkaitan dengan berbagai keperluan agar acara perkawinan
terlaksana dengan baik. Biasanya dalam basaputis yang berbicara adalah ketua
rombongan yang telah ditunjuk oleh orang tua pihak keluarga laki-laki. Dalam
basaputis akan didapatkan antara lain:
kesepakatan untuk mengawinkan anak-anaknya (dari kedua belah pihak).
Menetukan waktu penyelenggaraan upacara nikah dan resepsi
Berapa besarnya biaya yang ditanggung oleh pihak laki-laki dalam
penyelenggaraan pesta upacara perkawinan tersebut.
Menentukan besarnya barang antaran yang harus disediakan oleh pihak laki-
laki
Menentukan besaran kegiatan
Menetapkan jumlah mahar (mas kawin) yang akan dibawa oleh pihak laki-laki
kepada pihak perempuan, jumlah uang antaran, daging, tempat tidur,
perhiasan, pakaian dan sebagainya.
Dalam acara basaputis tidak semua barang antaran dibawa ke rumah pihak perempuan
bisanya yang dimungkinkan untuk dibawa, seperti perhiasan, bahan pakaian pada saat
akad nikah, penyerahannya bersifat simbolis sebagai pelengkap upacara perkawinan
yang akan dilaksanakan oleh kedua belah pihak.
Setelah kegiatan basaputis, akan diadakan tokal adat dan tokal keluarga di rumah calon
mempelai laki-laki. Tokal adat maksudnya memberitahukan kepada sesepuh atau ketua
adat untuk menangani segala keperluan yang berkaitan dengan upacara perkawinan
yang akan dilaksanakan. Karena kemampuan mempelai laki-laki tidak memungkinkan
untuk menanggung semua persyaratan yang telah diajukan dalam basaputis maka perlu
diadakan tokal keluarga. Tokal keluarga maksudnya meminta bantuan dari sanak
keluarga segala perlengkapan atau persyaratan yang diajukan oleh keluarga pihak
perempuan yang telah disanggupi oleh pihak keluarga laki-laki. Kegiatan ini dilaksanakan
guna membicarakan segala keperluan yang belum dimiliki oleh pihak keluarga laki-laki.
Dalam adat perkawinan tradisional Sumbawa biasanya pihak keluarga laki-laki harus
menyediakan sebanyak 25 macam barang antaran kepada pihak keluarga perempuan.
Namun demikian belakangan berkembang bahwasannya semua persyaratan perkawinan
dalam adat Sumbawa telah bersifat fleksibel, artinya segala sesuatu dilakukan sesuai
dengan kemampuan yang ada. Kalau panjang talinya maka panjang pula kita ulur.
Pribahasa inilah yang memiliki makna segala sesuatu yang dilakukan disesuaikan dengan
kemampuan yang kita miliki. Hal ini penting untuk menghindari hal-hal yang tidak
diinginkan muncul dikemudian hari.
4. Bada’ Pangantan
Bada’ adalah pemberitahuan secara resmi kepada si gadis bahwa dia tidak lama lagi
akan menikah. Petugas untuk itu biasanya ditunjuk istri tokoh-tokoh masyarakat
yang disegani. Waktu yang dipilih pagi hari, dengan mengucapkan kata-kata sebagai
berikut :
“Mulai ano ta, man mo mu lis tama, apa ya tu sabale sapara kauke si A anak si B”.
Artinya “Mulai hari ini, janganlah engkau keluar kesana kemari (berkliaran), karena
engkau akan disatukan dengan si A anak si B”.
Prosesi ini biasanya diiringi dengan Baguntung dan Bagenang. Baguntung yaitu
memukul Rantok (alat menumbuk padi tradisonal Sumbawa) menjadi sebuah melodi
yang indah.
