Anda di halaman 1dari 13

ADAT ISTIADAT DAN BUDAYA SUMBAWA

A. PANGANTAN (PERNIKAHAN)
Adat pernikahan merupakan suatu tata cara yang digunakan untuk menyatukan dua
insan yang ingin membina rumah tangga. Setiap daerah pasti memiliki adat tradisi tersendiri
untuk melaksanakan pernikahan tersebut, seperti halnya masyarakat Sumbawa. Masyarakat
Sumbawa masih mengikuti tradisi yang dipakai oleh para leluhurnya untuk melaksanakan
pernikahan. Dalam tradisi upacara pernikahan Sumbawa, sebelum dilaksanakannya adat
pernikahan, ada beberapa tingkatan adat yang harus dilaksanakan seperti, bajajak
(perkenalan), bakatoan (bertanya), saputis leng (mengambil keputusan), bada’ Pangantan dan
Tama kengkam, Nyorong (menyerahkan mahar), barodak (pupur pengantin), nikah, dan basai
(resepsi). Ketujuh tahapan tersebut merupakan serangkaian proses dan biasanya dalam
tahapan proses tersebut terdapat prosesi, benda-benda atau alat yang bersifat simbolis.
Simbol-simbol yang mendukungnya mempunyai makna-makna tersendiri.
1. Bajajak
Bajajak merupakan tahap awal yang penting dan sangat menentukan berhasil tidaknya
sebuah perkawinan. Seorang lelaki yang menaruh hati pada seorang gadis sebelum resmi
meminang memerlukan waktu khusus untuk mengadakan semacam observasi mengenai
gadis tersebut. Biasanya kerabat dekatnya (saudara perempuan atau bibi) diutus
bertandang ke rumah sang gadis untuk mengadakan pendekatan sedemikian rupa
sehingga segala data tentang gadis tersebut dapat diperoleh yang meliputi kepribadian,
keterampilan, dsb, sudah tentu yang terpenting adalah kesungguhan sang gadis untuk
berumah tangga. Biasanya data tersebut dipergunakan untuk lebih memantapkan
persiapan calon mempelai pria untuk segera meminang. Berdasarkan hasil pengamatan,
ternyata tidak terdapat hambatan, pemuda itu akan langsung mengutarakan keinginannya
kepada orang tuanya supaya meminang gadis yang dimaksud untuk dijadikan istri.

2. Bakatoan (Melamar)
Bakatoan bermakna melamar adalah sebuah permintaan atau pernyataan dari laki-laki kepada
pihak perempuan untuk mengawininya, baik dilakukan oleh laki-laki secara langsung maupun
dengan perantara pihak lain yang dipercayai sesuai dengan ketentuan agama. Intinya mengajak
untuk berumah tangga. Bagi masyarakat Sumbawa, biasanya utusan yang akan menyampaikan
maksud lamaran bukanlah orangtua laki-laki melainkan menunjuk salah satu keluarganya yang di
tua-kan (disepuhkan) untuk menyampaikan pesan dan amanat kepada orangtua atau keluarga si
perempuan untuk meminangnya. Orang tua si gadis biasanya tidak langsung menerima begitu
saja maksud tersebut akan tetapi terlebih dahulu akan dimintakan persetujuan dari si gadis
sendiri apakah dia mau menerima lamaran tersebut atau menolaknya. Bila lamaran ini diterima
oleh si gadis, orang tua si gadis akan meminta waktu kepada utusan dari pihak laki-laki tadi
untuk memberitahukan rencana ini kepada seluruh keluarga, dan setelah itu baru dapat
memberikan keputusan.
Utusan dari pihak laki-laki kembali kepada pihak keluarga pemuda untuk menyampaikan berita
yang didapatnya dari keluarga si gadis dan biasanya dengan kalimat “ Roa tapi tegal dunung
mudi regam” yang artinya mau juga untuk dijodohkan dan dinikahkan, tetapi jangan dulu
dipastikan karena dua atau tiga hari lagi orang tua dari pihak si gadis akan memberitahukan
terlebih dahulu perihal tersebut kepada seluruh keluarganya. Setelah semuanya diberitahu dan
bisa menyetujuinya, kemudian akan diutus salah seorang dari keluarga si gadis guna
menyampaikan kepastian kepada orang tua pemuda. Kegiatan ini disebut “antat ling putis”
(memberitahukan kepastian).
Dalam adat masyarakat Sumbawa, saat proses Bakatoan itu pihak laki – laki
datang ke rumah pihak perempuan dengan membawa SITO. SITO adalah
bungkusan segi empat yang diisi dengan kain kebaya, dan uang seikhlasnya,
kemudian bungkusan itu diletakan diatas piring dan dibungkus dengan kain putih.
Sito ini digunakan sebagai lambang diterima atau tidaknya lamaran tersebut.
