Anda di halaman 1dari 108

Bab I

Hakikat Psikolinguistik

Standar Kompetensi

 Setelah mengikuti perkuliahan ini, mahasiswa diharapkan dapat memahami hakikat


psikolinguistik dan hubungan antara psikologi dan linguistik

Kompetensi Dasar

 Mahasiswa dapat menguraikan perkembangan psikolinguistik


 Dapat menghubungkan bidang kajian antara psikologi dan linguistik

Indikator

 Menjelaskan latar belakang lahirnya psikolinguistik sebagai salah satu kajian


eksternal bahasa.
 Menjelaskan pengertian, perkembangan, dan macam-macam aliran psikologi
 Menjelaskan pengertian, perkembangan, dan jenis-jenis linguistik.
 Menjelaskan hubungan antara psikologi dan linguistik dalam psikoliguistik.
 Menjelaskan subdisiplin psikolinguistik dan klasifikasi utamanya.

Suatu hal yang harus disadari bahwa setiap bahasa pasti memiliki sistem, yaitu
seperangkat kaidah yang bersifat mengatur. Setiap bahasa pasti memiliki asas-asas, pola-pola.
Sebagai alat komunikasi verbal, bahasa dapat dianalisis secara internal maupun secara
eksternal. Secara internal yaitu adanya sebuah kajian bahasa terhadap struktur bahasa itu
sendiri, mulai dari fonologi, morfologi, sintaksis, paragraf, sampai konteks wacana. Adapun
mengkaji bahasa secara eksternal menyangkut kajian yang menghubungkan bahasa dengan
faktor-faktor atau hal-hal yang ada di luar bahasa, seperti faktor sosial, budaya, psikologi,
seni dan lain sebagainya.

Kajian eksternal bahasa akan melahirkan sebuah disiplin baru yang merupakan kajian
antara dua bidang ilmu atau lebih. Umpamanya Sosiolinguistik yang merupakan kajian antara
sosiologi dan linguistik, Psikolinguistik yang merupakan kajian antara psikologi dan

1
linguistik, dan Neurolinguistik yang merupakan kajian antar neurologi dan linguistik. Pada
saat ini tuntutan kebutuhan dalam kehidupan telah menyebabkan perlunya usaha-usaha
konkret pada kajian multidisipliner. Kajian semacam ini sengaja dilakukan untuk mengatasi
berbagai persoalan yang terjadi dalam kehidupan manusia yang semakin kompleks.

Penerjemahan, pembelajaran bahasa, merupakan contoh masalah yang sangat


kompleks dalam kehidupan manusia. Kedua hal tersebut selain berkenaan langsung dengan
bahasa, juga berkenaan dengan masalah kegiatan berbahasa. Sedangkan kegiatan berbahasa
itu merupakan hal yang tidak hanya berjalan secara mekanistik tetapi juga secara mentalistik.
Artinya kegiatan berbahasa itu juga melibatkan faktor-faktor yang berkenaan dengan proses
kegiatan mental. Oleh karena itu, dalam kegiatannya dengan proses berbahasa tersebut kajian
kebahasaan (linguistik) perlu dilengkapi dengan studi antardisiplin ilmu yaitu antara
linguistik dan psikologi yang lazim disebut psikolinguistik. Untuk memahami dengan lebih
dalam tentang kajian psikolinguistik ini, terlebih dahulu perlu dibicarakan tentang psikologi
dan linguistik, meskipun secara singkat.

1.1 Psikologi dan Linguistik


a. Psikologi

Kata psikologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu psiche dan logos, psiche yang dalam
bahasa Inggris bersinonim denagn soul, mind, dan spirit yang mempunayi arti jiwa,
sedangkan logos artinya nalar, logika atau ilmu. Jiwa, dalam bahasa Arab disebut sebagai
nafs atau ruh yang merupakan masalah yang abstrak. Secara harfiah psikologi adalah
ilmu yang mempelajari tentang keadaan jiwa manusia.

Karena masalah jiwa adalah masalah yang abstrak maka psikologi bukan
membicarakan keadaan jiwa itu secara langsung, tetapi mempelajari sikap dan perilaku
sebagai ekspresi keadaan jiwa yang ada. Hal ini didasarkan pada sebuah anggapan ahwa
jiwa itu selalu diekspresikan melalui raga attau badan yang berbentuk sikap atau prilaku.
Dengan mempelajari ekspresi yang tampak pada sikap dan prilaku seseorang maka akan
diketahui keadaan jiwa orang yang besangkutan.
Dalam setiap perkembangannya, psikologi lebih mebahas atau mengkaji sisi manusia
yang dapat diamati. Jiwa bersifat abstrak sehingga tidak dapat diamati secar empiris,
padahal objek setiap ilmu harus dapat diobservasi secara inderawi. Maka dalam hal ini
jiwa tau keadaan jiwa hanya bisa diamati melalu gejal-gejalanya seperti orang yang
sedang gembira akan berlaku riang dengan wajah yang berbinar-binar, fan orang yang

2
sedih akan tampak murung. Meskipun demikian, sering didapati berbagai macam
kesulitan untuk mengetahui keadaan jiwa seseorang hanya melihat tingkah lakunya saja.
Tidak jarang dijumpai seseorang yang sebenarnya jengkel atau marah tetapi jiwanya
tenang dan malah tertawa.
Meskipun sikap yang terlahir dari seseorang belum tentu dapat menggambarkan
gejolak yang ada dalam jiwanya, namun psikologi lazim disebut sebagai satu bidang
ilmu yang mencoba untuk mempelajari perilaku manusia. Yaitu dengan cara mengkaji
hakikat rangsangan, hakikat reaksi terhadap rangsangan tersebut, serta mengkaji terhadap
proses-proses akal yang berlaku sebelum reaksi itu terjadi. Sehingga ahli psikologi saat
ini cenderung menganggap psikologi sebagai suatu ilmu yang mengkaji proses “akal
manusia” dengan segala manifestasi yang mengatur prilaku manusia itu. Tujuan
pengkajian akal ini adalah untuk menjelaskan, memprediksi, dan mengontrol perilaku
manusia.
Lebih lanjut dalam perkembangannya psikologi dibagi menjadi beberapa aliran sesuai
dengan filsafat yang dianut. Karena itulah dikenal adanya psikologi mentalistik,
behavioristik, dan kognitifistik.
Psikologi mentalistik akan melahirkan aliran yang disebut psikologi kesadaran.
Tujuan utama dari psikologi kesadaran ini adalah mengkaji proses-proses akal manusia
dengan cara mengintrospeksi atau mengkaji diri. Oleh karena itu, psikologi kesadaran ini
sering disebut dengan psikologi introspeksionisme. Psikologi ini juga merupakan suatu
proses akal dengan cara melihat ke dalam diri sendiri setelah terjadi suatu rangsangan.
Psikologi behavioristik melahirkan psikologi prilaku. Adapun tujuan utama psikologi
ini adalah mengkaji perilaku manusia yang berupa reaksi apabila suatu rangsangan
terjadi serta bagaimana mengawasi dan mengontrol perilaku tersebut. Para pakar
psikologi behavioristik ini tidak berminat mengkaji proses-proses akal yang
membangkitkan perilaku tersebut karena proses-proses akal ini tidak dapat diamati atau
diobservasi secara langsung. Jadi, para ahli psikologi perilaku ini tidak mengkaji ide-ide,
pengertian, keinginan, maksud, pengharapan dan segala mekanisme fisiologi. Yang
dikaji hanyalah peristiwa-peristiwa yang dapat diamati, yang nyata dan konkret, yaitu
tingkah laku manusia.
Psikologi kognitifistik sering disebut dengan psikologi kognitif. Psikologi kognitif ini
mengkaji proses-proses kognitif manusia secara ilmiah. Yang dimaksud proses kognitif
adalah proses-proses akal manusia yang bertanggung jawab mengatur pengalaman dan
prilaku manusia. Hal utama yang dikaji dalam psikologi kognitif ini adalah bagaimana

3
cara manusia memperoleh, menafsirkan, mengatur, menyimpan, mengeluarkan, dan
meggunakan pengetahuannya, termasuk perkembangan dan penggunaan pengetahuan
bahasa. Yang membedakan dengan psikologi kesadaran adalah bahwa menurut paham
mentalisme proses-proses akal itu berlangsung setelah terjadinya rangsangan. Sedangkan
menurut psikologi kognitif proses-proses akal itu dapat terjadi karena kekuatan dari
dalam, tanpa adanya rangsangan terlebih dahulu. Perilaku yang muncul sebagai hasil
proses akal seperti ini disebut perilaku atau tindakan bertujuan sebagai hasil dari
kreativitas organisme manusia itu sendiri.

b. Linguistik
Linguistik secara umum lazim disebut dengan ilmu bahasa atau ilmu yang
mengambil bahasa sebagai objek kajiannya. Linguistik memperoleh kedudukan sebagai
ilmu yang mandiri (otonom) sebenarnya baru pada permulaan abad ke-20, yaitu setelah
terbitnya buku yang ditulis Ferdinand de Saussure (1916), Cours de Linguisique
Generale, kemudian karya E Sapir (1912), Langue an Introduction to study of
Seech. Serta terbitnya buku L. Bloomfield (1933), Langue.
Linguistik merupakan ilmu yang empiris. Sebagai ilmu yang empiris, kajian
linguistik bertolak pada kajian yang objektif dan teliti terhadap gejala tutur yang
berulang sama. Keempirisan linguistik antara lain ditentukan oleh:
a) Data kebahasaan yang benar-benar ditemukan atau dapat ditemukan dalam
wujud pertuturan (pemakaian bahasa dapat dicek oleh siapapun).
b) Tersedianya data dalam jumlah yang sangat memadai.
c) Kemungkinan hasil kajian dapat diverifikasi oleh pengkaji lain secara
objektif.

Sebagaimana ilmu pengetahuan lain pada umumnya, Linguistik mempunyai objek


kajian. Objek kajian dalam linguistik adalah bahasa, sedangkan bahasa sendiri
merupakan fenomena yang senantiasa hadir dalam setiap aktivitas kehidupan manusia,
maka linguistik menjadi sangat luas bidang kajiannya. Oleh karena itu, hal ini dapat
dilihat dengan adanya berbagai kriteria atau pandangan. Secara umum pembidangan
linguistik ini adalah sebagai berikut:

Pertama, menurut objek kajiannya, linguistik dapat dibagi dalam dua cabang besar,
yaitu linguitik mikro dan linguistik makro. Objek kajian dalam linguistik mikro, struktur
internal bahasa itu sendiri mencakup struktur fonologi, morfologi, sintaksis dan

4
semantik. Sedangkan objek kajian linguistik makro adalah bahasa dalam hubungannya
dengan faktor-faktor di luar bahasa seperti faktor sosiologi, psikologi, antropologi,
neurolinguistik, dan etnolinguistik.

Kedua, menurut tujuan kajiannya, linguistik dapat dibedakan atas dua bidang besar,
yaitu linguistik teoritis dan linguitik terapan. Kajian teoritis hanya ditujukan untuk
mencari atau menemukan teori-teori linguistik belaka. Hanya untuk membuat kaidah-
kaidah lingusitik secara deskriptif. Sedangkan kajian terapan ditujukan untuk
menerapkan kaidah-kaidah linguistik dalam kegiatan praktis, seperti dalam pengajaran
bahasa, penerjemahan, penyusunan kamus dan sebagainya.

Ketiga, menurut periode perkembangannya terdapat lingusitik historis dan sejarah


linguistik. Linguistik historis mengkaji perkembangan dan perubahan suatu bahasa atau
sejumlah bahasa, baik dengan diperbandingkan maupun tidak. Adapun sejarah linguistik
mengkaji perkembangan ilmu linguistik baik mengenai tokoh-tokohnya, aliran-aliran
teorinya, maupun hasil-hasil kerjanya.

Senada dengan hal di atas, linguistik juga dapat dibedakan menjadi linguistik
deskriptif dan linguistik normatif/preskriptif. Masing-masing mempunyai orientasi dan
tujuan yang berbeda. Linguistik deskriptif mengkaji fenomena kebahasaan yang
senyatanya ada dan memberikan sistem bahasa berdasarkan data yang sebenarnya.

Hal ini berbeda dengan linguistik deskriptif, linguistik normatif mengkaji bahasa
berdasarkan norma atau ketentuan yang berlaku. Suatu wujud pertuturan bisa diaggap
salah atau benar berdasarkan norma tertentu tersebut, sikap normatif ini biasanya
terdapat di kalangan pengajaran bahasa di sekolah.

Keempat, berdasarkan cara kerjanya jenis linguistik yang lain adalah linguistik
komparatif sinkronis dan linguistik diakronis. Cara kerja linguistik komparatif sinkronis
adalah memperbandingkan. Disebut linguistik komparatif sinkronis jika membandingkan
dua satuan lingual atau lebih yang serumpun untuk mengetahui persamaan dan
perbedaannya. Misalnya secara sinkronis bahasa Arab dibandingkan dengan bahasa
Madura, Melayu dan sterusnya dengan tujuan untuk menentukan perkerabatan bahasa
atau untuk mengetahui persamaan dan perbedaan gramatisnya. Disebut linguistik
komparatif kontrastif jika membandingkan dua bahasa yang tidak serumpun. Misalnya
bahasa Indonesia dengan bahasa Inggris. Pada jenis linguistik diakronis dibandingkan

5
beberapa bahasa yang serumpun dari waktu ke waktu dengan tujuan pokok membuat
rekonstruksi bentuk proto atau bentuk asal bahasa induknya.

1.2 Psikolingustik
Kata psikolinguistik terbentuk dari psikologi dan linguistik, yaitu dua bidang ilmu
yang berbeda, yang masing-masing berdiri sendiri, dengan prosedur dan metode yang
berlainan pula. Namun, keduanya sama-sama mengkaji perilaku berbahasa atau proses
berbahasa. Dengan demikian, cara dan tujuannya pun juga berbeda. Meskipun cara dan
tujuannya berbeda, banyak bagian-bagian objeknya yang dikaji dengan cara yang sama,
meskipun tidak sedikit yang berlainan. Oleh karena itu, telah lama dirasakan perlu
adanya kerjasama yang sinergis antara dua disiplin ilmu untuk mengkaji bahasa dan
hakikat bahasa. Melalui kedua disiplin ini diharapkan dapat diperoleh sebuah hasil kajian
yang lebih baik dan bermanfaat.
Hubungan sinergis antara kedua disiplin ini pada awalnya disebut linguistics
psychology dan ada juga yang mengatakan psychology of language dengan penekanan
yang berbeda pada keduanya. Kemudian sebagai hasil yang sistematis lahirlah sebuah
ilmu baru yang disebut Psikolinguistik, sebagai ilmu antar disiplin, antara psikologi dan
linguistik. Istilah psikolinguitik itu sendiri baru lahir tahun 1954, yaitu saat terbitnya
buku Psycholinguistiks : A survey of Theory and Research Problems yang ditulis oleh
Charles E. Osgood dan Thomas A. Seboek, di Bloomington, Amerika Serikat.
Psikolinguistik dapat menguraikan proses-proses psikologi yang berlangsung jika
sesorang mengucap kalimat-kalimat yang didengarnya pada waktu berkomunikasi, dan
bagaimana berbahasa itu diperoleh oleh manusia. Maka secara teoritis tujuan linguistik
dapat diterima dan secara psikologi dapat menerangkan hakikat suatu bahasa serta proses
pemerolehannya. Dengan kata lain, psikolinguistik mencoba menjelaskan perihal struktur
bahasa serta bagaimana struktur bahasa tersebut diperoleh, digunakan pada waktu
bertutur, dan pada waktu memahami kalimat-kalimat yang digunakan adalah tuturan
tersebut.
Hubungan yang sinergis antara psikologi dan linguistik tidak hanya menjelaskan
bahasa saja, akan tetapi masih membutuhkan bantuan berbagai macam disiplin ilmu yang
lain seperti neurologi, neuropsikologis, dan neurolinguistik. Sehingga walaupun telah
digunakan istilah psikolinguisik, bukan berarti hanya kedua bidang ilmu itu yang
diterapkan. Akan tetapi, hasil dari berbagai macam penelitian dari ilmu-ilmu lain pun
dimanfaatkan.

6
1) Macam-macam Psikolinguistik
Berdasarkan uraian di atas psikolinguistik telah menjadi sisiplin ilmu yang luas
dan kompleks, sehingga dalam perkembangannya telah banyak melahirkan
berbagai macam subdisiplin psikolinguistik, di antaranya adalah sebagaimana
dijelaskan Chaer (2003) berikut ini:
 Psikolinguistik Teoritis, yaitu psikolinguistik yang membahas tentang teori-
teori bahasa yang berkaitan dengan proses-proses mental manusia dalam
berbahasa, misalnya dalam rancangan fonetik, diksi, sintaksis, wacana, dan
intonasi.
 Psikolinguistik Perkembangan, yaitu psikolinguistik yang mengkaji tentang
proses memperoleh bahasa, baik pemerolehan bahasa pertama (BI) maupun
pemerolehan bahasa kedua (B2). Di samping itu, psikolinguistik
perkembangan juga mengkaji proses pemerolehan fonologi, semantik,
sintaksis, yang diperoleh secara berjenjang, bertahap dan terpadu.
 Psikolinguistik Sosial, yaitu psikolinguistik ysng berhubungan dengan aspek-
aspek sosial bahasa. Bagi suatu masyarakat tertentu, bahasa tidak hanya alat
komunikasi saja tetapi merupakan sebuah ikatan batin yang sulit ditinggalkan.
 Psikolinguistik Pendidikan, yaitu psikolinguistik yang mengkaji aspek-aspek
pendidikan dalam pendidikan formal di sekolah. Seperti peranan bahasa dan
pengajaran keterampilan berbahasa, serta pengetahuan mengenai peningkatan
kemampuan berbahasa dalam proses memperbaiki kemampuan menyampaikan
ide dan perasaan.
 Neuropsikolinguistik, yaitu psikolinguistik yang mengkaji hubungan bahasa
dan otak manusia. Para ahli neurologi telah banyak menganalisis struktur
biologis otak manusia, serta telah memberi nama pada bagian otak tersebut.
Dalam hal ini neurolinguistik berperan untuk menjelaskan tentang masukan
bahasa bagaimana keluaran bahasa setelah diprogram dan dibentuk dalam otak
tersebut.
 Psikolinguistik Eksperimen,dalam hal ini psikolinguistik berusaha melakukan
sebuah eksperimen dalam berbagai macam kegiatan berbahasa pada satu pihak
perilaku berbahasa serta akibat yang ditimbulkan pada pihak lainnya.
 Psikolinguistik Terapan, psikolinguistik ini berkaitan dengan penerapan dari
berbagai macam temuan di atas ke dalam bidang-bidang tertentu yang

7
memerlukannya. Yang termasuk ke dalam bidang ini adalah psikologi,
linguistik, pertuturan dalam pemahaman, pembelajaran bahasa, pengajaran
membaca, neurologi, psikiatri, komunikasi, dan sastra.

Psikolinguistik juga dapat diklasifikasikan ke dalam tiga bidang utama sebagai


berikut.

 Psikolinguistik Umum, yaitu studi mengenai bagaimana pengamatan atau


persepsi orang dewasa tentang bahasa dan bagaiman ia memproduksi bahasa.
Selain itu, psikologi umum juga mengkaji proses kognitif yang mendasari
pada waktu seseorang mnggunakan bahasa.
 Psikoliguistik Perkembangan, yaitu suatu kajian pemerolehan bahasa pada
anak-anak dan orang dewasa. Dalam hal ini juga dikaji tentang persoalan-
persoalan yang dialami oleh seorang anak yang harus belajar dua bahasa
sekaligus, bagimana seorang anak memperoleh bahasa pertamanya, apakah
orang dewasa yang belajar bahasa kedua juga mengalami hal yang sama
dengan seorang anak dalam memperoleh bahasa pertamanya, dan teknik
pengajaran bahasa yang bagaimana yang dapat mengurangi terjadinya
interferensi antara dua bahasa dalam pembelajar.
 Psikolinguistik Terapan, hal ini merupakan aplikasi dari teori-teori
psikolinguistik dalam kehidupan sehari-hari pada orang dewasa ataupun pada
anak-anak. Dalam bidang terapan ini masih dibedakan menjadi dua macam.
Pertama, Applied general Psycholinguistiks yang meliputi Normal Applied
Psycholinguistiks (membicarakan pengaruh perubahan ejaan terhadap persepsi
orang mengenai ciri visual kata-kata) dan Abnormal Applied Psycholinguistiks
(mengkaji masalah kesukaran pengucapan pada orang-orang penderita
aphasia yang kadang-kadang dapat mengerti bahasa tetapi kesulitan untuk
mengucapkannya). Kedua, Applied Developmental Psycholinguistics yang
terdiri atas (1) Normal Applied Developmental Psycholinguistics yang
membahas tentang bagaimana membuat program belajar membaca dan
menulis, apakah lebih baik menggunakan metode global atau metode sintesis
atau lainnya. (2) Abnormal Applied Developmental Psycholinguistics yang
mebahas mengenai apa yang dapat dilakukan untuk membantu anak-anak
yang mengalami keterlambatan dalam perkembangan bahasanya yang

8
disebabkan adanya kelainan yang bersifat bawaan. Contohnya, anak tuna
rungu.

2) Ruang Lingkup Kajian Psikolinguistik


Psikolinguistik yang merupakan sebuah kajian mengenai penggunaan bahasa dan
perolehan bahasa oleh manusia, akan senantiasa menempatkan manusia sebagai
pelaku sekaligus pengguna bahasa, sehingga sistem-sistem yang ada pada diri
manusia akan dapat menjelaskan bagaimana manusia dapat menangkap ide-ide orang
lain dan bagaimana ia dapat mengekspresikan ide-idenya sendiri melalui bahasa, baik
secara tertulis maupun secara lisan.
Adapun ruang lingkup kajian psikoliguistik dapat dijelaskan melalui tabel berikut
ini .

Bagian Sub Bagian Contoh


Persepsi Auditif Visual Mendengarkan, menulis,
membaca
Kognitif Ingatan berpikir Memori Verbal, Berpikir Verbal
Psikoliguistik Umum
intuisi
Produksi Auditif Visual Berbicara Menulis
Bahasa -struktur kalimat dua kata
Psikoliguistik Pertama -Belajar membaca
Perkembangan -Interferensi atau kemudahan
Bahasa Kedua yang disebabkan oleh bahasa
pertama
Umum Normal Studi tentang Ejaan
Menyimpang Aphasia
Psikoliguistik
Perkembanga Normal Kurikulum untuk belajar
Terapan
n membaca
Menyimpang Gagap, buta warna, disleksia

Kesimpulan

 Pada saat ini tuntutan kebutuhan dalam kehidupan telah menyebabkan perlunya
usaha-usaha konkret pada kajian multidisipliner. Kajian semacam ini sengaja
dilakukan untuk mengatasi berbagai persoalan yang terjadi dalam kehidupan manusia
yang semakin kompleks termasuk kegiatan berbahasa. Sedangkan kegiatan berbahasa
itu merupakan hal yang tidak hanya berjalan secara mekanistik tetapi juga secara

9
mentalistik. Artinya kegiatan berbahasa itu juga melibatkan faktor-faktor yang
berkenaan dengan proses kegiatan mental. Oleh karena itu, lahirlah psikoliguistik
yang merupakan kajian antara psikologi dan linguistik.
 Secara harfiah psikologi adalah ilmu yang mempelajari tentang keadaan jiwa
manusia. Dalam setiap perkembangannya, psikologi memiliki beberapa aliran sesuai
dengan filsafat yang dianut. Karena itulah dikenal adanya psikologi mentalistik,
behavioristik dan kognitivistik.
 Linguistik secara umum lazim disebut dengan ilmu bahasa atau ilmu yang mengambil
bahasa sebagai objek kajiannya. Menurut objek kajiannya, linguistik dapat dibagi
dalam dua cabang besar, yaitu linguitik mikro dan linguistik makro. Objek kajian
dalam linguistik mikro, struktur internal bahasa itu sendiri mencakup struktur
fonologi, morfologi, sintaksis dan semantik. Sedangkan objek kajian linguistik makro
adalah bahasa dalam hubungannya dengan factor-faktor di luar bahasa seperti faktor
sosiologi, psikologi, antropologi, neurolinguistik, dan etnolinguistik.
 Psikolinguistik merupakan ilmu antar disiplin, antara psikologi dan linguistik.
Hubungan sinergis antara kedua disiplin ini pada awalnya disebut linguistics
psychology dan ada juga yang mengatakan psychology of language dengan
penekanan yang berbeda pada keduanya. secara teoritis tujuan linguistik dapat
diterima dan secara psikologi dapat menerangkan hakikat suatu bahasa serta proses
pemerolehannya. Dengan kata lain, psikolinguistik mencoba menjelaskan perihal
struktur bahasa serta bagaimana struktur bahasa tersebut diperoleh, digunakan pada
waktu bertutur, dan pada waktu memahami kalimat-kalimat yang digunakan adalah
tuturan tersebut.
 Subdisiplin Psikolinguistik terdiri dari Psikolinguistik Umum, yaitu studi mengenai
bagaimana pengamatan atau persepsi orang dewasa tentang bahasa dan bagaiman ia
memproduksi bahasa, Psikolinguistik Terapan, hal ini merupakan aplikasi dari teori-
teori psikolinguistik dalam kehidupan sehari-hari pada orang dewasa ataupun pada
anak-anak, dan Psikoliguistik Perkembangan, yaitu suatu kajian pemerolehan bahasa
pada anak-anak dan orang dewasa.

Latihan:

10
1. Psikologi dan linguistik merupakan dua bidang ilmu yang berbeda. Jelaskan
perbedaan hakiki antara kajian bidang psikologi dan linguistik !
2. Menurut tujuan kajiannya, linguistik dibagi menjadi dua bidang besar. Jelaskan kedua
bidang yang dimaksud !
3. Coba Anda jelaskan bahwa antara psikolinguistik dan psikologi bahasa merupakan
dua bidang yang berbeda !
4. Psikolinguistik dapat dibagi menjadi beberapa subdisiplin. Coba Anda jelaskan
subdisiplin psikolinguistik itu !
5. Jelaskan apa saja menjadi kajian psikolinguistik terapan !

Daftar Pustaka

Chaer, Abdul. 2003. Psikolinguistik: Kajian Teoritik. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Dardjowidjojo, Soenjono. 1987. Echa: Kisah Pemerolehan Bahasa Anak Indonesia. Jakarta:
PT Gramedia Widiasarana Indonesia.

Indah, Rohmani Nur dan Abdurrahman. 2008. Psikolinguistik: Konsep dan Isu Umum.
Malang: UIN-Malang Press.

Subyakto-N, Sri Utari. 1988. Psikoinguistik: Suatu Pengantar. Jakarta: Depdikbud Dirjrn
Dikti.

Tarigan, Henry Guntur. 1984. Psikolinguistik. Bandung: Angkasa.

11
Bab II

Tinjauan Perkembangan Psikolinguistik

StandarKompetensi

 Mahasiswa memiliki dasar pemahaman tentang lahirnya disiplin psikolinguistik


berdasarkan tahap-tahap perkembangannya

Kompetensi Dasar

 Dapat menelaah perkembangan psikolinguistik berdasarkan tahapannya dan


argumentasi yang mendasarinya
 Dapat mengungkapkan aliran-aliran yang berpengaruh dalam perkembangan
psikolinguistik.

Indikator:

 Menjelaskan argumentasi-argumentasi yang mendasari lahirnya disiplin psikolinguistik


 Menjelaskan perkembangan psikolinguistik pada tahap pormatif.
 Menjelaskan perkembangan psikolinguistik pada tahap linguistik.
 Menjelaskan perkembangan psikolinguistik pada tahap kognitif.
 Menjelaskan perkembangan psikolinguistik pada tahap teori psikolinguistik.

2.1 Ikhwal Psikolinguistik

Istilah psikolinguitik mulai muncul dan populer pada tahun 1954, yaitu saat terbitnya
buku Psycholinguistiks : A survey of Theory and Research Problems yang ditulis oleh
Charles E. Osgood dan Thomas A. Seboek. Pada awal perkembangannya, psikolinguistik
bermula dari adanya pakar linguistik yang berminat pada psikologi yang berkecimpung
dalam linguistik. Dan dilanjutkan dengan adanya kerjasama yang sinergis antar pakar
linguistik dan psikologi, hingga kemudian muncullah pakar-pakar psikolinguistik sebagai
disiplin ilmu yang mandiri.

Secara formal kelahiran psikolinguistik sebenarnya ditandai dengan dibukanya satu


program khusus psikolinguistik pada tahuan 1953 oleh R. Brown. Sarjana pertama (Ph.D)

12
yang dihasilkan oleh program ini adalah Eric Lenneberg yang sangat besar perannya dalam
bidang psikolinguistik. Kalau pada awal perkembangannya banyak pakar psikologi yang
“rindu” pada linguistik, dan banyak pakar linguistik yang berminat pada psikologi; lalu
kemudian banyak kerjasama antara pakar linguistik dan psikologi untuk menelaah masalah
keberbahasaan, maka dalam periode ini banyak pakar yang tidak merasa sebagai ahli
psikologi atau ahli linguistik, melainkan dirinya sudah sebagai pakar psikolinguistik. Dalam
periode ini nama-nama seperti Leshley, Lenneberg, Osgood, Skinner, Chomsky, dan bahkan
Miller patut untuk diketengahkan.

Sebelum terbitnya buku yang sangat penting dalam perkembangan psikolinguistik


yaitu Verbal Behavior (1957) oleh Skinner dan buku Syintactic Structure (1957) oleh Noam
Chomsky, Leshley telah menyarankan adanya beberapa masalah yang dapat dipecahkan
bersama oleh ahli psikologi dan ahli linguistik. Hal ini merupakan bukti konkret bahwa
Leshley yang merupakan orang penting dalam sejarah perkembangan psikolinguistik. Dalam
teorinya, Leshley menyatakan bahwa lahirnya suatu ucapan bukanlah merupakan pertalian
serentetan respons yang datang dari luar, melainkan merupakan satu kejadian akal yang
serentak; dan struktur sintaksis ucapan itu hanyalah secara tidak lengsung dihubungkan
dengan bentuk urutannya.

Lenneberg (dalam Chaer, 2003) menyatakan bahwa manusia mempunyai


kecenderungan yang bersifat biologis yang khusus untuk memperoleh bahasa yang tidak
dimiliki hewan, hal itu dikarenakan beberapa faktor. Pertama, terdapat pusat-pusat yang khas
di dalam otak untuk berbahasa. Kedua, cara perkembangan bahasa dalam sebuah bunyi
adalah sama. Ketiga, adanya kesulitan yang dialami untuk menghambat pertumbuhan bahasa
manusia. Keempat, bahasa tidak mungkin diajarkan pada makhluk lain. Kelima, semua
bahasa yang ada di dunia ini memiliki bagian-bagian yang sama yang bersifat universal.

Hal senada juga diungkapkan oleh George A. Miller dalam artikelnya yang berjudul
“The Psycholinguistics” (1965). Ia mengungkapkan bahwa kelahiran disiplin psikolinguistik
tidak dapat dielakkan karena para ahli psikologi telah lama mengakui bahwa akal manusia itu
menerima simbol-simbol linguistik, sedangkan para ahli linguistik megakui bahwa sejenis
motor psikososial telah dapat dipastikan menggerakkan mesin tatabahasa dan leksikon. Maka
berdasarkan argumentasi-argumentasi Miller tersebut dapat disimpulkan bahwa tugas utama
psikolinguistik adalah menganalisis proses-proses psikologi yang berlaku apabila orang
menggunakan kalimat-kalimat.

13
Lebih jauh lagi, Miller mencoba untuk memberikan komentar atas kebiasaan dalam
psikologi yang menganggap bahwa bahasa sebagai satu kemampuan yang hanya menyangkut
masalah makna. Sedangkan arti atau makna tersebut didefinisikan berdasarkan rujukan, dan
rujukan itu hanya merupakan salah satu hal yang diatur kebiasaan. Menurut Miller,
pendekatan model seperti ini hanya memecahkan satu persen saja dari masalah
psikolinguistik. Padahal masalah yang besar yaitu kemampuan manusia dalam mengatur
syarat-syarat atau kalimat-kalimat baru yang sangat berguna nemun telah terabaikan. Bahkan
Miller (dalam Chaer, 2003) menekankan perlunya psikologi mengkaji struktur kognitif dan
proses-proses pada waktu mengkaji bahasa sebagai suatu kemampuan manusia yang sangat
rumit ini, menurutnya, telah dimungkinkan oleh rumus-rumus linguistik yang telah
dinuranikan (itenalized) oleh manusia.

Di tahun 1990, Wundt seorang pakar psikolinguistik pernah menerbitkan sebuah buku
tentang psikolinguistik yang diberi judul Die Sprach. Dalam buku tersebut, Wundt berusaha
menggabungkan dua aliran linguistik yang sangat kuat pada awal abad ke-19, yaitu aliran
idealisme atau rasionalisme dengan aliran empirisme.