Setelah memberitahukan mengenai rencana pernikahan kepada calon pengantin wanita,
maka si calon Pengantin wanita lansung di “Tama Kengkam”, artinya calon pengantin
wanita Tidak lagi bebas keluar rumah misalnya pergi mandi ke sungai, menumbung
Padi bersama temannya, atau pergi ke sawah, sudah tidak lagi Diperbolehkan. Dia
hanya boleh beraktivitas di atas rumah saja. Jadi seluruh Kebutuhannya dia akan di
tangani oleh seorang perempuan parubaya yang di Sebut “ina pengantan” dari
makannya sampai dengan cuci baju. Dan calon Pengantin juga diajarkan cara
memasak, meyulam, menenun dan lain Sebagainya, hal tersebut bertujuan supaya di
dalam berumah tangga tidak lagi Mengalami kesulitan untuk kebutuhan keluarganya.
5. Nyorong
Nyorong artinya keluarga dan dengan ratusan orang bahkan lebih yang terdiri dari kelurga calon
menten pria, tetangga, sahabat, dan tamu undangan pria dan wanita dewasa berkumpul di
rumah calon pengantin laki-laki membawa uang dan semua kelengkapan pernikahan yang telah
di tentukan pada tahap “basaputes” untuk diserahkan kepada orang tua dan kelurga calon
pengantin perempuan. Selain barang-barang tersebut, disertakan juga sejumlah barang sebagai
pemberian atau hadiah kepada calon menantunya yang dikenal dengan sebutan “ Isi lemari” dan
“Isi Peti”. Isi lemari berupa pakaian wanita dari sandal hingga sanggul rambut calon pegantin
wanita. Sedangkan isi peti berupa sejumlah perhiasan emas0 seperti kalung gelang dsb. Semua
ini adalah pemberian si orang tua laki-laki tanpa diminta oleh si mempelai wanita.
Pada acara nyorong, pihak calon pengantin wanita akan menyambut para rombongan didepan
pintu gerbang yang telah dibuat khusus dan ditandai dengan pita. Gerbang ini dinamakan
dengan “LAWANG RERE”. Untuk membuka pintu gerbang tersebut maka pihak laki-laki harus
membuka dengan melantunkan bahasa puitis tau samawa (LAWAS). Penyampaian lawas ini akan
diiringi dengan musik tradisional sumbawa berupa ratib rabana ode.
Berikut LAWAS yang disampaikan :
Ka mu pesan kami datang
Lawang mu purat ke barit
Ya mu ano ke kami ta
Kemudian wakil dari pihak wanita akan menjawab :
Ma Lema sempu ma lema
Sapuan moe tu tari
Neja si lampa leng tutu
Setelah saling berbalas LAWAS, barulah pita dapat dipotong dan proses serah terima segala
perlengkapan barang2 pernikahan dapat dilakukan.
6. Barodak Rapancar
Barodak Rapancar adalah tradisi luluran dan mewarnai tangan. Kedua kata tersebut berasal Dari
bahasa asli Sumbawa. Kata Barodak diambil Dari kata ‘Odak’ yang berarti Lulur sedangkan
Rapancar berasal dari kata Pancar yang berarti memerahkah kuku tangan dengan daun pacar.
Prosesi Barodak Rapancar ini ada yang mengiringnya dengan GONG GENANG atau semacam
tabuhan musik tradisional, ada pula yang menggunakan RATIB RABANA ODE juga ada yang
melantunkan BARZANJI atau SARAKAL.
Sebagai pembuka acara “Barodak rapancar” kedua mempelai akan di mandikan terlebih dahulu
yang dinamakan “maning pangantan jeruk ai oram”. Maning pangantan ini adalah mandi suci
pertama kedua calon mempelai dengan tujuan untuk mensucikan jiwa dan raga sebelum
memasuki kehidupan yang baru. Kedua calon akan di andaikan dengan perasan air jeruk Sumba
dan dikeramas dengan air merang dan santan. Setelah proses maning pangantan berlanjut ke
acara inti yaitu proses barodak dan Rapancar. Kedua mempelai akan duduk diatas tikar yang
dinamakan “samparumpuk” yang telah dilapisi dengan 7 kain warna warni, dimana kain-kain ini
dipercaya dapat menangkap niat-niat jahat yang ditujukan kepada kedua calon pengantin.