Apabila Sito ini di terima maka lamaran diterima, tapi apabila Sito ini
dikembalikan maka Lamaran tersebut tidak diterima. Sito memiliki makna sebagai
bentuk rasa terima kasih keluarga calon pengantin laki-laki kepada keluarga calon pengantin
perempuan karena lamaran diterima.

3. Basaputes
Biasa juga disebut Saputis Ling.Kegiatan basaputis disebut juga “Rapulung Bale” yaitu
kegiatan musyawarah keluarga di rumah masing-masing untuk membicarakan
masalah yang berkaitan dengan berbagai keperluan agar acara perkawinan
terlaksana dengan baik. Biasanya dalam basaputis yang berbicara adalah ketua
rombongan yang telah ditunjuk oleh orang tua pihak keluarga laki-laki. Dalam
basaputis akan didapatkan antara lain:
 kesepakatan untuk mengawinkan anak-anaknya (dari kedua belah pihak).
 Menetukan waktu penyelenggaraan upacara nikah dan resepsi
 Berapa besarnya biaya yang ditanggung oleh pihak laki-laki dalam
penyelenggaraan pesta upacara perkawinan tersebut.
 Menentukan besarnya barang antaran yang harus disediakan oleh pihak laki-
laki
 Menentukan besaran kegiatan
 Menetapkan jumlah mahar (mas kawin) yang akan dibawa oleh pihak laki-laki
kepada pihak perempuan, jumlah uang antaran, daging, tempat tidur,
perhiasan, pakaian dan sebagainya.
Dalam acara basaputis tidak semua barang antaran dibawa ke rumah pihak perempuan
bisanya yang dimungkinkan untuk dibawa, seperti perhiasan, bahan pakaian pada saat
akad nikah, penyerahannya bersifat simbolis sebagai pelengkap upacara perkawinan
yang akan dilaksanakan oleh kedua belah pihak.
Setelah kegiatan basaputis, akan diadakan tokal adat dan tokal keluarga di rumah calon
mempelai laki-laki. Tokal adat maksudnya memberitahukan kepada sesepuh atau ketua
adat untuk menangani segala keperluan yang berkaitan dengan upacara perkawinan
yang akan dilaksanakan. Karena kemampuan mempelai laki-laki tidak memungkinkan
untuk menanggung semua persyaratan yang telah diajukan dalam basaputis maka perlu
diadakan tokal keluarga. Tokal keluarga maksudnya meminta bantuan dari sanak
keluarga segala perlengkapan atau persyaratan yang diajukan oleh keluarga pihak
perempuan yang telah disanggupi oleh pihak keluarga laki-laki. Kegiatan ini dilaksanakan
guna membicarakan segala keperluan yang belum dimiliki oleh pihak keluarga laki-laki.
Dalam adat perkawinan tradisional Sumbawa biasanya pihak keluarga laki-laki harus
menyediakan sebanyak 25 macam barang antaran kepada pihak keluarga perempuan.
Namun demikian belakangan berkembang bahwasannya semua persyaratan perkawinan
dalam adat Sumbawa telah bersifat fleksibel, artinya segala sesuatu dilakukan sesuai
dengan kemampuan yang ada. Kalau panjang talinya maka panjang pula kita ulur.
Pribahasa inilah yang memiliki makna segala sesuatu yang dilakukan disesuaikan dengan
kemampuan yang kita miliki. Hal ini penting untuk menghindari hal-hal yang tidak
diinginkan muncul dikemudian hari.
4. Bada’ Pangantan
Bada’ adalah pemberitahuan secara resmi kepada si gadis bahwa dia tidak lama lagi
akan menikah. Petugas untuk itu biasanya ditunjuk istri tokoh-tokoh masyarakat
yang disegani. Waktu yang dipilih pagi hari, dengan mengucapkan kata-kata sebagai
berikut :
“Mulai ano ta, man mo mu lis tama, apa ya tu sabale sapara kauke si A anak si B”.
Artinya “Mulai hari ini, janganlah engkau keluar kesana kemari (berkliaran), karena
engkau akan disatukan dengan si A anak si B”.
Prosesi ini biasanya diiringi dengan Baguntung dan Bagenang. Baguntung yaitu
memukul Rantok (alat menumbuk padi tradisonal Sumbawa) menjadi sebuah melodi
yang indah.
Setelah memberitahukan mengenai rencana pernikahan kepada calon pengantin wanita,
maka si calon Pengantin wanita lansung di “Tama Kengkam”, artinya calon pengantin
wanita Tidak lagi bebas keluar rumah misalnya pergi mandi ke sungai, menumbung
Padi bersama temannya, atau pergi ke sawah, sudah tidak lagi Diperbolehkan. Dia
hanya boleh beraktivitas di atas rumah saja. Jadi seluruh Kebutuhannya dia akan di
tangani oleh seorang perempuan parubaya yang di Sebut “ina pengantan” dari
makannya sampai dengan cuci baju. Dan calon Pengantin juga diajarkan cara
memasak, meyulam, menenun dan lain Sebagainya, hal tersebut bertujuan supaya di
dalam berumah tangga tidak lagi Mengalami kesulitan untuk kebutuhan keluarganya.