Salah seorang tokoh idealisme ini adalah Humboldt. Ia mencoba memberikan sebuah
ulasan tentang unit dasar dari kehidupan mental manusia adalah judgement (penilaian). Suatu
contoh, orang mengatakan, “Gadis itu sangat cantik”. Ungkapan tersebut merupakan suatu
penilaian yang terdapat dalam pikirannya.

Selain tersebut di atas, Humboldt juga pernah megungkapkan bahwa kelahiran


seorang anak telah dibekali dengan pengetahuan tertentu yang bersifat alamiah. Sehingga
dalam perkembangannya, seorang anak mula-mula tidak mempunyai pengetahuan apa-apa,
makin hari makin bertambah pengetahuannya. Lalu timbul pertanyaan, bagaimana proses dan
mekanismenya? Jawabannya adalah melalui apersepsi. Apersepsi merupakan tahapan
terakhir dari persepsi yang sangat mendalam, dimana objek-objek yang dipersepsikan
tersebut sangat jelas terpegang dan menonjol dalam kesadaran.

Sesuatu yang terdapat dalam pikiran manusia selalu berhubungan dengan apa yang
ada sebelumnya, atau selalu dengan keseluruhan isi pikirannya. Misalnya, seseorang yang
mempunyai ide atau pikiran yang ingin disampaikan melalui bahasa, maka dia harus
memusatkan perhatian pada topik yang ada dalam pikirannya dan mengubahnya ke dalam
bentuk kata-kata. Demikian ini, merupakan penilaian yang terdapat dalam pikiran,
sebagaimana yang dijelaskan dalam tabel berikut ini.

14
Philosophical Tradition Empiristic Idealist/ Rasionalist
Element of consciousness Sensation of image Judgement
Epistemology Knowledge trought Knowledge trought
experience; “empirism” “rasionalism”
Early knowledge and By learning Innate
language
Structuring principle Association, analogy apersepstion

Berbeda dengan aliran idealisme, aliran empirisme yang dipelopori oleh Jacob Grimm pada
permulaan abad ke-19 mempunyai pandangan empiris serta tertarik pada segi fonologi.
Bahkan dalam kurun waktu yang relatif singkat ia telah berhasil mengumpulkan data
mengenai struktur bunyi dari berbagai bahasa yang bersumber dari berbagai macam cerita
rakyat dan budaya yang berbeda-beda. Dalam analisisnya, ia mengemukakan adanya
kesamaan-kesamaan dari struktur bunyi dari bahasa-bahasa tersebut, misalnya
membandingkan bahasa Latin dengan bahasa Inggris, ia menemukan bunyi “p” pada kata
“peter” telah berubah menjadi “f” pada kata”fater”. Hasil dari temuan Grimm tersebut
disebut hokum Grimm (The Lawa Grimm). Sejak itulah gerakan menemukan hokum-hukum
dalam bahasa mulai berkembang.

Kaum empiris mengatakan bahwa pengetahuan diperoleh dari penginderaan. Jadi, dari
pengalaman bukan dari penalaran seperti yang diakatakan kaum idealis. Di samping itu,
dikatakannya juga bahwa anak-anak lahir tanpa pengetahuan apa-apa, mereka adalah tabula
rasa, sesuatu yang kosong. Hanya melalui pengalaman mereka baru mendapatkan
pengetahuan. Adapun mekanisme pembentukan ini kaum empiris adalah mlalui proses
asosiasi dan analogi.

Sejauh ini, dalam sejarah psikolinguitik dikenal dua tradisi yang berbeda, yaitu
mentalisme dan obyektivisme. Mentalisme adalah semua teori yang menganggap jiwa
sebagai realitas. Konsep-konsep mind, pikiran, image dan judgement merupakan bagian-
bagian yang penting dalam teorinya. Obyektivisme adalah semua teori yang gagasan-
gasannya berhubungan langsung dengan hal-hal yang teramati. Hingga pada abad ke-19 baik
aliran idealisme maupun empirisme kedua-duanya kelompok mentalisme.

Masih seputar perkembangan psikolinguitik, pada tahun 1962 Miller dan Noam
Chomsky pernah menulis sebuah artikel yang berjudul Finitary Models of Language Users.
Dalam tulisan ini Miller dan Chomsky mencoba untuk menekankan kebenaran realitas

15
psikologi dari tata bahasa tranformasi pada waktu melahirkan dan memahami kalimat-
kalimat. Miller dan Chomsky juga menyarankan agar teori bahasa dibedakan dari teori-teori
pemakaian bahasa karena keduanya merupakan dua hal yang berbeda.

2.2 Perkembangan Psikolinguistik

Di sisi lain, di benua Amerika hubungan antara bahasa dan ilmu jiwa juga mulai
tumbuh. Perkembangan ini dapat dibagi menjadi empat tahap yaitu:

A. Tahap Formatif
Pada pertengahan abad ke-20 Jhon W. Gardner, seorang psikologi dari Carnegie
Corporation, Amerika, mulai menggagas hibridisasi (penggabungan) kedua ilmu ini. Ide ini
kemudian dikembangkan oleh psikolog lain, Jhon B Carrol, yang pada tahun 1951
mengadakan suatu seminar di universitas Cornell untuk merintis keterkaitan antara kedua
disiplin ilmu tersebut. Hal pertemuan ini membuat gema yang begitu kuat di antara para ilmu
jiwa dan ahli bahasa sehingga banyak penelitian yang kemudian dilakukan terarah pada
kaitan antara kedua ilmu tersebut (Osgood dan Sebeok, 1954). Mulai pada saat inilah istilah
psikolinguitik mulai popular. Kelompok ini kemudian mendukung adanya penelitian
mengenai relativitas bahasa maupun universalitas bahasa. Pandangan tentang relativitas
bahasa seperti yang dikemukakan oleh Benjamin Lee Whorf (1956), dan universalitas bahasa
yang diekmukakan oleh Greenberg.
B. Tahap Linguistik
Perkembangan ilmu linguistik, yang semula hanya berorientasi pada aliran
behaviorisme dan kemudian beralih ke mentalisme pada tahun 1957 dengan diterbitkannya
buku Chomsky yang berjudul Syntactic Structures, serta kritik tajam Chomsky atas teori
behaviorisme B.F. Skinner telah banyak membuat psikolinguitik menjadi ilmu yang banyak
diminati banyak orang. Hal ini makin berkembang karena pandangan Chomsky tentang
universalitas bahasa yang mungkin mengarah pada pemerolehan bahasa, khususnya
pertanyaan, “Mengapa anak dimana pun juga memperoleh bahasa mereka dengan memakai
strategi yang sama?”. Bahkan kesamaan strategi ini telah didukung oleh berkembangnya
sebuah disiplin ilmu Neurolinguistik dan Biolinguistik.
Kajian bahasa dalam Neurolinguistik telah menunjukkan manusia telah ditakdirkan
memiliki otak yang berbeda dengan makhluk lainnya, baik dalam struktur maupun dalam
fungsinya. Pada manusia terdapat bagian-bagian otak yang berfungsi serta dikhususkan untuk
bahasa, sedangkan dalam makhluk lain (hewan) bagian-bagian ini tidak ada. Dari segi biologi

16
manusia memiliki struktur biologi yang berbeda dengan binatang. Mulut misalkan, memilkii
struktur yang sedimikian rupa sehingga manusia memungkinkan untuk mengeluarkan bunyi
yang berbeda-beda.
Biologi dan linguistik dapat menjadi disiplin ilmu biolinguistik, hal ini karena ilmu ini
mencoba untuk menjawab lima persoalan fundamental dalam kajian bahasa seperti yang
dikemukakan Chomsky: pertama, apa yang dimaksud dengan pengetahuan bahasa
(knowledge of language?), kedua, bagaimana pengetahuan itu diperoleh?, ketiga, bagaimana
pengetahuan itu diterapkan?, keempat, mekanisme otak mana yang relevan dalam hal ini?,
kelima, bagaimana pengetahuan itu berperan pada spesies manusia?. Pertanyaan pertama
merujuk pada pengetahuan kebahasaan manusia, yaitu pengetahuan seperti apa yang dimiliki
manusia sehingga dapat berbahasa?. Hal ini akan berkaitan dengan pertanyaan kedua, yaitu
dari mana datangnya pengetahuan tersebut. Apakah pengetahuan itu sudah ada sejak manusia
dilahirkan? Pertanyaan ketiga berusaha menjawab masalah bagaimana pengetahuan yang
dimiliki itu diterapkan pada data yang masuk. Pertanyaan keempat menyangkut peran otak
manusia yang membedakannya dengan otak binatang; serta pertanyaan terakhir merujuk pada
ihwal yang membedakan manusia dengan binatang, yakni apakah pengetahuan dan
kemampuan berbahasa itu hanyalah dimiliki oleh manusia atau bahkan binatang tidak dapat
berbahasa sama sekali?
Bahasa dengan Neurobiologi memiliki hubungan yang sangat erat, bahkan hubungan
ini banyak mendukung teori Chomsky yang mengatakan bahwa pertumbuhan bahasa pada
manusia itu terprogram secara genetik. Bahkan pertumbuhan bahasa pada anak pun tidak ada
bedanya dengan pertumbuhan payudara, kumis, dan jenggot pada manusia. Lebih lanjut,
Chomsky menjelaskan bahwa manusia memiliki bekal kodrati (innate properties) waktu lahir
dan dengan bekal inilah yang kemudian mereka mampu mengembangkan pengetahuan
bahasanya.

C. Tahap Kognitif
Pada tahap ini, psikolinguitik mulai mengarah pada peran kognisi dan landasan
biologis manusia dalam memperoleh bahasa. Pelopor seperti Chomsky pernah mengatakan
bahwa linguis itu sebenarnya adalah psikologi kognitif. Tata bahasa misalnya, tidak lagi
dipandang sebagai sesuatu yang terlepas dari kognisi manusia karena konstituen dalam suatu
ujaran sebenarnya lebih mencerminkan realitas psikologi yang ada pada manusia tersebut.

17
Kata-kata yang diujarkan seseorang bukanlah suatu urutan bunyi yang dapat
membentuk konstituen yang hierarkis dan masing-masing unit ini adalah realita psikologi.
Ujaran mahasiswi cantik itu, misalnya membentuk suatu kesatuan psikologis yang tak dapat
dipisahkan. Ujaran itu dapat digantikan dengan hanya satu kata saja seperti Aisyah atau dia.
Pada tahap ini, orang mulai berbicara tentang peran biologi sebuah bahasa, karena
mereka sudah mulai merasakan dasar dimana bahasa itu dapat tumbuh dan berkembang.
Pakar bahasa seperti Chomsky dan Lenneberg menjelaskan bahwa pertumbuhan dan
perkembangan bahasa seseorang akan terkait secara genetik dengan perkembangan
biologisnya.

D. Tahap Teori Psikoliguistik


Pada tahap ini, psikolinguitik tidak lagi berdiri sebagai lmu yang terpisah dari ilmu-
ilmu lain karena pemerolehan dan penggunaan bahasa manusia banyak menyangkut cabang
ilmu yang lain. Sehingga pada akhirnya psikolinguitik tidak lagi terdiri dari psiko dan
linguistik saja, akan tetapi juga menyangkut berbagai macam disiplin ilmu yang lain seperti,
neurologi, filsafat, primatologi, dan genetika.
Bahasa mempunyai hubungan yang sangat erat dengan neurologi karena kompetensi
berbahasa yang dimiliki oleh manusia ternyata bukan karena lingkungannya, akan tetapi
karena faktor kodrat neurologis yang dibawanya sejak lahir. Tanpa otak dan fungsi-fungsinya
tidak mungkin manusia dapat berbahasa dengan lancar. Bahkan dalam proses permerolehan
pengetahuan pun ilmu filsafat juga mempunyai peranan penting, karena dalam proses
pemerolehan pengetahuan tersebut merupakan masalah yang sudah dari zaman purba menjadi
bahan perdebatan di antara para filosof, apa pengetahuan itu serta bagaimana manusia
memperoleh pengetahuan tersebut. Primatologi dan genetika mencoba untuk mengkaji
sampai seberapa jauh bahasa itu milik khusus manusia serta bagaiman genetika terkait
dengan pertumbuhan bahasa.
Akhirnya, berdasarkan tahapan di atas, psikolinguitik kini tidak lagi menjadi disiplin
ilmu yang mandiri, akan tetapi telah menjadi sebuah disiplin ilmu yang ditopang oleh ilmu-
ilmu lain.

Kesimpulan

 Secara formal kelahiran psikolinguistik sebenarnya ditandai dengan dibukanya satu


program khusus psikolinguistik pada tahuan 1953 oleh R. Brown. Dalam periode ini
nama-nama seperti Leshley, Lenneberg, Osgood, Skinner, Chomsky, dan bahkan
18
Miller patut untuk diketengahkan. Miller menyatakan kelahiran psikoliguistik tidak
dapat dielakkan karena para ahli telah lama mengakui bahwa akal manusia itu
menerima simbol-simbol linguistik, sedangkan para ahli linguistik megakui bahwa
sejenis motor psikososial telah dapat dipastikan menggerakkan mesin tata bahasa dan
leksikon. Maka berdasarkan argumentasi-argumentasi Miller tersebut dapat
disimpulkan bahwa tugas utama psikolinguistik adalah menganalisis proses-proses
psikologi yang berlaku apabila orang menggunakan kalimat-kalimat.
 Pada tahap pormatif digagas hibridisasi psikologi dan linguistik. Mulai pada saat
inilah istilah psikolinguitik mulai populer. Kelompok ini kemudian mendukung
adanya penelitian mengenai relativitas bahasa maupun universalitas bahasa.
Pandangan tentang relativitas bahasa seperti yang dikemukakan oleh Benjamin Lee
Whorf (1956), dan universalitas bahasa yang dikemukakan oleh Greenberg.
 Perkembangan ilmu linguistik, yang semula hanya berorientasi pada aliran
behaviorisme dan kemudian beralih ke mentalisme pada tahun 1957 dengan
diterbitkannya buku Chomsky yang berjudul Syntactic Structures, serta kritik tajam
Chomsky atas teori behaviorisme B.F. Skinner telah banyak membuat psikolinguitik
menjadi ilmu yang banyak diminati banyak orang. Hal ini makin berkembang karena
pandangan Chomsky tentang universalitas bahasa yang mungkin mengarah pada
pemerolehan bahasa, khususnya pertanyaan, “Mengapa anak dimanapun juga
memperoleh bahasa mereka dengan memakai strategi yang sama?”. Bahkan kesamaan
strategi ini telah didukung oleh berkembangnya sebuah disiplin ilmu Neurolinguistik
dan Biolinguistik.
 Pada tahap kognitif mulai dibicarakan tentang peran biologi sebuah bahasa, karena
mereka sudah mulai merasakan dasar dimana bahasa itu dapat tumbuh dan
berkembang. Pakar bahasa seperti Chomsky dan Lenneberg menjelaskan bahwa
pertumbuhan dan perkembangan bahasa seseorang akan terkait secara genetik dengan
perkembangan biologisnya.
 Pada tahap psikolinguistik, psikolinguitik tidak lagi berdiri sebagai ilmu yang terpisah
dari ilmu-ilmu lain karena pemerolehan dan penggunaan bahasa manusia banyak
menyangkut cabang ilmu yang lain. Sehingga pada akhirnya psikolinguitik tidak lagi
terdiri dari psiko dan linguistik saja, akan tetapi juga menyangkut berbagai macam
disiplin ilmu yang lain seperti, neurologi, filsafat, primatologi, dan genetika.

19
Latihan
1. Bagaimana pendapat Miller tentang lahirnya ilmu psikolinguistik dan bagaimana
pendapatnya tentang tugas seorang psikolinguis ?
2. Sejak kapan istilah psikolinguistik dipopulerkan, menurut siapa dan bagaimana dasar
pandangan para ahli bahasa memulerkan istilah psikolinguistik ?
3. Coba Anda jelaskan bahwa dalam perkembangan psikolinguistik pada tahap kognitif,
biologi memegang peran terhadap perkembangan bahasa !
4. Psikolinguistik tidak lagi sebagai ilmu yang terpisah dari ilmu-ilmu lainnya. Coba
Anda jelaskan bidang-bidang ilmu apa saja yang terkait dengan bidang psikolinguistik
?
5. Jelaskan perbedaan pandangan antara Skinner dan Chomsky terhadap perkembangan
psikolinguistik ?

Daftar Pustaka

Chaer, Abdul. 2003. Psikolinguistik: Kajian Teoritik. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Dharmowijono, Widjajanti W & I Nyoman Simpen. Psikolinguistik: Teori Kemampuan


Berbahasa dan Pemerolehan Bahasa Anak. Denpasar: Udayana University Press.

Indah, Rohmani Nur dan Abdurrahman. 2008. Psikolinguistik: Konsep dan Isu Umum.
Malang: UIN-Malang Press.

Subyakto-N, Sri Utari. 1988. Psikoinguistik: Suatu Pengantar. Jakarta: Depdikbud Dirjrn
Dikti.

Tarigan, Henry Guntur. 1984. Psikolinguistik. Bandung: Angkasa.

BAB III

PSIKOLINGUISTIK PERKEMBANGAN

Standar Kompetensi

20
 Setelah mengikuti perkuliahan ini mahasiswa diharapkan memiliki pemahaman
tentang psikolinguistik perkembangan khususnya pemerolehan bahasa anak.

Kompetensi Dasar

 Dapat menjelaskan konsep tentang pemerolehan bahasa anak


 Dapat mengkaji teori-teori tentang perkembangan bahasa anak

Indikator

 Menjelaskan pengertian pemerolehan bahasa anak


 Menjelaskan proses pemerolehan bahasa anak
 Menjelaskan beberapa pandangan tentang perkembangan bahasa anak
 Menjelaskan tahap-tahap perkembangan bahasa anak

3.1 Proses Pemerolehan Bahasa dan Bahasa Anak

Penyelidikan pemerolehan bahasa bukan salah satu di antara banyak topik yang
diselidiki para psikolinguis, melainkan merupakan salah satu tema pokok dalam
psikolinguistik. Tidak ada bidang psikologi lain yang berkembang begitu pesat dan
mendalam seperti bidang psikolinguistik, dan khususnya psikolinguistik perkembangan.

Karena proses pemerolehan bahasa memberi gambaran tentang perkembangan salah


satu fungsi terpenting pada manusia, maka psikolinguistik perkembangan sangat ideal untuk
berperan sebagai batu ujian untuk menguji ketepatan teori mengenai proses belajar pada
manusia. Masalah-masalah yang jelas sangat penting, seperti masalah sekitar perkembangan
bahasa yang lamban atau terganggu, lingkungan dwibahasa, pengajaran bahasa di sekolah,
baik bahasa baku nasional maupun bahasa asing, belajar menulis, dan kelainan-kelainan yang
kadang-kadang menyertainya, harus dipecahkan dengan pengetahuan yang baik tentang
perkembangan bahasa selama tiga tahun pertama.

Sudah sejak lama, gejala perkembangan bahasa menarik perhatian banyak orang, dan
jika mereka itu kebetulan pengarang, maka hal itu menyebabkan mereka mengamati, berpikir,
dan menulis. Berpuluh-puluh pengarang memperkaya pustakanya tentang bidang
pemerolehan bahasa dan bahasa anak dari sebelum tahun 1900 sampai jauh sesudah tahun
1920-an. Persamaan antara semua pengarang masa itu adalah bahwa mereka terutama
menghasilkan karya monografi dari kasus-kasus tersendiri. Mereka terutama menyelidiki
kosa kata dan pertumbuhannya dengan sedikit perhatian untuk periode prabahasa dan

21
perkembangan gramatika (kecuali kadang-kadang morfologinya). Pengetahuan mereka
tentang fonetik dan pencatatan fonetik terlalu sedikit ( tentunya juga perbedaan antara fonetik
dan fonologi yang baru dikembangkan). Mereka mempunyai metode subjektif sendiri-sendiri
dan hal itu mempersukar penyusunan kesimpulan umum.

Banyak penulis psikologi tidak mahir dalam menyusun analisis bahasa, dan mereka
memang tidak begitu memperhatikan hal itu, karena mereka lebih tertarik pada
perkembangan umum anak. Dalam hal ini, pemerolehan bahasa dan perkembangan wicara
hanya merupakan bagiannya. Namun tulisan-tulisan tersebutlah yang mendorong bahwa
seperempat abad kemudian terbit penelitian tentang bahasa anak dengan dasar linguistik
yang kuat.

L’Apprentissage du langage (Masa Belajar Bahasa) oleh A. Gregoire (1937) adalah


penyelisikan pertama yang mendeskripsikan fonetis-fonologi yang lengkap, dari pengeluaran
suara yang pertama sampai tahun ketiga (pada masa itu belum ada sarana perekam seperti
sekarang ini). Nilai karya Gregoire adalah bahwa ia juga membicarakan periode prabahasa.
Dengan demikian, pendapat-pendapat dan teori-teori yang lebih kuna dapat dikoreksi.

Pada tahun 1941, Roman Jakobson menerbitkan kindersprache, aphasie undn


allgemeine lautgesetze (bahasa anak, afasia, dan kaidah-kaidah bunyi umum). Seperti juga
karangan Gregoire, karya Jakobson ini merupakan monografi. Akan tetapi, Jakobson
menunjukkan serangkaian persamaan antara tiga proses bahasa, yaitu perkembangan proses
pemerolehan bahasa pada anak, perkembangan terbalik hilangnya bahasa pada penderita
afasia, dan terakhir ciri-ciri perkembangan umum hukum-hukum bunyi dalam bahasa yang
berbeda-beda di dunia. Hal ini jauh lebih luas daripada hanya tema pemerolehan bahasa.
Jakobson tidak hanya mengemukakan pengamatannya mengenai satu kasus, tetapi ia
mengumpulkan bahan-bahan bukti dari macam-macam bahasa. Justru keseragaman yang
tampak pada perkemabangan yang digambarkan oleh berbagai peneliti dalam bermacam-
macam bahasa itulah yang membuat kaidah-kaidah umum yang dikemukakan oleh Jakobson
menjadi demikian meyakinkan.

3.2 Teori-Teori Pemerolehan Bahasa

Dalam pekembangan psikolinguistik bahasa anak, tampak menonjol dua aliran yang
dapat dikatakan saling bertolak-belakang. Dua aliran itu adalah aliran behaviorisme dan
aliran mentalisme. Teori-teori behavioristik hanya mengambil kelakuan yang dapat diamati

22
sebagai titik tolak untuk deskripsi dan penjelasannya. Sementara itu, teori-teori mentalistik
mengambil struktur dan cara kerja kesadaran sebagai dasarnya.

Mengenai pandangan terhadap proses pemerolehan bahasa dari kelompok masing-


masing, dapat dikatakan bahwa pendirian behavioristik terutama mendasari teori belajar yang
mementingkan lingkungan verbal dan nonverbal, sedangkan pendirian mentalistik mengeani
pemerolehan bahasa terutama mendasari teori belajar yang menekankan adanya kemampuan
lahiriah pada seorang anak untuk bealajar bahasa. Oleh karena itu, para behavioris lebih
menyukai istilah belajar bahasa (language learning) dan para mentalis lebih menyukai
istilah pemerolehan bahasa (language acquisition).

3.2.1 Penelitian Behavioristik Mengenai Pemerolehan Bahasa

Teori-teori belajar behavioristik menyediakan deskripsi dan menjelaskan kelakuan


(bahasa) dengan bantuan model S-R. pada teori-teori ini ada hubungan antara stimulus atau
situasi stimulus (S) dari luar atau dalam organismenya dan suatu reaksi (R) dari organisme
tersebut. Dalam pendirian behavioristik hanya ada kepastian jika S dan R dapat diamati.
Pendapat ilmiah harus diutarakan sebagai dan didasarkan atas kelakuan yang dapat diamati,
dengan sengaja, perbedaan antara kelakuan manusia dan kelakuan hewan dikesampingkan.
Kedua macam makhluk tersebut mampu balajar walaupun ada kelakuan manusia yang tidak
terdapat pada binatang.

Dalam psikologi behavioristik, tekanan terletak pada kelakuan yang dapat diajar, baik
oleh manusia maupun oleh binatang. Kelakuan seperti itu tentunya harus terbatas pada belajar
yang paling rendah tingkatnya, tetapi hal itu justru dipandang sebagai pendukung untuk
sifatnya yang fundamental; makin umum suatu teori belajar, makin besar nilainya.

Karena teori behavioristik itu harus menjelaskan kelakuan belajar semua makhluk
hidup, tidak ada tempat untuk pengertian mentalistik, seperti kesadaran, rencana, maksud,
dan konsep. Analisis kelakuan behavioristik didasarkan atas aksioma-aksioma sebagai
berikut.

- Semua kelakuan akibat rangsangan faktor-faktor lingkungan


- Kelakuan dapat diubah sesuai dengan perubahan lingkungan
3.2.1.1 Model S-R Skinner

23
Skinner membedakan dua macam kelakuan dan sehubungan dengan hal itu ada dua
macam proses belajar, yaitu kelakuan jawaban (respondent behavior) dan kelakuan operan
(operant behavior). Dalam hal kelakuan jawaban, refleks timbul dengan sendirinya segera
sesudah stimulus muncul. Pada kelakuan operan, stimulusnya tidak dibangkitkan, tetapi
timbul dari orgaisme itu sendiri.

Untuk menyelidiki kelakuan operan pada binatang, Skinner mengurung tikus pada
tempat yang telah disediakan dua buah pengungkit. Jika tikus itu menekan pengungkit yang
satu, ada makanan yang masuk ke tempat makanan, akan tetapi, jika tikus itu menekan
pengungkit yag lain, ia akan kejatuhan bedak gatal. Pada eksperien-eksperimen ini ternyata
binatang pun mampu belajar. Sesudah beberapa waktu tikus itu hanya menekan pengungkit
yang mengeluarkan makanan. Skinner mengamati bahwa kekuatan reaksi bertambahnya
frekuensi pengulangan; tikus makin sering menekan pengungkit yang benar.

Teori belajar Skinner berdasarkan pada prinsip sebagai berikut. Jika suatu perbuatan
mengakibatkan efek tertentu, kemungkinan bahwa perbuatan itu diulang atau justru
ditinggalkan akan meningkat. Jika perbuatannya diulangi lebih sering, disebut penguatan
positif dan jika tidak dialami disebut penguatan negatif . dengan demikian penguatan positif
(upah) adalah peningkatan kemungkinan timbulnya suatu R karena suatu S, sebagai akibat
dari kenyataan bahwa R tersebut benar dan mendapat upah. Penguatan negatif (hukuman)
adalah penurunan kemungkinan timbulnya suatu R karena suatu S, sebagai akibat dari
kenyataan bahwa R tersebut salah dan mendapatkan hukuman. Pada eksperimen di atas,
makanan mengakibatkan penguatan positif dan bedak gatal mengakibatkan penguatan
negatif. Perlu diketahui bahwa istilah penguatan (reinforcement) biasanya digunakan dalam
arti penguatan positif. Menurut Skinner, penguatan positif yang terus menerus adalah cara
yang paling baik untuk menimbulkan kelakuan yang diinginkan. Penguatan positif itu akan
mengakibatkan pembentukan kebiasaan (habitat formation).

Penjelasan tersebut telah menggambarkan garis-garis besar model S-R Skinner. Dengan
stimuli yang disediakan oleh lingkungan, timbul makin banyak reaksi yang benar. Reaksi
tersebut akan mengakibatkan penguatan positif kelakuan belajar. Skinner telah mengarahkan
kelakuan hewan dalam rangka teori bahavioristik dan berdasarkan pengamatan-
pengamatannya, ia kemudian menarik kesimpulan tentang kelakuan manusia, khususnya
dalam kelakuan bahasa. Dengan demikian, Skinner telah membawa pengaruh yang sangat
besar terhadap psikolinguistik behavioristik di AS pada tahun 1950-an. Untuk Skinner,

24
bahasa pun merupakan suatu bentuk kelakuan, sehingga teori mengenai pemerolehan atau
belajar bahasa adalah bagian dari teori belajar behavioristik umum.

Skinner mencoba membuat analisis mengenai kelakuan berbahasa dengan cara


menganalisis variabel-variabel yang menentukan kelakuan itu. variabel-variabel tersebut
dilukiskan sebagai S dan R, setiap ujaran bahasa menyusul suatu S yang verbal maupun
nonverbal; dalam hal yang terakhir ada suatu situasi stimulus yang mengakibatkan seseorang
menghasilkan suatu ujaran tertentu. Skinner hanya mau memperhitungkan kelakuan yang
dapat dialami hubungan antara stimuli yang dapat diukur secara objektif dan tidak
dipengaruhi oleh faktor-faktor yang tidak dapat diukur dalam organismenya sendiri.

Skinner mendalilkan suatu tabularasa atau empty organism. Walaupun kemampuan


belajar suatu bahasa merupakan kekhasan spesies manusia, Skinner tidak menyibukkan diri
untuk menganalisis “kemampuan” yang memungkinkan manusia belajar bahasa. Ia hanya
mempelajari kelakuan bahasa melalui pengamatan dunia yang mengelilingi pembicara,
dengan perkataan lain, melalui pengamatan faktor-faktor luar.

Data Skinner adalah ujaran-ujaran bahasa manusia dan kondisi tempat ujaran itu
dihasilkan sangatlah penting. Belajar suatu bahasa berlangsung di bawah suatu kondisi
tersebut. Selama individu-individu mengalami kondisi yang sama, mereka juga akan belajar
dengan cara yang sama. Perbedaan dalam kemampuan belajar disebabkan oleh perbedaan
dalam pengalaman belajar; makin luas pengalaman tersebut, makin besar kemahiran dalam
penggunaan bahasa. Dengan demikian, kemampuan bahasa dicapai melalui latihan dan
pengalaman. Pengalaman itu diperoleh melalaui persepsi dan pemahaman ujaran bahasa. Di
samping itu, dibutuhkan pula penguatan (positif) untuk mencapai tingkat kemahiran yang
lebih tinggi. Penghargaan dari pihak orang tua merupakan bentuk penguatan yang penting
pada proses memperoleh bahasa. Jika seorang anak bereaksi pada suatu S dengan ujaran yang
dipahami oleh lingkungannya, maka R dari orang tua atas ujaran tersebut dapat berfungsi
sebagai penguatan. Dengan cara demikian, penguatan bahasa yang gramatikal benar dipacu,
dan penggunaan yang tidak gramatikal tidak dihargai. Satu R saja tidak cukup untuk proses
belajar, harus ada pengulangan. Makin banyak pengulangan, makin baik proses belajar akan
berlangsung. Reaksi-reaksi dan pengulangan reaksi mutlak perlu untu belajar apa saja.

3.2.1.2 Teori Chomsky

25
Ada banyak kritik dan reaksi terhadap behavioristik Skinner itu (Skinner menulis
teorinya dalam vebal behavior yang diterbitkan pada tahun 1957). Kritik pertama, sangat
kuat dan mendasar datang dari Chomsky, yang secara mendalam membahas “verbal
behavior”.

Chomsky mengatakan bahwa kelakuan manusia jauh lebih rumit daripada kelakuan
hewan. Apalagi kelakuan bahasa, yang begitu khas untuk spesies manusia saja, sehingga
tidak mungkin dijelaskan dengan kelakuan hewan. Menurut Chomsky, deskripsi mengenai
sesuatu yang begitu kompleks seperti kelakuan bahasa manusia tidak mungkin hanya berupa
stimuli luar, tetapi deskripsi tersebut haruslah pertama-tama merupakan deskripsi mengenai
kemampuan lahiriah manusia untuk belajar suatu bahasa.

3.2.2 Pendirian Mentalistik tentang pemerolehan Bahasa

Teori-teori mentalistik mendeskripsikan, menjelaskan, dan meramalkan bahwa


kemampuan belajar berdasarkan pada struktur dan cara kerja kesadaran. Akan tetapi, titik-
titik awal pada teori-teori mentalistik lebih mengarah ke teori bahasa daripada ke teori
belajar. Dalam tahun 1960-an teori Transformasi Generatif telah mengakibatkan suatu
revolusi dalam pendapat-pendapat tentang pemerolehan bahasa. Revolusi itu dimulai oleh
Chomsky.

Sampai sekitar tahun 1960-an bahasa anak terutama dipelajari dengan


membandingkannya dengan bahasa orang dewasa. Dibandingkan dengan bahasa orang
dewasa, bahasa anak tidaklah lebih dari sekumpulan kesalahan. Namun, sesudah tahun1960-
an bahwa orang makin menyadari bahwa anak pun memiliki tata bahasa konsisten dan
koheren, yang berkembang melalui beberapa fase ke arah tata bahasa orang dewasa.

Teori behaviorisme memiliki ide pusat bahwa pemerolehan bahasa adalah suatu proses
belajar, dalam hal ini stimuli verbal dan nonverbal dari luar membentuk kondisi untuk proses
belajar itu. Dalam linguistik Chomsky, tekanan tidak lagi jatuh pada faktor-faktor
lingkungan, tetapi pada kemampuan lahiriah seorang anak untuk belajar suatu bahasa.
Kelakuan bahasa jauh lebih terlalu rumit untuk dapat dijelaskan semata-mata atas dasar
faktor-faktor luar yang mempengaruhi seseorang.

