Anda di halaman 1dari 6

Kelompo :

Vivi yunita E1C118086

Siti raf’iah E1C118080

1. La Lose Ro La Ludi (Kunjungan Rahasia)

Upaya yang dilakukan oleh pihak orang tua untuk mencari jodoh putranya
hanya diketahui oleh keluarga dekat. Hal ini masih bersifat rahasia dan belum
diumumkan kepada seluruh keluarga dan handai tolan. Karena itu kegiatan
ini disebut “La lose ro la ludi” atau kegiatan yang hanya diketahui oleh
keluarga dekat. Kadang – kadang kegiatan ini dikenal dengan istilah “Nari ro
mpida” karena masih dirahasiakan.

2. Katada Nggahi (Mengikrar Kata Hati )

Setelah mendapat kepastian bahwa gadis tersebut belum dilamar atau


menjadi tunangan pemuda lain, maka pihak keluarga pemuda akan
melakukan kunjungan yang kedua ke rumah orang tua gadis  sebagai tindak
lanjut dari la lose ro la ludi. Dalam kunjungan ini pihak orang tua pemuda
biasanya akan diwakili oleh seorang tokoh adat yang disebut” Ompu Panati”
didampingi oleh beberapa orang keluarga dekat. Ompu Panati adalah seorang
tokoh yang dipandang ahli dalam pinang meminang gadis. Dia biasanya juga
ahli dalam berpantun dan bersyair.

3. Pita Nggahi

Guna meningkatkan hubungan baik antara keluarga, maka kedua keluarga


terus meningkatkan kegiatan silaturahim. Kegiatan yang dilakukan oleh kedua
keluarga tersebut dinamakan “Pita Nggahi” ( mengulang kata) dalam
pengertian memepererat hubungan kekeluargaan antara kedua keluarga.

4. Wa’a Mama Dan Sarau

Wa’a mama artinya mengantar atau membawa bahan untuk makan sirih
(mama) seperti nahi (sirih), u’a (pinang), tambaku (tembakau), tagambe dan
afu mama (kapur khusus untuk pemakan sirih). Dalam pelaksanaanya pihak
orang tua pemuda bukan hanya mengantar bahan untuk makan sirih (mama)
tetapi juga membawa berbagai jenis makanan dan kue tradisional.

Secara harfiah wa’a sarau artinya mengantar atau membawa sarau (Camping)
yaitu sejenis topi tradisional Bima-Dompu yang dibuat dari anyaman bambu.
Upacara wa’a sarau hampir sama dengan upacara wa’a mama. Dilaksanakan
pada musim tanam (oru mura). Barang-barang yang diantar adalah sarau dan
berbagai jenis kue tradisional dan umbi-umbian serta buah-buahan dari
kebun pemuda

5. Ngge’e nuru

Maksudnya calon suami tinggal bersama di rumah calon mertua. Ngge’e


artinya tinggal, nuru artinya ikut. Setelah pria sudah diterima lamarannya
dan  bila kedua belah pihak menghendaki, sang pria diperkenankan tinggal
bersama calon mertua di rumah calon mertua. Dia akan menanti bulan baik
dan hari baik untuk melaksanakan upacara pernikahan. Datangnya sang pria
untuk tinggal di rumah calon mertua inilah yang disebut dengan Ngge’e Nuru.
Selama terjadinya ngge’e nuru, sang pria harus memperlihatkan sikap,
tingkah laku dan tutur kata yang baik kepada calon mertuanya. Bila selama
ngge’e nuru ini sang pria memperlihatkan sikap, tingkah laku dan tutur kata
yang tidak sopan, malas dan sebagainya, atau tak pernah melakukan shalat,
lamaran bisa dibatalkan secara sepihak oleh keluarga perempuan. Ini berarti
ikatan sodi angi diantara dua remaja tadi putus.

6. Mbolo Ro Dampa

Bila ngge’e nuru telah berjalan mulus, maka orang tua dan keluarga dua belah
pihak akan mengadakan “Mbolo ro dampa” (musyawarah) untuk menentukan
hari dan bulan yang baik untuk pelaksanaan nikah. Jumlah atau besar
kecilnya mahar serta persyaratan lainnya semua diputuskan dalam mbolo ra
dampa.

7. Nggempe

Setelah hari pernikahan diputuskan bersama, maka calon penganten putri


harus melakukan ketentuan adat yang disebut “nggempe”. Pada tahapan ini
calon penganten perempuan tidak leluasa lagi meninggalkan rumah untuk
bergaul dengan teman-teman sebaya. Ia harus berada di pamoka (loteng)
didampingi oleh seorang tokoh adat perempuan sebagai “Ina ruka” (inang
pengasuh) bertugas untuk membimbing dan menasehati calon penganten.
Selama nggempe calon penganten akan ditemani oleh beberapa teman gadis
sehingga tidak merasa kesepian.