5. Nyorong
Nyorong artinya keluarga dan dengan ratusan orang bahkan lebih yang terdiri dari kelurga calon
menten pria, tetangga, sahabat, dan tamu undangan pria dan wanita dewasa berkumpul di
rumah calon pengantin laki-laki membawa uang dan semua kelengkapan pernikahan yang telah
di tentukan pada tahap “basaputes” untuk diserahkan kepada orang tua dan kelurga calon
pengantin perempuan. Selain barang-barang tersebut, disertakan juga sejumlah barang sebagai
pemberian atau hadiah kepada calon menantunya yang dikenal dengan sebutan “ Isi lemari” dan
“Isi Peti”. Isi lemari berupa pakaian wanita dari sandal hingga sanggul rambut calon pegantin
wanita. Sedangkan isi peti berupa sejumlah perhiasan emas0 seperti kalung gelang dsb. Semua
ini adalah pemberian si orang tua laki-laki tanpa diminta oleh si mempelai wanita.
Pada acara nyorong, pihak calon pengantin wanita akan menyambut para rombongan didepan
pintu gerbang yang telah dibuat khusus dan ditandai dengan pita. Gerbang ini dinamakan
dengan “LAWANG RERE”. Untuk membuka pintu gerbang tersebut maka pihak laki-laki harus
membuka dengan melantunkan bahasa puitis tau samawa (LAWAS). Penyampaian lawas ini akan
diiringi dengan musik tradisional sumbawa berupa ratib rabana ode.
Berikut LAWAS yang disampaikan :
Ka mu pesan kami datang
Lawang mu purat ke barit
Ya mu ano ke kami ta
Kemudian wakil dari pihak wanita akan menjawab :
Ma Lema sempu ma lema
Sapuan moe tu tari
Neja si lampa leng tutu
Setelah saling berbalas LAWAS, barulah pita dapat dipotong dan proses serah terima segala
perlengkapan barang2 pernikahan dapat dilakukan.
6. Barodak Rapancar
Barodak Rapancar adalah tradisi luluran dan mewarnai tangan. Kedua kata tersebut berasal Dari
bahasa asli Sumbawa. Kata Barodak diambil Dari kata ‘Odak’ yang berarti Lulur sedangkan
Rapancar berasal dari kata Pancar yang berarti memerahkah kuku tangan dengan daun pacar.
Prosesi Barodak Rapancar ini ada yang mengiringnya dengan GONG GENANG atau semacam
tabuhan musik tradisional, ada pula yang menggunakan RATIB RABANA ODE juga ada yang
melantunkan BARZANJI atau SARAKAL.
Sebagai pembuka acara “Barodak rapancar” kedua mempelai akan di mandikan terlebih dahulu
yang dinamakan “maning pangantan jeruk ai oram”. Maning pangantan ini adalah mandi suci
pertama kedua calon mempelai dengan tujuan untuk mensucikan jiwa dan raga sebelum
memasuki kehidupan yang baru. Kedua calon akan di andaikan dengan perasan air jeruk Sumba
dan dikeramas dengan air merang dan santan. Setelah proses maning pangantan berlanjut ke
acara inti yaitu proses barodak dan Rapancar. Kedua mempelai akan duduk diatas tikar yang
dinamakan “samparumpuk” yang telah dilapisi dengan 7 kain warna warni, dimana kain-kain ini
dipercaya dapat menangkap niat-niat jahat yang ditujukan kepada kedua calon pengantin.
Proses barodak Rapancar dimulai ketika Ina Odak menyalakan “Dila malam” lalu di putarkan
diatas kepala kedua calon mempelai sebanyak 9 kalo sambil membacakan doa dan shalawat
agar acara Barodak dan Rapancar mendapat keberkahan dan diridhai oleh Allah SWT. Dila (lilin)
ini tterbuat Dari batok kelapa tua yang dilubangi atasnya Dan ditancapkan dengan lilin,
kemudian Dihiasi dengan kertas dan kain agar terlihat Cantik. Penggunaan batik kelapa sebagai
dila (lilin) ini oleh masyarakat Sumbawa diambil Dari filosofi tanaman kelapa itu sendiri. Karena
pohon kelapa adalah tumbuhan yang Sangat banyak manfaatnya, seluruh bagian Dari pohon
kelapa hampir semuanya ada manfaatnya. Fungsi dari Memutarkan dila (lilin) di atas kepala
Pengantin ini adalah agar kedua calon Pengantin selalu dikelilingi dan diterangi Oleh Sang
Pencipta dan cahaya arwah-arwah Sesepuh adat terdahulu. Kemudian agar Kedua pengantin
senantiasa diberikan Kemudahan, jalan yang mulus dalam Menjalankan bahtera rumah tangga,
serta Senantiasa dilindungi dari keburukan. (Hj. Syamsiah Abubakar, 27 Desember 2018).