Kemampuan lahiriah yang memungkinkan setiap manusia belajar bahasa apapun


dinamakan language acquisition device (LAD), yang berarti perlengkapan pemerolehan
bahasa. Titik tolaknya adalah perbedaan antara Struktur Batin dan Struktur Lahir pada

26
kalimat. Kedua struktur tersebut saling berhubungan melalui Transformasi. Tiap kalimat
mempunyai struktur abstrak di bawah permukaannya dan LAD memungkinkan anak
menyusun hipotesis tentang struktur bawah bahasa yang diperolehnya. Anak tidak sadar akan
proses ini. Hipotesis-hipotesis yang disusun anak tanpa sadar, kemudian dicoba dalam
pemakaiannya. Hipotesis-hipotesis itu terus-menerus dicoba kebenarannya pada data yang
dikumpulkan anak selama ia mendengar dan berbicara. Oleh karena itu, hipotesis-hipotesis
tersebut diubah dan disesuaikan secara terstruktur.

Lama-kelamaan melalui proses di atas berkembanglah sistem kaidah bahasa anak


secara sistematis ke arah sistem kaidah yang dimiliki orang dewasa. Si anak menangkap
sejumlah ujaran yang sebagian besar tidak gramatikal. Dan korpus yang tidak berstruktur
tersebut, yang masuk sebagai input pada LAD, dibentuklah sebuah tata bahasa sebagai
output.

Input bahasa: LAD output bahasa:

Dengan bantuan LAD, seorang anak dapat menemukan struktur batin kalimat-kalimat
yang dijumpainya dan kemudian ia dapat membentuk kalimat yang sebelumnya belum
pernah dijumpainya. Gramatika yang dibentuk dengan bantuan LAD itu mengandung sifat-
sifat khas suatu bahasa tertentu, tetapi di atas itu juga mengandung sifat-sifat universal.

3.3 Peranan Faktor Bahasa Lingkungan

Penyelidikan mengenai bahasa lingkungan (sering disebut “data linguistic primer”)


adalah syarat utama untuk mendapat pengertian yang lebih mendalam tentang pemerolehan
bahasa. Jika kita ingin lebih banyak mengetahui tentang apa yang lahiriah dan apa yang
diperoleh, kita harus tahu lebih banyak tentang dukungan lingkungan dalam proses
pemerolehan bahasa, dan juga kita harus mencari peristilahan yang jelas dan tepat guna
menjelaskan dukungan tersebut. Akan tetapi, hingga sekarang pengertian tentang masalah itu
tidak jelas.

Ada beberapa faktor penyebab ketidakjelasan tersebut.

27
1) Untuk waktu yang terlalu lama, para teoretikus bahasa anak mendasarkan penyelidikan
mereka pada kesan “ngawur” mengenai dukungan lingkungan. Seluruh teori
pemerolehan bahasa dan hipotesis kelahiriahan (LAD) seperti dijelaskan gramatika
generatif didasarkan atas kesan bahwa bahasa lingkungan untuk sebagian besar
berbentuk buruk, tidak tepat, dan tidak cocok dengan kaidah-kaidah linguistik. Kesan itu
sendiri didasarkan atas asumsi yang patut dipertanyakan, yaitu bahwa bahasa yang
dipakai untuk konferensi-konferensi ilmiah sama dengan bahasa lingkungan anak.
Asumsi tersebut adalah penyederhanaan metodologis yang terlalu kasar dan telah
disanggah dengan baik oleh Bellugi dan Brown, yang tidak hanya menunjukkannya
dengan ilustratif, tetapi juga menambahkan bahwa tidak mungkin seorang anak belajar
pola-pola bahasanya dari bahasa konferensi.
2) Fakta kedua yang menghalangi pegertian yang jelas, dan secara tidak langsung
menciptakan dasar untuk hipotesis yang sangat spekulatif adalah sangat sukar untuk
mengetahui apa yang sebenarnya yang dipakai oleh anak sebagai input. Hanya apa yang
sebenarnya digunakan anak pada proses pemerolehan bahasa boleh disebut “bahasa
input”. tujuan akhir penelitian kita adalah untuk mengetahui apa bahasa input itu, hanya
saja pengetahuan itu tidak akan pernah didapatkan karena kita tidak mungkin melihat ke
dalam otak seorang anak untuk mengamati proses-proses yang bekerja di situ. Dengan
demikian, penelitian bahasa anak ditakdirkan untuk mendasarkan teori-teorinya pada
inferensi. Ada informasi yang bisa didapatkan dari penelitian hubungan input-output.
Namun, itu pun sulit karena mungkin ada jangka waktu yang panjang antara apa yang
didengarnya dan apa yang diutarakan dalam bahasanya. Kita juga tidak pernah
mengetahui berapa banyak dari bahasa lingkungan yang digunakan anak di bawah sadar
sebab apa yang digunakan tidak selalu keluar dalam ujaran yang sebenarnya.
3) Faktor ketiga adalah tidak adanya model teoritis untuk memecahkan masalah dukungan
lingkungan. Terlalu banyak istilah dipakai secara tidak konsisten, misalnya istilah
nursery forms, baby talk, mothers speech, environmental language, dan semua dipakai
secara bergantian. L. Beheydt (1979) mengusulkan untuk memakai istilah “bahasa
lingkungan”, dibedakan dari “bahasa yang ditujukan kepada anak”. Bahasa lingkungan
adalah semua bahasa yang didengarkan oleh anak dalam lingkungannya, termasuk
bahasa dari radio dan TV, percakapan antara orang dewasa, dan bahasa yang khusus
ditujukan pada anak. Tidak semua dari bahasa lingkungan itu menunjang pemerolehan
bahasa. Friedlender menyatakan keherananya mengenai bagaimana caranya seorang
dalam membentuk bahasanya dari kekacauan yang didedangarnya di sekelilingnya,

28
dengan suara gaduh, keras dan pelan, percakapan yang berlangsung dengan cepat dan
terus menerus, dengan dua orang atau lebih bersuara pada saat bersamaan, dengan
struktur kalimat yang salah dan tidak lengkap.

Telah disarankan bahwa bahasa yang langsung ditujukan kepada anak merupakan
perkecualian dalam kekacauan yang didengarnya dari lingkungannya. Ada dua alasan yang
mendukung pendapat tersebut. Pertama, bahasa kepada anak itu jauh lebih mungkin
digunakan sebagai input. Carola Smith menyarankan bahwa pendengaran anak selektif dan
bahwa input yang merupakan dasar bagi anak untuk belajar bahasanya hanya dapat terdiri
atas ujaran-ujaran yang langsung ditujukan kepadanya( Beheydt, 1979). Hanya data itu yang
relevan untuk proses pemerolehan bahasa. Sangat disayangkan bahwa bukti untuk
mendukung hipotesis itu masih bersifat anekdotis. Bukti-bukti lainnya antara lain, sebagai
berikut.

- Ervin-Tripp menyebut kenyataan bahwa anak-anak para imigran di Eropa


seringkali tidak belajar bahasa orang tuanya, biarpun mereka setiap hari
mendengarnya sebagai bahasa orang tuanya ( Beheydt, 1979).
- Beheydt (1979) juga mengamati bahwa di Belgia anak–anak yang oang tuanya
menggunakan dialek antara mereka sendiri hanya belajar bahasa baku yang
dipakai orang tuanya kepada anak-anaknya.
- Widjayanti (1986) menyebutkan bahwa anak tertuanya yang berumur empat
tahun waktu kembali ke Indonesia setelah bertugas di Eropa (Belgia), pada
waktu itu hanya berbicara bahasa Belanda dan sedikitpun tidak dapat berbicara
bahasa Indonesia, walaupun suami-istri keluarganya selalu berbahasa Indonesia
dalam keluarga.

Kedua, bahasa kepada anak itu juga secara linguistik berbeda. Bahasa itu begitu khusus,
namun mempunyai sifat universal, hingga sering disebut motherese. Ciri-cirinya adalah
sebagai berikut.
1) Semantiknya biasanya sangat sederhana. Maknanya biasanya jelas. Acauanya adalah
waktu sekarang dan hal-hal setempat (sini dan kini) dan sebagian besar dari bahasa
kepada anak itu membicarakan hubungan, benda konkret, dan kejadian-kejadian yang
sudah dikenal oleh anak. Kemungkinan besar kejelasan makna itulah yang merupakan
syarat utama bagi pemerolehan bahasa.

29
2) Struktur bahasanya sangat sederhana (bukan majemuk). Kesederhanaan itu harus
diartikan sebagai singkat (tidak lebih dari 6-7), sedikit subordinasi (bukan kalimat
majemuk), sedikit kalimat pasif, tidak ada false starts, ada sejumlah besar kalimat
tunggal deklaratif dan kalimat jawaban. Catherine Snow menyimpulkan dari
penelitian yang dilakukannya bahwa apa yang didengar anak adalah sekumpulan
ujaran yang konsisten, terorganisasi, disederhanakan, dan redundan (melimpah),
sehingga dalam banyak hal sangat mirip dengan sekumpulan pelajaran bahasa.
Sementara itu, Brown dan Bellugi sudah mendapatkan bahwa kalimat-kalimat yang
ditujukan pada anak pada umumnya sempurna dalam kegramatikalannya.
3) Lagu kalimat dan tekanan kata bersifat karikatural (berlebih-lebihan).
4) Strategi wacana yang digunakan berlaianan dengan bahasa lingkungan lainnya.
Bahasa kepada anak tidak dapat dibandingkan dengan percakapan biasa. Beberapa
aspek dari wacana ini sudah diselidiki.
a. Satu bentuk umum dalam strategi wacana bahasa kepada anak adalah
pengulangan. Sepertiga bagian dari bahasa orang tua kepada anaknya adalah
pengulangan. Bentuk-bentuk lain yang dikenal adalah apa yang dinamakan
koreksi, ekspansi, dan modeling.
b. Koreksi adalah perbaikan kesalahan dalam bahasa anak. Koreksi hampir tidak
ada pengaruhnya, kecuali bila terjadi pada saat yang tepat dalam pemerolehan
bahasa saat anak dapat menerima koreksi tersebut.
Pengaruh koreksi sulit diukur sebab

- Anak mungkin telah menerima koreksi, tetapi hal itu baru dapat diamati
kemudian dalam produksi spontannya; dan
- Koreksi mungkin salah sebagai orang tua salah mengartikan anak.
c. Ekspansi adalah pengulangan produksi anak dengan menambahkan bagian-
bagian yang hilang (morfem atau kata). Kadang-kadang juga urutan kata
diperbaiki. Menurut McNeill, ekspansi mungkin sangat berpengaruh pada
pemerolehan bahasa, terutama struktur batin. Peniruan kalimat-kalimat
ekspansi mengandung unsur-unsur gramatikal yang belum digunakan anak
dalam ujarannya yang spontan.
d. Modeling adalah penawaran bahasa yang baik tanpa melakukan koreksi atau
ekspansi dan tanpa tergantung pada ujaran anak sebelumnya. Ada peneliti
yang mengatakan bahwa modeling mempunyai pengauh yang lebih baik pada

30
bahasa anak dibandingkan dengan ekspansi, ada penelitian lain yang justru
mengatakan sebaliknya. Nilai bantuan orang tua harus selalu dipandang dalam
perbandingan atau fungsi umur sensitif anak. Jika si anak belum dapat
menerimanya, semua bantuan akan percuma. Dari penelitian sosiolinguistik
dapat ditarik simpulan bahwa strategi-strategi di atas tergantung pada
lingkungan sosial. Pada umumnya di lapisan sosial terendah tidak ditemui
strategi-strategi itu keuali koreksi. Di lapisan tengah terutama didapatkan
ekspansi, sedangkan di lapisan tertinggi terutama diberi modeling.
5) Aspek lain adalah komentar yang menyertai aktivitas, berupa pertanyaan, suruhan,
dan modeling wacana. Dalam percakapan antara orang dewasa, komentar yang
menyertai apa yang dilakukan dapat dirasakan aneh, tetapi sebaliknya sangat
membantu perolehan bahasa dalam interaksi dengan anak-anak. Banyaknya kalimat
tanya dan suruhan dapat dipahami dengan mudah, bila dipertimbangkan bahwa
bahasa kepada anak juga merupakan bahasa sosialisasi; pertanyaan “Gita sedang
apa?”dimaksudkan sebagai latihan untuk menerjemahkan dunia referensi ke dalam
kata-kata; suruhan “jangan sampai minumnya tumpah!” mengarahkan anak pada
perbuatan yang disetujui lingkungan dan pengindaran perbuatan yang dicela;
modeling wacana, yaitu pengucapan pertanyaan dan jawaban seperti digunakan dalam
percakapan, “mana bolanya? Itu bolanya!” dapat pula dijelaskan sebagai bagian dari
proses sosialisasi, yaitu keterampilan interaksi verbal atau dialog (Beheydt, 1979; Els
et.al.,1977; Schaerlaekens, 1977; Snow & Ferguson, 1979; Tervoort et.al.,1972).
Walaupun di atas dikatakan bahwa bahasa kepada anak kebanyakan gramatikal, harus
ditambahkan bahwa ada sebagian yang merupakan bahasa yang menyimpang, hanya saja
penyimpangannya secara sistematis. Dalam hubungan ini dibedakan antara pengertian
“bahasa kepada anak” dengan “baby talk” . istilah baby talk telah digunakan dalam arti lebar
sebagai penamaan umum untuk bahasa yang ditujukan kepada anak, tetapi sekarang yang
dimaksud dengan baby talk adalah bagian dari bahasa kepada anak yang tidak digunakan
dalam bahasa biasa. Jelasnya baby talk adalah bagian dari bahasa kepada anak yang dalam
bentuknya bukan bahasa normal, tetapi tetap juga sistematis dan dikuasai oleh kaidah-kaidah.
Istilah baby talk digunakan untuk bahasa kepada anak dengan ciri-ciri sebagai berikut:
1. Kosakata yang bentuknya khusus, misalnya pipis untuk kencing.
2. Penyederhanaan ucapan (penghilangan /r/), misalnya oti untuk roti
3. Karikaturalisme (pelebihan intonasi dan ritme)

31
4. Penggunaan khusus prosedur morfologi (re-iterasi/pengulangan) baca-baca, gambar-
gambar, num-num untuk membaca, menggambar, minum.
5. Penyimpangan dari bentuk gramatikal, seperti pergantian kata ganti pertama, kedua, dan
ketiga dengan substantif, misalnya mama mau mandi, Gita tunggu, ya? Untuk “ibu mau
mandi, kamu tunggu, ya?
6. Penggunaan parasis, bukan sintaksis, misalnya Es dingin bukan “Es itu dingin”.
Beberapa aspek baby talk itu jelas penyederhanaan dan dengan demikian dipakai untuk
memudahkan pemerolehan bahasa, misalnya penyederhanaan ucapan untuk mempermudah
peniruan ucapan anak atau penggunaan substantif untuk pronominal pertama, kedua, dan
ketiga untuk memudahkan referensi. Akan tetapi, ada aspek-aspek yang tidak dapat dianggap
penyederhanaan, misalnya penggunaan kita untuk kamu guna mempermanis perintah (“yuk,
kita mandi! Untuk mari kamu mandi) atau penggunaan melimpah. Biarpun aspek-aspek itu
tidak fungsional dilihat dari segi kesederhanaan, namun aspek-aspek itu fungsional secara
psikologis, yaitu untuk menciptakan dunia yang cocok untuk anak-anak. Dalam hal ini,
perintah berbunyi seperti undangan dan dalam hal ini ungkapan kasih sayang menciptakan
dunia yang aman untuk proses perkembangan anak.

Diagram: Model penawaran dan pemerolehan bahasa dari Beheydt (1979)

LAD
Baby talk
bahasa
input penampilan

Bahasa kepada anak Alat


pemerosesan
3.4 Gejala-Gejala Bahasa yang Mendukung Teori LAD
3.4.1 Peniruan
Anak-anak sering dan banyak meniru kata-kata dan struktur-struktur bahasa dari
lingkungannya, terutama dari orang tuanya. Hal itu tidak berarti bahwa proses pemerolehan
bahasa dapat dianggap sebagai kelakuan belajar imitatif semata-mata.
Berdasarkan suatu sistem kaidah yang berkembang dengan sistematis, dalam bahasa
anak juga tampak penyimpangan sistematis dari bahasa orang dewasa. Penyimpangan itu
dapat dijelaskan dengan beberapa contoh sebagai berikut.

32
a) Pada diferensiasi morfologi terjadilah overgeneralisasi (penyamaan berlebihan;
sering juga disebut overregularisasi) pada pembentukan kata kerja dan bentuk jamak
dalam bahasa Inggris. Penyamaan berlebihan seperti itu dapat dianggap sebagai
peniruan. Anak mempergunakan bentuk-bentuk itu karena pada saat itu bentuk-bentuk
tersebut cocok dengan gramatika yang sudah dibentuknya.
b) Lenneberg (dalam Els et.al., 1977) membicarakan suatu percobaan yang dalam hal
ini anak-anak harus mengulangi ujaran orang dewasa. Biarpun dapat dipastikan bahwa
anak-anak mengerti kalimat-kalimat yang ditawarkan kepada mereka, mereka tidak
hanya meniru begitu saja. Mereka meniru sesuai dengan sistem kaidah yang mereka
kuasai pada saat itu.
Contoh: 1. S = Lasie doesn’t like the water.
R = He no like the water.
2. S = Does Johnnie want a car?
R = Johnnie wants a cat?
3. S = The cat is chased by the dog.
R = Cat chasing the dog.
Pada kalimat 1 dan 2 anak belum menguasai konstruksi dengan do dan pada
kalimat 3 anak belum dapat membentuk kalimat pasif. Hal itu bukanlah peniruan
semata.

3.4.2 Frekuensi Pemberian Stimuli


Menurut teori behaviorisme, frekuensi pengulangan penawaran bahasa lingkungan
sangat besar pengaruhnya pada perkembangan bahasa anak. Sebenarnya, pengaruh frekuensi
tersebut tidaklah sebesar yang diduga. Hal itu terbukti, antara lain, sebagai berikut.
a) Dalam bahasa Inggris ada tiga fleksi yang mendapat morfem –s, yaitu:
a. Bentuk jamak kata benda (two chairs);
b. Genetif kata benda (Daddy’s chair); dan
c. Bentuk kata kerja pada persona ketiga tunggal (Daddy sleeps).
Bellugi (Els et.al., 1977:114) telah mengumpulkan data dari dua orang anak. Data itu
menunjukkan bahwa ketiga fleksi terdapat dalam bahasa anak-anak itu, dalam urutan seperti
yang tersebut di atas. Hal yang menarik adalah bahwa urutan tersebut tidak sama dengan
urutan frekuensinya dalam bahasa orang dewasa. Misalnya, dalam bahasa orang dewasa, jenis
morfem -s yang disebut pada (3) lebih sering timbul dari pada yang disebut pada butir (2).
Dengan demikian, urutan yang khas pada anak itu harus dijelaskan dengan dasar lain, bukan

33
peniruan. Menurut Jakobson urutan itu berkaitan dengan urutan umum perkembangan dalam
pemadu. Urutan di atas dapat diterangkan jika dilihat bahwa hubungan morfologi di dalam
satu kata lebih kuat dari pada hubungan gramatikal antara dua kata di dalam satu pemadu,
baru disusul oleh hubungan antara dua pemadu.
b) Ervin menunjukkan bahwa overregularisasi pada kaidah pembentukan kata lampau (past
tense) justru terdapat pada kata kerja yang tidak beraturan, yang banyak terdapat dalam
bahasa orang dewasa, termasuk bahasa kepada anak. Hal itu berarti bahwa frekuensi struktur-
struktur yang ditawarkan tidak mamaksa anak untuk meniru apa yang mereka dengar dari
lingkungannya.
c) Jakobson dalam tahun 1941 sudah menunjukkan bahwa fonem semesta bahasa labih cepat
muncul dalam perkembangan bahasa daripada fonem khusus dalam suatu bahasa. Dalam
bahasa Inggris fonem /Q/ merupakan fonem yang sangat sering digunakan, tetapi dalam
pemerolehan bahasa fonem itu baru kemudian diperoleh. Proses perkembangan tidak dikuasai
oleh frekuensi penggunaan fonem dalam satu bahasa, tetapi oleh hukum-hukum bahasa
universal (Els et.al., 1977).
3.4.3 Penguatan
Sudah dilihat bahwa penguatan (positif) dalam behaviorisme berarti meningkatnya
kemungkinan terulangnya suatu R atas suatu S sebagai akibat penilaian positif atas R
tersebut. Kaum behavioris menganggap bahwa penghargaan dari pihak orang tua merupakan
penguatan yang sangat penting dalam proses pemerolehan bahasa. Terhadap pendapat
tersebut telah dikemukakan beberapa sanggahan sebagai berikut.
1.Pendapat bahwa penguatan mengakibatkan dominasi kalimat yang gramatikal benar
didasarkan atas titik tolak bahwa penilaian positif atau negatif dari orang tua tergantung pada
kegramatikalan ujaran-ujaran anak. Akan tetapi, Brown et.al. menyimpulkan bahwa dalam
kebanyakan hal, reaksi positif atau negatif dari pihak orangtua bukanlah tergantung dari
kegramatikalan suatu ujaran anak, melainkan tergantung dari benar tidaknya ujaran itu, dalam
arti sesuai atau tidak sesuai dengan kenyataannya. Dengan demikian, penilaian positif dari
orang tua dapat diberikan baik tentang kalimat-kalimat yang gramatikal, maupun klaimat
yang tidak gramatikal, sehingga penilaian tersebut tidak dapat dianggap sebagai penguatan
untuk memacu dibentuknya struktur-struktur yang gramatikal.
2. Biarpun anak baru menguasai sistem bahasa yang primitif, komunikasi dengan orang
tuanya sangat mungkin. Walaupun orangtuanya tidak menyalahkan bentuk-bentuk bahasa
yang masih primitif dari anak mereka, anak itu tetap akan membentuk ujaran yang makin
kompleks.

34
3.5 Perkembangan Bahasa pada Anak-anak
Perkembangan bahasa pada anak-anak berjalan melalui tahapan-tahapan dan fase-fase.
Tahapan pertama adalah tahapan prabahasa. Tahapan ini dimulai pada saat anak dilahirkan
dan berakhir pada saat anak memproduksi kata sejatinya yang pertama.
3.5.1 Tahapan Prabahasa
Dalam tahapan prabahasa anak belum berbicara, belum waktunya dibicarakan tentang
“alat bicara”. Sejak lahir setiap anak mampu bernafas dan minum. Kedua perbuatan tersebut
harus dikoordinasi sedemikian rupa hingga dapat dilakukan bersama-sama. Itulah fungsi
primer alat bicara yang diberi oleh alam. Koordinasi gerakan bersamaan alat itu merupakan
dasar kemampuan bicara anak. Berbicara adalah fungsi sekunder dari organ yang kompleks
tersebut, yang diberi oleh alam, tetapi harus diperoleh lewat proses belajar. Proses itu
seluruhnya tergantung pada pendengaran: bunyi-bunyi yang dihasilkan dan didengar sendiri
terus-menerus diperbaiki dan disesuaikan dengan bunyi-bunyi yang didengar dari lingkungan
(umpan balik).
Perkembangan bahasa pada tahapan prabahasa ini terjadi dalam beberapa fase. Dalam
tahapan prabahasa, anak bersuara. Pertama-tama, ia bersuara dengan jalan menutup celah
dalam larynx sewaktu mengeluarkan nafas; ia menangis. Kemudian, ia menggetarkan celah
itu dengan lebih tenang; ini dinamakan vokalisasi. Selanjutnya, ia menggerakkan atau hampir
menutup bagian lain dari mulut sewaktu bersuara; fase ini dinamakan fase raban, lalu ia
menghasilkan raban dengan bunyi wicara dari bahasa ibunya; ini dinamakan fase
penyesuaian. Tahapan prabahasa diakhiri jika tahapan kalimat satu kata dimulai. Dalam
tahapan ini, di samping raban yang disesuaikan, juga makin sering didengar kata-kata.
Paparan di atas memperlihatkan perkembangan pengeluaran wicara yang pertama itu.
Perkembangan yang dimaksud mengambil waktu kira-kira satu tahun dan dengan jelas
berjalan menurut beberapa fase yang berbeda. “Fase” tidak berarti bahwa tahapan
sebelumnya berhenti, tetapi bahwa ada ciri baru yang bertambah.
Sebenarnya agak berbahaya untuk memisahkan (menentukan waktu) fase-fase tersebut.
Artinya, dikatakan bahwa fase-fase itu berlangsung sekian bulan tepat. Percepatan
perkembangan terlalu berbeda dari satu anak ke anak yang lain. Perkembangan yang lebih
cepat atau lebih lambat tidak memberi indikasi tentang kecerdasan yang lebih tinggi atau
lebih rendah atau tentang keterlambatan yang harus dikhawatirkan.
Anak berkembang sesuai dengan temponya sendiri, yang terutama ditentukan oleh
kematangan neurologis. Lingkungan memang dapat mendukung perkembangan itu secara

35
optimal dan dapat juga mempengaruhinya dengan negatif, sehingga lingkungan dapat
mempercepat atau memperlambatnya. Namun, juga di bawah kondisi optimal atau perbedaan
perorangan yang belum tentu berkorelasi dengan kecerdasan. Kondisi-kondisi yang ekstrem
negatif dapat menghambat perkembangan atau bahkan dapat mengakibatkan kelainan tetap.
Kondisi seperti itu adalah misalnya lesi (cedera) pada otak, ketulian, sakit yang lama,
keterlantaran yang sangat. Fase-fase yang akan dibicarakan di sini adalah menangis,
vokalisasi, raban, dan penyesuaian.
3.5.1.1 Menangis
Tangis pada anak mulanya bukanlah pengungkapan rasa sedih, bahkan juga bukan dari
rasa ketidaknyamanan, tetapi merupakan suatu aktivitas fisiologis murni. Baru setelah
beberapa waktu, tangis fisiologis berkembang menjadi tanda primitif dari ketidaknyamanan.
Pengetahuan pengalaman pertama dari hubungan antara tangis dan akibatnya, yaitu
pertolongan, menjadikan tangis sebagai bentuk pertama dari komunikasi. Komunikasi
tersebut tidak sepihak sebab dari pihak ibu (lingkungan) ada suara menenangkan yang
menyertai perawatan dan yang menandakan pada bayi bahwa kesedihannya telah dipahami.
Bayi mengalami suara ibunya sebagai penghibur dan hal itu adalah komponen penting dalam
kontak total dengan ibunya karena ia tidak hanya mengalami bahwa sebab kesedihannya
hilang, tetapi ia juga menjadi dasar akan kontak dengan sesama manusia.
Sesudah tingkat tertentu dicapai, tangis tidak berkembang lagi karena tidak mendapat
tanggapan. Manusia dewasa hanya kembali pada tangis dalam situasi ketika ia tidak lagi
dapat menguasai dirinya.
3.5.1.2 Vokalisasi
Di samping menangis masih ada macam suara lain yang baru berkembang sesudah
tangis yang digambarkan di atas. Sesudah lebih kurang enam minggu, makin sering terjadi
bahwa bunyi tidak menangis, tetapi berbaring dan bernafas dengan tenang, biasanya sesudah
tidur dan minum. Pita suara dipertemukan dengan tenang yang mengakibatkan suara panjang,
kira-kira seperti [ah]… [ah]…. Suara itu dengan cepat digunakan oleh anak sebagai
pengungkapan rasa senang dan nyaman, terutama dalam dialog, misalnya sesudah minum.
Penyuaraan dari glotis terbuka itu biasanya dan pada mulanya hanya menghasilkan suara
“vokal” netral, tetapi dengan pembukaan mulut lebih lebar dan gerakan lidah terjadilah
variasi bunyi dan berkembanglah vokalisme primitif yang pada bulan-bulan pertama biasanya
hanya berkisar antara suara [ah] dan [ah].
3.5.1.3 Raban

36
Di satu pihak, juga dalam perkembangan ini, alam tidak pernah meloncat, dan
pergantian dari fase vokalisasi ke fase raban berjalan dengan berangsur-angsur; di lain pihak
jelas terdengar perbedaan antara bayi berumur tiga bulan yang masih hanya bervokalisasi,
dan bayi berumur enam bulan yang sudah sepenuhnya dalam fase raban.
Pada vokalisasi, alat ucap (dari pita suara sampai bibir) hanya sedikit bergerak, yang
hanya mengakibatkan bahwa warna vokalnya agak berubah, sedangkan pada fase raban alat
ucapnya ditutup atau hamper ditutup, sehingga dihasilkan konsonan hambat dan frikatif, dan
jika penutupan berlangsung lebih lama juga terbentuk nasal. Dengan demikian, di samping
vokalisme primitif sekarang dihasilkan juga konsonantisme primitif.
Dalam periode raban, ucapan bunyi berlangsung dengan spontan dan dibuat dengan
sadar. Dengan demikian, hal itu bukan berupa bunyi yang hnaya fisiologis dan kebetulan.
Bunyi yang dihasilkan adalah bunyi permainan., yang tidak hanya dikeluarkan untuk
menyatakan suatu kebutuhan hidup vital tertentu. Bunyi-bunyi itu sudah mempunyai fungsi
sosial-raban dapat dirangsang dengan membalas berbicara, dan raban sendiri juga sudah
digunakan dengan fungsi percakapan (membalas berbicara), memanggil, menyatakan
ketidaksabaran, dan sebaliknya. Di samping itu, dapat dihasilkan monolog raban, dalam hal
ini anak melatih sendiri alat ucapnya sambil bermain-main.
Frekuensi raban, titik awalnya dan puncaknya sangat berbeda dari satu anak ke anak
lainnya; ada bayi yang mulai awal, ada yang lambat, ada yang banya dan ada pula yang
sedikit beraban. Akan tetapi, kebanyakan anak berumur 6 bulan sudah beraban, dengan
puncaknya sekitar umur 10-12 bulan.
3.5.1.4 Penyesuaian
Dalam fase ini pun ada pergantian perlahan-lahan. Dengan berangsur-angsur suara yang
tidak terdapat dalam bahasa lingkungan ditinggalkan (misalnya suara [x] dan [-] dalm bahasa
Indonesia) dan kumpulan suara raban diperluas dengan bunyi dan kombinasi bunyi bahasa
Indonesia yang sampai saat itu belum diproduksi anak.
Ada pertumbuhan yang sangat jelas hingga saat ini: selama fase vokalisasi dan
permulaan raban, alat ucap dilatih melakukan suatu aktivitas yang makin rumit, tetapi masih
mempunyai kemungkinan variasi bebas. Sekarang kebebasan itu makin terbatas; raban
menjadi berciri khas bahasa lingkungan. Ciri-ciri pertama sudah tampak dalam bulan ke-6
sampai ke-7, dan sesudah ulang tahun pertama proses penyesuaian ini selesai.
Di sini pun ada perbedaan antara anak yang satu dengan yang lainnya. Ada bunyi yang
sangat lambat dengan penyesuaian mereka, biarpun mereka beraban dengan aktif. Dugaan
pertama dalam hal ini adalah pendengaran si anak kurang baik. Hal itu mungkin, tetapi sama

37
sekali tidak selalu demikian. Namun, memang kelainan pendengaran sejak lahir atau
sesudahnya mempunyai pengaruh negatif dan menentukan keseluruhan proses pemerolehan
wicara dan bahasa anak, juga pada fase penyesuaian ini.
Uraian di atas memperlihatkan bahwa ada penyesuaian wicara bayi pada sistem
fonologi bahasa ibunya. Ada lagi satu penyesuaian yang bahkan lebih penting dan juga
dimulai lebih awal, yaitu penyesuaian pada lagu kalimat bahasa ibu. Ibu yang sedang sibuk
denganbayinya pada umumnya memperdengarkan pola intonasi yang sangat ekspresif, yang
mengungkapkan rasa saying, menghibur, mengundang, gembira, jengkel, bertanya, kecewa,
dan pendek kata seluruh kemungkinan ungkapan perasaan yang dapat disampaikan seseorang
kepada orang lain. Bahkan, juga sebelum penyesuaian bunyi, bayi kadang-kadang dengan
jelas melagukan suaranya dan terutama membentuk seruan dan pertanyaan, sering dengan
nada ketidaksabaran, gembira, mengasihani diri, sedikit sedih, dan sebagainya. Ucapan-
ucapan mengungkapkan pengalaman pertama dengan lingkungan, perkembangan kepribadian
yang paling awal dan kebutuhan berkomunikasi.
3.5.1.5 Diferensiasi Fonologi
Di bidang bahasa anak, secara tradisional perhatian terpusat pada perkembangan
fonologi. Jakobson telah meletakkan dasar teorinya dan pendapat-pendapatnya sampai
sekarang masih tetap merupakan titik tolak untuk deskripsi. Jakobson juga telah
memperkenalkan gagasan “semesta bahasa” (language universal). Pemerolehan sistem
fonologi berlangsung tetap untuk semua bahasa, dan hanya diferensiasi yang terus
berlangsung yang membawa anak ke sistem bahasa yang berlainan, begitu menurut Jakobson.
Diferensiasi fonologi istimewa sekurang-kurangnya dalam satu hal dibandingkan
dengan diferensiasi di bidang struktur bahasa lainnya. Pada diferensiasi fonologi ada
penyempitan, yaitu pada perubahan dari vokalisasi tidak sengaja ke vokalisasi sengaja pada
fase penyesuaian.