Proses barodak Rapancar dimulai ketika Ina Odak menyalakan “Dila malam” lalu di putarkan
diatas kepala kedua calon mempelai sebanyak 9 kalo sambil membacakan doa dan shalawat
agar acara Barodak dan Rapancar mendapat keberkahan dan diridhai oleh Allah SWT. Dila (lilin)
ini tterbuat Dari batok kelapa tua yang dilubangi atasnya Dan ditancapkan dengan lilin,
kemudian Dihiasi dengan kertas dan kain agar terlihat Cantik. Penggunaan batik kelapa sebagai
dila (lilin) ini oleh masyarakat Sumbawa diambil Dari filosofi tanaman kelapa itu sendiri. Karena
pohon kelapa adalah tumbuhan yang Sangat banyak manfaatnya, seluruh bagian Dari pohon
kelapa hampir semuanya ada manfaatnya. Fungsi dari Memutarkan dila (lilin) di atas kepala
Pengantin ini adalah agar kedua calon Pengantin selalu dikelilingi dan diterangi Oleh Sang
Pencipta dan cahaya arwah-arwah Sesepuh adat terdahulu. Kemudian agar Kedua pengantin
senantiasa diberikan Kemudahan, jalan yang mulus dalam Menjalankan bahtera rumah tangga,
serta Senantiasa dilindungi dari keburukan. (Hj. Syamsiah Abubakar, 27 Desember 2018).
Setelah selesai mengelilingi “dila malam”, ina Odak kemudian akan menyuruh kedua calon
pengantin untuk “Kemok sisin”. Kemok sisin atau mengulum Sebuah emas di berikan oleh Ina
Odak kepada Kedua mempelai yang akan menjalankan Prosesi barodak. Diberikan menggunakan
Sendok makan dan biasanya ditambahkan Dengan sedikit gula pasir lalu diberikan Kepada calon
pengantin. Maksudnya agar supaya si Pengantin berhati emas dan memunculkan Aura yang
membuat calon mempelai tampak Berseri.
Setelah itu, Ina Odak kemudian mulai meluluri calon mempelai wanita, dimulai dari wajah hingga
leher, kemudian dilanjutkan ke kedua lengan calon mempelai. Begitu pula terhadap calon
mempelai pria. Selanjutnya, ina odak akan menempelkan gilingan daun pacar ke jari kedua calon
mempelai. Setelah Ina Odak selesai, barulah kemudian dilanjutkan oleh orang-orang yang telah
dipilih oleh Ina Odak untuk melakukan Barodak DAN Rapancar. Yang Melakukan prosesi barodak
ini biasanya ibu-Ibu yang sudah menikah dan berumur di atas 45 tahun. Terdapat alasan
mengapa yang Melaksanakan prosesi adat barodak ini harus Dipimpin oleh ibu-ibu yang sudah
menikah Dan berumur di atas 45 tahun. Orang-orang Sumbawa meyakini ibu-ibu yang sudah
Menikah dan berumur di atas 45 tahun Dianggap telah sukses dalam menjalankan Bahtera
rumah tangga. Ritual ini berakhir setelah ina odak memastikan odak atau bedak yang dilulur ke
wajah dan lengan calon kedua mempelai sudah cukup. Setelah para orang tua yang mengusap
lulur pada pengantin, giliran terakhir adalah ina’ odak. Sebelum mengusap lulur, ina odak akan
memercikkan air boreh yang dibuat dari kembang tiga rupa yakni, kamboja, melati dan bunga
eja. Setelah itu, dila (lampu) akan diputar melingkari kepala hingga wajah pengantin atau calon
pengantin. Setelah selesai, dila malam ditiupkan di depan wajah pengantin atau calon pengantin,
lalu asapnya diambil dan ditempelkan pada kepala pengantin atau calon pengantin.