Setelah selesai mengelilingi “dila malam”, ina Odak kemudian akan menyuruh kedua calon
pengantin untuk “Kemok sisin”. Kemok sisin atau mengulum Sebuah emas di berikan oleh Ina
Odak kepada Kedua mempelai yang akan menjalankan Prosesi barodak. Diberikan menggunakan
Sendok makan dan biasanya ditambahkan Dengan sedikit gula pasir lalu diberikan Kepada calon
pengantin. Maksudnya agar supaya si Pengantin berhati emas dan memunculkan Aura yang
membuat calon mempelai tampak Berseri.
Setelah itu, Ina Odak kemudian mulai meluluri calon mempelai wanita, dimulai dari wajah hingga
leher, kemudian dilanjutkan ke kedua lengan calon mempelai. Begitu pula terhadap calon
mempelai pria. Selanjutnya, ina odak akan menempelkan gilingan daun pacar ke jari kedua calon
mempelai. Setelah Ina Odak selesai, barulah kemudian dilanjutkan oleh orang-orang yang telah
dipilih oleh Ina Odak untuk melakukan Barodak DAN Rapancar. Yang Melakukan prosesi barodak
ini biasanya ibu-Ibu yang sudah menikah dan berumur di atas 45 tahun. Terdapat alasan
mengapa yang Melaksanakan prosesi adat barodak ini harus Dipimpin oleh ibu-ibu yang sudah
menikah Dan berumur di atas 45 tahun. Orang-orang Sumbawa meyakini ibu-ibu yang sudah
Menikah dan berumur di atas 45 tahun Dianggap telah sukses dalam menjalankan Bahtera
rumah tangga. Ritual ini berakhir setelah ina odak memastikan odak atau bedak yang dilulur ke
wajah dan lengan calon kedua mempelai sudah cukup. Setelah para orang tua yang mengusap
lulur pada pengantin, giliran terakhir adalah ina’ odak. Sebelum mengusap lulur, ina odak akan
memercikkan air boreh yang dibuat dari kembang tiga rupa yakni, kamboja, melati dan bunga
eja. Setelah itu, dila (lampu) akan diputar melingkari kepala hingga wajah pengantin atau calon
pengantin. Setelah selesai, dila malam ditiupkan di depan wajah pengantin atau calon pengantin,
lalu asapnya diambil dan ditempelkan pada kepala pengantin atau calon pengantin.
Ritual ini diyakini dapat memutihkan kedua calon pengantin dari sifat iri dan dengki. Sedangkan
Rapancar menyimbulkan makna yang dalam, bahwa tiap pasangan pengantin hendaklah
memiliki semangat berkorban dengan jiwa dan raga demi kehidupan yang mulia. Ritual ini
dilakukan agar kedua calon mempelai mampu mengarungi bahtera hidup membina rumah
tangga yang sakinah mawaddah warahmah dengan berlandaskan pada keihlasan.
Bahan odak ternyata memiliki filosofi tertentu yang menarik untuk disimak. Bahan dasar lulur
adalah daun sirih yang disebut eta. Bukan sembarang sirih, tapi sirih yang urat-uratnya bertemu
pada satu titik. Jadi salah satu urat sirih bagian kiri sebagai simbol perempuan akan bertemu
dengan urat bagian kanan sebagai simbol laki-laki. Dua titik tersebut akan bertemu pula dengan
urat daun sirih yang membelah sirih tersebut menjadi dua sebagai simbol masyarakat sosial.
Filosofinya adalah ketiga garis dari urat daun sirih tersebut akan saling bertemu dan membentuk
satu titik. Artinya bahwa pernikahan tersebut diterima oleh kedua pihak dan juga masyarakat di
mana tempat mereka akan menjalankan kehidupan berumahtangganya. Harapannya kehidupan
mereka akan bahagia, damai dan sejahtera.
Ada pula buah pinang, yang merupakan simbol hati yang jika dibelah rupanya akan Persis sama.
Ini mengandung makna yang menggambarkan pertautan hati kedua Mempelai yang utuh dan
sama.
Ada juga bagik atau asam yang berwarna hitam pekat. Asam jawa ini banyak digunakan
masyarakat Sumbawa untuk membersihkan kotoran sebagai bahan lulur. Harapannya, agar
perempuan yang akan menjadi istri ini nantinya, memiliki hati yang bersih tak punya hasrat
dengki pada orang lain.