Dalam fase raban sering muncul kombinasi suara menurut pola kv, yang merupakan
dasar untuk pembentukan suku kata. Dengan jalan reduplikasi, yang merupakan latihan
bicara paling dasar, terjadilah dalam periode ini pola kvkv (tata, mama, bobo). Hal yang
menonjol adalah juga bahwa anak-anak memproduksi bunyi yang lain dan lebih banyak
daripada bunyi yang sebenarnya perlu dalam bahasa sasarannya. Gejala tersebutpun adalah
suatu semester bahasa. Akibat gejala tersebut adalah kesulitan yang dialami oleh orang
dewasa untuk memastikan latar belakang bahasa anak yang berada dalam fase raban. Dinger
dan Bloom menunjukkan bahwa pengenalan bahkan pada anak-anak yang berusia 1:4 tahun

38
tetap sulit (catatan: dalam penelitian bahasa anak, cara yang biasa dipakai untuk menyatakan
usia anak, yaitu 1:4 yang berarti 1 tahun 4 bulan; 50 wanita Amerika dan 50 wanita Belanda
ditugaskan untuk menggolongkan dua bayi Amerika dan dua bayi Belanda berumur 1:4 tahun
menurut latar belakang bahasanya. Jelasnya, bayi harus dikelompokkan sebagai bayi Amerika
atau bayi Balanda. Ternyata, hanya ada kemungkinana pengenalan sebesar 68% (termasuk
kemungkinan kebetulan 50%).

Akhir fase raban ini dapat timbul tiba-tiba dikarenakan reduksi dalam jumlah bunyi.
Ada gejala penyempitan yang kadang-kadang disertai dengan periode bunyi yang sangat
jelas. Hal yang juga merupakan gejala khas dari stadium pergantian antara pergantian periode
raban dan periode kalimat satu kata adalah produksi melimpah kata-kata berpola kv yang
bermakna, misalnya ma = mama, pu = pus, pi = sapi, num = minum.

Menurut Jakobson perkembangan fonem yang sebenarnya selanjutnya tidak terdiri


atas pemerolehan fonem-fonem itu sendiri, tetapi terdiri atas pemerolehan sifat fonem
distingtif atau kontras-kontras atas dasar suatu sistem biner. Perkembangan tersebut dimulai
dari pemakaian /p/ dan /a/ (reduplikasi menjadi papa; satu di antara kata-kata sejati).
Penyusunan sistem fonem selanjutnya adalah pengisisan kesenjangan diantara hal yang
disebut Jakobson sebagai konsonan optimal, yaitu /p/ dan vokal optimal /a/; /p/ dibentuk
dibagian depan mulut dan tidak menghasilkan energa akustik, sedangkan /a/ dibentuk
dibagian belakang mulut dan menghasilkan energi akustik dalam jumlah maksiamal.
Diferensiasi pertama terjadi dipihak konsonan; sementara /a/ tetap sebagai konsonan tunggal,
disamping /p/ sekarang muncullah konsonan labial yang lain, yaitu /m/. dalam fase ini /a/
sangat penting peranannya karena dengan adanya vokal tunggal itu anak dapat membentuk
suku kata (papa dan mama). Kemudian, timbullah dipihak konsonan diferensiasi suara
hambat, di samping /p/ muncul /t/. baru sesudahnya terjadilah diferensiasi vokal; pertama
dalam bentuk /i/ disamping /a/, kemudian dalam bentuk /u/ disamping /i/. diferensiasi suara
hambat selanjutnya menghasilkan /k/ disamping /p/ dan /t.

Menurut Jakobson, proses diferensiasi ini tetap dan universal. Anak pada mulanya
hanya memproduksi suara yang terdapat dalam semua bahasa, sedangkan suara khas bahasa
baru berkembang sesudahnya.

3.5.2 Tahapan Kalimat Satu Kata

39
Kalimat satu kata biasanya mulai dihasilkan anak sekitar ulang tahun pertama, tetapi
bisa juga pada umur 10 bulan atau baru pada umur 14 bulan. Perbedaan itu bukan berarti
indikasi untuk kecerdasan yang lebih tinggi atau lebih rendah atau perkembangan lebih cepat
atau lebih lambat.

Kata pertama baru dapat dinamakan kata pertama sejati jika tiga syarat berikut
dipenuhi.

1) Kelompok bunyi yang digunakan haruslah kira-kira tetap dalam bentuknya. Seorang anak
yang pada suatu saat mengucapkan mumum jika ia melihat ayahnya, pada saat lain
mengucapkan ope dan pada saat yang lain lagi iih, hal itu belum menghasilkan kata. Akan
tetapi, ia menghasilkan kata jika ia menggunakan bunyi papa, apa, pa, atau apapa untuk
ayahnya untuk menggunakannya secara bergantian; ada suatu bentuk dasar dengan
variasi-variasi.
2) Syarat kedua adalah bahwa kelompok bunyi itu harus selalu menyebut hal yang sama.
Anak yang menggunakan kata mam-mam untuk ayahnya, untuk sepatunya, untuk TV,
belum memakai kata, tetapi masih raban. Namun, di sini pun masih ada keleluasaan yang
lebih besar daripada bahasa orang dewasa; num-num dapat berarti minum, susu, botol
susu, kaleng yang serupa dengan kaleng susu, dan hal-hal lain yang berasosiasi dengan
itu.
3) Syarat ketiga adalah bahwa kata yang dipakai tidak terbatas penggunaannya hanya pada
suatu situasi. Anak yang mengatakan papa dapat melakukannya bila ayahnya masuk
ruangan, bila ia menyuruh ayahnya melakukan sesuatu, bila telepon bordering, bila ia
menemukan sandal ayahnya, dan sebagainya.

Kalimat satu kata berbeda dari kelompok raban disebabkan sifat simbolisnya dan
karena terdiri atas bunyi yang harus dikombinasi dalam urutan tertentu. Tiap bunyi
merupakan fonem yang berfungsi dalam keseluruhan kata yang mempunyai bentuk tetap. Hal
ini membutuhkan kemampuan baru, yaitu kemampuan menata bunyi. Langkah dari kelompok
raban ke kalimat satu kata sulit, bukan karena alat ucap kurang terlatih, tetapi karena bunyi-
bunyi harus menghidupkan suatu dunia nyata lewat kombinasi yang unik. Kombinasi bunyi
itu tidak dapat lagi dipilih dengan bebas, tetapi harus ditata terlebih dahulu.

3.5.2.1 Diferensiasi Morfologi

40
Dalam tahapan-tahapan pertama perkembangan bahasa anak, anak-anak tidak atau
hampir tidak menggunakan kaidah morfologi. Beberapa contoh dari bahasa Inggris mungkin
dapat memperjelas hal itu. Contoh-contoh berikut diambil dari fase kalimat dua kata.

Adam ball (milik, tanpa ’s; seharusnya Adam’a ball);

Two sock (jamak, tanpa –s; seharusnya twosocks);

Sun shine (persona ketiga tunggal, tanpa –s; seharusnya sun shines).

Dalam hal ini, ujaran-ujaran bahasa itu cukup interpretatif. Anak mulai perkembangan
bahasanya dengan satuan-satuan yang komunikatif paling penting. Kemudian, baru terjadi
perstrukturan lebih lanjut, juga dalam hal morfologi.

Penyelidikan diferensiasi morfologi dalam bahasa anak terutama dilakukan


sehubungan dengan pembentukan jamak dan kata kerja tak beraturan (dalam bahasa fleksi).
Ternyata, ada gejala yang oleh Ervin dinamakan gejala “penyamaan berlebihan” atau
overgeneralization. Seperti telah dikemukakan bahwa anak-anak hanya menerapkan kaidah-
kaidah yang mereka kuasai pada tahap tertentu dalam perkembangan bahasanya. Atas dasar
kaidah-kaidah tersebut, mereka menghasilkan bahasa yang menyimpang dari bahasa orang
dewasa. Sistematik dari penyimpangan itu dapat diamati terutama di bidang morfologi.
Timbulnya bentuk-bentuk dalam bahasa anak seperti writed dan memakan menunjukkan
adanya penyamaan berlebihan dari kaidah-kaidah untuk pembentukan kata kerja, baik dalam
bahasa Inggris maupun dalam bahasa Indonesia. Anak-anak mulai dengan kaidah yang paling
umum dan baru kemudian belajar kekecualian-kekecualiannya. Anak menghasilkan bentukan
seperti writed dan memakan karena pada saat itu bentuk-bentuk tersebut dapat diterima di
dalam sistem kaidahnya.

Ervin menunjukkan adanya kesejajaran dalam perkembangan pembentukan jamak dan


kata kerja. Hal itu dapat dijelaskan sebagai berikut.

1) Pada tahapan pertama anak-anak meniru bentuk yang benar (came, mice, duduk,
sembunyi).
2) Pada tahapan kedua terjadi penyamaan berlebihan (camed, mouses, menduduk,
menyembunyi).
3) Pada tahapan ketiga, anak lalu belajar bahwa ada kekecualian dari kaidah-kaidah
pembentukan jamak dan kata kerja.

41
3.5.2.2 Diferensiasi Leksikal

Secara tradisional, penelitian diferensiasi leksikal terbatas terutama pada


perkembangan kosa kata produktif global. Salah satu penelitian yang paling luas hingga saat
ini adalah yang dilakukan Smith dalam tahun 1926 (Els et.al., 1977:126), biarpun sekarang
mungkin ada ketidakcocokan, menurut Smith, jumlah kata yang dikuasai anak secara aktif
pada umur 1 tahun adalah rata-rata 3 kata, pada umur 2 tahun 272 kata, pada umur 3 tahun
896 kata, pada umur 4 tahun 1540 kata, pada umur 5 tahun 2072 kata, dan pada umur 6 tahun
2562 kata.

Minat untuk penelitian perkembangan kosa kata sekarang ini berkurang dibandingkan
dengan dahulu. Macam penelitian yang lebih baru adalah penelitian diferensiasi sifat-sifat
semantik. McNeil menyatakan bahwa pada perkembangan dengan arah vertical (= anak
menghubungkan kata-kata dengan sifat-sifat semantik yang sama seperti yang diberikan
orang dewasa pada kata-kata tersebut), tetapi terjadi perkembangan dengan arah horizontal (=
anak menghubungkan kata-kata dengan sifat-sifat semantik yang lain dari yang lain yang
diberikan oleh orang dewasa pada kata-kata tersebut).

Hal seperti tersebut di atas oleh Dale disebut sebagai gejala “pelebaran” dan
“penyempitan”. Dalam hal ini, “pelebaran juga merupakan satu bentuk penyamaan berlebihan
di bidang semantik. Ujaran-ujaran berikut menunjukkan pelebaran: “papa” (untuk semua
orang dewasa, juga yang bukan ayahnya), “susu” (untuk segala sesuatu yang dapat diminum),
“depan” (untuk belakang dan depan), “habis” (untuk segala yang habis, hilang, atau lenyap
dari pandangan). Contoh penyempitan: “pop” (untuk hanya bonekanya sendiri), “sandal”
(hanya sandalnya sendiri).

Ada sejumlah percobaan klasifikasi yang menarik yang dilakukan untuk menyelidiki
bagaimana perkembangan kesadaran kategori pada anak-anak (Els et.al., 1977”127). Anak-
anak harus membuat tumpukan-tumpukan kartu bergambar sedemikian rupa sehingga satu
tumpukan kartu merupakan satu kategori. Orang dewasa mengelompokkan atas dasar sifat-
sifat semantik seperti hidup/tak hidup atau manusia/bukan manusia, tetapi ternyata anak-anak
memilih kategori dasar yang lain, seperti atas dasar perbedaan besar/kecil atau atas dasar
warna atau bentuk. Kesadaran kategori hanya berkembang secara perlahan-lahan ke arah
kesadaran kategori orang dewasa.

42
Kendati pelebaran dan penyempitan serta kesadaran kategori yang makin berkembang
merupakan sifat semesta diferensiasi leksikal, perkembangan semantik berkaitan erat dengan
faktor-faktor lingkungan. Proses sosialisasi seorang anak sangat menentukan pengalamn,
sikap, dan dugaannya. Ujaran-ujaran dan interpretasi anak dipengaruhi oleh proses sosialisasi
tadi. Sifat-sifat semantik yang dikenal anak meletakkan hubungan antara bahasa dan dunia
luar, dalam hal ini dunia luar itu tidak sama bagi setiap anak.

3.5.2.2 Diferensiasi Semantik


Secara umum, fase kalimat pada proses pemerolehan bahasa anak dapat dibagi-bagi
sebagai berikut.
1) Umur 8-18 bulan: tahapan kalimat satu kata (tahapan holofrasa/satu frasa).
2) Umur 19-28 bulan: tahapan kalimat dua kata.
3) Umur 29-38 bulan: tahapan kalimat tiga kata.

Seperti pada pemerolehan kemahiran apa pun, selain pemerolehan bahasa, tentunya di
sini pun ada perbedaan antara perorangan dan pencampuran antara tahapan-tahapan di atas.
Namun, urutannya bersifat semesta.

3.6 Macam-macam Deskripsi Tata Bahasa Anak

3.6.1 Gramatika Pivot

Dalam fase kalimat satu kata, kalimat-kalimat terutama terdiri atas kata benda dan kata
sifat, dan hampir tidak ditemukan kata kerja. Kategori nomina mempunyai sifat khusus,
dalam arti bahwa hanya kategori ini terdapat dalam setiap hubungan gramatikal. Munculnya
nomina dalam jumlah besar itu dapat diterangkan dari sudut efisiensi komunikasi: untuk
menyebut objek-objek dan orang, satu ujaran yang terdiri atas hanya nomina sudah cukup
karena nomina mempunyai aspek referensi. Verba biasanya adalah kata relasi. Bagi seorang
anak, menghubungkan adalah lebih rumit dan sulit daripada menunjukkan. Juga dalam hal
ini, hal yang sederhana akan mendahului hal yang rumit.

Pada mulanya orang menyelidiki bahasa anak seakan-akan merupakan bahasa yang
sama sekali asing. Memang pandangan seperti itu ada baiknya, sebab dengan demikian kita
mendapat metode yang objektif dan kita tidak tergoda untuk memberi interpretasi yang
subjektif. Artinya, dipandang hanya dari bahasa dewasa kepada kalimat-kalimat anak.
Misalnya, kita dengan mudah menginterpretasi ujaran anak “bil gus” (mobil bagus) sebagai
“mobil itu bagus” atau “itu mobil bagus”.

43
Metode analisis yang objektif juga baik karena dengan demikian ada sejumlah teknik
yang dapat dilaksanakan sebagai rutin. Beberapa di antaranya ialah sebagai berikut:

1) menentukan frekuensi suatu kata;


2) menentukan tempat satu kata tertentu dalam kalimat dua kata atau kalimat tiga kata; dan
3) menentukan kata apa yang timbul dalam kombinasi dengan satu kata tertentu.

Braine telah melakukan penyelidikan seperti itu dan ia mengusulkan apa yang
dinamakan pivot grammar atau “gramatika pivot” untuk menganalisis kalimat anak. Menurut
gramatika ini, gramatika bahasa digambarkan sebagai berikut.

a) Ada dua kelas kata, yaitu kelas kata-kata pivot dan kelas kata-kata open.
b) Kata-kata pivot sangat sering dipakai, jumlahnya sangat terbatas, selalu dipakai dalam
kombinasi dengan kata-kata open. Kata pivot dapat dibagi dalam golongan kata yang
hanya timbul pada awal kalimat (P1) dan kata yang hanya timbul pada akhir kalimat (P2).
c) Kata-kata open tidak begitu sering dipakai, jumlahnya besar, dipakai sendiri atau dalam
kombinasi dengan kata open lain. Kata-kata open (O) dapat timbul disemua tempat.
d) Kata-kata pivot banyak persamaannya dengan golongan kata tugas dan kata-kata open
menunjukkan persamaan dengan kata penuh.
Penggambaran tersebut menghasilkan kaidah-kaidah penggambaran sebagai berikut.

PI + O
Kal
{O+ P 2
O+O
O

Penggambaran tersebut menghasilkan kaidah-kaidah penjabaran sebagai berikut.

Kaidah di atas tidak menggambarkan ditemukannya kaidah kalimat: Kal → P1 + P2


dan Kal → P (kata kerja). Hal itu berarti bahwa dari enam kemungkinan ada dua yang secara
sistematis tidak dihasilkan. McNeill menerima dan melanjutkan deskripsi ini dan
menunjukkan bahwa dalam kelompok Pivot diferensiasi berlangsung dengan cepat. Jika pada
mulanya hanya ada satu kelompok kata pivot yang tak menentu, maka beberapa bulan
kemudian anak sudah mempunyai empat kelompok diferensiasi (kata sandang, demonstratif,
posesif, ajektif). Di samping satu kelompok yang tak menentu golongannya (Els et.al., 1977;
Schaerlaekens, 1977; Tervoot et.al., 1972).

44
3.6.2 Telegraphic Speech (Bahasa Telegram)

Dalam usahanya meniru orang dewasa, anak menanggalkan bagian-bagian kalimat


tertentu, yaitu bagian yang paling sedikit mengandung informasi. Hal itu menurut Brown dan
Fraser dilakukan karena keterbatasan daya ingat. Bahasa anak seperti itu disebut sebagai
telegraphic speech (“bahasa telegram”).

Pendapat di atas mempunyai beberapa konsekuensi untuk analisis kalimat anak.

a) Pertama, pendapat itu mengandung anggapan bahwa juga untuk anak kecil ada perbedaan
antara struktur batin dan struktur lahir, antara kemampuan dan penampilan, dengan
perkataan lain ada sesuatu yang lebih daripada hanya yang tampil dalam struktur lahir.
b) Kedua, dalam teori demikian (teori bahasa telegram) harus ditentukan transformasi
pelesatan yang mampu menjelaskan bagian struktur batin yang boleh atau harus
dilesapan.
c) Ketiga, pada anggapan demikian harus tidak hanya diteliti kata-kata yang dihasilkan anak
dan sposisinya dalam kalimat, tetapi juga terutama jenis kata yang dilesapkan dan dalam
kasus bagaimana.

Suef gmbangan terpenting teori bahasa telegram kepada teori analisis bahasa anak
adalah bahwa teori itu menonjolkan kenyataan bahwa anak-anak karena sebab-sebab tertentu
memproduksi kalimat-kalimat yang lebih pendek daripada kalimat orang dewasa,
berdasarkan pengetahuan mereka tentang sistem bahasa.

Dari teori telegraphic speech ternyata ada ketidakpuasan dengan gramatika pivot
sebagai deskripsi kemampuan bahasa anak. Ada beberapa keberatan yang dikemukakan
peneliti-peneliti lain terhadap gramatika pivot ini. Keberatan itu adalah sebagai berikut.

a) Keberatan pertama menyangkut penggolongan menurut frekuensi penggunaan suatu kata


dan tempatnya dalam kalimat. Misalnya, kata seperti bola mungkin saja tepat pada waktu
pengumpulan data sering diucapkan anak karena ia baru saja memperoleh kata itu dan
sekarang sedang giat-giatnya melatih penggunaannya, atau karena ia pada saat itu sedang
bermain bola. Jika anak itu selalu menempatkan kata bola itu pada tempat yang sama
dalam kalimat, mungkin saja kata bola yang rupa-rupanya merupakan suatu kata penuh,
secara objektif digolongkan sebagai kata tugas. Sebaliknya, kata seperti atas yang pada
saat pengumpulan data hampir tidak atau sama sekali tidak digunakan, menurut
frekuensinya pasti akan digolongkan sebagai kata penuh.

45
b) Kritik lain adalah tempat kata dalam kalimat tidak mungkin dapat menentukan golongan
kata tersebut. Misalnya kalimat-kalimat berikut ini.
- Kau datang besok.
- Besok kau datang.
- … bahwa kau besok datang.
c) Keberatan lain adalah gramatika pivot tidak dapat menjelaskan kalimat-kalimat homonim,
seperti berikut ini.
- Pupus ini = Ini adalah kucing.
- Pupus ini = Kucing ini ….
Sebaliknya, teori bahasa telegram dapat menerangkan perbedaan antara kedua kalimat
di atas dengan dasar transformasi pelesapan. Dengan demikian, inti kritik ini adalah
gramatika Pivot tidak dapat membedakan struktur lahir dari struktur batin.
d) Kritik utama (dan ini ada hubungan dengan keberatan yang disebut di atas ini) adalah
bahwa gramatika Pivot memang dapat membangkitkan semua kalimat dalam bahasa
anak, tetapi gramatika itu tidak dapat menganalisis makna sebuah kalimat. Hal itu hanya
mungkin jika golongan atau tugas seperti subjek, kata kerja, atau hubungan seperti
subjek-kata kerja dan kata kerja-subjek dimasukkan pula di dalam gramatika. Pada
gramatika pivot hal itu tidak terlaksana sebab dari awal mula memang tidak
dipertimbangkan. Itulah sebabnya kombinasi P1+O, O+P2, dan O+O tidak sesuai dengan
fungsi-fungsi dan hubungan yang sesungguhnya. Oleh karena itu, kalimat-kalimat seperti
- papa sun
- mamam adik
- mamam roti
- adik roti
- roti mamam
Dapat dijelaskan sebagai Kal → O + O dan tidak dapat dipastikan berdasarkan
gramatika pivot, apakah “papa” sesungguhnya menjadi pelaku atau objek dari kata kerja
“sun” dan apakah “roti dimakan atau makan”.

Berdasarkan kenyataan seperti telah diuraikan di atas, dapat dijelaskan bahwa sejak
tahun 1966, gramatika pivot makin lama makin ditinggalkan. Kemudian, dipilih deskripsi
yang didasarkan pada teori struktur batin dari Chomsky. Dalam teori Chomsky, fungsi dan
relasi gramatika dengan jelas didefinisikan. Misalnya McNeill menyusun dua kaidah
penjabaran, yaitu

46
1) Kal → GPD misalnya “ambil susu Gita”
GDP → (K) + GB
GB → B + (Pen)
B+B
2) Kal → (Pen) + GB misalnya “Itu susu Gita”
GB → B + (Pen)
B+B
Kedua kaidah itu dapat menerangkan kira-kira 90% kalimat anak untuk yang 10%
lainnya dibutuhkan kombinasi dari (1) dan (2).

Latihan

1. Dalam perkembangan psikolinguistik bahasa anak, ada dua aliran yang menonjol dan
saling bertolak belakang. Jelaskan, mengapa dikatakan kedua aliran itu bertolak
belakang ?
2. Jelaskan, apa yang menjadi titik tekan perhatian Skinner tentnag kelakuan belajar
bahasa manusia!
3. Bagaimana pendapat Chomsky tentang kelakuan bahasa manusia!
4. Jelaskan pandangan teori behaviorisme mengenai pemerolehan bahasa anak !
5. Bahasa anak pada dasarnya memiliki perbedaan, namun padanya terdapat juga ciri-
ciri keuniversalan. Jelaskan ciri-ciri keuniersalan tersebut !

Daftar Pustaka

Chaer, Abdul. 2003. Psikolinguistik: Kajian Teoritik. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Dardjowidjojo, Soenjono. 1987. Echa: Kisah Pemerolehan Bahasa Anak Indonesia. Jakarta:
PT Gramedia Widiasarana Indonesia.

Dharmowijono, Widjajanti W & I Nyoman Simpen. Psikolinguistik: Teori Kemampuan


Berbahasa dan Pemerolehan Bahasa Anak. Denpasar: Udayana University Press.

Indah, Rohmani Nur dan Abdurrahman. 2008. Psikolinguistik: Konsep dan Isu Umum.
Malang: UIN-Malang Press.

47
Subyakto-N, Sri Utari. 1988. Psikoinguistik: Suatu Pengantar. Jakarta: Depdikbud Dirjrn
Dikti.

BAB IV

KEUNIVERSALAN DAN PEMEROLEHAN BAHASA

48
Standar Kompetensi

 Mahasiswa diharapkan dapat memiliki pengetahuan yang cukup tentang


keuniversalan bahasa manusia dan proses pemerolehan bahasa pada anak-anak

Kompetensi Dasar

 Dapat menjelaskan keuniversalan bahasa dari beberapa bahasa yang berbeda


 Dapat mengkaji beberapa konsep tentang pemerolehan bahasa

Indikator

 Menjelaskan pengertian keuniversalan bahasa


 Menjelaskan ciri-ciri keuniversalan bahasa
 Menjelaskan beberapa teori mengenai keuniversalan bahasa
 Membedakan konsep belajar bahasa dan pemerolehan bahasa
 Menjelaskan tahap-tahap pemerolehan bahasa pada anak

Dalam aliran linguistik kontemporer, peran keuniversalana bahasa tidak dapat saling
dipisahkan dari pemerolehan bahasa. Anak dapat memperoleh bahasa manapun karena
adanya sifat universal pada bahasa. Karena itu, konsep keuniversalan pada bahasa. Karena
itu, konsep keuniversalan bahasa perlu dimengerti dengan baik agar kita dapat memahami
bagaimana anak memperoleh bahasa.

4.1 Keuniversalan Bahasa

Karena anak dapat memperoleh bahasa apapun, maka pastilah ada sesuatu yang mengikat
bahasa-bahasa ini secara bersama-sama ada sesuatu yang bersifat universal. Tanpa sifat ini
mustahillah manusia dari berbagai latar belakang yang berbeda-beda dapat memperoleh
bahasa yang disajikan kepadanya. Yang menjadi pertanyaan adalah seberapa jauh
keuniversalan ini ada pada bahasa. Dalam hal ini terdapat perbedaan pandang di antara para
ahli bahasa. Greenberg (1963), yang boleh dikatakan sebagai pelopor pertama dalam bidang
ini, bertitik tolak dari penelitian terhadap banyak bahasa dan dari bahasa-bahasa ini dia
simpulkan secara induktif ihwal-ihwal yang terdapat pada bahasa-bahasa tersebut. Sebagian
dari fitur ini terdapat pada semua bahasa, sebagian yang lain lagi pada beberapa bahasa, dst.
Dengan demikian, pengertian konsep universal itu bukan yang mutlak tetapi yang relatif.

49
Berdasarkan gradasi seperti ini Comrie (1989/81: 15-13) membagi keuniverrsalan
bahasa menjadi dua kelompok besar, yakni, keuniversalan absolute dan keuniversalan
tendensius. Dengan memperlihatkan gejala implikasional maka menurut Comrie ada empat
kelompok. Kelompok pertama adalah keuniversalan absolute non- implikasional. Dalam
kelompok ini tidak ada perkecualian. Contoh: semua bahasa memiliki bunyi vokal ; bahasa
manapun di dunia ini menggabungkan bunyi untuk membentuk satu kata atau kata.
Kelompok kedua adalah keuniversalan absolute implikasional . contoh: bila suatu bahasa
mempunyai refleks persona pertama/ kedua, maka bahasa itu juga mempunyai refleks
persona ketiga; bila suatu bahasa mempunyai bunyi hambat velar, bahasa tersebut pasti
mempunyai bunyi hambat bilabial. Kelompok ketiga adalah keuniversalan tendensius non-
implikasional. Contoh: hampir semua bahasa memiliki konsonan asal. Kelompok keempat
adalah keuniversalan tendensius implikasional. Contoh: bila suatu bahasa mempunyai urutan
dasar SOV, maka kemingkinannya adalah bahwa bahasa ini memiliki urutan posposisi; bila
suatu bahasa memiliki urutan dasar SVO, maka kemungkinannya adalah bahwa bahasa tadi
memakai urutan preposisi.

Selaras dengan klasifikasi Comrie, Aitchison (1996: 185) membagi keuniversalan


berdasarkan keterangan (firmness) dan ketaktergantungan (independen) sehingga bagi
Aitchison ada empat macam keuniversalan yang dapat dokontraskan. Dari segi ketegaran ada
(1) keuniversalan absolute dan (2) keuniversalan statistikal, sedangkan dari segi
ketaktergantungan ada (3) keuniversalan tak terbatas dan (4) keuniversalan implikasional.
Karena keuniversalan absolut masyarakat kemutlakan maka jumlahnya tidak banyak.
Beberapa contoh keuniversalan absolut sudah diberikan di atas bahasa manapun yang
mamiliki konsonan dan vokal; bahasa manapun menggabungkan bunyi-bunyi ke dalam unit
yang lebih besar. Keuniversalan statistical adalah keuniversalan yang umumnya, tetapi tidak
selalu, terdapat pada bahasa. Pada kebanyakann bahasa, bunyi nasal melibatkan bergetarnya
pita suara ( sehingga bunyi ini selalu bersuara ([ + voiced]) tetapi dari 300 bahasa yang telah
diselidiki ( Aitchison, 1996: 183) ada sepuluh bahasa yang memiliki keuniversalan tak
terbatas merujuk pada adanya fitur yang terdapat di bahasa manapun. Ini berbeda dengan
keuniversalan implikasional yang menyatakan bahwa ada tidaknya suatu fitur yang
ditentukan oleh ada tidaknya fitur yang lain. Pertanyaan seperti “ bila suatu bahasa mamiliki
bunyi suatu hambat velar, bahasa tadi juga memiliki hambat bilabial” merupakan contoh
keuniversalan implikasional.

50
Bertitik tolak dengan bahasa yang sama sekali berlainan, Chomsky memberi
pengertian berbeda mengenai keuniversalan bahasa. Chomsky (1965) hanya memakai satu
bahasa yang dikajinya secara mendalam dan dari sistem aturan bahasa tersebut dia
munculkan fitur-fitur yang universal. Tentu saja fitur-fitur ini diuji coba dan diadu coba
dengan bahasa-bahasa yang lain untuk ditentukan kebenarannya. Pandangan Chomsky dapat
digunakan sebgai pengkajian suatu entitas: bila entitas tersebut mengandung unsur- unsur
hakiki tertentu, maka unsur-unsur ini pasti ada pada sampel lain dari entitas yang sama.
Karena itu, Chomsky hanya membedakan dua macam keuniversalan: () keuniversalan
substantif, yang berupa elemen pembentuk bahasa, dan (2) keuniversalan formal, yang
meramu elemen bahasa. Bahwa bahasa mempunyai nomina dan verba merupakan contoh dari
keuniversalan substantif. Bagaimana kedua elemen ini diatur dalam bahasa merupakan
keuniversalan normal . pengaturan elemen umumnya berbeda dari satu bahasa ke bahasa lain.
Karena itulaha meskipun pada dasarnya bahasa itu sama, wujud lahiriahnya berbeda-beda.

Menurut Chomsky ( dalam tulisannya 1989 dan dimunculkan lagi tahun 1999: 34)
manusia mempunyai apa yang dia namakan faculties of the mind, yakni semacam kapling-
kapling intelektual (dan abstrak) dalam benak/ otak mereka. Salah satu dari kapling-kapling
ini dijatahkan untuk pemakaian dan pemerolehan bahasa. Tidak ada primat lain di dunia ini
yang memiliki kapling seperti itu. Pada saat lahir anak mempunyai bekal kodrati dalam
bentuk suatu mekannisme abstrak yang dinamakan Language Acquisition Device (LAD),
yang diterjemahkan di sini menjadi Piranti Pemerolehan Bahasa (PPB). PPB menerima
korpus dalam bentuk kalimat-kalimat. Meskipun kalimat merupakan manifestasi dari
kompetensi seseorang, tetap saja korpus seperti ini seringkali bebentuk kalimat-kalimat yang
rancu. Namun demikian, dengan PPB yang dimilikinya anak dapat menerap esensi yang
benar kemudian dikembangkan menjadi wujud bahasa yang apik. Dengan demikian,
pemerolehan bahasa itu sebenarnya bukan suatu proses yang dilakukan oleh, tetapi yang
terjadi pada, anak. Caranya proses itu terjadi, waktunya, dan rincian-rincian lainnya memang
sebagiannya dipengaruhi oleh lingkungan, tetapi proses pemerolehannya itu sendiri pada
esensinya inner directed.

Secara diagramatis interaksi antara masukan dalam korpus dengan pengembangan


kompetensi digambarkan oleh Raford (1997: 8) ( dengan sedikit perubahan) sebagai Bagan
berikut.