Ritual ini diyakini dapat memutihkan kedua calon pengantin dari sifat iri dan dengki. Sedangkan
Rapancar menyimbulkan makna yang dalam, bahwa tiap pasangan pengantin hendaklah
memiliki semangat berkorban dengan jiwa dan raga demi kehidupan yang mulia. Ritual ini
dilakukan agar kedua calon mempelai mampu mengarungi bahtera hidup membina rumah
tangga yang sakinah mawaddah warahmah dengan berlandaskan pada keihlasan.
Bahan odak ternyata memiliki filosofi tertentu yang menarik untuk disimak. Bahan dasar lulur
adalah daun sirih yang disebut eta. Bukan sembarang sirih, tapi sirih yang urat-uratnya bertemu
pada satu titik. Jadi salah satu urat sirih bagian kiri sebagai simbol perempuan akan bertemu
dengan urat bagian kanan sebagai simbol laki-laki. Dua titik tersebut akan bertemu pula dengan
urat daun sirih yang membelah sirih tersebut menjadi dua sebagai simbol masyarakat sosial.
Filosofinya adalah ketiga garis dari urat daun sirih tersebut akan saling bertemu dan membentuk
satu titik. Artinya bahwa pernikahan tersebut diterima oleh kedua pihak dan juga masyarakat di
mana tempat mereka akan menjalankan kehidupan berumahtangganya. Harapannya kehidupan
mereka akan bahagia, damai dan sejahtera.
Ada pula buah pinang, yang merupakan simbol hati yang jika dibelah rupanya akan Persis sama.
Ini mengandung makna yang menggambarkan pertautan hati kedua Mempelai yang utuh dan
sama.
Ada juga bagik atau asam yang berwarna hitam pekat. Asam jawa ini banyak digunakan
masyarakat Sumbawa untuk membersihkan kotoran sebagai bahan lulur. Harapannya, agar
perempuan yang akan menjadi istri ini nantinya, memiliki hati yang bersih tak punya hasrat
dengki pada orang lain.
Ada pula beras yang selalu ada dalam tiap ramuan odak, sebagai simbol kemakmuran Dalam
kehidupan sosial dan kemasyarakatan.
C. GUNTING BULU
Kelahiran seorang bayi dalam sebuah keluarga merupakan anugerah istimewa bagi seluruh
anggota keluarga besar tersebut. Ini pertanda bertambahnya jumlah anggota keluarga yang
akan mengisi garis-garis silsilah. Hal inilah yang membuat kelahiran bayi selalu mendapat
perhatian khusus dari anggota keluarga dan orang tua, sehingga perlakuan dan kasih sayang
istimewa pun tak ketinggalan dicurahkan bagi bayi tersebut. Maka, acara-acara dan syukuran
hingga upacara adat pun mewarnai penyambutannya. Di kalangan umat muslim di Indonesia,
biasanya penyambutan kelahiran bayi sekaligus sebagai ungkapan kebahagiaan keluarga yang
mendapatkan anggota baru dalam keluarga tersebut, dilakukan dengan acara cukuran dan
aqiqah. Namun, tidak sedikit yang menyelenggarakan acara-acara tersebut dengan sentuhan
tradisi lokal yang kental. Syukuran kecil atau pun besar, bermakna sama; kebahagiaan bagi
keluarga. Tradisi penyambutan bayi seperti ini di Sumbawa maupun Sumbawa Barat, dikenal
dengan upacara adat Gunting Bulu (cukuran) dan Turin Tanak (turun tanah). Kedua acara ini
umumnya digabung dalam satu kesempatan bersamaan dengan aqiqah dan pemberian nama,
saat usia bayi berumur tujuh hari. Meski begitu tidak jarang yang melaksanakan satu atau dua
acara saja, tergantung kesiapan terutama material untuk penyelenggaraan kegiatan tersebut.