Ada pula beras yang selalu ada dalam tiap ramuan odak, sebagai simbol kemakmuran Dalam
kehidupan sosial dan kemasyarakatan.

7. Nikah dan Basai (Resepsi)


Kegiatan utama dalam upacara perkawinan tradisional adat Sumbawa adalah akad nikah. Sesuai
dengan kesepakatan pada basaputis, pada saat yang telah ditentukan mempelai laki-laki akan
datang ke rumah pengantin perempuan menyerahkan mahar. Sesuai dengan hukum Islam,
sebuah perkawinan baru dianggap sah apabila telah dihadiri dan disaksikan :
 Saksi pernikahan
 Adanya Petugas Pencatat Nikah
 Pembacaan Izab Kabul.
Setelah pembacaan izab Kabul berarti kedua mempelai telah dianggap sah untuk berumah
tangga, dan dilanjutkan dengan menikmati jamuan makan yang telah disiapkan. Setelah akad
nikah maka akan dilanjutkan dengan acara “Tokal basai” maksudnya adalah pelaksanaan resepsi
pernikahan, masing-masing keluarga akan datang untuk memberikan ucapan selamat kepada
kedua pengantin. Pada dasarnya tujuan dari pelaksanaan tokal basai ini adalah untuk
memberitahukan kepada khalayak ramai bahwa mereka telah melakukan upacara perkawinan.
Hal ini dilakukan mempelai berdua dikenal oleh banyak orang, suapaya dikemudian hari tidak
terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
B. BISO TIAN
Dari semua keistimewaan yang dimiliki oleh perempuan, mengandung dan melahirkan
merupakan keistimewaan yang paling tinggi nilainya. Suka cita menjalani masa-masa
mengandung adalah kenimatan tersendiri bagi masing-masing calon ibu. Bukan hanya calon
ibu yang bersuka cita, keluarga besar pun ikut merasakan semaraknya suasana rumah ketika
kehamilan salah satu anggota keluarga dikabarkan, terutamanya kabar kehamilan anak
pertama. Kehamilan pertama biasanya mendapatkan perlakuan lebih ketimbang kehamilan
kedua dan seterusnya, baik dari ibu si calon bayi maupun keluarga. Salah satu bentuk
perlakuan khusus tersebut adalah melakukan tradisi Biso Tian.
Biso Tian merupakan tradisi tujuh bulanan seperti juga di berbagai daerah di Indonesia
dengan beragam cara dan kebiasaan. Biso Tian bertujuan sebagai ungkapan kebahagiaan serta
sebagai acara syukuran atas kehamilan pertama dan ungkapan suka cita bagi suruh keluarga
besar calon bayi pertama dari seorang ibu tersebut. Selain itu, meramaikan acara tujuh
bulanan khas Sumbawa ini juga untuk memberikan kekuatan dan semangat kepada si calon
ibu yang baru pertama kali akan mengalami proses luar biasa dalam hidupnya, yaitu
melahirkan. Tentu saja, melihat perhatian dan tanggapan yang besar dari seluruh keluarga
besar tersebut, membuat sang ibu yang tengah memepersiapkan diri melahirkan untuk
pertama kalinya akan terbantu secara psikis, bahwa anak bahwa anak yang akan
dilahirkannya dinanti dengan suka cita oleh keluarganya.
Tradisi Biso Tian di Sumbawa dilakukan saat usia kandungan memasuki bulan ketujuh. Biso Tian
dilakukan pada tiap kehamilan namun yang diutamakan adalah kehamilan pertama. Dalam tradisi
ini, terkadang tidak harus pada kehamilan bulan ketujuh, melainkan juga biasanya dilakukan pada
bulan kedelapan atau kesembilan, tergantung kesiapan terutama kesiapan finansial sebuah keluarga.
Dipilihnya bulan ketujuh untuk melaksanakan tradisi ini, lebih karena bayi dalam kandungan calon
ibu telah utuh menjadi seorang manusia yang tengah berkembang semakin matang dan siap untuk
dilahirkan pada saatnya tiba.