Korpus:

Pengalaman Bahasa PPB Kompetensi 51


→ →

Bagan : Korpus Kopetensi

Korpus yang masuk ke dalam lingkaran PPB anak tidak selalu apik. Orang dewasa,
karena sesuatau hal – misalnya, melakukan dua hal secara berbarengan atau karena pikiran
yang sedang terbagi- sering membuat kalimat-kalimat yang ucapannya tidak jelas atau tata
bahasanya tidak apik. Sebatang rokok yang terselip di antara bibir atas dan bibir bawah pada
saat seseorang berbicara pasti mempengaruhi lafal yang dia ucapkan. Begitu pula bila pikiran
sedang terbagi, orang bisa dengan mudah membuat kalimat yang tidak apik seprti ” mana itu,
tuh, tuh yang saya beli kemarin itu, apa itu namanya, dompet- lah ngomong dompet aja kok
susah amat!, ” padahal yang dia maksud hanyalah Mana dompet yang dia beli kemarin itu ?.
namun demikian masukan yang menyimpang dari bentu apik seperti ini seolah-olah disaring
oleh anak dalam PPB sehinnga nantinya tidak akan tertanam bentuk seperti itu. Proses
penyaringan ini dilakukan dengan membentuk hipotesis yang kemudian dicobakan. Apabila
tidak ada bukti yang melawan, maka hipotese tadi berubah menjadi kaidah. Apabila ternyata
terdapat bukti sanggahan (counter evidence), maka hipotese tadi direvisi, bila perlu diulang-
ulang sampai tidak ditemukan bukti sanggahan lagi.

Perlu dicatat di sini bahwa kualitas masukan seperti yang dinyatakan Chomsky
disanggah oleh beberapa ahli lain yang dalam penelitiannya mereka temukan bahwa bahasa
yang diarahkan kepada anak ternyata lebih sederhana dan lebih gramatikal daripada yang
dinyatakan oleh Chomsky (Newport dan Gleitman , 1977; Snow, 1997: 70).

4.2 Pemerolehan Bahasa

Dari berbagai macam keuniversalan serta proses seperti yang baru saja digambarkan
tampak bahwa pemerolehan bahasa seorang anak berkaiitan erat dengan keuniversalan
bahasa. Bahkan keterkaitan ini lebih menjurus lagi dalam arti bahwa ada elemen-elemen
bahasa yang urutan pemerolehannya bersifat universal absolut, ada yang universal statistika,
dan ada pula yang universal implikasional. Mana yang masuk kelompok mana tampaknya
termasuk pada macam komponen yang terlibat. Dalam komponen fonologi, misalnya, sifat
keabsolutannya sangat tampak dalam arti bahwa suatu bunyi tidak mungkin dikuasai anak

52
sebelum bunyi lain – meskipun kendala seperti ini tidak berlaku untuk seluruh bunyi pada
bahasa tersebut. Dalam komponen sintaktik kecenderungan untuk bersifat absolut tampaknya
kurang kuat, sedangkan dalam komponen semantik kecenderungan di tiga komponen ini.

4.2.1 Keuniversalan dan Pemerolehan Bunyi

Dalam kaitan antara konsep universal dengan pemerolehan bahasa, khususnya


pemerolehan fonologis, Jakobson (1968; 1971; lihat juga Clark dan Clark, 1977) merupakan
tokoh yang paling berpengaruh. Dia mengemukakan adanya keuniversalan dalam bunyi pada
bahasa itu sendiri serta urutan pemerolehannya. Menurut Jakobson, pemerolehan bunyi
berjalan selaras dengan kodrat bunyi itu sendiri dan anak memperoleh bunyi-bunyi ini
melalui suatu cara yang konsisten. Bunyi pertama yang keluar dari anak adalah kontras
antara vokal dan konsonan. Dalam hal bunyi vokal ini, ada tiga vokal disebut Sebagai Sistem
Vokal Minimal (Minimal Vocalic System) yang sifatnya universal ( Jakobson, 1971: 8-20).
Artinya, dalam bahasa manapun ketiga bunyi vokal ini pasti ada:

I U

suatu bahasa bisa memiliki lebih dari tiga vokal ini tetapi tidak ada bahasa yang memiliki
lebih dari tiga vokal ini. Bahasa seperti bahasa Lak di Daghestan Tengah, Tingit di Amerika
Utara (Trubetzkoy, 1969: 106), Aranda, Nyangumata, dan Gugu-Yalangi di Australia
merupakan contoh dari 17 bahasa yang memiliki hanya tiga vokal (Maddieson, 1987).

Mengenai konsonan, Jakobson (1971: 7-20) mengatakan bahwa kontras pertama yang
muncul adalah oposisi antara oral dengan nasal ([P-t]- [m-n]) dan kemudian disusul oleh
labial dengan dental ([P]-[t]). Sistem kontras seperti ini disebut dengan Konsonantal Minimal
(Minimal Consonantal System) dan terdapat pada bahasa nmanapun didunia kecuali bahasa
Tinggit yang penuturnya secara tradisional sengaja merusak bentuk bibirnya. Bahwa
inventari bunyi –bunyi ini bisa saja bebeda dari satu bahasa ke bahasa yang lain memang
merupakan fakta, tetapi hubungan sesama bunyi itu sendiri bersifat universal. Hukum yang

53
dinamakan Laws of Irreversible Soladarity (Hukum Soladaritas Tak-terbalikkan) dapat
dirumuskan sebagai berikut:

1) Apabila suatu bahasa memiliki suatu konsonan hambat velar (velar stops), bahasa
tersebut pasti memiliki konsonan hambat dental dan bilabial. Contoh : bila bahasa X
mempunyai [K]-][g], bahasa ini pasti memiliki [t]-[d] dan [p],[b].
2) Apabila suatu bahasa memiliki konsona prikatif, bahasa tadi pasti memiliki konsona
hambat. Contoh: bila bahasa X memiliki [f]-[v], bahasa ini pasti memiliki [p-b], [t-d],
[k-g].
3) Apabila suatu bahasa memiliki konsonan afrikat, bahasa tadi pasti memiliki konsonan
frikatif dan konsonan hambat. Contoh: bila bahasa X memiliki [ts] dan [d3] bahasa ini
pasti memiliki [f-v], [t-d], [k-g].

Dari hukum ini perlu dimengerti pula bahwa ketidakbalikannya adalah tidak benar. Suatu
bahasa ( Tahiti, misalnya) bisa saja memiliki bunyi hambat bilabial dan dental tanpa memiliki
bunyi palatovelar. Contoh yang lebih mudah kita mengerti adalah bahasa Indonesia dan
bahasa Inggris: bahasa Indonesia memiliki bunyi hambat tetapi tida memiliki bunyi frikatif
interdental [θ]- [ŏ]; bahasa Inggris memiliki kedua bunyi ini dan karenanya memiliki pula
semua bunyi hambat.

Hukum Solidaritas Tak- terbalikkan di atas divisualisasikan dalam Bagan berikut:

Cara/ trik Bilabial Labiodental Dental Alveopalatal Velar Urutan


artikulasi s
Afrikat ts 3
d3
Frikatif ↑ f ↑ ↑2
v
Hambat p → t → k ↑1
b d g
Bagan : Urutan Pemerolehan Bunyi

Implikasi dari kodrat vokal dan konsonan seperti yang digambarkan di atas adalah
bahwa pemerolehan bunyi-bunyi ini ada urutannya. Vokal minimal pasti diperoleh lebih awal
dari pada vokal-vokal lainnya. Demikian pula halnya dengan konsonan: konsonan hambat
diperoleh lebih awal dari pada prikatif, dan prikatif diperoleh lebih awal dari pada afrikat.
Implikasi lain dari urutan ini adalah bahwa anak tidak mungkin menguasai konsona hambat.

54
Bahhkan di masing- masing kelompok ada pula urutannya: kontras antara bilabial [b] dengan
dental [d]dikuasai lebih dahulu daripada antara bila-bial [b] dengan velar [g] atau dental [d]
dengan velar [g]; kontras antara bilabial-dental [b-d] dikuasai sebelum prikatif [v-s]; bunyi
hambat dan frikatif [b-d-v-s] dikuasai sebelum bunyi alveopalatal [ts-d3]. Bunyi likuid dan
glaid dikuasai belakangan,dan bunyi gugus konsonan dikuasai lebih belakangan lagi. Tanda
panah pada Bagan di atas menunjukkan arah dan urutan seperti ini.

Kalau kita perhatikan urutan pemerolehan bunyi-bunyi yang dilakukan oleh anak,
yakni, dari bunyi yang mudah ke bunyi yang sukar, maka dapat dikatakan bahwa anak
mengikuti kaidah yang dinamakan the Law of Least Efforts (Kaidah Usaha Minimal).
Ukuran muda-sukarnya suatu bunyi didasarkan pada cara artikulasinya dan jumlah fitur
distingtif yang ada pada masing-masing bunyi. Makin sukar artikulasinya dan makin banyak
fitur distingtifnya makin belakangan bunyi itu dikuasai.

Keuniversalan urutan di atas didukung oleh urutan hilangnya bunyi pada penderita
afasia karena hukum solidaritas tak-terbalikkan itu memiliki stratifikasi: bila ada dua bunyi
yang solider, maka tidak mungkin bunyi yang hierarki kesukarannya tinggi akan hilang tanpa
bunyi yang hierarkinya rendah ikut hilang pula. Dengan kata lain, tidak mungkin, misalnya,
seorang penderita afasia Broca masih dapat mengucapkan bunyi [f] tetapi tidak kesukaran
mengucapkan [p]. kebalikannya bias terjadi: penderita afasia bisa saja kesukaran
mengucapkan [f] tetapi tidak kesukaran mengucapkan [p]. Tidak hanya itu saja; hilangnya
bunyi pada urutan atas selalu diganti oleh bunyi pada urutan di bawahnya yang mempunyai
kemiripan fonetik. Penderita afasia Broca, misalnya, akan mengganti bunyi [f] dengan bunyi
[p].

4.2.2 Keuniversalan dan Pemerolehan Sintaksis

Berbeda dengan apa yang terjadi pada komponen fonologi, pada komponen sintaksiis
orang tidak dapat dengan mudah memaparkan secara rinci dan tepat (serta berani) apa yang
persisnya terjadi pada diri anak dalam ia menguasai sintaksis suatu bahasa. Di samping titik
pandang serta aliran keilmuan yang berbeda-beda, masalah yang dihadapi memang bukan
masalah yang banyak kaitannya dengan neurobiologi manusia seperti halnya pada
komponen fonologi. Dalam komponen fonologi, orang dapat secara lebih tepat dan berani
mengatakan apa yang akan terjadi pada diri manusia dalam proses menguasai bahasa karena
proses penguasaan ini sangat ditentukan oleh kondisi biologis serta neurologis manusia yang

55
dimana-mana sama (Penfield dan Robert, 1959; Lenneberg, 1967; Puppel, 1995; Holloway,
1996).

Dalam bidang sintaksis, memang banyak sekali yang ditulis orang tetapi belum ada
tulisan lengkap yang sifatnya menyeluruh dan berlaku secara universal, sepadan dengan apa
yang telah dinyatakan oleh Jakobokson dalam bidang fonologi. Buku Radford (1990)
memang membahas pemerolehan sintaksis secara teliti dan mendalam tetapi khusus untuk
bahasa Inggris, meskipun pada akhir buku tersebut dia mengemukakan prinsip-prinsip yang
dianggap universal. Kebanyakan tulisan yang ada adalah mengenai hal-hal spesifik: Brown
(1973), yang terkenal dengan penelitian tentang pemerolehan morfemnya itu, membahas
urutan pemerolehan empat belas morfem bahasa Inggris sehingga kalaupun urutan itu benar
maka hanya untuk bahasa Inggris saja; Barbier (1995) menelaah pemerolehan klausa sisipan
dalam bahasa Belanda; Pye dkk (1995) dan Tomasello (1992) dengan memakai pendekatan
linguistik kognitif menelusuri pemerolehan verba, meskipun ada satu bab di buku Tomasello
yang membahas perkembangan sintaksis; Gentner (1982) mengemukakan pandangannya
mengenai dominasi nomina sementara Bloom (1993), menyanggah pandangan umum bahwa
nomina selalu diperoleh sebelum verba.

Dengan demikian, state of the art dalam penelitian mengenai pemerolehan sintaksis
dapat dikatakan masih sporadis dan fragmental. Peneliti seperti Schlesinger bahkan
mengatakan bahwa pada saat ini ”tidak ada teori pemerolehan bahasa di pasaran yang benar-
benar sudah mantap “; yang ada hanyalah ”sejumlah hipotese yang saat ini dianggap tentative
dan kemungkinannya diperbaiki berdasarkan bukti-bukti lain yang akan diitemukan” (1994:
86). Namun demikian, dengan segala kekurangan dan kesimpangsiuran ini ada penemuan-
penemuan yang telah teruji kebenarannya sehingga paling tidak bisa dinamakan universal
tendensius.

Pandangan yang banyak dianut orang adalah bahwa pemerolehan bahasa mengikuti
suatu proses yang bertolak dari suatu yang mudah menuju ke yang lebih sukar. Karena itu,
anak pada dasarnya memperoleh elemen-elemen bahasa dengan mengikuti gradasi kesukaran.
Dalam bidang sintaksis anak mulai dengan ujaran satu kata (one word utterance), kemudian
ujaran dua kata (two word utterance), dan akhirnya ujaran tiga dan multikata. Meskipun
ujaran satu kata secara sintaksis sangat sederhana, secara simantis ujaran ini bermulti arah
karena makna dari ujaran tersebut hanya dapat ditafsirkan sesuai dengan situasi yang ada, dan
itupun belum tentu bermakna tunggal. Seorang anak yang mengatakan [tatan]bisa

56
mempunyai maksud banyak: (a) dia minta kacang,(b) dia menunjuk kacang di suatu tempat,
atau (c) suatu pernyataan bahwa ibunya sedang makan kacang.

Interpretasi ini menjadi agak mudah setelah anak masuk ke tahap ujaran dua kata
karena paling tidak kita mempunyai indikator yang brtalian. Pada umumnya kata-kata dalam
tahap ini merujuk pada kasus serta perbuatan atau proses yang dinyatakan oleh kedua kata
tersebut. Dengan demikian, maka dapat terjadi kombinasi seperti (a) pelaku-penderita, (b)
perbuatan-penderita, (c) pelaku-perbuatan, (d) proses-penderita, (e) penderita-lokasi, dan (f)
pelaku-lokasi. Setelah ujaran dua kata anak mulai dengan ujaran tiga kata atau lebih. Namun
perlu dicatat bahwa batas anatara satu tahap dengan tahap yang lain sangat relatif, sehingga
yang sering terjadi adalah bahwa anak masuk ke suatu tahap dengan masih bersandar banyak
pada tahap sebelumnya.

Bentuk-bentuk kalimat yang rumit, seperti sematan tengah (center embedding)


dikuasai lebih belakangan dibandingkan dengan peluasan belakang (right hanf embedding)
karena anak pada umumnya menghindari kontraksi yang memisahkan dua elemen yang
seharusnya bedekatan. Pemisahan subjek dari predikatnya dengan menyematkan anak kalimat
di tengah seolah-olah membuat urutan berpikir akan menjadi semacam terputus. Begitu juga
bila ada dua peristiwa yang terjadinya berurutan, anak cenderung menempatkan peristiwa
pertama pada awal kalimat dan peristiwa kedua pada akhir kalimat. Dengan tahap mental
yang seperti ini keempat kalimat berikut semuanya dianggap memliki makna yang sama oleh
anak.

1) The dog came after the cet left.


2) After the dog came, the cet left.
3) The cat left before the dog came.
4) Before the dog came, the cat left.

Dalam teori Milller yang dinamakan theory of derivational complexity dinyatakan bahwa
urutan produksi kalimat anak ditentukkan oleh banyaknya derivasi yang harus dilalui. Makin
banyak derivasinya, makin belakangan dikuasainya. Dengan demikian kalimat Didn’t they
have to go pasti dikuasai belakangan daripada Did they have to go atau They did not have to
go. Dalam bidang morfologi adapula kecenderungan bagi anak untuk memperoleh afiks
infleksional lebih awal daripada afiks derivasional (Peters, 1995). Demikian pula afiks
yangmempunyai bentuk dan makna yang ajeng umumnya dukasai lebih awal dari pada afiks-

57
afiks yang lain bentuk atau maknannya sering berubah. Di samping itu, sufiks umumnya
dkuasai lebih awal daripada prefix ( Hawkins, 1992).

Seperti yang dikatakan sebelumnya kecenderungan-kecenderungan semacam inilah yang


membentuk Tatabahasa Universal. TU adalah suatu mekanisme pada benak anak yang
memungkinkan ia membangun tatabahasa dari bahasa mentah yang masuk dari lingkungan
sekitarnya. TU terdiri dari satu perangkat prinsipel dan satu perangkat parameter yang
mengendalikan wujud bahasa dan yang membuat wujud bahasa manusia itu satu pihak mirip,
tetapi di pihak lain juga berbeda, satu dari yang lain (Cook, 1988).

Keterkaitan antara prinsipel dan parameter di satu pihak dan pemerolehan bahasa di pihak
lain adalah bahwa prinsipel memberikan ciri universal dan parameter mengejawantahkan apa
yang terdapat pada prinsipel tersebut. Pemerolehan bahasa tidak perlu memperoleh apapaun
yang universal karena yang universal itu sudah merupakan bekal kodrati sejak manusia sejak
dilahirkan; dia hanya harus memperoleh apa yang dinyatakan oleh paramenternya. Marilah
kita lihat contohnya. Ada beberapa prinsipel, salah satu di antaranya adalah prinsipel yang
dinamakan Strructure- Depedency Principle, Prinsipel Ketergantungan Struktur (PKS). PKS
menyatakan bahwa bahasa bukan terdiri dari elemen-elemen yang sifatnya linear, tetapi
terorganisir dalam suatu hubungan structural. Hubungan struktural ini mengikat elemen-
elemn tersebut menjadi kesatuan yang tak terpisahkan. Perhatikan contoh berikut.

5). Ayah memanggil dia.


6). Ayah memanggil orang tua.
7). Ayah memanggil orang dari Cirebon itu.
8). Ayah memanggik orang yang memakai jaket merah itu.

Kata- kata yang dicetak miring di atas membentuk suatu struktur dalam kelompok
masing-masing yang dinamakan frase nomina, FN. Dalam FN ini terjadi suatu hubungan
struktural yang membuat keseluruhan elemen menjadi satu kesatuan. Ketergantungan
struktural seperti ini tidak memungkinakan kita untuk memisahkan unsur-unsur yang ada di
dalamnya. Kalau kalimat-kalimat di atas, misalnya, diubah menjadi pasif, maka kita bisa
menurunkan kalimat (5a)tetapi tidak (6a-8a).

(5a) Dia dipanggil oleh ayah.


(6a) * Orang dipanggil oleh ayah itu.
(7a) * Orang dari dilihat oleh ayah Cirebon itu.

58
(8a)* Orang yang memakai dilihat oleh ayah jaket merah itu.

Prinsipel ini tidak hanya berlaku untuk FN tetapi juga untuk frasa-frasa lain seperti
Frasa Verba (FV) dan Frasa Proposional (FP) karena dalam kedua macam frasa terakhir pun
kata inti berada di depan komplemen – komplemennnya.

Bahasa manapun memiliki Prinsipel Ketergantungan Struktural seperti ini. Untuk


menangani kenyataan ini TU memiliki seperangkat parameter yang tugasnya adalah untuk
merealisasikan bagaimana suatu bahasa akhirnya terwujudkan. Salah satu parameter
Chomsky adalah apa yang dinamakan Head Parameter – Parameter Kata Inti, PKI. PKI
menspesifikasikan posisi kata inti dalam hubungannya dengan elemen-elemen yang lain.

Dari contoh (5-8) di atas tampak bahwa dalam bahasa Indonesia struktur FN memiliki
kata inti yang mendahului komplemen lainnya- orang mendahului itu , dari Cirebon itu, dan
yang memakai jaket merah itu . Jadi, dalam bahasa kita FN berstruktur ” Akan tetapi, kalau
kita lihat bahasa jepang akan tampak bahwa parameternya malah kebalikannya. Dalam
bahasa ini kata inti juga terletak di belakang komplemennya. Dalam kalimat E wa kabe ni
katte imasu ” Gambar itu tergantung di dinding” (Dari Mitchell & Myles, 1998: 52) verba
inti kakatte imasu terdapat di belakang komplemen kabe ni dan posposisis ni terletak sesudah
komplemen kabe.

Apa kaitan antara PKS dan PKI seperti dicontohkan di atas dengan TU serta
pemerolehana bahasa pada anak ? Kaitannya adalah bahwa sejak lahir anak sebenarnya sudah
” mengetahui” akan adanya PKS karena PKS ada pada bahasa manapun. Mereka juga tau
bahwa ada urutan antara inti dengan komplemen. Yang harus mereka pelajari hanyalah
parameter mana yang berlaku untuk bahasa yang sedang diperolehnya. Untuk anak
Indonesia , mereka hanya memerlukan masukan yang kemudian memicu PKI sehingga akan
muncul kontraksi yang berterima. Bagi anak Jepang, masukannya lain dan karena itu pula
konstruksi anak jepang ini juuga akan lain.

Prinsipel dan Parameter inilah yang menyebabkan anak dapat membentuk konstruksi
yang benar dan dengan cepat meskipun sampel datanya terbatas dan ”amburadul”. Mitchell
dan Myles (1998: 52) bahkan menyatakan secara teoritis satu sampel sudah cukup untuk
memicu pembentukan suatu konstruksi seperti FN atau SP ini.

Dalam kelanjutan untuk pemikirannya untuk lebih mendalami wujud (tentunya


abstrak) TU, Chomsky (1995) mengusulkan prinsipel-prinsipel yang lebih kuat dan lebih

59
abstrak yang melandasi pengetahuan manusia tentang bahasa. Dalam perkembangan
terakhirnjya ini, parameter tidak lagi dikaitkan dengan prinsipel-prinsipel khusus dalam
tatabahasa, tetapi dengan leksikon. Dengan penempatan-penempatan parameter-parameter ini
pada leksikon maka perbedaan satu bahasa dengan bahasa lain terletak hanya pada
leksikonnya saja (Mitchell & Myles, 1998: 54). Dengan prinsipel abstrak yang sudah tersedia
secara kodrati dan yang mendasari semua bahasa manusia, tugas anak hanyalah memperoleh
kosa kata bahasa yang tersajikan kepadanya dan menerapkan parameter-parameter yang
berlaku untuk bahasa yang bersangkutan. Dalam apapun yang dinamakan lexical
parameterization hypothesis dinyatakan bahwa parameter itu berada pada kategori fungsional
(functional categories) dalam leksikon.

Kategori fungsional ini sama dengan apa yang didefinisikan selama ini, yakni, kata
fungsi, yang dikontraskan dengan kata utama atau content words. Perbedaannya adalah
bahwa dalam teori baru ini kata fungsi ini juga dapat membentuk frasa seperti halnya kata
utama sehingga adapula frasa-frasa seperti Frasa Determiner (FD), Frasa Komplementiser
(FK), dan Frasa Infleksi (FI). Dengan demikian, ungkapan this child berstruktur FD dengan
this sebagai kata inti dan child sebagai komplemennya.

Perlu dicatat bahwa pada bahasa di dunia ini hanya ada tiga macam PKI seperti yang
digambarkan di atas. Lalu, apa arti semua ini bila dilihat dari kepentingan kita, yakni,
pemerolehan bahasa ? Signifikasinya adalah bahwa anak tidak perlu bersusah payah mencari
tau parameter-parameter ini! Dari bekal kodrati, anak ” tahu” bahwa frasa dalam macam apa
pun dan dalam bahasa mana pun terdiri dari pengkhusus (specifier), kata inti, dan
komplemen. Yang tidak diketahui oleh anak adalah “ bahasa yang sedang dia peroleh itu
memakai parameter yang mana ”. Dengan kata lain, kosa kata mana yang harus diletakkan di
mana ?

4.2.3 Keuniversalan dan Pemerolehan Leksikon

Dari segi keuniversalan, pemerolehan leksikon tampaknya merupakan proses yang


paling sukar untuk dinyatakan secara universal, khususnya yang menyangkut jumlah dan
macam kata yang dikuasai anak. Dalam hal ini variabelnya terlalu banyak sehingga jumlah
dan macam kata yang diperoleh akan sangat, kalau tidak sepenuhnya, ditentukan oleh faktor-
faktor seperti budaya, latar belakang keluarga, taraf hidup keluarga, tingkat pendidikan

60
keluarga, dan lokasi keluarga (desa atau kota besar). Anak dari suatu keluarga yang terdidik,
yang di rumahnya terdapat banyak buku bacaan, yang mampu membeli buku anak-anak tentu
akan berbeda kosa katanya dengan pembantu yang ada di rumah yang sama itu. Demikian
pula anak di suatu desa, apalagi terpencil, kemungkinan besarnya tidak akan memperoleh
kosa kata seperti computer, disket, apalagi hang. Sebaliknya, dalm suatu keluarga di kota dan
yang memiliki komputer di rumah kata-kata seperti ini dapat dengan mudah masuk ke dalam
leksikon anak. Munculnya kata—kata Ibrani seperti (ba?at) ‘ cincin, ‘[mic] ‘jus (minuman)’
dan [?agala] ‘ kereta dorong bayi’ dalam penelitian Dromi pastilah dipicu oleh kenyataan
bahwa Keren, anak Dromi yang saat itu berumur sekitar 1;3;0, tinggal di kota. Padanan kata
untuk referen –referen ini pasti tidak akan muncul pada anak dewasa ini, katakanlah, sebuah
desa terpencil di sebuah gunung Kidul.

Tidak adanya patokan yang universal ini tampak pada hasil penelitian para ahli.
Nelson (1973 dalam Dromi, 1987: 19) menyatakan bahwa pada tahap ujaran satu kata anak
mamiliki 50 kosakata. Sebaliknya, Braunwald (1978 dalam Dromi 1987: 19) menyatakan
angka yang sama untu umur 1;3 (12) (satu tahun, tiga bulan, duabelas harii) tetapi pada umur
1;3 (0) jumlahnya menjadi 391. Penelitian tahun 1926 yang dilaporkan oleh Anisfield (1984
dalam Dromi 1987: 19) mennunjukkan bahwa pada sekitar umur 1;6: 0 anak memperoleh tiga
sampai 22 kata baru; antara 1;8 – 2; 0 mereka meperoleh 154 kata baru. Anak Dromi (1989:
112), Keren, menunjukkan laju yang bevariasi dari minggu ke minggu dan mencapai puncak
kelajuan pada umur 1;4 dengan memperoleh 111 kata baru dalam tiga minggu. Dia temukan
pula bahwa sesudah umur itu laju perkembangannya menurun untuk beberapa waktu.

Evec Clark (1993: 3) mengungkapkan bahwa sejak umur 2;0 anak menambah sekitar
10 kata baru per hari sehingga pada umur 6;0 anak sudah akan memperoleh 14,000 kata.
Bahwa pada awal tahap ujaran satu kata anak menambah kosakata secara lamban umumnya
diakui oleh para peneliti. Pada sekitar umur 6;0 laju kecepatan ini bertambah, tetapi beberapa
bertambahnya masih menjadi perdebatan. Subjek Nelson (1973 dalam Dromi 1987: 20) tidak
secepat seperti subjek Dormi. Nelson mengatakan bahwa lajunya memang berbeda-beda
untuk tiap anak dengan pertambahan 10 sampai 66 per bulan. Dalam tulisan terbarunya,
Dromi (1999: 102) mengatakan bahwa perkembangan pada minggu yang produktif pun
hanya 44 kata, yang berarti bahwa rata-ratanya hanya 6 kata per hari.

Sementara itu tampak pula ada perbedaan kosakata untuk produksi dan untuk
komprehensi. Karena komprehensi pada umumnya mendahului produksi maka jumlah

61
kosakata untuk kedua tatanan ini berbeda. Benedict (1979 dalam Fletcher dan Garman , 1981:
6) menyimpulkan bahwa pada tahap awal pemerolehan, saat anak pada tahap 50 kata, jumlah
kosakata untuk komprehensif adalah lima kali liipat dari produksi. Sementara itu, E Clark
mennyatakan bahwa di bawah umur 1;0 anak memahami beberapa kata, yang baru akan dia
pakai tiga atau empat bulan kemudian; anak yang lebih besar sudah dapat memahami tingkat
perbandingan jauh sebelum mereka dapat memakainya. Mereka juga memahami bentuk
derivasi sebelum mereka sendiri dapat menderivasikannya (1955: 245).

Dari gambaran di atas tampak bahwa memang tidak mungkin di ambil patokan yang
mutlak dan, menurut saya, siapapun yang mencari angka yang bahkan hanya mendekati
kemutlakan saja tidak akan dapat memperolehnya. Dromi (1987: 20) yang menyimpulkan
jumlah 250 kata pada saat anak berada pada tahap ujaran satu kata hanyalah memberikan
perkiraan belaka.

Namun demikian, di luar jumlah dan macam kosakata, adapula ihwal atau proses yang
tampaknya bersifat universal. Dalam pemerolehan kosakata, kata—kata yang konkrit yang
ada di sekitar di kuasai paling awal. Demikian pula kata untuk perbuatan, proses, dan
keadaan juga di kuasai dini. Konsep here and now, yang saya terjemahkan menjadi sini dan
kini, tampaknya sangat umumterdapat pada anak.

Dalam hal kategori kata, sebagian besar peneliti berpandangan bahwa kata utama
selalu dikuasai lebih awal daripada kata fungsi. Dari semua kata utama, kebanyakan ahli
berpandangan bahwa kata pertama yang dikuasai awal adalah nomina. Bahkan linguis seperti
Gentner (1982) mengganggapnya universal. Menurut Gentner ada perbeddaana yang nyata
antara nomina dengan verba dari representasii batinnya. Pada anak nominal secara tipikal
merujuk pada hubungan unsur yang abstrak dan beranekaragam. Perbedaan inilah yang,
menurut dia, menyebabkan mengapa nomina dikuasai terlebih dahulu. Jumlah nomina yang
banyak pada awal pemerolehan tampaknya mempunyai alasan yang rasional. Hirsch- Pasek
dan Golonkoff (1997: 5) memberikan lima alasan :

1) nomina adalah unit yang umumnya bertekanan kuat dalam kalimat


2) nomina dalam ujaran yang diarahkan kepada anak umumnya muncul dalam bentuk
isolasi atau pada akhir kalimat
3) banyak nomina yang diarahkan kepada anak cenderung merujuk pada benda konkret
4) dalam masukan, nomina sering dinyatakan dengan pemarkah
5) nomina sering disajikan kepada anak dengan peragaan fisik

62
Sementara itu, ada linguis yang percaya bahwa nomina bukanlah kategori yang pertama
dan utama yang diperoleh anak. Bloom (1975; 66-70) dalam penelitian terhadap anaknya,
Allison, yang kemudian di kaji ulang (1993) mendapati bahwa pada umur antara 0;9 sampai
1;6 Allison banyak memakai kata-kata fungsi sementara nomina banyak yang muncul dan
tenggelam. Kata fungsi seperti there, away, gone, dan more sering muncul dan dipakai secra
konsisten. Sebaliknya, kata utama seperti flower, dan dog muncul, kemudian tenggelam, dan
muncul lagi dalam bentuk lain. Menurut Bloom, kata-kata yyang merujuk pada objek (yakni
nominal) hanya mencakup 40% dari seluruh ujaran pada tahap awal itu (Bloom 1993 dalam
E. Clark , 1999: 106). Dengan demikian, Bloom menyimpulkan bahwa nomina tidak dominan
dalam tahap awal pemerolehan.

Dalam bentuk satu buku, First Verbs, Tomasello (1992) menelusuri perkembangan
verba anaknya, Travis. Dia dapati bahawa di samping nomina, anak juga menguasai kategori-
kategori lain, termasuk verba, seawal dia menguasai nomina. Choi (1993) membuktikan
bahwa dalam bahasa Korea nomina tidak selalu dikuasai lebih awal dari pada verba. Tardif
(1995: 224-228) bahkan menolak kedominanan nomina dengan mendasarkan penelitiannya
pada bahasa Mandarin. Dari sepuluh anak yang ditelitinya anak-anak ini memakai rata-rata
25.1 tipe verba dan hanya 16.5 tipe nomina dengan tokennya masing-masing 111.5 dan 77.2.
bahkan masukan yang dipakai oleh orang tua mereka sangat menunjukkan dominasi verba
daripada nomina (94.8 tipe verba vs 62.0 tipe nomina dan 697.9 token verba vs 243.4 token
nomina). Apapun keadaannya, satu hal tetap sama, yakni bahwa ujaran anak pada awalnya
mengandung terutama kata-kata utama sehingga bentuk ujarannya bersifat telegrafik. Pada
macam ujaran ini, tidak atau belum ada kata yang berafiks.

Dalam hal adjektiva, adjektiva yang berdimensi umum (besar) dikuasai lebih awal
daripada yang berdimensi khusus (panjang). Hal ini berkaitan dengan prinsip umum yang
dipakai anak, yakni bahwa anak pada umumnya akan memilih kata-kata yang dapat dipakai
dalam segala situasi. Kata besar dapat dipakai untuk merujuk pada ular atau pohon, tetapi
panjang hanya merujuk ke ular dan tinggi hanya merujuk ke pohon. Begitu pula adjektiva
yang negative, atau sering juga dinamakn bermarkah (marked adjectives), seperti kecil
biasanya dikuasai lebih belakangan daripada adjectiva yang positif, atau yang tak
berrmarkah, seperti besar. Ini terlihat dari lumrah dan tidak lumrahnya pertanyaan-
pertanyaan seperti Berapa besar rumahmu ? vs Berapa kecil rumahmu ?; Pacarmu setinggi
siapa? Vs Pacarmu sependek siapa ?