Tradisi Gunting Bulu dalam masyarakat Samawa masih dilakukan hingga saat ini. Dalam
upacara adat Gunting Bulu, rambut anak tidak digundul atau dicukur hingga botak melainkan
digunting secara simbolik saja. Pada rambut anak yang akan digunting, telah diikat untaian-
untaian buah bulu yang terbuat dari emas, perak atau kuningan. Dulunya, buah bulu dibuat
dari emas, sekarang emas lebih banya digantikan dengan perak dan kuningan. Buah bulu
berbentuk daun yang terbuat dari perak dan kuningan tersebut dirangkai dengan sehelai
benang. Tiap rangkaian berisi tiga buah bulu. Pada ujungnya diberikan malam atau lilin yang
akan digunakan untuk melengketkan buah bulu pada rambut si bayi. Umumnya, pada rambut
bayi yang akan dipotong digantung lima rangkaian buah bulu bahkan ada juga yang lebih.
Acara inti prosesi Gunting Bulu ini, akan dilaksanakan oleh pemangku adat dan tokoh-tokoh
masyarakat yang diteladani. Gunting Bulu dilaksanakan dalam posisi berdiri. Semua
undangan berdiri berjejer menyambut kedatangan si bayi, yang kelak diharapkan menjadi
anak yang berguna bagi orang lain. Dalam gendongan sang ayah, bayi dibawa menuju Tetua
atau pemangku adat yang akan menggunting rambutnya untuk pertama kali. Disertai doa-doa
akan harapan baik bagi si bayi, rambutnya pun digunting bersamaan dengan buah bulu yang
telah digantung pada rambutnya. Setelah pemangku adat selesai menggunting bulu si bayi,
maka akan berlanjut dengan Gunting Bulu yang dilakukan oleh tokoh-tokoh masyarakat,
orang-orang yang dituakan dalam masyarakat setempat hingga buah bulunya habis.
Rambut yang digunting dengan buah bulu tersebut dimasukkan ke dalam sebuah kelapa muda
berukuran kecil dan berwarna kuning yang disebut dengan nyir gading berisi air dan bunga-
bunga yang dikenal dengan bunga setaman. Ini merupakan simbolisasi bahwa tiap bagian dari
manusia yang lahir itu demikian dihargai sehingga ditempatkan pada tempat yang baik
(harum dengan bunga-bunga). Dari simbol bunga setaman ini, diharapkan anak tersebut kelak
akan menjadi anak yang mandiri, memiliki pemikiran yang jernih dan mampu menyelesaikan
persoalan-persoalan juga memiliki keluasan cara pandang dalam hidupnya sehingga meraih
kemasyhuran atas dirinya. Sesuai dengan doa dan harapan dari orang tua si bayi dan juga
masyarakat sekitarnya kelak ia mendapat tempat yang baik dalam kehidupannya karena
perangai baik pula dalam bergaul. Kelapa muda yang dipakai sebagai wadah untuk
menampung rambut tersebut, dibentuk bergerigi disekelilingnya yang disebut tumpal pucuk
rembung.
Setelah berakhirnya acara Gunting Bulu ini, ada juga yang langsung dirangkaikan dengan
acara Turin Tanak (turun tanah) sebagai simbol bahwa si bayi harus sudah bersatu dengan
alam tempat hidupnya. Berpijak di bumi yang akan ditempatinya selama ia hidup. Di bumi
yang akan mewarnai perjalanan hidupnya kelak. Si bayi diperkenalkan dengan
lingkungannya. Sebagai simbol ia menginjak bumi, biasanya tanah telah disiapkan dalam
sebuah tampi (wadah untuk membersihkan beras khas Sumbawa). Kaki si bayi akan
disentuhkan pada tanah tersebut.