Dalam prosesi Biso Tian, terdapat banyak sekali simbol dan makna kehidupan pada setiap tahapan
prosesnya. Kain berwarna-warni tujuh lapis dipakai sebagai alas tidur oleh ibu hamil selama prosesi
berlangsung. Tujuh lapis kain ini melambangkan bahwa kehidupan manusia itu betapa tinggi nilainya
serupa tujuh lapis bumi dan langit yang kerap diumpamakan terhadap alam semesta ini. Sebuah
pegu (wadah khas suku Samawa terbuat dari kuningan) berisi beras berwarna-warni; hitam, hijau,
merah muda dan putih. Yang berwarna putih adalah khusus dibuat dari padi yang disangrai sampai
mekar. Beras warna-warni sebagai pelengkap prosesi ini merupakan lambang kemakmuran yang
diharapkan dari sang bayi yang akan lahir. Sebuah lilin yang diletakkan di atas sebutir kelapa, sebagai
lambang harapan bahwa kelak si bayi akan menjalani kehidupan di jalan yang benar dan lurus yang
disimbolkan dengan lilin yang menyala. Di sisi lain tempat prosesi berlangsung, terdapat sebuah
wadah batu ukuran besar yang disebut “Teleku ‘Batu” berisi air yang di dalamnya terdapat macam-
macam kembang. Air kembang dari wadah batu ini nantinya akan dipakai untuk memandikan calon
ibu. Mandi kembang bagi calon ibu, semacam sakralisasi diri untuk menghadapi saat-saat
menakjubkan dalam hidupnya ketika melahirkan nanti. Yang tidak kalah pentingnya adalah
setumpuk uang receh atau logam yang sengaja disiapkan . Jumlah dan pecahannya, tidak terbatas,
tergantung kemampuan yang berhajat. Uang logam inilah yang paling ditunggu-tunggu oleh semua
ibu-ibu yang hadir dalam acara tersebut.
Proses acara biso tian akan dipimpin oleh seseorang yang dinamakan “sandro tamang” (dukun
beranak). Proses Diawali dengan memandikan calon ibu dengan air kembang. Doa-doa untuk
kemudahan dan kebaikan bagi calon ibu mengalir dari bibir Sandro Tamang sepanjang mandi
kembang berlangsung. Guyuran lembut yang dipenuhi bunga-bunga tentu saja memberikan
kenyamanan bagi calon ibu dan bayi yang dikandungnya. Setelah itu, sang calon ibu mempercantik
penampilannya dengan memakai pakaian adat Sumbawa khusus untuk ibu hamil, menuju prosesi
inti Biso Tian.
Di atas alas yang disiapkan khusus, calon ibu tidur dengan nyaman. Alas khusus ini terdiri dari
selembar tikar yang dibuat secara khusus juga, orang Sumbawa menyebutnya Samparumpu. Tikar ini
adalah tikar khas masyarakat adat Samawa yang diyakini mampu menangkal hal-hal negatif yang
mengarah pada calon ibu dan bayinya. Untuk melindunginya secara supranatural dari kemungkinan-
kemungkinan niat jahat dari alam lain. Tidak itu saja, Di atas Samparumpu tersebut diletakkan pula
tujuh lapis kain berwarna-warni sebagai alas lapisan kedua. Dan pada lapisan ketiga akan diletakkan
kembali tujuh lapis kain lagi, Dan di atas kain inilah, calon ibu ditidurkan.
Kemudian, lilin yang terdapat diatas batok kelapa yang diletakkan dalam pegu yang berisi beras
dinyalakan, barulah Kemudian acara inti dari biso tian dilaksanakan yang ditanamkan “Mengas
Mentar” (mengangkat perut calon ibu menggunakan kain kemudian digoyangkan secara lembut).
Tujuh orang perempuan akan mengambil peran saat acara inti Biso Tian ini. Selain Sandro Tamang,
terdapat enam orang lainnya yang akan ikut berperan dalam proses “Mengas Mentar”. Enam orang
lainnya adalah perempuan yang ditokohkan atau yang diteladani di kampung tersebut.
Selembar kain pada lapisan teratas di bagian kiri dan kanan perut calon ibu, akan dipegang oleh
Sandro Tamang. Dengan perlahan, Sandro Tamang akan mengangkat sedikit kain tersebut sembari
menggerak-gerakkannya secara lembut. Perut calon ibu pun terangkat dan bergoyang-goyang
lembut sekali. Usai melakukan Mengas Mentar, Sandro Tamang mengeluarkan kain lapisan teratas
yang sudah dipakai tersebut sehingga meninggalkan enam kain dari lapisan ketiga tadi. Hal yang
sama kemudian diikuti oleh keenam perempuan pilihan tersebut. Dan setiap lapis kain yang telah
dipakai Mengas Mentar itu, dikeluarkan tumpukan lapisan tempat tidur calon ibu. Ada kenyamanan
yang akan dirasakan calon ibu selama Mengas Mentar ini berlangsung sehingga calon ibu tampak
tenang. Harapannya senyaman dan setenang inilah nanti calon ibu saat menjalani proses persalinan.