63
Untuk pemerolehan makna, biasanya dibedakkan dua istilah: ekstensi (extension) dan
intensi (intension). Ekstensi merujuk kepada semua objek yang berupa, sedangkan intense
kepada seperangkat fitur yang melekat pada objek tersebut. Diberi kata binatang, maka
ekstensinya adalah kerbau, kambing, kuda, sapi, dst., sedangkan intensinya adalah benda
bernyawa, berhidung satu, berkaki empat, bertelinga dua, dsb. Pendalaman mengenai intensi
tidak mudah dilakukan karena fitur-fitur pada intensi tidak hanya menyangkut pengetahuan
tentang dunia (world knowledge) tetapi juga dapat dipengaruhi oleh budaya maupun
pengalaman pribadi tiap individu.

Meskipun ekstensi dapat dirinci menjadi empat sub kelompok (Dromi, 1987: 95-104),
yang umum tejadi pada anak adalah proses yang dinamakan underextensio (penciutan makna)
dan overextension (penggelembungan makna). Penciutan makna terjadi bila anak memakai
suatu kata untuk merujuk hanya pada satu referen khusus saja. Bila seorang anak memakai
kata [dadah] dan yang dirujuk hanya boneka gajah saja, sedangkan patung gajah di taman
bermain bukan dinamakan gajah, maka anak tadi sedang melakukan penciutan makna.

Pada saat anak diperkenalkan kepada suatu entitas, misalnya, kambing, maka bias saja
anak menyerap hanya sebagian dari semua fitur kata itu dan menerapkan fitur tersebut pada
entitas lain yang kebetulan memiliki fitur itu. Setelah diperkenalkan pada entitas kambing,
maka anak ini mengira bahwa binatang yang berkaki empat, bertelinga dua, berhidung satu,
yang dilihat esok harinya adalah juga kambing, padahal itu adalah juga anjing, padahal itu
adalah anjing. Bila kekeliruan ini terjadi, maka anak sedang melakukan penggelembungan
makna. Teori dia yang berbunyi seolah-olah bahwa kambing adalah ” binatang yang berkaki
empat, bertelinga dua, dan berhidung satu” ternyata keliru dan harus direvisi- berulang-ulang
melalui proses eliminasi sampai akhirnya dia dapat membedakan mana yang kambing, mana
yang anjing, mana yang kucing, dst.

Masalah penggelembungan makna sangat sukar ditentukan karena fitur yang terdapat
di dalamnya sangat luas; bisa bentuk tekstur, ukuran, atau gerakan (Clark & Clark, 1977:
492- 94). Karena keaneka-ragaman seperti inilah kadang-kadang orang dewasa tidak
memahami mengapa anak mengidentifikasi sesuatu sebagai entitas yang menurut nalar orang
dewasa tidak kena. Anak, misalnya, mengganggap sandal yang berbulu halus sebagai kucing.

Masalah yang juga penting untuk dipecahkan berkaitan dengan jawaban terhadap
pertanyaan ” kapankah suatu kata dapat dianggap sebagai telah diperoleh oleh anak?”
Apabila kita mengucapkan suatu kata, misalnya, pecah,dan kemudian anak ini menirukan

64
kata dengan mengucapkan [pəta], apakah kita sudah dapat mengatakan bahawa anak tersebut
laluu sudah menguasai kata tadi? Tentu saja tidak karena pemerolehan harus diartikan
sebagai suatau penguasaan yang tidak hanya menyangkut kemampuan pelafalan tetapi juga
pengaitan antara bentuk dan makna. Karena iitu, minimal ada dua criteria yang harus
dipertimbangkan. Pertama, anak tersebut sudah dapat memproduksi bentuk yang paling-tidak
dekat bunyinya dengan bentuk orang dewasa. Pengertian” dekat” tidak harus berarti bahwa
bunyi itu dapat dengan mudah ”diterjemahkan” ke bentuk dewasa. Pada tahap awal, kata
untuk mobil bias saja,[be], [obe],atau [mobe]. Kedua, anak telah mengaitkan bentuk dengan
makna dengan konsisten. Jadi, meskipun bentuknya baru [be] tetapi kalau anak secara
konsisten mengaitkan bentuk ini dengan referen mobil maka dapatlah dikatakan bahwa dia
telah secara benar dan konsisten memakai kata ini. Adapula yanag menyarankan bahwa
komprehensi orang dewasa yang mendengarnya juga diperhitungkan. Jadi, bila anak
memproduksi suatu bentuk dan bentuk tersebut tidak dapat dipahami oleh interlokutor
dewasa maka bentuk tadi belum dapat dikatakan telah diperoleh oleh anak.

Kosakata adalah suatu komponen dalam bahasa yang terus berkembang tanpa
berhenti. Sebagai orang dewasa pun kita masih terus saja menambah perbendaharaan kata.
Linguis seperti West mengatakan bahwa untuk penutur asing dewasa, kosakata sebanyak
2000 sudah memadai untuk berkomunikasi dalam banyak hal (West 1953).

Latihan:

1. Keuniverslan bahasa menurut Comrie ada empat kelompok. Coba Anda jelaskan
keempat kelompok keuniversalan bahasa!
2. Bagaimana hubungan konsep keuniversalan bahasa dengan pemerolehan bahasa
menurut Jacobson ?
3. Jelaskan pendapat Miller tentang teori derivasional dalam pemerolehan bahasa anak !
4. Dari beberapa jenis pemerolehan bahasa yang Anda ketahui, jenis pemerolehan
bahasa yang mana dianggap paling sukar ditinjau dari keuniverslan bahasa ?
5. Berdasarkan kategori kata, jenis kata apa saja yang dikuasai pertama kali oleh seorng
anak ? Mengapa ?

Daftar Pustaka

65
Dardjowidjojo, Soenjono. 1987. Echa: Kisah Pemerolehan Bahasa Anak Indonesia. Jakarta:
PT Gramedia Widiasarana Indonesia.

Dharmowijono, Widjajanti W & I Nyoman Simpen. Psikolinguistik: Teori Kemampuan


Berbahasa dan Pemerolehan Bahasa Anak. Denpasar: Udayana University Press.

Indah, Rohmani Nur dan Abdurrahman. 2008. Psikolinguistik: Konsep dan Isu Umum.
Malang: UIN-Malang Press.

Pateda, Mansoer. 2001. Semantik Leksikal. Jakarta: Rineka Cipta.

Tarigan, Henry Guntur. 1988. Pengajaran Kedwibahasaan. Bandung: Angkasa.

BAB V
GANGGUAN BERBAHASA

Standar Kompetensi

66
 Mehasiswa memahami tentang terjadinya gangguan berbahasa, jenis-jenis gaganguan
berbahasa, dan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya gangguan berbahasa
Kompetensi Dasar
 Menjelaskan ikhwal gangguan berbahasa yang terjadi pada manusia
 Menjelaskan faktor-faktor penyebab gangguan berbahasa
Indikator
 Dapat menjelaskan proses munculnya gangguan berbahasa
 Dapat menjelaskan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya gangguan berbahasa
 Dapat menjelaskan jenis-jenis gangguan berbahasa.

5.1 Proses Berbahasa

Seperti diketahui bahwa proses berbahasa dimulai dengan enkode semantik, enkode
gramatika, dan enkode fonologi. Enkode semantik dan enkode gramatika berlangsung dalam
otak, sedangkan enkode fonologi dimulai dari otak lalu dilanjutkan pelaksanaannya oleh alat-
alat bicara yang melibatkan sisitim saraf otak (neuromiskuler) bicara dari otot tenggorokan,
otot lidah, otot bibir, mulut, langit-langit, rongga hidung, pita suara, dan paru-paru. Karena
itu, dapat dikatakan bahwa bahasa adalah proses mengeluarkan pikiran dan perasaan (dari
otak) secara lisan, dalam bentuk kata-kata atau kalimat-kalimat. Kemudian pada bab lima
telah dibicarakan bagaimana fungsi dan peranan otak dalam memproduksi bicara bahasa;
serta dalam menerima dan memahami masukan bahasa melalui telinga, dan yang selanjutnya
diolah di dalam otak.
Manusia yang normal fungsi otak dan alat bicaranya, tentu dapat berbahasa dengan
baik. Namun, mereka yang memiliki kelainan fungsi otak dan alat bicaranya, tentu
mempunyai kesulitan dalam berbahasa, baik produktif maupun reseptif. Jadi, kemampuan
berbahasanya terganggu.
Gangguan berbahasa ini secara garis besar dapat dibagi dua. Pertama, gangguan
akibat faktor medis; dan kedua, akibat faktor lingkungan sosial. Yang dimaksud dengan
faktor medis adalah gangguan, baik akibat kelainan fungsi otak maupun kelainan alat-alat
bicara. Sedangkan yang dimaksud dengan faktor lingkungan sosial adalah lingkungan
kehidupan yang tidak alamiah manusia, seperti tersisih atau terisolasi dari lingkungan
kehidupan masyarakat manusia yang sewajarnya.
Secara medis menurut Sidharta (1984) gangguan berbahasa itu dapat dibedakan atas
tiga golongan, yaitu (1) gangguan berbicara, (2) gangguan berbahasa, dan (3) gangguan

67
berpikir. Ketiga gangguan itu masih dapat diatasi kalau penderita gangguan itu mempunyai
daya dengar yang normal; bila tidak tentu menjadi sukar atau sangat sukar.

5.2 Gangguan Berbicara


Berbicara merupakan aktivitas motorik yang mengandung modalitas psikis. Oleh
karena itu, gangguan berbicara ini dapat dikelompokkan ke dalam dua kategori. Pertama,
gangguan mekanisme berbicara yang berimplikasi pada gangguan organik; dan kedua,
gangguan berbicara psikogenik.
a. Gangguan Mekanisme Berbicara
Mekanisme berbicara adalah suatu proses produksi ucapan (perkataan) oleh kegiatan
terpadu dari pita suara, lidah, otot-otot yang membentukrongga mulut serta kerongkongan,
dan paru-paru,. Maka gangguan berbicara berdasarkan mekanismenya ini dapat dirinci
menjadi gangguan berbicara akibat kelainan pada paru-paru (pulmonal), pada pita
suara(laringal), pada lidah (lingual), pada rongga mulut dan kerongkongan (resonantal).
1. Gangguan Akibat Faktor Pulmonal
Gangguan berbicara ini dialami oleh para penderita penyakit paru-paru. Para penderita
penyakit paru-paru ini kekuatan bernapasnya sangat kurang, sehingga cara
berbicaranya diwarnai oleh nada yang monoton, volume suara yang kecil sekali, dan
terputus-putus, meskipun dari segi semantik dan sintaksis tidak ada masalah.
2. Gangguan Akibat Faktor Laringal
Gangguan pada pita suara menyebabkan suara yang dihasilkan menjadi serak atau
hilang sama sekali. Gangguan berbicara akibat faktor laringal ini ditandai oleh suara
yang serak atau hilang, tanpa kelainan semantik dan sintaksis. Artinya, dilihat dari
segi semantik dan sintaksis ucapannya bisa diterima.
3. Gangguan Akibat Faktor Lingual
Lidah yang sariawan atau terluka akan terasa pedih kalau digerakkan. Untuk
mencegah timbulnya rasa pedih ini ketika berbicara maka gerak aktivitas lidah itu
dikurangi secara semaunya. Dalam keadaan seperti ini maka pengucapan sejumlah
fonem menjadi tidak sempurna, sehingga misalnya, kalimat “sudah barang tentu dia
akan menyangkal” mungkin akan diucapkan menjadi “Hu ah ba-ang ke-ku ia a-an me-
angkay”.
Pada orang yang terkena stroke dan badannya lumpuh sebelah, maka lidahnya pun
akan lumpuh sebelah. Oleh karena itu, cara berbicaranya juga akan terganggu, yaitu

68
menjadi pelo atau cadel. Istilah medisnya disatria (yang berarti terganggunya
artikulasi). Gejala terkena stroke banyak dikenali dari kepeloan ini.
4. Gangguan Akibat Faktor Resonansi
Gangguan akibat faktor resonansi ini menyebabkan suara yang dihasilkan menjadi
bersengau. Pada orang sumbing, misalnya, suaranya menjadi bersengau (bindeng)
karena rongga mulut dan rongga hidung yang digunakan untuk berkomunikasi melalui
defek di langit-langit keras (palatum), sehingga resonansi yang seharusnya menjadi
terganggu. Hal ini terjadi juga pada orang yang mengalami kelumpuhan pada langit-
langit lunak (velum). Rongga langit-langit itu tidak memberikan resonansi yang
seharusnya, sehingga suaranya menjadi bersengau. Penderita penyakit miastenia
gravis (gangguan yang menyebabkan otot menjadi lemah dan cepat lelah) sering di
kenali secara langsung karena kesengauan ini.

b. Gangguan Akibat Multifaktorial


Akibat gangguan multifaktorial atau berbagai faktor bisa menyebabkan terjadinya
berbagai gangguan berbicara. Antara lain adalah berikut ini.
1. Berbicara Serampangan
Berbicara serampangan atau sembrono adalah berbicara dengan cepat sekali,
dengan artikulasi yang rusak, ditambah dengan “menelan” sejumlah suku kata,
sehingga apa yang diucapkan sukar dipahami. Dalam kehidupan sehari-hari kasus ini
memang jarang dijumpai; tetapi dalam praktek kedokteran sering ditemui.
Umpamanya kalimat “kemarin pagi saya sudah beberapa kali ke sini” diucapkan
dengan cepat menjadi “ kemary sdada berali ksni”. Berbicara serampangan ini karena
kerusakan di serebelum atau bisa juga terjadi sehabis terkena kelumpuhan ringan
sebelah badan.
2. Berbicara Propulsif
Gangguan berbicara propulsif biasanya terdapat pada para penderita penyakit
parkinson (kerusakan pada otak yang menyebabkan otot menjadi gemetar, kaku, dan
lemah). Para penderita penyakit ini biasanya bermasalah dalam melakukan gerakan-
gerakan. Mereka sukar sekali untuk memulai suatu gerakan. Namun, bila sudah
bergerak maka ia dapat terus-menerus tanpa henti. Gerak yang laju terus itu disebut
propulsi. Pada waktu berbicara ciri khas ini akan tampak pula. Artikulasi sangat
terganggu karena elastisitas otot lidah, otot wajah, dan pita suara, sebagian besar
lenyap. Dalam pada itu volume suaranya kecil, iramanya datar (monoton). Suaranya

69
mula-mula tersendat-sendat, kemudian terus-menerus, dan akhirnya tersendat-sendat
kembali. Oleh karena itu, cara berbicara seperti ini disebut propulsif.
3. Berbicara Mutis (Mutisme)
Penderita gangguan mutisme ini tidak berbicara sama sekali. Sebagian dari
mereka mungkin masih dapat dianggap membisu, yakni memang sengaja tidak mau
berbicara. Mutisme ini sebenarnya bukan hanya tidak dapat berkomunikasi secara
verbal saja, tetapi juga tidak dapat berkomunikasi secara visual maupun isyarat,
seperti dengan gerak-gerik, dan sebagainya.
Dunia ilmiah sebelumnya belum dapat menjelaskan dengan tepat apa mutisme itu.
Oleh karena itu, tak heran kalau kita dapatkan sebagai teori dan anggapan dari
berbagai pihak tentang mutisme itu. Oleh karena itu pula, setiap orang yang tidak
dapat berkomunikasi verbal dinyatakan sebagai mutistik. Dengan begitu seseorang
yang membisu sebagai tindakan protes nonverbal dapat dianggap menderita mutisme
histerik, padahal sebenarnya merupakan sindrom konversi histerik. Perwujudan
histeria lain adalah mutisme elektif karena membisunya itu ditujukan kepada orang-
orang tertentu saja, misalnya kepada gurunya atau pacarnya. Dewasa ini apa yang
dulu dikenal sebagai mutisme akinetik lebih dikenal sebagai locked-in syndrome.
Dalam hal ini, si penderita masih hidup karena jantung, paru-paru, ginjal, hati, dan
hampir semua organ masih berfungsi. Hanya gerakan voluntar, pikiran, minat,
keinginan, dan semua fungsi luhur lainnya tidak bekerja sama sekali. Mutisme lain
yang tidak dapat disembuhkan disebut mutisme idiopatik, yakni mutisme yang belum
diketahui penyebabnya. Hanya baru diperkirakan mutisme ini mungkin suatu keadaan
jiwa yang terganggu sejak dilahirkan (Sidharta, 1982).
Mutisme tidak bisa disamakan dengan orang bisu, apalagi dengan bisu tuli.
Dalam hal kebisuan ini sebenarnya perlu dibedakan adanya tiga macam penderita. Pertama,
orang yang bisu karena kerusakan atau kelainan alat artikulasi, sehngga dia tidak bisa
memproduksi ujaran-bahasa; tetapi alat dengarnya normal sehingga dia dapat mendengar
suara-bahasa orang lain. Kedua, orang yang bisu karena kerusakan atau kelainan alat
artikulasi dan alat pendengarnya, sehingga dia tidak bisa memproduksi ujaran-bahasa dan
juga tidak bisa mendengar ujaran-bahasa orang lain. Ketiga, orang bisu yang sebenarnya alat
artikulasinya normal tidak ada kelainan; tetapi alat pendengarannya rusak atau ada kelainan.
Orang golongan ketiga ini menjadi bisu karena dia tidak pernah mendengar ujaran-bahasa
orang lain, sehingga dia tidak bisa menirukan ujaran bahasa itu.

70
Pasien golongan pertama, yang alat artikulasinya rusak atau mengalami kelainan, sedangkan
alat dengarnya normal, kalau fungsi hemisfer otak yang dominannya normal, masih akan
dapat berkomunikasi. Hanya tentunya, jika diajak bertutur dia akan menjawab atau bertanya
dalam bahasa isyarat, atau dalam bahasa tulis (jika dia sudah belajar menulis).
Pasien golongan kedua yang bisu dan tuli karena alat artikulasi dan alat pendengarannya
rusak, kalau fungsi hemisfer otak yang dominannya normal, masih akan dapat berkomunikasi
dengan bahasa isyarat dengan bahasa “membaca bibir”. Untuk dapat berkomunikasi itu
tentunya mereka memerlukan pendidikan dan pelatihan khusus yang memakan banyak
waktu.
Pasien golongan ketiga yang menjadi bisu karena kerusakan atau kelainan alat dengarnya,
kalau fungsi hemisfer otak yang dominannya normal, masih bisa dilatih untuk memproduksi
ujaran-bahasa secara tidak sempurna karena dia tidak bisa mendengar suara ujaran-bahasa itu.
Pelatihan dilakukan dengan cara dia disuruh memperhatikan, memegang, dan merasakan
“gerak mulut” pelatih bicaranya. Inipun tentunya memerlukan waktu yang cukup lama.
Ketiga golongan pasien kasus kebisuan tidak berkaitan dengan fungsi otak. Hanya barangkali
perkembangan fungsi otak ituyang terganggu.
c. Gangguan Psikogenik
Gangguan berbicara psikogenik ini sebenarnya tidak bisa disebut sebagai suatu
gangguan berbicara. Mungkin lebih tepat disebut sebagai variasi cara berbicara yang normal,
tetapi yang merupakan ungkapan dari gangguan di bidang mental. Modalitas mental yang
terungkap oleh cara berbicara sebagian besar ditentukan oleh nada, intonasi, dan intensitas
suara, lafal, dan pilihan kata. Ujaran yang berirama lancar atau tersendat-sendat dapat juga
mencerminkan sikap mental si pembicara. Gangguan berbicara psikogenik ini antara lain
sebagai berikut.
1. Berbicara Manja
Di sebut berbicara manja karena ada kesan anak (orang) yang melakukannya
meminta perhatian untuk dimanja. Umpamanya, kanak-kanak yang baru terjatuh, terluka,
atau mendapat kecelakaan, terdengar adanya perubahan pada cara berbicaranya. Fonem atau
bunyi [s] dilafalkan sebagai bunyi [c] sehingga kalimat “saya sakit, jadi tidak suka makan ,
sudah saja, ya” akan diucapkan menjadi “caya cakit, jadi tidak cuka makan, udah caja ya”.
Dengan berbicara demikian dia mengungkapkan keinginannya untuk dimanja. Gejala seperti
ini kita dapati juga pada orang tua pikun atau jompo (biasanya wanita). Gejala ini
memberikan kesan bahwa struktur bahasa memiliki substrat serebral. Namun, bagaimana
struktur organisasinya belum diketahui dengan jelas. Masih dalam penelitian.

71
2. Berbicara Kemayu
Berbicara kemayu (istilah dari Sidharta, 1989) berkaitan dengan perangai
kewanitaan yang berlebihan. Jika seorang pria bersifat atau bertingkah laku kemayu jelas
sekali gambaran yang dimaksudkan oleh istilah tersebut. Berbicara kemayu dicirikan oleh
gerak bibir dan lidah yang menarik perhatian dan lafal yang dilakukan secara eksrta menonjol
atau ekstra lemah gemulai dan ekstra memanjang (Inggris: lisp; Belanda: lispelen). Meskipun
berbicara seperti ini bukan suatu gangguan ekspresi bahasa, tetapi dapat dipandang sebagai
sindrom fonologik yang mengungkapkan gangguan identitas kelamin terutama jika yang
dilanda adalah kaum pria.
3. Berbicara Gagap
Gagap adalah berbicara yang kacau karena sering tersendat-sendat, mendadak
berhenti, lalu mengulang-ngulang suku kata pertama, kata-kata berikutnya, dan setelah
berhasil mengucapkan kata-kata itu kalimat dapat diselesaikan. Acapkali si pembicara tidak
berhasil mengucapkan suku kata awal, hanya dengan susah payah berhasil mengucapkan
konsonan atau vokal awalnya saja. Lalu dia memilih kata lain, dan berhasil menyelesaikan
kalimat tersebut meskipun dengan susah payah juga. Dalam usahanya mengucapkan kata
pertama yang barangkali gagal, si pembicara menampakkan rasa lebih dan rasa kecewanya.
Apa yang menyebabkan terjadinya gagap ini belum diketahui secara tuntas. Namun, hal-hal
berikut dianggap mempunyai peranan dalam menyebabkan terjadinya kegagapan itu.
1. Faktor-faktor “stres” dalam kehidupan berkeluarga
2. Pendidikan anak yang dilakukan secara keras dan ketat, dengan membentak-bentak;
serta tidak mengizinkan anak berargumentasi dan membantah
3. Adanya kerusakan pada belahan otak (hemisfer) yang dominan.
4. Faktor neurotik famial.
Dulu ada anggapan bahwa gagap terjadi karena adanya pemaksaan untuk menggunakan
tangan kanan pada anak-anak yang kidal. Namun, kini anggapan tersebut tidak dapat
dipertahankan. Menurut sidharta (1989) kegagapan adalah disfasia yang ringan. Kegagapan
ini lebih sering terjadi pada kaum laki-laki dari pada kaum perempuan, dan lebih banyak pada
golongan remaja dari pada golongan dewasa (Chauchard, 1983).

4. Berbicara Latah
Latah sering disamakan dengan ekolalla, yaitu perbuatan membeo, atau menirukan
apa yang dikatakan orang lain; tetapi sebenarnya latah adalah suatu sindrom yang teridri atas
curah verbal repetitif yang bersifat jorok (koprolalla) dan gangguan lokomotorik yang dapat

72
dipancing. Koprolalla pada latah ini berorientasi pada alat kelamin laki-laki. Yang sering
dihinggapi penyakit latah adalah orang perempuan berumur 40 tahun ke atas. Awal mula
timbulnya latah ini, menurut mereka yang terserang latah, adalah setelah mimpi melihat
banyak sekali melihat penis lelaki sebesar dan sepanjang belut. Latah ini punya korelasi
dengan kepribadian histeris. Kelatahan ini merupakan “excuse” atau alasan untuk dapat
berbicara dan bertingkah laku porno, yang pada hakikatnya berimplikasi invitasi seksual
(lihat juga W.F. Maramis, 1998 : 416-418).

2. Gangguan Berbahasa
Berbahasa berarti berkomunikasi dengan menggunakan suatu bahasa. Bagaimana
kemampuan berbahasa dikuasai manusia, berkaitan erat dan sejalan dengan perkembangan
manusia yang baru lahir itu. Kanak-kanak yang lahir dengan alat artikulasi dan auditori yang
normal akan dapat mendengar kata-kata dengan telinganya dengan baik dan juga akan dapat
menirukan kata-kata itu. Pada mulanya ucapan tiruannya itu Cuma mirip, tetapi lambat laun
akan menjadi tegas dan jelas. Proses memproduksi kata-kata itu berlangsung terus sejalan
dengan proses pengembangan pengenalan dan pengertian (gnosis dan kognisis). Dalam
perkembangan itu kata-kata akan menjadi perkataan yang merupakan abstraksi atau kata-kata
yang mengandung makna. Umpamanya, kata ayam menjadi simbol dari binatang berkaki dua
yang bersayap, tetapi tidak terbang seperti burung. Dia hidup dan berjalan di atas bumi
seperti anjing, tetapi tidak menggonggong, melainkan berkokok. Setingkat lebih maju lagi
kemudian kata ayam diasosiasikan dengan jenis, kegunaan, kualitas, dan sebagainya. Dengan
demikian kemampuan untuk diferensi antara ayam jantan dan ayam betina, ayam kampung
dan ayam negeri, daging ayam dan daging sapi sudah diperoleh. Proses belajar berbicara dan
mengerti bahasa adalah proses serebral, yang berarti proses ekspresi verbal dan komprehensi
auditorik itu dilaksanakan oleh sel-sel saraf di otak yang disebut neuron. Proses neuron di
otak ini sangat rumit sekali untuk bisa dipahami. Barangkali kalau disederhanakan bisa kita
umpamakan dengan alat komputer yang dapat menyimpan (strorage) semua masukan dalam
bentuk sandi elektronik (coding), yang dapat diangkat kembali (recall) dari simpanan itu.
Kemudian alat komputer ini mengalihkan sandi itu dalam bentuk yang dapat dipahami oleh
dunia di luar komputer (decoding). Gudang tempat menyimpan sandi ekspresi kata-kata di
otak adalah di daerah Broca, sedangkan gudang tempat menyimpan sandi komprehensi kata-
kata adalah di daerah Wernicke.
Berbahasa, seperti sudah disebutkan di atas, berarti berkomunikasi dengan
menggunakan suatu bahasa. Untuk dapat berbahasa diperlukan kemampuan mengeluarkan

73
kata-kata. Ini berarti, daerah Broca dan Wernicke harus berfungsi dengan baik. Kerusakan
pada daerah tersebut dan sekitarnya menyebabkan terjadinya gangguan bahasa yang disebut
afasia, dalam hal ini Broca sendiri menamai afemia.
Perkembangan gerakan voluntar pada otak yang pada mulanya bersifat kaku dan
kasar, kemudian menjadi luwes, ternyata tidak terjadi pada kedua belahan otak (hemisferium)
secara sama. Mekanisme neuronal yang mendasari penyempurnaan gerakan voluntar itu
ternyata lebih lengkap dan lebih rumit hanya pada salah satu belahan otak saja. Oleh karena
itu, terdapatlah orang-orang yang lebih mampu menggunakan anggota gerak yang sebelah
kiri dari pada yang sebelah kanan, atau sebaliknya. Maka terdapatlah orang yang kidal dan
yang tidak kidal. Belahan otak (hemisferium) yang memiliki organisasi neuronal yang lebih
sempurna itu dikenal sebagai hemisferium yang dominan. Dalam pertumbuhan dan
perkembangan otak pertumbuhan daerah Broca dan Wernicke terjadi pada hemisferium yang
dominan. Pada orang kidal hemisferium kananlah yang dominan, dan pada orang yang tidak
kidal, hemisferium kirilah yang dominan. Perhatikan bagan otak tersebut.

Bagan itu menunjukkan otak mempunyai setangkup daerah reseptif auditorik primer
(1), setangkup daerah reseptif sekunder (4), setangkup daerah reseptif visual (5), setangkup
daerah motorik suplementer (7), dan setangkup daerah motorik primer (8). Di samping itu
juga memiliki setunggal daerah pengertian perkataan (Wernicke) (2), setunggal daerah
pengenalan kembali (kognisio) data auditorik dan visual (3), dan setunggal daerah ekspresi
perkataan (6). Daerah fungsional yang setunggal berlokasi pada hemisferium yang dominan.
Penyaluran impuls dari daerah fungsional di hemisferium yang tidak dominan ke
hemisferium yang dominan dilakukan melalui serabut-serabut korpus kolasum, yakni serabut
asosiasi (yang menghubungkan) kedua hemisferium. Data auditorik (lafal, perkataan)
ditangkap di (1) kedua sisi (belahan otak kiri-kanan). Data itu disampaikan juga kepada (2)
sehingga perkataan dapat diidentifikasikan sebagai simbol bahasa lisan. Pengenalan kembali
(kognisio) lafal perkataan diatas oleh (3) yang juga mengurus proses kognisio lainnya, seperti
kognisio visual dan taktil. Inisiasi berbicara sangat mungkin diurus oleh (3), yang

74
memerintahkan (2), untuk menghubungi (6), agar mengeluarkan perintah pelaksanaan
gerakan otot-otot kepada (8), sehingga menghasilkan lafal perkataan. Sekaligus dengan itu
(6) memesankan kepada (7) untuk mengatur gerakan yang menghasilkan perkataan itu
berjalan secara terpadu. Dalam hal ini proses berbahasa tulis diatur melalui (5) dan (4), yang
dalam pembahasan bahsa lisan tidak akan disinggung.
Kajian tentang afasia atau afasiologi dalam perkembangannya menghasilkan berbagai
taksonomi yang sangat membingungkan seperti yang dibuat oleh Benson (1975), Rapin
(neurolog kanak-kanak), dan Allen (psikolinguis) (Rapin dan Allen, 1988); tetapi taksonomi
yang telah disederhanakan oleh Benson, afasia ini dibedakan atas afasia ekspresi atau afasia
motorik, yang dulu dikenal sebagai afasia tipe Broca, dan afasia reseptif atau afasia sensorik
yang dulu dikenal sebagai afasia Wernicke. Berikut dibicarakan jenis-jenis afasia itu.
a. Afasia Motorik
Kerusakan pada belahan otak yang dominan yang menyebabkan terjadinya afasia
motorik bisa terletk pada lapisan permukaan (lesikortikal) daerah Broca. Atau pada lapisan
dibawah permukaan (lesi subkortikal) daerah Broca atau juga didaerah otak antara daerah
Broca dan daerah Wernicke (lesi transkortikal). Oleh karena itu, didapati adanya tiga macam
afasia motorik ini.
1. Afasia Motorik Kortikal
Tempat menyimpan sandi-sandi perkataan adalah di korteks daerah Broca. Maka
apabila gudang penyimpanan itu musnah, tidak akan ada lagi perkataan yang dapat
dikeluarkan. Jadi, afasia motorik kortikal berarti hilangnya kemampuan untuk mengutarakan
isi pikiran dengan menggunakan perkataan. Penderita afasia motorik kortikal ini masih bisa
mengerti bahasa lisan dan bahasa tulisan. Namun, ekspresi verbal tidak bisa sama sekali;
sedangkan ekspresi visual (bahasa tulis dan bahasa isyarat) masih bisa dilakukan.
2. Afasia Motorik Subkortikal
Sandi-sandi perkataan disimpan di lapisan permukaan (korteks) daerah Broca, maka
apabila kerusakan terjadi pada bagian bawahnya (subkortikal) semua perkataan masih
tersimpan utuh di dalam gudang. Namun, perkataan itu tidak dapat dikeluarkan karena
hubungan terputus, sehingga perintah untuk mengeluarkan perkataan tidak dapat
disampaikan. Melalui jalur lain tampaknya perintah untuk mengeluarkan perkataan masih
dapat disampaikan ke gudang penyimpanan perkataan itu (gudang Broca) sehingga ekspresi
verbal masih mungkin dengan pancingan. Jadi, penderita afasia motorik subkortikal tidak
dapat mengeluarkan isis pikirannya dengan menggunakan perkataan; tetapi masih bisa

75
mengeluarkan perkataan dengan cara membeo. Selain itu, pengertian bahasa verbal dan
visual tidak terganggu, dan ekspresi visual pun berjalan normal.
3. Afasia Motorik Transkortikal
Afasia motorik transkortikal terjadi karena terganggunya hubungan antara daerah
Broca dan Wernicke. Ini berarti, hubungan langsung antara pengertian dan ekspresi bahasa
terganggu. Pada umumnya afasia motorik transkortikal ini merupakan lesikortikal yang
merusak sebagian daerah Broca. Jadi, penderita afasia motorik transkortikal dapat
mengutarakan perkataan yang singkat dan tepat; tetapi masih mungkin menggunakan
perkataan substitusinya. Misalnya untuk mengatakan “pensil” sebagai jawaban atas
pertanyaan “barang yang saya pegang ini namanya apa?” dia tidak mampu mengeluarkan
perkataan, “itu, tu, tu, tu, untuk menulis.” Afasia jenis ini di sebut juga dengan afasia
nominatif.
Semua penderita afasia motorik jenis apapun bersikap ”tidak berdaya”. Mengapa?
Karena keinginan untuk mengutarakan isi pikirannya besar sekali, tetapi kemampuan untuk
melakukannya tidak ada sama sekali. Mereka pun seringkali jengkel karena apa yang
diekspresikan tidak dipahami sama sekali oleh orang di sekelilingnya; padahal untuk
menghasilkan curah verbal yang tidak dipahami itu, mereka sudah berusaha keras.
b. Afasia Sensorik
Penyebab terjadinya afasia sensorik adalah akibat adanya kerusakan pada
lesikortikal di daerah Wernicke pada hemisferium yang dominan. Daerah itu terletak di
kawasan asosiatif antara daerah visual, daerah sensorik, daerah motorik, dan daerah
pendengaran. Kerusakan di daerah Wernicke ini menyebabkan bukan saja pengertian dari apa
yang dilihat (pengertian visual) ikut terganggu. Jadi, penderita afasia sensorik ini kehilangan
pengertian bahasa lisan dan bahasa tulis. Namun, dia masih memiliki curah verbal meskipun
hal itu tidak dipahami oleh dirinya sendiri maupun oleh orang lain.
Curah verbalnya itu merupakan bahasa baru (neologisme) yang tidak dipahami oleh
siapapun. Curah verbalnya itu terdiri dari kata-kata, ada yang mirip, ada yang tepat dengan
perkataan suatu bahasa; tetapi kebanyakan tidak sama atau sesuai dengan perkataan bahasa
apa pun.
Neologismenya itu diucapkannya dengan irama, nada, dan melodi yang sesuai dengan
bahasa asing yang ada. Sikap mereka pun wajar-wajar saja, seakan-akan dia berdialog dalam
bahasan yang saling dimengerti. Dia bersikap biasa, tidak tegang, marah, atau depresif.
Sesungguhnya apa yang diucapkannya maupun apa yang didengarnya (bahasa verbal yang
normal), keduanya sama sekali tidak dipahaminya.