8. Wa’a Masa Nika

Sesuai keputusan Mbolo ro dampa, maka beberapa hari menjelang lafa (akad
nikah), akan dilangsungkan upacara wa’a masa nika (pengantaran emas
nikah) atau wa’a co’i (pengantaran mahar). Upacara dilaksakan sore hari
sesudah sholat ashar, diikuti oleh keluarga, ompu panati,  ulama, tokoh adat
dan para kerabat. Para peserta akan berangkat dari rumah orang tua
penganten laki-laki, berbusana adat yang sesuai dengan status sosial masing-
masing.

Rombongan pengantar mahar (dende wa’a co’i) akan dimeriahkan dengan


atrasi kesenian Jiki Hadra (jikir hadrah) diiringi musik Arubana (rebana).
Setibanya di rumah calon penganten putri akan disambut dengan tarian wura
bongi monca (tari menabur beras kuning) dan atrasi mpa’a sila, gantao dan
buja kadanda.

9. Kalondo Wei

Upacara pengantaran calon penganten putri dari rumah orang tuanya menuju
uma ruka (rumah untuk penganten). Dilaksakan pada bulan purnama sesuai
sholat Isya. Calon penganten putri diturunkan (kalondo) dari atas rumah
orang tuanya dan diusung ke uma ruka (rumah penganten). Diantar oleh
sanak keluarga dan kerabat dengan berbusana adat yang beraneka ragam
sesuai dengan status sosial dan usia pemakai. Dimeriahkan dengan atrasi jiki
hadra (jikir hadra) diiringi musik rebana.Pada waktu yang bersamaan di uma
ruka sedang berlangsung “Ngaji kapanca” (tadarusan pada upacara kapanca).
Ngaji kapanca akan berakhir bersamaan dengan setibanya rombongan calon
penganten putri di uma ruka. Setibanya di uma ruka, rombongan penganten
disambut dengan tari wura bongi monca dan dimeriahkan dengan atraksi
mpa’a sila, gantao dan buja kadanda.

10. Upacara Kapanca

Setelah calon penganten putri bersama rombongan tiba di Uma Ruka, maka
akan dilanjutkan dengan upacara kapanca (penempelan inai). Upacara
kapanca atau penenpelan inai di atas telapak tangan calon penganten putri
dilakukan oleh para tokoh adat perempuan. Dilakukan secara bergilir diiringi
dengan lantunan jiki kapanca (jikir kapanca) tanpa iringan musik. Syair jikir
berisi pujian atas kebesaran dan kemuliaan Allah dan Rasul.
11. Weha Nggahi

Sebelum prosesi Akad Nikah, calon penganten puteri meminta ijin kepada
orang tuanya untuk menikah. Prosesi ini berlangsung di Uma Ruka, atau di
tempat tidur yang sudah dirias. Inilah proses Weha Nggahi atau meminta
restu ayah bunda sebelum menikah. Didampingi oleh penghulu, calon
penganten puteri bersujud dan mencium tangan ayah bundayanya. Lalu
memohon ijin kepada ayahnya.

“Ayah, ijinkan saya menikah dengan Si Fulan. Maafkan atas segala kesalahan
dan khilaf selama ini.”

“Baiklah anakku, Aku ijinkan engkau menjadi istri Si Fulan. Semoga kalian
mendapatkan kebahagiaan dunia akhirat. “

Terkadang prosesi ini mengharukan. Banyak orang-orang yang sempat


menyaksikannya berurai air mata. Karena prosesi ini tidak sekedar meminta
ijin orang tua, tapi memiliki makna yang luas, karena nikah adalah perjalanan
mengarungi bahtera yang terbentang penuh tantangan.

12. Lafa

Lafa atau  Akad nikah merupakan acara kunci dalam pernikahan. Pada intinya
akad nikah adalah upacara keagamaan untuk pernikahan antara dua insan
manusia. Melalui akad nikah, maka hubungan antara dua insan yang saling
bersepakat untuk berumah tangga diresmikan di hadapan manusia dan
Tuhan.

13. Hengga Dindi dan Kelambu

Penganten pria bersama sara hukum didampingi ompu tua (Orang Yang
Dituakan) dan ompu panati akan melaksanakan satu upacara adat yang
dilaksanakan setelah upacara lafa yaitu Hengga Dindi dan Hengga Kelambu.
Secara harfiah “hengga dindi” berari “buka tabir”, atau hengga kalambu
berarti buka kelambu sebelum masuk ke kamar bunti siwe, bunti mone
(penganten laki-laki) bersama pendamping berdiri di luar “dinding satampa”
(tabir pemisah). Di bagian dalam dindi satampa ada Ina ruka (inang
pengasuh) bersama istri lebe, istri galara dan tokoh adat perempuan. Upacara
di mulai oleh pihak bunti mone diwakili oleh ompu panati.

Diawali dengan shalawat dan salam, ompu panati penyampaikan syair dan
pantun. Sambil melemparkan beberapa keping uang perak ke dalam tabir.
Setelah lemparan ketiga, akhirnya ina ruka membuka dindi satampa(Tabir
pembatas). Dengan mempersembahkan puji syukur kepada Allah SWT,
disusul dengan bacaan basmallah, akhirnya bunti mone bersama gelara dan
lebe didampingi ompu panati dan keluarga memasuki kamar bunti siwe.
Sesudah berada di dalam kamar, bunti mone melaksanakan shalat sunat dua
rakaat untuk memohon kehadapan Allah AWT, agar mahligai rumah tangga
selalu mendapat rahmat dan hidayah-Nya.