Simbol harapan untuk kemudahan proses melahirkan juga ada pada telur diolesi dengan minyak
yang diusapkan dari ubun-ubun hingga ujung telapak kaki sang calon ibu. Mengas Mentar usai, calon
ibu bangkit. Dalam gendongan baju calon ibu, telah diletakkan tiga kain yang diletakkan saat Mengas
Mentar dan uang logam. Calon ibu kemudian perlahan menuju pintu rumah di mana di halaman
rumah telah dipenuhi undangan. Saat inilah acara yang paling ditunggu oleh undangan yang lebih
banyak para ibu, berebut uang logam. Membuang kain dan uang logam ini memiliki makna
tersendiri. Membuang kain yang dipakai Mengas Mentar secara simbolik ini bermakna bahwa si ibu
tengah menghindari hal-hal buruk yang akan terjadi pada dirinya dan bayi yang dikandungnya. Agar
segala proses persalinan berjalan lancar seperti yang diharapkan. Sedangkan menyebar uang logam
adalah simbol berbagi rezeki. Diikuti oleh salah seorang keluarga yang memegang pegu berisi
beras warna-warni yang di dalamnya juga terdapat uang logam yang banyak, di depan pintu
rumah calon ibu mulai berbagi dengan melemparkan kain yang dipakai saat Mengas Mentar
tersebut dan logam-logam dari gendongan bajunya. Uang logam tersebut disebar ke berbagai
tempat para undangan yang sedari tadi bersiap untuk saling rebut setiap receh yang
dilemparkan oleh calon ibu. Suasana pun seketika pecah, riuh oleh sorak dan lengkingan
gembira para ibu yang saling rebut uang receh tersebut. Para undangan pun bersuka cita
saling rebut uang logam dan dengan bangga mengangkat logam tersebut jika
mendapatkannya. Inilah acara paling seru dan ramai dalam acara Biso Tian. Histeria dan
kegaduhan akan sangat tampak saat ini ketika para ibu ini adu cepat dan tepat untuk
mendapatkan uang logam.
Dalam acara rebutan logam ini, miskin dan kaya tidak ada bedanya. Karena yang direbut
bukan nilai uangnya, tapi logam yang diterjemahkan sebagai berkah. Semakin banyak yang
bisa diperoleh dengan cara rebutan, maka dianggap semakin besar berkah rezekinya. Logam
dalam acara Biso Tian yang disebar calon ibu ini, bukanlah sembarang logam. Ia memiliki
makna yang sangat berarti bagi mereka yang mendapatkannya. Uang logam ini diyakini dapat
membawa berkah karena tentu saja, saat calon ibu menyebar uang logam tersebut selalu
disertai dengan doa, meski pun tidak terucap, agar anaknya menjadi anak yang mulia bagi
dirinya dan juga masyarakat. Doa ibu adalah berkah yang paling tinggi, yang paling agung
bagi seorang anak. Dan logam inilah simbol keberkahan yang menempati posisi tertinggi. Hal
inilah yang membuat para ibu berebut logam dalam tiap upacara adat Biso Tian. Sebenarnya
mereka tidak sedang berebut uang logam karena nilainya tidak seberapa, tapi mereka tengah
merebut berkah yang nilainya sangatlah tinggi. Maka, harapan dari mereka yang
mendapatkan uang logam tersebut adalah segala upaya dan usaha serta ikhtiar yang
dilakukannya dalam kehidupannya dapat tercapai seperti mendapatkan berkah bak doa ibu.
Mereka yang berdagang biasanya akan menyimpan uang logam ini sebagai penglaris
dagangannya. Harapannya, orang akan ramai belanja dagangannya seramai dan seriuh
mereka yang berebut uang logam dalam acara ini. Demikian pula dengan lainnya.
Pada bagian akhir upacara ini digelar acara makan rujak bersama. Calon ibu dan calon ayah
(suami istri) akan mendatangi para tamu undangan untuk mengantarkan makan rujak.
Bermacam-macam buah dengan rasa yang beragam, manis, asam, asin dan pahit yang
menjadi bahan rujak tersebut bukan sekedar pelengkap acara melainkan simbol pertemuan
rasa orang tua calon bayi dengan masyarakat yang kompleks dalam kehidupan
bermasyarakatnya. Beragam rasa tersebut juga dapat mewakili kehidupan sosial masyarakat
yang tidak selamanya senang, tidak pula selamanya pahit atau sedih.
Tradisi Biso Tian dalam kebanyakan masyarakat Suku Samawa adalah tradisi yang
mengajarkan manusia untuk hidup berdampingan dengan yang lainnya, bersosialisasi dan
memiliki tenggang rasa dan juga saling berbagi dalam pergaulan sehari-hari. Simbol-simbol
ini jelas ada pada tradisi ini.

