Upaya yang dilakukan oleh pihak orang tua untuk mencari jodoh putranya
hanya diketahui oleh keluarga dekat. Hal ini masih bersifat rahasia dan belum
diumumkan kepada seluruh keluarga dan handai tolan. Karena itu kegiatan
ini disebut “La lose ro la ludi” atau kegiatan yang hanya diketahui oleh
keluarga dekat. Kadang – kadang kegiatan ini dikenal dengan istilah “Nari ro
mpida” karena masih dirahasiakan.
3. Pita Nggahi
Wa’a mama artinya mengantar atau membawa bahan untuk makan sirih
(mama) seperti nahi (sirih), u’a (pinang), tambaku (tembakau), tagambe dan
afu mama (kapur khusus untuk pemakan sirih). Dalam pelaksanaanya pihak
orang tua pemuda bukan hanya mengantar bahan untuk makan sirih (mama)
tetapi juga membawa berbagai jenis makanan dan kue tradisional.
Secara harfiah wa’a sarau artinya mengantar atau membawa sarau (Camping)
yaitu sejenis topi tradisional Bima-Dompu yang dibuat dari anyaman bambu.
Upacara wa’a sarau hampir sama dengan upacara wa’a mama. Dilaksanakan
pada musim tanam (oru mura). Barang-barang yang diantar adalah sarau dan
berbagai jenis kue tradisional dan umbi-umbian serta buah-buahan dari
kebun pemuda
5. Ngge’e nuru
6. Mbolo Ro Dampa
Bila ngge’e nuru telah berjalan mulus, maka orang tua dan keluarga dua belah
pihak akan mengadakan “Mbolo ro dampa” (musyawarah) untuk menentukan
hari dan bulan yang baik untuk pelaksanaan nikah. Jumlah atau besar
kecilnya mahar serta persyaratan lainnya semua diputuskan dalam mbolo ra
dampa.
7. Nggempe
Sesuai keputusan Mbolo ro dampa, maka beberapa hari menjelang lafa (akad
nikah), akan dilangsungkan upacara wa’a masa nika (pengantaran emas
nikah) atau wa’a co’i (pengantaran mahar). Upacara dilaksakan sore hari
sesudah sholat ashar, diikuti oleh keluarga, ompu panati, ulama, tokoh adat
dan para kerabat. Para peserta akan berangkat dari rumah orang tua
penganten laki-laki, berbusana adat yang sesuai dengan status sosial masing-
masing.
9. Kalondo Wei
Upacara pengantaran calon penganten putri dari rumah orang tuanya menuju
uma ruka (rumah untuk penganten). Dilaksakan pada bulan purnama sesuai
sholat Isya. Calon penganten putri diturunkan (kalondo) dari atas rumah
orang tuanya dan diusung ke uma ruka (rumah penganten). Diantar oleh
sanak keluarga dan kerabat dengan berbusana adat yang beraneka ragam
sesuai dengan status sosial dan usia pemakai. Dimeriahkan dengan atrasi jiki
hadra (jikir hadra) diiringi musik rebana.Pada waktu yang bersamaan di uma
ruka sedang berlangsung “Ngaji kapanca” (tadarusan pada upacara kapanca).
Ngaji kapanca akan berakhir bersamaan dengan setibanya rombongan calon
penganten putri di uma ruka. Setibanya di uma ruka, rombongan penganten
disambut dengan tari wura bongi monca dan dimeriahkan dengan atraksi
mpa’a sila, gantao dan buja kadanda.
10. Upacara Kapanca
Setelah calon penganten putri bersama rombongan tiba di Uma Ruka, maka
akan dilanjutkan dengan upacara kapanca (penempelan inai). Upacara
kapanca atau penenpelan inai di atas telapak tangan calon penganten putri
dilakukan oleh para tokoh adat perempuan. Dilakukan secara bergilir diiringi
dengan lantunan jiki kapanca (jikir kapanca) tanpa iringan musik. Syair jikir
berisi pujian atas kebesaran dan kemuliaan Allah dan Rasul.
11. Weha Nggahi
Sebelum prosesi Akad Nikah, calon penganten puteri meminta ijin kepada
orang tuanya untuk menikah. Prosesi ini berlangsung di Uma Ruka, atau di
tempat tidur yang sudah dirias. Inilah proses Weha Nggahi atau meminta
restu ayah bunda sebelum menikah. Didampingi oleh penghulu, calon
penganten puteri bersujud dan mencium tangan ayah bundayanya. Lalu
memohon ijin kepada ayahnya.
“Ayah, ijinkan saya menikah dengan Si Fulan. Maafkan atas segala kesalahan
dan khilaf selama ini.”
“Baiklah anakku, Aku ijinkan engkau menjadi istri Si Fulan. Semoga kalian
mendapatkan kebahagiaan dunia akhirat. “
12. Lafa
Lafa atau Akad nikah merupakan acara kunci dalam pernikahan. Pada intinya
akad nikah adalah upacara keagamaan untuk pernikahan antara dua insan
manusia. Melalui akad nikah, maka hubungan antara dua insan yang saling
bersepakat untuk berumah tangga diresmikan di hadapan manusia dan
Tuhan.