14. Nenggu atau Persembahan kesetiaan

Kini tiba saatnya bunti mone untuk melangkah mendekati bunti siwe guna 
melaksanakan upacara nenggu, yaitu mempersembahkan jungge ke sanggul
sang bunti siwe tercinta. Upacara ini kadang-kadang disebut upacara cepe
jenggu. Bunti mone mengawali upacara dengan mempersembahkan sekuntum
jungge kala (Sanggul Merah) sebagai isyarat bahwa bunti mone seorang gagah
berani, namun jungge kala lambang keberanian dibantik oleh bunti siwe.

Kini bunti mone mempersembahkan jungge monca (Sanggul Kuning) kepada


sang istri tercinta bunti siwe. Namun apa hendak dikata, jungge monca
lambang kejayaan juga ditolak oleh bunti siwe. Bunti mone tidak putus asa, di
tangan masih ada sekuntum jungge bura (Sanggul Putih) sebagai lambang
keikhlasan hati dalam membina mahligai rumah tangga. Penyerahan jungge
bura (Sanggul Putih) disambut gembira oleh bunti siwe. Jungge bura sebagai
simbul keikhlasan lebih utama dari sekuntum bunga merah dan kuning.

Karena keberanian tanpa keikhlasan akan menimbulkan petaka bagi keluarga.


Kejayaan diraih dengan hasat dengki tidak akan berguna. Semua perjuangan
tanpa kesucian akan sia-sia.

15. Boho Oi Ndeu

Acara Boho Oi Ndeu (Siraman) disebut juga Elo Rawi. Elo Rawi  terdiri dari
kata “elo” dan “rawi”. Elo berarti ekor atau akhir, sedangkan “rawi” berarti
pekerjaan, dalam hal ini berarti “upacara”. Pengertian Elo Rawi dalam
upacara adat Bima-Dompu adalah upacara adat yang mengakhiri seluruh
rangkain upacara adat tersebut.
Boho oi ndeu adalah upacara memandikan penganten, dilakukan oleh ina
ruka dan disaksikan oleh kaum ibu. Berlangsung pagi hari jam 09.00. karena
itu upacara ini di namakan “boho oi ndeu” atau menyiram air mandi. Pada
upacara boho oi ndeu, kedua penganten berdiri di atas “tampe dan lihu” (dua
jenis alat tenun tradisional), kedauanya berdiri menghadap kiblat. Badan
mereka disatukan dengan ikatan “ero lanta” (benang putih). Kemudian di
sekitar penganten dinyalakan lampu lilin.

16. Ngaha Nggula

Sesudah upacara boho oi ndeu, maka dilanjutkan dengan upacara adat yang di
kenal dengan “Ngaha Nggula”. Sebenarnya upacara ini merupakan upacara
do’a yang dihadiri oleh gelara, lebe dan para tokoh agama dan adat beserta
sanak saudara. Dalam upacara ini para undangan akan menikmati makanan
khas Mbojo yaitu “Mangge Mada”. Mangge mada sejenis lauk pauk yang
dibuat dari isi perut kambing atau kerbau, yang di cincang halus. Kemudian
dicampur dengan santan kelapa, diberi bumbu “ringa” (wijen) dan bumbu
khas Mbojo yang lain.

17. Pamaco

Pada sore hari sesudah sholat ashar, dilanjutkan  dengan upacara adat
“tawori” atau “pamaco”. Upacara ini berlangsung di uma ruka dihadiri oleh
para sanak keluarga atau anggota keluarga saja. Dalam upacara tawori atau
pamaco, seluruh keluarga akan datang memberikan sumbangan kepada
penganten baru untuk dijadikan modal dalam membina rumah tangganya.
Pada masa lalu tawori atau pamaco hanya upacara untuk  keluarga dalam
rangka mengumpulkan sumbangan untuk kedua penganten.

Para handai taulan serta kerabat di luar lingkungan keluarga sudah hadir
pada mada  rawi yaitu upacara lafa, sesuai dengan sunah Nabi yang
menganjurkan kita menghadiri upacara lafa (akad nikah). Para kerabat dan
seluruh masyarakat di sekitar sudah memberikan sumbangan pada awal
pelaksanaan nika ro neku. Mereka datang beramai-ramai untuk
melaksanakan “teka ro ne’e” (memberikan sumbangan). Pada perkembangan
selanjutnya, upacara tawori atau pamaco dikenal dengan istilah rama tamah
atau resepsi pernikahan. Pada masa sekarang sumbangan yang diberikan oleh
undangan tidak seimbang dengan biaya yang dikeluarkan oleh keluarga
penganten, sehingga tujuan dari upacara sudah tidak sama dengan tujuan
tawori atau pamaco masa lalu.

Anda mungkin juga menyukai