C. GUNTING BULU
Kelahiran seorang bayi dalam sebuah keluarga merupakan anugerah istimewa bagi seluruh
anggota keluarga besar tersebut. Ini pertanda bertambahnya jumlah anggota keluarga yang
akan mengisi garis-garis silsilah. Hal inilah yang membuat kelahiran bayi selalu mendapat
perhatian khusus dari anggota keluarga dan orang tua, sehingga perlakuan dan kasih sayang
istimewa pun tak ketinggalan dicurahkan bagi bayi tersebut. Maka, acara-acara dan syukuran
hingga upacara adat pun mewarnai penyambutannya. Di kalangan umat muslim di Indonesia,
biasanya penyambutan kelahiran bayi sekaligus sebagai ungkapan kebahagiaan keluarga yang
mendapatkan anggota baru dalam keluarga tersebut, dilakukan dengan acara cukuran dan
aqiqah. Namun, tidak sedikit yang menyelenggarakan acara-acara tersebut dengan sentuhan
tradisi lokal yang kental. Syukuran kecil atau pun besar, bermakna sama; kebahagiaan bagi
keluarga. Tradisi penyambutan bayi seperti ini di Sumbawa maupun Sumbawa Barat, dikenal
dengan upacara adat Gunting Bulu (cukuran) dan Turin Tanak (turun tanah). Kedua acara ini
umumnya digabung dalam satu kesempatan bersamaan dengan aqiqah dan pemberian nama,
saat usia bayi berumur tujuh hari. Meski begitu tidak jarang yang melaksanakan satu atau dua
acara saja, tergantung kesiapan terutama material untuk penyelenggaraan kegiatan tersebut.
Tradisi Gunting Bulu dalam masyarakat Samawa masih dilakukan hingga saat ini. Dalam
upacara adat Gunting Bulu, rambut anak tidak digundul atau dicukur hingga botak melainkan
digunting secara simbolik saja. Pada rambut anak yang akan digunting, telah diikat untaian-
untaian buah bulu yang terbuat dari emas, perak atau kuningan. Dulunya, buah bulu dibuat
dari emas, sekarang emas lebih banya digantikan dengan perak dan kuningan. Buah bulu
berbentuk daun yang terbuat dari perak dan kuningan tersebut dirangkai dengan sehelai
benang. Tiap rangkaian berisi tiga buah bulu. Pada ujungnya diberikan malam atau lilin yang
akan digunakan untuk melengketkan buah bulu pada rambut si bayi. Umumnya, pada rambut
bayi yang akan dipotong digantung lima rangkaian buah bulu bahkan ada juga yang lebih.
Acara inti prosesi Gunting Bulu ini, akan dilaksanakan oleh pemangku adat dan tokoh-tokoh
masyarakat yang diteladani. Gunting Bulu dilaksanakan dalam posisi berdiri. Semua
undangan berdiri berjejer menyambut kedatangan si bayi, yang kelak diharapkan menjadi
anak yang berguna bagi orang lain. Dalam gendongan sang ayah, bayi dibawa menuju Tetua
atau pemangku adat yang akan menggunting rambutnya untuk pertama kali. Disertai doa-doa
akan harapan baik bagi si bayi, rambutnya pun digunting bersamaan dengan buah bulu yang
telah digantung pada rambutnya. Setelah pemangku adat selesai menggunting bulu si bayi,
maka akan berlanjut dengan Gunting Bulu yang dilakukan oleh tokoh-tokoh masyarakat,
orang-orang yang dituakan dalam masyarakat setempat hingga buah bulunya habis.
Rambut yang digunting dengan buah bulu tersebut dimasukkan ke dalam sebuah kelapa muda
berukuran kecil dan berwarna kuning yang disebut dengan nyir gading berisi air dan bunga-
bunga yang dikenal dengan bunga setaman. Ini merupakan simbolisasi bahwa tiap bagian dari
manusia yang lahir itu demikian dihargai sehingga ditempatkan pada tempat yang baik
(harum dengan bunga-bunga). Dari simbol bunga setaman ini, diharapkan anak tersebut kelak
akan menjadi anak yang mandiri, memiliki pemikiran yang jernih dan mampu menyelesaikan
persoalan-persoalan juga memiliki keluasan cara pandang dalam hidupnya sehingga meraih
kemasyhuran atas dirinya. Sesuai dengan doa dan harapan dari orang tua si bayi dan juga
masyarakat sekitarnya kelak ia mendapat tempat yang baik dalam kehidupannya karena
perangai baik pula dalam bergaul. Kelapa muda yang dipakai sebagai wadah untuk
menampung rambut tersebut, dibentuk bergerigi disekelilingnya yang disebut tumpal pucuk
rembung.
Setelah berakhirnya acara Gunting Bulu ini, ada juga yang langsung dirangkaikan dengan
acara Turin Tanak (turun tanah) sebagai simbol bahwa si bayi harus sudah bersatu dengan
alam tempat hidupnya. Berpijak di bumi yang akan ditempatinya selama ia hidup. Di bumi
yang akan mewarnai perjalanan hidupnya kelak. Si bayi diperkenalkan dengan
lingkungannya. Sebagai simbol ia menginjak bumi, biasanya tanah telah disiapkan dalam
sebuah tampi (wadah untuk membersihkan beras khas Sumbawa). Kaki si bayi akan
disentuhkan pada tanah tersebut.

Anda mungkin juga menyukai