Penganten pria bersama sara hukum didampingi ompu tua (Orang Yang
Dituakan) dan ompu panati akan melaksanakan satu upacara adat yang
dilaksanakan setelah upacara lafa yaitu Hengga Dindi dan Hengga Kelambu.
Secara harfiah “hengga dindi” berari “buka tabir”, atau hengga kalambu
berarti buka kelambu sebelum masuk ke kamar bunti siwe, bunti mone
(penganten laki-laki) bersama pendamping berdiri di luar “dinding satampa”
(tabir pemisah). Di bagian dalam dindi satampa ada Ina ruka (inang
pengasuh) bersama istri lebe, istri galara dan tokoh adat perempuan. Upacara
di mulai oleh pihak bunti mone diwakili oleh ompu panati.
Diawali dengan shalawat dan salam, ompu panati penyampaikan syair dan
pantun. Sambil melemparkan beberapa keping uang perak ke dalam tabir.
Setelah lemparan ketiga, akhirnya ina ruka membuka dindi satampa(Tabir
pembatas). Dengan mempersembahkan puji syukur kepada Allah SWT,
disusul dengan bacaan basmallah, akhirnya bunti mone bersama gelara dan
lebe didampingi ompu panati dan keluarga memasuki kamar bunti siwe.
Sesudah berada di dalam kamar, bunti mone melaksanakan shalat sunat dua
rakaat untuk memohon kehadapan Allah AWT, agar mahligai rumah tangga
selalu mendapat rahmat dan hidayah-Nya.
Kini tiba saatnya bunti mone untuk melangkah mendekati bunti siwe guna
melaksanakan upacara nenggu, yaitu mempersembahkan jungge ke sanggul
sang bunti siwe tercinta. Upacara ini kadang-kadang disebut upacara cepe
jenggu. Bunti mone mengawali upacara dengan mempersembahkan sekuntum
jungge kala (Sanggul Merah) sebagai isyarat bahwa bunti mone seorang gagah
berani, namun jungge kala lambang keberanian dibantik oleh bunti siwe.
15. Boho Oi Ndeu
Acara Boho Oi Ndeu (Siraman) disebut juga Elo Rawi. Elo Rawi terdiri dari
kata “elo” dan “rawi”. Elo berarti ekor atau akhir, sedangkan “rawi” berarti
pekerjaan, dalam hal ini berarti “upacara”. Pengertian Elo Rawi dalam
upacara adat Bima-Dompu adalah upacara adat yang mengakhiri seluruh
rangkain upacara adat tersebut.
Boho oi ndeu adalah upacara memandikan penganten, dilakukan oleh ina
ruka dan disaksikan oleh kaum ibu. Berlangsung pagi hari jam 09.00. karena
itu upacara ini di namakan “boho oi ndeu” atau menyiram air mandi. Pada
upacara boho oi ndeu, kedua penganten berdiri di atas “tampe dan lihu” (dua
jenis alat tenun tradisional), kedauanya berdiri menghadap kiblat. Badan
mereka disatukan dengan ikatan “ero lanta” (benang putih). Kemudian di
sekitar penganten dinyalakan lampu lilin.
16. Ngaha Nggula
Sesudah upacara boho oi ndeu, maka dilanjutkan dengan upacara adat yang di
kenal dengan “Ngaha Nggula”. Sebenarnya upacara ini merupakan upacara
do’a yang dihadiri oleh gelara, lebe dan para tokoh agama dan adat beserta
sanak saudara. Dalam upacara ini para undangan akan menikmati makanan
khas Mbojo yaitu “Mangge Mada”. Mangge mada sejenis lauk pauk yang
dibuat dari isi perut kambing atau kerbau, yang di cincang halus. Kemudian
dicampur dengan santan kelapa, diberi bumbu “ringa” (wijen) dan bumbu
khas Mbojo yang lain.
17. Pamaco
Pada sore hari sesudah sholat ashar, dilanjutkan dengan upacara adat
“tawori” atau “pamaco”. Upacara ini berlangsung di uma ruka dihadiri oleh
para sanak keluarga atau anggota keluarga saja. Dalam upacara tawori atau
pamaco, seluruh keluarga akan datang memberikan sumbangan kepada
penganten baru untuk dijadikan modal dalam membina rumah tangganya.
Pada masa lalu tawori atau pamaco hanya upacara untuk keluarga dalam
rangka mengumpulkan sumbangan untuk kedua penganten.
Para handai taulan serta kerabat di luar lingkungan keluarga sudah hadir
pada mada rawi yaitu upacara lafa, sesuai dengan sunah Nabi yang
menganjurkan kita menghadiri upacara lafa (akad nikah). Para kerabat dan
seluruh masyarakat di sekitar sudah memberikan sumbangan pada awal
pelaksanaan nika ro neku. Mereka datang beramai-ramai untuk
melaksanakan “teka ro ne’e” (memberikan sumbangan). Pada perkembangan
selanjutnya, upacara tawori atau pamaco dikenal dengan istilah rama tamah
atau resepsi pernikahan. Pada masa sekarang sumbangan yang diberikan oleh
undangan tidak seimbang dengan biaya yang dikeluarkan oleh keluarga
penganten, sehingga tujuan dari upacara sudah tidak sama dengan tujuan
tawori atau pamaco masa lalu.