76
3. Gangguan Berpikir
Dalam sosiolinguistik ada dikatakan bahwa setiap orang mempunyai kecenderungan
untuk menggunakan perkataan-perkataan yang disukainya sehingga corak bahasanya adalah
khas bagi dirinya. Hal ini dalam sosiolinguistik disebut idiolek, atau ragam bahasa
perseorangan.
Dalam memilih dan menggunakan unsur leksikal, sintaksis, dan semantik tertentu
seseorang menyiratkan afeksi dan nilai pribadinya pada kata-kata dan kalimat-kalimat yang
dibuatnya. Hal ini berarti, setiap orang memproyeksikan kepribadiannya pada gaya
bahasanya. Lalu kalau diingat bahwa ekspresi verbal merupakan pengutaraan isi pikiran,
maka yang tersirat dalam gaya bahasa tentu adalah isi pikiran itu. Oleh karena itu, bisa
disimpulkan bahwa ekspresi verbal yang terganggu bersumber atau disebabkan oleh pikiran
yang terganggu. Gangguan ekspresi verbal sebagai akibat dari gangguan pikiran dapat berupa
hal-hal berikut.
a. Pikun (Demensia)
Orang yang pikun menunjukkan banyak sekali gangguan seperti agnosia, apraksia,
amnesia, perubahan kepribadian, perubahan prilaku, dan kemunduran dalam segala macam
fungsi intelektual. Semua gangguan itu menyebabkan kurangnya berpikir, sehingga ekspresi
verbalnya diwarnai dengan kesukaran menemukan kata-kata yang tepat. Kalimat sering kali
diulang-ulang. Apa yang sudah dikatakan diulang lagi. Pembicaraan sering sering terputus
karena arah pembicaraan tidak teringat atau tidak diketahui lagi, sehingga berpindah ke topik
lain.
Dr. Martina Wiwie S. Nasrum (media indonesia, 21 Mei 2001) mengatakan bahwa
kepikunan atau dimensia adalah suatu penurunan fungsi memori atau daya ingat dan daya
pikir lainnya yang dari hari ke hari semakin buruk. Gangguan kognitif ini meliputi
terganggunya ingatan jangka pendek, kekeliruan mengenali tempat, orang, dan waktu. Juga
gangguan kelancaran berbicara.
Penyebab pikun ini antara lain karena terganggunya fungsi otak dalam jumlah besar,
termasuk menurunnya jumlah zat-zat kimia dalam otak. Biasanya volume otak akan mengecil
atau menyusut, sehingga rongga-rongga dalam otak melebar. Selain itu dapat pula disebabkan
oleh penyakit seperti stroke, tumor otak, depresi dan gangguan sistemik. Pikun yang
disebabkan oleh depresi dan gangguan sistemik dapat pulih kembali; tetapi kebanyakan kasus
demensia lainnya tidak dapat kembali ke kondisi sebelumnya.
Selanjutnya, Dr. Martina menjelaskan, hal pertama yang harus dilakukan untuk
mengobati demensia adalah mencari tahu penyebab gangguan perilaku tersebut. Apakah

77
karena adanya nyeri fisik akibat luka atau ada hubungannya dengan depresi. Penanggulangan
gangguan perilaku pada demensia dapat dilakukan melalui metode non-obat atau pun dengan
obat. Tetapi non-obat dilakukan sebelum terapi obat. Jika masalah yang dihadapi tidak berat,
terapi non-obat sudah dapat memproses penyembuhan.

b. Sisofrenik
Sisofrenik adalah gangguan berbahasa akibat gangguan berpikir. Dulu pada para
penderita sisofrenik kronik juga dikenal istilah schizophrenik word salad. Para penderita ini
dapat mengucapkan word-salad ini dengan lancar, dengan volume yang cukup, ataupun
lemah sekali. Curah verbalnya penuh dengan kata-kata neologisme. Irama serta intonasinya
menghasilkan curah verbal yang melodis.
Seorang penderita sisofrenia dapat berbicara terus-menerus. Ocehannya hanya
merupakan ulangan curah verbal semula dengan tambahan sedikit-sedikit atau dikurangi
beberapa kalimat. Gaya bahasa sisofren dapat dibedakan dalam beberapa tahap dan menurut
berbagai kriteria. Yang utama adalah diferensiasi dalam gaya bahasa sisofrenia halusinasi dan
pasca-halusinasi.
Sebelum diganggu halusinasi (biasanya halusinasi auditorik), bahasa para penderita
sisofrenik ini tampak terganggu. Pada tahap awal penderita sisofrenia ini mengisolasi
pikirannya. Tidak banyak berkomunikasi dengan dunia luar, tetapi banyak berdialog dengan
diri sendiri. Ekspresi verbal terbatas, tetapi kegiatan dalam dunia bahasa internal (berbahasa
dalam pikiran diri sendiri) sangat ramai. Oleh karena itu, gangguan ekspresi verbal sisofrenia
tahap awal ini menyerupai mutisme elektif. Pada tahap prahalusinasi ini gaya bahasa verbal
dan tulisnya dicoraki dengan penggunaan kata ganti “aku” yang berlebihan. Lalu dia
mengalami kesulitan dalam mencari kosa kata yang tepat. Pada tahap berikutnya, penderita
malah mendeteksi bahwa kata-kata yang tidak hendak digunakan justru secara tidak sengaja
digunakannya. Gangguan ekspresi verbal itu membuat pasien lebih menarik diri dari
pergaulan, sehingga ekspresi verbal menjadi sangat terbatas atau jarang. Begitu halusinasi
auditorik melandanya yang terganggu sesungguhnya bukanlah gaya bahasanya, melainkan
makna curah verbalnya yang abnormal. Apa yang dibicarakan atau dikeluhkan memiliki
hubungan dengan halusinasinya.
c. Depresif
Orang yang tertekan jiwanya memproyeksikan penderitaannya pada gaya bahasanya
dan makna curah verbalnya. Volume curah verbalnya lemah lembut dan kelancarannya
terputus-putus oleh interval yang cukup panjang. Namun, arah arus isi pikiran tidak

78
terganggu. Kelancaran bicaranya terputus oleh tarikan napas dalam, serta pelepasan napas
keluar yang panjang. Perangai emosional yang terasosiasi dengan depresi itu adalah
universal. Curah verbal yang depresif dicoraki oleh topik yang menyedihkan, menyalahi dan
mengutuk diri sendiri, kehilangan gairah bekerja dan gairah hidup, tidak mampu menikmati
kehidupan. Malah cenderung mengakhirinya.

4. Gangguan Lingkungan Sosial


Yang dimaksud dengan akibat faktor lingkungan adalah terasingnya seorang anak
manusia, yang aspek biologis bahasanya normal dari lingkungan kehidupan manusia.
Keterasingannya bisa disebabkan karena diperlakukan dengan sengaja (sebagai eksperimen)
bisa juga karena hidup bukan dalam alam lingkungan manusia, melainkan dipelihara oleh
binatang serigala, seperti kasus Kamala dan Mougli (Chauchard, 1983: 68-69).
Anak terasing tidak sama dengan kasus anak tuli. Anak tuli masih hidup dalam
masyarakat manusia. Maka, meskipun dia terasing dari kontak bahasa, tetapi dia masih dapat
berkomunikasi dengan orang disekitarnya. Sedangkan anak terasing menjadi tidak bisa
berkomunikasi dengan manusia karena dia tidak pernah mendengar suara-ujaran manusia.
Beda antara anak terasing yang tidak pernah mendengar suara orang dan anak tuli adalah
bahwa anak tuli dirugikan karena tidak bisa mendengar suaranya sendiri maupun suara orang
lain. Suara-suaranya sendiri hanya bisa dirasakan sebagai gerak-gerak urat dan otot daging
mulut. Suara anak tuli tidak seberapa kuat jika dibandingkan dengan suara anak yang tidak
tuli. Suara-suara anak tuli lekas sekali berhenti, meskipun dia tetap mampu merasakan
gerakan mulut dan suara-suaranya waktu sedang mengeluarkan suara itu. Dia merasakan
gerak mulut itu karena adanya rasa akan getaran-getaran organ-organ pembentuk suara, atau
karena dia melihat gerak mulut orang lain dan lalu dia menirukannya. Pada anak tuli ini tidak
ada cukup motivasi agar suara-suaranya bisa berkembang. Hal ini berbeda dengan anak
normal (tidak tuli) yang tercerai dari masyarakat. Dia dapat mengeluarkan suaranya, tetapi
dia tidak pernah mendengar suara (perkataan) orang dari sekeliling anak itu sangat berperan
dalam mengembangkan kemampuan berbicara. Tanpa mendengar suara-bahasa orang
sekeliling tidak mungkin kemampuan berbahasa dapat berkembang.
Jadi, anak terasing karena tidak ada orang yang mengajak dan diajak berbicara, tidak
mungkin dapat berbahasa. Karena dia sama sekali terasing dari kehidupan sosial masyarakat,
maka dengan cepat ia menjadi sama sekali tak dapat berbahasa. Otaknya menjadi tidak lagi
berfungsi secara manusiawi karena tidak ada yang membuatnya atau memungkinkannya
berfungsi demikian. Maka sebenarnya anak terasing, yang tidak punya kontak dengan

79
manusia, bukan lagi manusia, sebab manusia pada hakikatnya adalah makhluk sosial.
Meskipun bentuk badannya adalah manusia tetapi dia tidak bermartabat sebagai manusia.
Otaknya tidak berkembangan sepenuhnya, tidak dapat berfungsi dalam masyarakat manusia,
dan akhirnya menjadi tidak mampu sebagai manusia setelah beberapa tahun. Anak terasing
tidak sama dengan orang primitif, sebab orang primitif masih hidup dalam suatu masyarakat.
Meskipun taraf kebudayaannya sangat rendah, tetapi tetap dalam suatu lingkungan sosial.
Kanak-kanak mempunyai segala kemungkinan untuk menjadi manusia hanya selama masa
kanak-kanak; selepas umur tujuh tahun anak itu tak dapat dididik untuk mempelajari
kebudayaan yang lebih tinggi (Chauchard, 1983 : 68).
Dalam sejarah tercatat sejumlah kasus anak terasing, baik yang diasuh oleh hewan
(serigala) maupun yang “terasingkan” oleh keluarganya. Berikut akan dikemukakan dua
contoh kasus; pertama kasus Kamala, kanak-kanak perempuan yang sampai usia 8 tahun
dipelihara oleh serigala, dan kedua adalah kasus Genie, kanak-kanak Amerika yang sejak
berusia 20 bulan dikucilkan di ruangan kecil dan gelap dengan kaki terikat.
a. Kasus Kamala
Kasus adanya anak manusia yang dipelihara oleh serigala menurut catatan Zingg
sejak tahun 1344 telah ada 31 kasus (dalam Chauchard 1983 : 68). Salah satu di antaranya
adalah Kamala dan adiknya, kanak-kanak perempuan India yang ditemukan oleh seorang
misionaris di Midnapore, India. Mungkinkah seorang anak manusia dipelihara oleh serigala ?
dari kasus Kamala dan kasus-kasus sebelumnya, hal itu bisa saja terjadi. Apalagi di India,
sebab di sana serigala betina tidak seberapa buas dan sudah biasa hidup dengan manusia.
Ketika baru ditemukan Kamala diperkirakan berumur 8 tahun, dan adiknya berumur 2
tahun. Kamala masih bisa hidup sampai 9 tahun kemudian sedangkan adiknya tak lama
setelah ditemukan meninggal. Karena hidup di tengah serigala, ia sangat mirip dengan
serigala. Ia berlari cepat sekali dengan kedua kaki dan tangan; mengaum-aum; lebih sering
bergaul dengan serigala, tidak bercakap satu patah kata pun; dan tidak terlihat adanya mimik
emosi di wajahnya. Sangat sukar untuk mengajar dia berdiri, berjalan, menggunakan tangan;
apalagi bercakap-cakap (sampai dia meninggal tak lebih dari 50 kata yang dipelajarinya). Dia
mencium-cium, dan mengendus-endus makanan. Dia memeriksa segala sesuatu dengan alat
penciuman, mempunyai penglihatan malam yang tajam; dan memiliki pendengaran yang
tajam pula. Dia tidak tersenyum maupun tertawa.
Demikianlah hidup di tengah binatang membuat manusia bukan manusia lagi. Namun,
hal ini membuktikan kemampuan anak manusia dapat menyelaraskan diri hidup dengan

80
serigala secara mengagumkan berbeda halnya dengan binatang yang dijinakkan dan
“dimanusiakan”; binatang tetap tidak dapat mempelajari bahasa manusia yang sebenarnya.
Bagaimana dengan tingkat kecerdasan Kamala ? sampai dia meninggal tingkat
kecerdasannya tidak pernah diketahui, sebab dia tidak pernah dites dengan tes-tes objektif
yang memungkinkan kita mengetahui apakah kecerdasan praktis Kamala yang tak
terbahasakan itu lebih tinggi atau tidak dari kecerdasan seorang anak yang tidak bercakap
(berbicara karena bisu) atau dari seekor kera. Namun, bagaimana pun Kamala tidak dapat
dibandingkan dengan kecerdasan manusia, karena Kamala tidak lagi mempunyai bahasa
batin. Jadi, tidak mempunyai pikiran yang sebenarnya, pikiran yang reflektif (Chauchard,
1983 : 69).
b. Kasus Genie
Kalau lamala terasing dari masyarakat manusia, dan lalu dipelihara atau dibesarkan di
tengah-tengah serigala, maka genie tetap berada dalam “asuhan” orang tuanya, tetapi dengan
cara yang terlepas dari kehidupan manusia yang wajar. Sejak berusia 20 bulan sampai berusia
13tahun 9 bulan Genie hidup terkucil dalam ruang yang sempit dan gelap dalam posisi duduk
dan kaki terikat. Pintu ruangan itu selalu tertutup dan jendela berkelambu tebal. Tidak ada
radio atau televisi di rumah itu, dan ayah Genie membenci suara apa pun, ayahnya tidak
mengizinkannya mendengar suara apapun, dia akan dihukum secara fisik bila membuat suara.
Satu-satunya orang yang sering dijumpai adalah ibunya. Namun, si ibu pun dilarang untuk
tinggal lama-lama dengan Genie saat memberinya makan. Tanpa berbicara apa-apa si ibu
memberi makan Genie dengan selalu tergesa-gesa.
Ketika ditemukan tahun 1970, Genie berada dalam kondisi yang kurang terlibat secara
sosial, primitif, terganggu secara emosional, dan tak dapat berbahasa (berbicara). Dia dikirim
ke rumah anak-anak Los Angeles dengan diagnosis awal sebagai anak yang menderita kurang
gizi yang parah.
Ketika pertama kali mendapat perawatan Genie tidak mampu menggunakan bahasa.
Namun, dari evaluasi perawatan bulan-bulan pertama didapat kesimpulan bahwa Genie
adalah anak yang terbelakang, tetapi perilakunya tidak seperti anak-anak lemah mental.
Meskipun dia mengalami gangguan secara emosional, tetapi dia tidak mengalami gangguan
fisik atau mental yang dapat memperkuat keterbelakangannya. Jadi, keterbelakangannya
adalah karena lamanya tekanan psikososial dan fisik yang dialaminya.
Bagaimana kemampuan berbahasa Genie ? yang jelas ketika ditemukan dia tidak
dapat berbicara, meskipun telah berumur hampir 14 tahun. Untuk mengetahui apakah dia
sudah mengenal bahasa inggris sebelum dikucilkan, kepadanya diberikan serangkaian tes.

81
Dari tes awal dapat diketahui bahwa Genie memahami sejumlah kata-kata lepas yang
diucapkan orang lain, tetapi dia hanya memahami sedikit sekali gairah gramatika. Maka
dalam hal ini tampaknya dia mendapat tugas yang sulit dan rumit, yakni memperoleh bahasa
pertama dengan otak yang sudah masa puber. Namun, kenyataan menunjukkan bahwa Genie
mampu memperoleh bahasa itu meski dalam usia yang sudah melewati masa kritis
pemerolehan bahasa.
Seperti kita ketahui teori sebelumnya mengatakan bahwa otak berada dalam kondisi
paling siap untuk mempelajari bahasa tertentu adalah selama masa kanak-kanak hingga masa
puber, atau seperti kata Lenneberg (1967) antara usia dua tahun sampai masa akil balig.
Namun, di sini Genie yang baru belajar bahasa pertama, setelah masa kritisnya dilalui
ternyata dapat memperoleh kemampuan berbahasa itu. Dalam banyak hal perkembangan
bahasa Genie sama dengan pemerolehan bahasa pertama kanak-kanak yang normal.
Memang terdapat beberapa perbedaan antara bahasa Genie dengan bahasa kanak-
kanak normal. Perbedaaan itu antara lain (fromkin, dkk 1981).
Pertama, kosa kata Genie lebih banyak daripada kosa kata anak-anak normal yang
memiliki kerumitan sama dengan Genie. Genie lebih mudah mengingat daftar kata dari pada
mempelajari kaidah gramatika. Hal ini menunjukkan bahwa pemerolehan bukan hanya
mengacu pada kemampuan menyimpan banyak hal dalam ingatan.
Kedua, Genie tidak dapat membuat kalimat pasif, padahal kanak-kanak normal dapat
menyusunnya sewaktu berumur tiga tahun.
Ketiga, performansi kebahasaan Genie setara dengan kemampuan otak normal anak
yang berusia antara dua sampai dua setengah tahun.
Keempat, kemampuan Genie dalam berbahasa lebih lamban dari pada kemampuan
kanak-kanak normal.
Dari sejumlah tes diperoleh informasi bahwa Genie tidak memiliki fasilitas bahasa
pada hemisfer kiri (sebagaimana disebutkan dalam teori lateralisasi dan lokalisasi Broca dan
Wernicke) melainkan menggunakan hemisfer kanan, baik untuk fungsi bahasa maupun fungsi
non bahasa. Dalam tes menyimak rangkap (dichotic listening) dia mempunyai keunggulan
telinga kiri yang sangat kuat untuk isyarat-isyarat verbal maupun nonverbal. Hasil tes
menyimak rangkap ini memperkuat hipotesis bahwa Genie menggunakan hemisfer kanan
untuk berbahasa. Temuan ini juga memperkuat hipotesis mengenai adanya hemisfer yang
dominan dan yang tidak dominan.
Dari kasus Kamala dan Genie sebagai dua contoh kanak-kanak yang mendapat
kesulitan berbahasa karena terasing dari lingkungannya, memang bisa dilihat adanya satu hal

82
yang sangat berbeda. Kamala terasing dari lingkungan sosial manusia sejak bayi, sehingga
dia tidak lagi mempunyai kemampuan untuk berbahasa. Sedangkan Genie memang terasing
tetapi masih berada dalam lingkungan sosial manusia; maka, meskipun dengan sangat sukar
dia kemudian masih memiliki kemampuan berbahasa meskipun sebagai kemampuan
permulaan.

Latihan:

1. Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan terjadinya gangguan berbahasa pada


seseorang ?
2. Mengapa seseorang dapat mengalami gangguan berbahasa berupa afasia ?
3. Gangguan berbahasa afasia motorik dapat dibedakan menjadi tiga bagian. Jelaskan
jenis-jenis afasia tersebut !
4. Jelaskan , apa yang menjadi penyebab terjadinya gangguan berbahasa afasia
sensorik ?
5. Gangguan pikiran dapat menyebabkan ekspresi verbal. Jelaskan bentuk-bentuk
ekspresi verbal tersebut !

Daftar Pustaka

Dardjowidjojo, Soenjono. 1987. Echa: Kisah Pemerolehan Bahasa Anak Indonesia. Jakarta:
PT Gramedia Widiasarana Indonesia.

Dharmowijono, Widjajanti W & I Nyoman Simpen. Psikolinguistik: Teori Kemampuan


Berbahasa dan Pemerolehan Bahasa Anak. Denpasar: Udayana University Press.

Indah, Rohmani Nur dan Abdurrahman. 2008. Psikolinguistik: Konsep dan Isu Umum.
Malang: UIN-Malang Press.

Subyakto-N, Sri Utari. 1988. Psikoinguistik: Suatu Pengantar. Jakarta: Depdikbud Dirjrn
Dikti.

BAB VI

83
BAHASA DAN PIKIRAN

Standar Kompetensi

 Mahasiswa memiliki pemahaman yang jelas tentang hakikat bahasa dan pikiran, serta
hubungan keduanya

Kompetensi Dasar

 Dapat membedakan antara bahasa dan pikiran


 Dapat menentukan keutamaan antara bahasa dan pikiran

Indikator

 Menjelaskan proses berpikir dalam pandangan psikolinguistik


 Menjelaskan proses berbahasa menurut para psikolinguis
 Membedakan antara bahasa dan pikiran
 Menjelaskan hubungan anatara bahasa dan pikiran

6.1 Pendahuluan

Hubungan antara pikiran dan bahasa adalah satu permasalahan yang mendasar atau
hakiki dalam psikolinguistik. Kita perlu mempertanyakan : (1) lainkah bahasa dari pikiran ;
apakah keduanya merupakan hal yang sama ? ; (2) kalau dua hal itu berbeda, adakah
hubungan di antaranya? ; (3) kalau ada hubungan, manakah yang utama?

Dalam bagian ini, kita mengikuti pendapat para psikolinguis bahwa (1) bahasa dan
pikiran adalah dua hal yang berbeda ; (2) hubungan di antaranya amat erat, (3) dapat
dianggap sebagai dua macam penampilan dari hal atau kegiatan yang sama atau dengan
kiasan “dua sisi dari mata uang yang sama” ; (4) bahasalah yang utama ; dalam arti kita tidak
akan tahu adanya pikiran kalau kita tidak ada bahasa, dan bahwa kita dapat melihat atau
mendengar orang berbahasa tanpa kita tahu bahwa dia berpikir. Oleh karena pendapat
keempat itulah maka kita mengikuti kelompok Yang menyebut manusia sebagai homo
loguens.

Di bawah ini diuraikan juga hubungan yang lain antara bahasa dan pikiran , yang
disebut “hipotesis relativitas kebahasaan”. Hipotesis ini, paling tidak “ versi kuatnya”,
mengatakan bahwa struktur bahasa seseorang menentukan cara berpikir dan berperilakunya.

84
Versi kuat ini disebut juga hipotesis Sapir-Whorf, murid Sapir yang merumuskan versi kuat
itu.

Bahasa dengan otak merupakan tempat dan “pabrik” pikiran itu. Seperti diketahui
bahwa kemampuan bahasa itu dapat disamakan dengan kesanggupan menggunakan isyarat-
isyarat, khususnya ameslan, yang dapat dipelajari seekor simpanse. Telah juga kita pahami
bahwa di dalam otak manusia ada sesuatu bakat atau kesanggupan yang dibawa lahir yang
diberi nama LAD oleh Chomsky.

Di bawah ini akan ditinjau hubungan-hubungan lain dari bahasa dan pikiran, yakni
khususnya hubungannya dengan : (1) kategori-kategori kognitif tertentu dan (2) kategori-
kategori sosial. Kita akan membicarakan juga pengungkapan ( expression,production)
beberapa kategori persepsi, batasan-batasan dalam bentuk bahasa, dan pengaruh bahasa pada
pikiran (seperti dikatakan di atas).

6.2 Kategori-Kategori Kognitif

Cara-cara berpikir manusia sebagai tanggapan terhadap berbagai macam informasi


yang diterimanya melalui berbagai inderanya dan bagaimana dia memprosesnya dalam
pikiran dan membaginya dalam kelompok-kelompok guna penyimpanan (storage) dalam
ingatan dan menemukannya kembali (retrieve) dengan mudah disebut “kategorisasi” .
kelompok-kelompok konsep yang dihasilkan pengolahan pikiran itu disebut “kategori”.
Kategorisasi pengamatan ini adalah dalam bentuk bahasa dan oleh karena itu dapat diteliti
melalui bentuk-bentuk tertentu dalam bahasa.

Oleh karena ada berbagai macam bahasa di dunia ini, maka kita menerima pendapat
bahwa kategorisasi itu bisa juga berbeda-beda. Akan tetapi, terdapat sejumlah kategori yang
“semesta” (universal) sebagaimana ditemukan oleh Greenberg (1996). Sebagian dari
kategori semesta itu dibahas oleh Clark & Clark. Di bawah ini dibicarakan dan menanggapi
sebagian dari penjelasan mereka.

6.2.1 Bilangan (Number)

Kebanyakan bahasa mempunyai cara tertentu untuk mengungkapkan kategori


bilangan yang disebut “tunggal” dan “jamak”, seperti terdapat dalam rumah dan rumah-
rumah; dalam bahasa Inggris: house and houses. Ada bahas yang mempunyai bentuk “dual”
(berdua) yang berarti kira-kira “dua rumah” atau “two-houses” dan sebagainya. Dalam

85
bahasa Inggris dapat kita lihat apa yang boleh dianggap sebagai sisa-sisa konsep dual ini
dalam kata, umpamanya both, yang menjadi unsur dalam sistem this/that yang tunggal, both
yang dual dan all yang jamak. Dalam sistem seperti ini, “jamak” akan berarti bukan “lebih
dari satu” tetapi “lebih dari dua”. Sebagaimana dapat kita ketahui dari buku-buku teks
linguistik (umpamanya, Hockett, op.cit.), ada juga bahasa yang (mempunyai empat kategori
bilangan, yaitu “tunggal”, “dual”, “trial” (= bertiga) dan “plural” (lebih dari tiga).

Kebanyakan bahasa juga membedakan antara bilangan dasar (cardinal numbers),


yaitu: satu, dua, tiga dan seterusnya, dan bilangan urutan (ordinal numbers), yaitu: pertama,
kedua, ketiga, dan seterusnya. Dalam bahasa Indonesia, konsep urutan ini ditandai oleh
awalan ke; jadi, umpamanya, kesepuluh, kedua-puluh satu, dan seterusnya. Dalam bahasa
Inggris, konsep urutan itu diungkapkan dengan akhir –(e) th, seperti dalam sixth, thirtieth,
dan sebagainya.

6.2.2 Peniadaan (Negation)

Salah satu cirri semesta yang ditemukan Greenberg ialah bahwa peniadaan yang
negatif ditandai terhadap yang positif:

Positif x negative

Dalam bahasa Indonesia, kekomplekan negatif itu timbul dengan penambahan bahan
(kata atau morfem) kepada sesuatu kalimat positif (umpamanya: “Ali suka makan mangga”
dibanding dengan “Ali tidak suka makan mangga”), kepada kata benda (umpamanya: “guru”
dibanding dengan “bukan guru”), kata sifat (umpamanya: “cahya” dibanding dengan
“nircahya”; aksara, niraksara; mala (jelek), nirmala (tanpa jelek). Dalam bahasa Inggris lebih
luas lagi; kepada kalimat (umpamanya: “He likes eating manggoes ” lawan “ He doesn’t like
to eat mangoes”) , kepada kata kerja (umpamanya: “fasten” lawan “unfasten”), kata sifat
(umpamanya: “ever” lawan “never”), dan pengganti kata benda (umpamanya: “one” lawan
“none”).

Suatu peniadaan diungkapkan secara lebih kompleks (= dengan menggunakan lebih


banyak morfem), oleh karena diperlukan keterangan tambahan untuk menyatakan bahwa
sesuatu benda/ hal bukan atau tidak dalam suatu keadaan, dibanding dengan menyatakan
bahwa benda/ hal itu dalam suatu keadaan. Warna sesuatubarang tidak akan diperikan
dengan nmenyatakan bahwa barang itu bukan sesuatu warna, umpamanya, bukan biru, hijau,
kuning dan sebagainya. Barang itu akan diperikan dengan mengatakan bahwa warnanya,

86
umpamanya, hitam. Orang biasanya menggunakan pemerian yang positif dan bukan
pemerian yang negatif, supaya informafi itu dapat diberikan sesederhana dan selangsung
mungkin. Hal ini tercermin dalam pengungkapan x bukan hitam sebagai dua preposisi : tidak
benar (hitam (x)). Dalam hal positif , hanya keterangan khusus itu, yaitu hitam, yang
diungkapkan : jadi hitam (x).

Ciri positif dan negatif dapat membagi ranah-ranah atas 2 bagian seperti hijau dan
tidak hijau. Banyak ranah cocok dibagi menjadi dua secara alamiah ; jika demikian halnya
maka rasanya sama saja yang mana yang kita sebut positif dan yang lain negatif.
Umpamanya, ranah “kelamin”, rasanya tidak ada bedanya apa kita sebut “laki-laki” itu
positif atau (+ laki-laki) ; dan “wanita” itu negatif atau (-laki-laki). Sebaliknya, sama saja
hasilnya jika kita sebut “wanita” itu positif atau (+wanita), dan laki-laki itu negatif atau (-
wanita).

Rupanya hampir selalu terdapat suatu asimetri konseptual antara kedua bagian itu ;
namun bahasa akan tetap memperlakukan asimetri sebagai satu bagian positif dan satu
bagian negatif. Ini kelihatan, umpamanya, pada istilah dimensi seperti : tinggi dan rendah ,
atau dalam dan dangkal. Rupanya dalam semua bahasa , kepanjangan dianggap positif, dan
tampa kepanjangan dianggap negatif. Hal ini juga kelihatan pada istilah-istilah (= konsep)
penilaian. baik selalu dianggap dan diungkapkan positif, dan buruk negatif , dan tidak
pernah sebaliknya.

Hubungan antara baik x buruk dan antara positif x negatif adalah amat dekat. Dalam
banyak bahasa, buruk diungkapkan secara eksplisit dengan “tidak baik” atau “tak-baik” .
Boucher dan Osgood (1969) mengamati bahwa dalam berbagai macam bahasa, hampir tidak
mungkin menambahkan awalan atau akhiran negatif kepada penilaian buruk , seperti dalam
bahasa inggris, *unbad, *unsad, dan *unugly. Akan tetapi awalan un- itu sering
ditambahkan pada penilaian baik untuk meghasilkan istilah-istilah dalam bahasa inggris ,
seperti *ungood, *unhappy dan *unbeautiful.

Boucher dan osgoon mencoba mencari keterangan bagi kecenderungan umum itu.
Mereka mengatakan bahwa “orang cenderung melihat dan membicarakan sisi atau segi yang
baik dari kehidupan”. Pendapat ini mereka sebut “hypothesis Pollyanna” (yang merujuk
pada gadis kecil Pollyanna yang melihat dunia melalui kaca mata yang baik, bagus dan
menyenangkan saja ). Implikasi dari teori ini ialah bahwa kata-kata yang positif seprti baik,
akan lebih sering terdapat atau terdengar dalam sesuatu bahasa daripada kata seperti buruk ,

87
tetapi ini tidak menjawab pertanyaan mengapa kata-kata yang “baik” itu diungkapkan secara
positif dan kata-kata yang “buruk” itu secara negatif.

Jawaban yang dikemukakan oleh Clark dan Clark ialah dengan mengusulkan “nosi
kenormalan”. Keadan-keadaan yang normal ditanggapi orang secara positif, sedang
keadaan-keadaan yang abnormal secara negative karena itu tidak memiliki “kenormalan”.

Bierwisch pun mengatakan bahwa kebaikan ditangani orang sebagai keadaan yang
normal, dan keburukan sebagai keadaan yang abnormal. Perhatikan juga bahwa,
umpamanya, susu sapi dalam keadaan yang normal adalah “susu yang baik”, sedang susu
sapi dalam keadaan abnormal adalah “yang telah menjadi buruk atau basi” . jadi,normal
adalah baik dan abnormal adalah buruk, sehingga kebaikan diungkapkan secara positif , dan
keburukan secara negatif. Tampaknya hipotesis kenormalan ini sejalan dengan hipotesis
Pollyanna dan juga pengamatan zajone (1968) zimmer (1964). Perbedaannya ialah bahwa
hipotesis kenormalan ini memberikan alasan mengapa suatu keadaan diungkapkan secara
positif dan yang lain secara negatif.

6.2.3 Sebab dan Akibat

Menurut Greenberg; jikalau suatu bahasa mempunyai ungkapan-ungkapan yang


berbeda kompleksitas kata atau bentuknya untuk “keadaan”, “perubahan keadaan” dan
“sebab perubahan keadaan” seperti dalam ketiga kata bahasa inggris : dead,die, dan kill,
maka keadaan-keadaan itu biasanya diungkapkan dengan kata-kata yang semakin kompleks.
Dalam bahasa Inggris umpamanya, “perubahan keadaan” sering dinyatakan dengan
penambahan satu morfem kepada kata untuk “keadaan”, seperti tampak dalam pasangan
kata : solid dan solidity ; red dan redden ; dan long dan lengthen. Demikian juga halnya
dengan “sebab perubahan keadaan” seperti tampak dalam pasangan kata : sharp and sharpen;
legal & legalize dan large & enlarge. Dalam bahasa Indonesia terdapat juga perbedaan
“kompleksitas”) yang serupa. Untuk “perubahan keadaan” kita melihat pasangan kata: besar
dan membesar; panjang dan memanjang; kuning dan menguning. Seperti dalam bahasa
Inggris dalam contoh-contoh di atas, pasangan kata bahasa Indonesia ini secara gramatikal
terdiri dari dua jenis kata; yakni kata sifat dan kata kerja. Hal serupa saat kita lihat
dalam”sebab perubahan keadaan” (atau “menyebabkan perubahan keadaan”); umpamanya:
resmi & resmikan, panjang & perpanjangan, mati & matikan, jalan & jalankan dan cepat &
percepat.

88
Alasan untuk penggunaan bentuk-bentuk di atas sederhana saja tampaknya. Suatu
“keadaan” adalah lebih sederhana daripada “perubahan keadaan”. Keadaan besar ,
umpamanya, adalah suatu keadaan tetap, sedang membesar menggambarkan ”suatu keadaan
permulaan, suatu keadaan akhir dan perubahan dari keadaan yang pertama ke keadaan yang
kedua”. “menyebabkan atau membuat perubahan keadaan” lebih kompleks lagi. Hal ini tidak
hanya menggambarkan “keadaaan permulaan, akhir dan perubahan dari yang pertama ke
dalam yang kedua”, tetapi juga “suatu peristiwa yang menyebabkan perubahan itu
terjadi.”pertambahan kompleksitas ini kelihatan dengan jelas dalam perumusan fungsi
sebagai berikut:

Besar (x) ; menjadi (besar (x)); dan menyebabkan (y) menjadi (besar (x))).

6.2.4 Waktu

Dalam semua bahasa ada pembedaan antara waktu sekarang, waktu yang lalu dan waktu
yang akan dating. Menurut Greenberg (op. cit), “waktu yang lalu” biasanya ditandai dengan
(=marked) terhadap waktu sekarang, dan waktu yang akan datang. Dalam bahasa Indonesia,
waktu lalu dan waktu yang akan dating sama-sama ditandai dengan kata bantu seperti:
“sudah, pernah, telah” untuk waktu lalu, dan “akan” untuk waktu yang akan datang. Akan
tetapi kalau ada kata keterangan waktu seperti: “kemarin, tadi pagi, tahun yang lalu, besok,
lusa, minggu depan”, dan sebagainya, kata kerja itu tidak perlu ditandai dengan penggunaan
kata bantu. Jadi, dalam lingkungan kata keterangan waktu, penandaan kata kerja untuk waktu
adalah fakultatif (optional).

Dalam bahasa Inggris, waktu yang lalu itu ditandai dengan tambahan moferm –ed, jadi:
call-called, dan call-have called. Waktu akan dating ditandai dengan kata bantu will; jadi:
call-will call. Penandaan ini adalah diharuskan (= obligatory) kedua-duanya: jadi selalu ada,
terlepas dari ada atau tidak-adanya kata keterangan waktu (=adverb of time). Di bawah ini
kita bandingkan bahasa Indonesia dan bahasa Inggris dalam aspek waktu ini:

Bahasa Indonesia:

(a) Tahun lalu saya pergi ke Bali.


(b) Dia sudah pergi ke Bali.
(c) Saya pernah pergi ke Bali.

89
(d) Minggu depan kami pergi (atau kami akan pergi) ke Bali.
(e) Dia akan berangkat ke Bali.

Bahasa Inggris :

(a) I went to Bali last year.


(b) He has gone to Bali.
(c) I have been to Bali.
(d) Next week we will go to t Bali.
(e) He will go to Bali.

Dari contoh-contoh di atas kita lihat bahwa waktu akan datang itu lebih sering ditandai
(diharuskan) dalam bahasa Indonesia, sebab bisa juga ditandai dalam lingkungan kata
keterangan waktu, penandaan waktu lalu pada kata kerja tidak diperlukan, bahkan terasa
“aneh” untuk mengatakan:“* Minggu lalu saya sudah bertemu dengan dia di pasar.” Kalimat
ini bisa diterima jika yang dimaksud ialah penekanan “memang bukan sekarang yang pertama
kali saya bertemu dengan dia di pasar.” Jadi kata bantu “sudah” di sini bukanlah penanda
waktu, tetapi mengungkapkan tekanan atau kontras.
Clark & Clark (op. cit: 540, 541) mengatakan bahwa penandaan kata-kata untuk waktu
lalu dan waktu yang akan datang ini berhubungan dengan pikiran atau kesadaran orang akan
waktu. Yang paling mudah dimengerti ialah waktu sekarang, baru waktu yang lalu, dan yang
paling sukar ialah waktu yang akan datang. Hal ini tercermin dalam tingkat keharusan
penandaan dalam berbagai bahasa, yaitu bahwa penandaan waktu yang akan datang itu lebih
diharuskan daripada waktu yang lalu, seperti dikatakan di atas. Para ahli tersebut di atas
mengutip penjelasan Boyd & Thorne (1969) yang menganggap waktu yang akan datang itu
hipotesis dan lebih jauh dari kenyataan, daripada waktu sekarang dan waktu yang lalu, dan
oleh karena itu lebih sukar dimengerti. Ini juga tercermin dalam urutan perolehan penanda
waktu oleh anak-anak. Rupanya, lebih dahulu diketahui atau dikuasai nosi atau konsep waktu
sekarang (yang diungkapkan dalam bentuk dasar kata kerja), baru waktu lalu dan baru
terakhir waktu yang akan datang.

6.3 Kategori-kategori Sosial


Kategori-kategori sosial berakar pada keadaan hidup manusia sebagai makhluk sosial
dan kultural. Kita akan membaginya dalam empat kelompok kategori, yakni: (1)
perkerabatan; (2) kata ganti orang; (3) ungkapan-sapaan dan (4) kelas sosial.

90
6.3.1 Perkerabatan (kinship)
Hubungan perkerabatan dan istilah-istilah yang dipakai yang mengungkapkan system
perkerabatan itu telah banyak dikaji oleh ahli-ahli antropologi. Tidak terlalu sukar untuk
mengkaji perkerabatan ini, oleh karena seseorang dapat mengumpulkan istilah-istilah yang
digunakan, serta mendaftarkan orang-orang yang dapat dirujuk oleh setiap istilah seperti
dikerjakan oleh Burling (1970). Sebagai contoh kita mengambil istilah uncle , yang dalam
bahasa dan budaya Inggris dapat dipakai untuk merujuk kepada : saudara laki-laki ayah,
saudara laki-laki itu,suami saudara perempuan ayah, dan suami saudara perempuan ibu.
Kalau sudah dibuat daftar rujukan istilah-istilah perkerabatan seperti diatas itu, tidaklah lagi
terlalu sukar membandingkan makna (=rujukan) dari istilah-istilah itu untuk menemukan
konsep-konsep semesta dalam sistem-sistem perkerabatan itu.
Greenberg melakukan perbandingan demikian dan ia menemukan bahwa semua
bahasa membedakan paling sedikit tiga dasar atau prinsip perkerabatan, yakni : generasi,
hubungan darah dan jenis kelamin. Semua bahasa memisahkan generasi ; ada istilah-istilah
yang berbeda antara bapak, kakek, anak dan cucu, tetapi ada juga yang tidak membedakan
antara keempat-empat istilah kakek-nenek (dua dari ayah, dua dari ibu). Semua bahasa
ternyata membedakan kerabat darah dari pihak suami/istri ; seperti dalam bahasa Indonesia
ibu vs ibu mertua ; adik vs adik ipar ; anak vs menantu. Dalam semua bahasa terdapat juga
pembedaan jenis kelamin, paling tidak dalam sebagian istilah perkerabatan, seperti : dalam
bahasa Indonesia ayah vs ibu ; dalam bahasa Batak anak (=anak laki-laki) vs boru (=anak
perempuan), hela (=menantu laki-laki) vs parumaen (=menantu perempuan) dan sebagainya.
Dalam bahasa Inggris sister (kakak atau adik laki-laki) ; son vs daughter, dan sebagainya.
Pada umumnya, bahasa-bahasa memperlakukan kaum kerabat dengan tidak sama;
umpamanya, lebih dipentingkan nenek moyang daripada keturunan; kerabat dekat daripada
kerabat jauh; kerabat darah daripada kerabat jauh; kerabat darah daripada kerabat suami/isteri
dan sebagainya. Pembedaan ini terlihat pada penandaan istilah perkerabatan, dalam banyak
bahasa, istilah yang merujuk pada anak dan keturunan lebih kompleks (terdiri dari lebih
banyak mofrem) daripada istilah yang merujuk pada orang tua dan nenek-moyang lain;
umpamanya: dalam bahasa Indonesia kita ambil kata-kata paman, bibi vs kemenakan (3
moferm). Tetapi hal ini ada pengecualian, seperti: anak dan orang tua.
Namun pola yang tertera di atas itu terlihat dalam kata paman,bibi vs kemenakan
(yang terdiri dari tiga morfem). Mengenai kerabat suami atau istri “ego” (=diri) , dala bahasa
inggris terdapat perbedaan yang jelas, yaitu dengan menambahkan penanda –in-law ;

91
umpanya ; father-in-law, mother-in-law,sister/brother-in-law, dan sebagainya dibandingkan
dengan father,mother,sister ,brother.
Yang juga ada hubungan sedikit dengan pembedaan istilah perkerabatan ialah
pembedaan yang terdapat dalam istilah-istilah yang merujuk pada “petugas” atau “pekerja” ;
dalam banyak bahasa tampak ada pementingan orang laki-laki dibandingkan dengan orang
perempuan , dalam bahasa Inggris,umpamanya, ada penandaan jenis kelamin dengan jelas,
actor (pemeran pria) dan actrees (pemeran wanita) ; dalam drumband ada istilah-istilah
major (pria) dan majo rette (wanita); tetapi ada juga penandaan yang dianggap “netral” yakni
istilah-istilah yang digunakan untuk merujuk pada pria dan wanita . contoh : workman
(pekerja) ; chairman (ketua) ; forefathers (nenek moyang) ;spokesman (“jubir”).
Kita hanya dapat spekulasi , meskipun ada beberapa tulisan dari penulis-penulis
wanita seperti Lakoff (1975); tetapi memang tampaknya “pembedaan kelamin” (sexism) ini
adalah berakar pada masyarakat ; kalau tidak diungkapkan secara eksplisit dalam bentuk
bahasa , dapat juga diungkapkan dalam sikap yang berasal dari pemikiran yang
mendasarinya. Orang laki-laki sering dianggap lebih dominan, dan bahasa-bahasa cenderung
menggunakan istilah-istilah yang lebih sederhana untuk pria daripada untuk wanita, yang
merupakan salah satu realisasi dari sikap tersebut diatas. Kalau kita ambil lagi contoh-contoh
dalam bahasa Inggris, kita melihat ada pembedaan juga dalam dominasi profesi : hakim,
senator, dokter biasanya dianggap pria, sedang perawat, sekretaris, guru dianggap wanita..
oleh karena sikap ini kita melihat penandaan sebagai berikut : judge (pria) – lady-doctor
(wanita) ; sculptor (pria) –woman-sculptor (wanita).
Lakoff menganggap sikap yang dominan daripada pria itu “ male chauvinist ways
and assumptions”. Untuk sedikit meleraikan emosi para wanita di negara-negara barat , salah
satu cara ialah mengganti istilah-istilah yang sudah umum itu dengan istilah-istilah baru,
seperti chairman ( ketua yang bertanda “man” tetapi digunakan untuk merujuk pada pria dan
wanita) menjadi chairperson (kata person tidak bertanda) ; salesman (penjual di took dengan
tanda “man” tetapi sering digunakan untuk merujuk pada pria dan wanita) menjadi
salesperson (tidak bertanda); mankind (manusia secara umum) menjadi humankind. Tetapi
istilah-istilah tersebut ini belum dianggap sahih dan dinilai masih ada konotasi “anti-sexism”
(=anti-pembedaan kelamin).
Oleh karena profesi-profesi seperti juru rawat dan sekretaris itu dianggap profesi
wanita , maka dianggap perlu untuk memberi tanda yang khusus kalau yang menjadi juru
-rawat atau sekertaris itu pria ,yakni : male-nurse, male secretary. Dalam bahasa Indonesia,
pada umumnya, dia atau ia dapat merujuk pada seorang pria atau seorang wanita ; saudara

92
saya dapat merujuk pada saudara laki-laki atau saudara perempuan ; “fore-fathers” adakah
nenek-moyang dan “chariman” adalah ketua.

6.3.2 Kata Ganti Orang

Istilah-istilah perkerabatan timbul dari sistem perkawinan dan keluarga, dan kata ganti
orang memang diperlukan dalam percakapan untuk pembicara (saya) dari orang-orang lawan
bicara (engkau, kamu, saudara, ibu, bapak) dan dari orang ketiga (dia, beliau, mereka).
Sistem kata ganti orang boleh dikatakan sistem yang semsta ; yakni untuk membedakan
antara ketiga peran itu (orang pertama, orang kedua dan orang ketiga) (Greenberg,op. cit).

Secara umum, sistem kata ganti juga membedakan antara bilangan peserta percakapan
(umpamanya : saudara dan saudara sekalian). Clark dan Clark melaporkan bahwa ada bahasa-
bahasa yang mempunyai hanya empat kata ganti (orang),dan ada yang sampai lima belas,
menurut para penulius tersebut diatas, bahasa Inggris mempunyai lima kata ganti (tampa
memasukkan pembedaan jenis kelamin orang ketiga she dan jenis yang netral it) ,yakni :
I,you,he,we,they. Dalam sistem ini, 1 dan he adalah tunggal ; we dan they adalah jamak dan
you tunggal atau jamak ; I dipakai untuk pembicara, you untuk lawan bicara, he dan they
untuk orang ketiga.

Dalam bahasa Indonesia, pengikutsertaan (dan pengecualian) “pembicara “ dan “lawan


bicara” digunakan sebagai kriteria, yang dalam bahasa Inggris tidak demikian halnya. Sistem
dalam bahasa Indonesia dapat digambarkan sebagai berikut, (ada tujuh kata ganti yang tidak
menggunakan pembedaan kelamin sebagai kriteria) :

Tunggal Pembicara Pembicara


Jamak i/s k/s
Lawan bicara Tgl - Engkau
i/s Jamak Kita Kamu
lawan bicara Tgl, Saya Dia
k/s Jmk Kami mereka

Keterangan :

i/s = ikut serta

k/s = dikecualikan

93
Seperti dikatakan di atas, komponen semantik dalam bidang ilmu antropologi analisis
komponen ini dipakai untuk menghubungkan faktor-faktor ekstralinguistik. Jikalau dalam
antropologi analisis komponen ini dipakai untuk menghubungkan faktor-faktor
ektralinguistik kepada bentuk –bentuk bahasa ; dalam psikolinguistik perbedaan dalam istilah
itu dikaitkan dengan cirri-ciri semantic yang berdasarkan pikiran dan persepsi yang berbeda
tentang peranan orang-orang yang terlibat dalam suatu interaksi kebahasaan. Relevansi topik
kata ganti ini (sebagaimana topic perkerabatan dalam bagian diatas) bagi psikolinguistik ialah
bahawa perbedaan istilah-istilah atau kata-kata yang dipakai adalah berkaitan dengan
perbedaan persepsi (= pikiran sebagai hasil tanggapan) atas hal-hal itu dalam interaksi
sosiolinguistik yang juga mengakibatkan perbedaan sikap yang tercermin dalam istilah atau
kata yang berbeda itu.

6.3.3 Kata Sapaan

Berhubungan erat dengan sistem kata ganti orang ialah kata sapaan ,yaitu kata atau
istilah yang dipakai menyapa lawan bicara. kata sapaan yang dipakai orang kepada lawan
bicara erat berkaitan dengan, dan berdasarkan, tanggapan atau persepsinya atas hubungan
pembicara dengan lawan bicara itu. Sapaan itu terdiri atas (1) nama kecil : ali, daulat, tuti,
mary, dan sebagainya. ; (2) gelar : tuan, nyonya, nona, datuk, bung dan sebagainya ; (3)
istilah perkerabatan : bapak, ibu, paman, bibi, kak, adik, dan sebgainya. ; (4) nama
keluarga : (bagi suku bangsa yang mempunyai sistem itu) : warrow,Lim,brown,smith, dan
sebagainya ; (5) nama hubungan perkerabatan dengan nama seorang kerabatnya (disebut
teknonimi) : bapak si ali , ibu si tuti, nenek si sahat dan sebagainya, dan (6) kombinasi dari
yang di atas ; khususnya butir-butir 2+1 ; 3+1 ; dan 3+4. Dari komposisi kombinasi ini
kelihatan bahwa “gelar” dan “nama perkerabatan” dalam hal sapaan ini mempunyai fungsi
yang mirip, yaitu pengelakan penggunaan nama kecil atau nama keluarga saja. Di sini kita
pisahkan kedua sistem itu, oleh karena terdapat perbedaan hubungan dan sikap antara orang-
orang yang terlibat itu.

Sebagai contoh dari pemerian sistem kata sapaan , kita akan mengambil “sapaan dalan
bahasa inggris amerika”, oleh R.Brown dan M.Ford (1961, 1972). Mereka meniliti hanya
sebagian dari sitem sapaan dalam bahasa inggris amerika, yaitu penggunaan (1) nama kecil
(di singkat NK di sini) ; (2) nama keluarga (disingkat KK) ; (3) gelar saja (disingkat G di
sini) dan (4) nama keluarga +gelar (disingkat GKK). Para peneliti itu memperoleh datanya
dari 4 macam sumber data, yakni :

94
(a) Penggunaan kata sapaan di tiga puluh delapan sandiwara yang ditulis oleh dramawan
Amerika dan dipentaskan setelah tahun 1939, yang terkumpul dalam best amerika
plays oleh gasnner ;
(b) Penggunaan nyata dalam suatu perusahaan dagang di Bostton, yang direkam selama 2
bulan ;
(c) Penggunaan yang dilaporkan oleh 34 pegawai eksekutif dalam suatu kursus setahun
di Universitas Massachusetts yang dinamakan MIT ;
(d) Penggunaan yang direkam di Amerika Serikat tengah bagian Barat (Midwest) oleh
Barker and Wright (1954) dari Universitas Kansas.
Kalau kita ambil hanya penggunaan NK dan GNK , hanya tiga pola pasangan
yang mungkin,yakni :
(1) NK dibalas dengan NK (reciprocal) ;
(2) GNK dibalas dengan GNK (=reciprocal)
(3) Pola yang bukan “reciprocal” , di mana seorang menggunakan NK dan lawan
bicaranya menggunakan GNK.

Ketiga pola ini sering terdapat. Dalam penggolongan sapaan ke dalam ketiga kategori
itu, NK mencangkup penggunaan nama kecil lengkap (umpamanya : Robert) ; kependekan
yang lazim (umpamanya Bob), dan bentuk akrab (umpamanya bobbie). Perlu diketahui
bahwa nama kecil (dalam bahasa inggris ) laki-laki jarang dipakai dalam bentuk lengkapnya
(umpamanya : Robert,james atau William) ,tetapi hampir selalu diperpendek (Bob, jim,Bill)
atau diakrabkan (bobbie,jimmy,billy). Nama kecil wanita juga sering diperpendek, tetapi
sering juga dibiarkan utuh (betty-jo, joanne,alice).

Gelar-gelar yang terdapat dalam klasifikasi ini, antara lain : Mr.,Mrs., dan miss,serta
gelar pekerjaan seperti : Dr., senator,major,dan sebagainya. Mereka menemukan 2 pola
resiprokal, yakni saling ber-NK dan saling ber-GNK. Saling ber-GNK ini paling sering
terdapat antara dua orang dewasa yang baru diperkenalkan. Perbedaan antara kedua pola
resiprokal itu adalah terutama berdasarkan tingkat pengenalan dengan pengertian bahwa
tingkat pengenalan untuk saling ber-NK adalah lebih rendah bagi orang-orang muda, dan
juga lebih rendah kalau kedua orang itu sejenis (sama-sama laki-laki atau sama-sama
perempuan).

Pola non-resiprokal terdapat antara seorang dari pasangan itu yang menggunakan NK,
sedangkan orang yang lain menggunakan GNK. Ada dua hubungan yang dapat menghasilkan

95
ini. Yang pertama ialah perbedaan umur : anak-anak memakai GNK kepada orang dewasa
yang menerima NK ;di antara orang dewasa seorang senior yang lebih tua dari pada anak-
anak itu 15 tahun atau lebih, menerima GNK dan menggunakan NK kepada juniornya. Yang
kedua ialah perbedaan status pekerjaan : ini mungkin suatu hubungan bawahan yang
langsung dan berjalan lama(seperti : majikan dan pelayan, majikan dengan karyawan, perwira
dengan prajurit ); atau mungkin juga hubungan bawahan dan atasan yang bersifat sementara,
di mana seorang berada dalam posisi melayani (seperti :pelayan restoran; tukang semir
sepatu dan sebagainya) terhadap langganannya ; atau mungkin juga suatu perbedaan status
pekerjaan (umpamanya senator federal mempunyai status yang lebih tinggi dari anggota
pemadam kebakaran ). Jikalau dimensi keakraban (intimacy) yang mengatur sapaan
resiprokal itu merupakan garis horisontal dalam hubungan sosial.

Makalah Brown dan Ford itu selanjutnya memerikan “gelar tampa nama”, “ nama
keluarga saja” dan “berbagai nama” (yaitu kalau 2 macam versi atau pun lebih dari nama
seorang dipakai silih berganti). Akan tetapi, butir-butir ini tidak akan dibicarakan di sini,
karena waktu dan tempat tidak mengizinkan.

Untuk mengakhiri bagian ini perlu dikatakan bahwa pemakaian bentuk sapaan yang
akrab kepada bawahan , dan bentuk sapaan yang “jauh” kepada atasan terdapat dalam banyak
bahasa. Tampaknya ada di sini diterapkan suatu “aturan” psikolinguistik yang bersumber
pada hubungan sosial penutur. Aturan umum yang tampaknya berlaku juga ialah bahwa
atasan itulah yang menetukan terjadinya atau tidaknya perubahan dalam pola sapaan itu. Ini
mungkin disebabkan oleh kenyataan bahwa kemauan bawahan untuk menerima sesuatu
perubahan dapat dianggap ada, dan bahwa inisiatif seorang atasan tidak akan ditolak oleh
bawahannya, sedang yang sebaliknya tidak selalu terjamin . jadi, setiap langkah baru menuju
keakraban selalu dimulai seorang atasan.

6.4 Pengaruh Bahasa pada Pikiran

Dalam bagian ini akan dibahas suatu pemikiran tentang pengaruh bahasa pada pikiran
seseorang yang masih merupakan suatu hipotesis, dan pembahasan pemikiran dengan
mengambil contoh dari bahasa Indonesia. Pemikiran itu disebut hipotesis relativitas
kebahasaan (linguistic relativity hipothesis) dan bagaimana hipotesis ini terwujud dalam
pembedaan kosa kata dalam bahasa Indonesia.

96
6.4.1 Hipotesis Relativitas Kebahasaan

Suatu topik yang sudah lama menyibukkan ahli-ahli yang mengkaji bahasa dan
pikiran ialah hubungan antara bahasa dan pikiran dan khususnya pengaruh bahasa atas
pikiran. Seperti diketahui bahwa para ahli telah banyak membicarakan pengaruh pikiran pada
bahasa; artinya bahwa perbedaan-perbedaan dalam bentuk bahasa itu kita coba terangkan
dengan persepsi dan pikiran penutur-penutur, hipotesis yang paling terkenal tentang
hubungan pikiran dengan bahasa adalah hipotesis relativitas kebahasaan dari Sapir & Whorf.

Hipotesis ini mengatakan bahwa “bahasa mempengaruhi pikiran”. Menurut Whorf


(1966:213), setiap bahasa memaksa atau memberikan suatu “pandangan dunia” pada
penuturnya. Ia mengatakan bahwa “orang membagi-bagi alam, menyusunnya menjadi
konsep-konsep, dan menilai kepentingannya dengan cara yang sebagian besar disebabkan
oleh karena orang yang telah bersepakat untuk menyusun alam itu demikian; suatu
kesepakatan yang berlaku bagi masyarakat bahasa orang dan yang telah dibukukan atau
termaktub dalam pola-pola bahsa kita. “Whorf mendasarkan pandangannya itu pada
perbandingan bahasa-bahasa Indian-Amerika seperti Hopi, Aztec, Nootka dan Apache.
Menurut dia, pandangan dunia yang dipaksakan bahasa-bahasa Indian-Amerika pada
penuturnya berbeda daru pandangan dunia yang dipaksakan bahasa-bahasa Eropa pada
penuturnya.

Akan tetapi, banyak para ahli, antara lain Clark & Clark yang meragukan versi Sapir
dan Wholf yang dapat disebut “versi kuat” ; apalagi oleh karena banyak bukti-bukti yang
diajukan mereka itu (Sapir dan Whorf) hanya satu-dua kasus yang terpisah-pisah dan kurang
sistematis. Clark dan clark tidak menolak hipotesis ini, tetapi mengajukan suatu “versi
lemah” yang berbunyi : “ada pengaruh struktur bahasa pada cara berpikir orang ; dan
sebaliknya, melalui pikiran orang dapat juga mempengaruhi perilakunya.”

Salah satu contoh pengaruh struktur bahasa pada pemikiran pembicaranya dapat kita
sebut kategori bilangan dalam kata benda. Dalam bahasa Inggris, struktur bahasanya sendiri
memaksa penutur memikirkan dan menentukan apa kata benda itu tunggal atau jamak. Oleh
karena perbedaan tunggal dan jamak erat hubungannya dengan bilangan atau jumlah benda,
orang atau hal yang dirujuk itu, maka pembicara bahasa inggris harus sadar tentang bilangan
rujukan kata benda itu. Dalam bahasa Indonesia pun,bilangan rujukan itu dapat diungkapkan
dengan struktur bahasa (tunggal atau jamak,bahkan bilangannya berapa), akan tetapi
kesadaran akan hal ini tidak begitu kuat dibanding kesadaran dalam bahasa inggris ; dimana

97
setiap saat pembicara harus dengan sabar memilih bentuk yang sesuai dengan bilangan itu.
Ini tentu tidak berarti bahwa orang penutu asli bahasa Inggris lebih pandai berhitung,karena
ini memberikan makna yang terlalu besar kepada kategori struktur bahasa itu. Inilah salah
satu sebab mengapa banyak ahli yang menolak versi kuat dari hipotesis relativitas kebahasaan
itu, dan lebih suka menerima versi lemahnya.

Argumentasi yang serupa dapat kita kemukakan tentang kategori tense (bentuk-
bentuk waktu ) dalam bahasa Inggris dengan pengertian waktu ; atau tentang daftar istilah
warna dan persepsi serta ingatan tentang warna. Menurut pengamatan penulis memang ada
pengaruh struktur bahasa pada pikiran dan sebaliknya; seperti dikatakan pada di atas
pikiran,atau proses mental orang mempunyai pengaruh kepada bentuk dan sistem bahasa
yang dapat dianggap sebagai pencerminan. Kesimpulan kita di sini ialah bahwa hubungan
pengaruh antara bahasa dan pikiran adalah berjalan dua arah .

6.4.2 Pembedaan Kosa Kata

Salah satu bukti lagi bahwa bahasa mempengaruhi pikiran yang ditemukakan Sapir
dan Wholf ialah bahwa : dalam bahasa mungkin terdapat lebih banyak kata dalam suatu ranah
(domain) daripada bahasa lain. Umpamanya ,dalam bahasa Indonesia ada tiga kata untuk kata
rice dalam bahasa Inggris,yakni : padi,beras dan nasi. Boas (1911) memberikan contoh dari
bahsa Eskimo yang memiliki empat kata untuk kata snow (salju), sedangkan bahasa
Indonesia mempunyai satu. Perbedaan ini, menurut versi lemah karena ialah dalam
kehidupan sehari-hari seorang penutur bahasa itu memerlukan sebanyak istilah untuk
membicarakan dengan cepat dan jelas konsep-konsep yang diperlukannya. Orang-orang yang
mempunyai spesialisasi tertentu membutuhkan lebih dari satu kata untuk merujuk pada
detail-detail konsep dalam spesialisasinya dan ini menyebabkan perkembangan atau
pembuatan kata-kata yang khusus untuk dapat dipergunakan dalam komunikasi antara
anggota kelompok seprofesi itu. Sebagai contoh, dalam bahasa Inggris, kelompok tertentu
membedakan kata-kata khusus untuk snow, yaitu : powder, korn,ice,sleet dan sebagainya,
sedang penutur awam bahasa Inggris hanya mempunyai satu,yakni : snow.

Clark dan Clark (op.cit : 555) menyebut penjelasan Bross tentang hal ini yang
diterjemahkan dan disadur oleh penulis sebagai berikut:” bagaimana seorang ahli bedah
mempereoleh pengetahuannya tentang struktur badan manusia? Jawabannya ialah bahwa
sebagian ini diperolehnya dari pengalaman dalam masa pendidikannya. Tetapi yang membuat
pengalaman ini berguna adalah pendidikan pendahuluan dari ahli bedah itu; khususnya

98
kumpulan pengalaman ahli-ahli dari generasi terdahulu, yang disampaikan kepada ahli bedah
itu dalam pelajaran anatomi. Suatu sub-bahasa khusus telah dikembangkan untuk
memberikan struktur-struktur anatomi itu. Ahli-ahli bedah itu harus mempelajari kata-kata
khusus untuk anatomi itu sebelum hal-hal anatomis itu dapat disampaikan kepada mereka
dengan efektif. Jadi, yang menyadari”tindakan efektif” seorang ahli bedah ialah “bahasa yang
efektif”.

Penjelasan Bross ini cukup meyakinkan. Tidak dapat dibayangkan orang dapat
mempelajari bidang-bidang khusus yang dikembangkan untuk bidang itu. Pendidikan anak
menjadi dewasa dapat juga dibandingkan dengan pendidikan ahli bedah di atas. Bahasa tang
didengar mereka adalah hasil pengumpulan pengalaman bergenerasi-generasi manusia (yang
mendahuluinya); dan pengalaman ini diwariskan kepada anak-anak melalui “bahasa dewasa”
itu. Proses ini adalah kumulatif. Belajar kata-kata baru memungkinkan anak-anak
mempelajari bidang-bidang pengetahuan yang baru, dan bidang baru ini akan memungkinkan
mereka mempelajari kata-kata baru dan seterusnya.

6.4.3 Ingatan

Barangkali kita sudah mengetahui bahwa ingatan dan daya ingat dalam hubungannya
dengan apa yang didengar atau dibaca orang; yakni khususnya mengingat kalimat atau kata
yang didengar/dibaca. Dalam bagian ini kita membicarakan secara selayang pandang ingatan
bukan mengenai kalimat atau kata, tetapi hal-hal yang non-linguistik.

Ingatan adalah suatu hal yang paling meyakinkan untuk menunjukkan pengaruh
bahasa pada pikiran. Dalam satu eksperimen yang terkenal yang dilakukan oleh Carmichael,
Hagan dan Walter (1932), para responden ditunjukkan serentetan gambar pensil, masing-
masing diberikan satu atau dua label nama..

Umpamanya: ditunjukkan dengan label “kaca mata” dan “besi angkatan”


(barbell). Ketika para responden kemudian diminta untuk membuat lagi gambar dengan label
“kaca mata” cenderung mengubah gambar yang aslinya, dan menggambarnya menjadi:

Sedang para responden yang melihat gambar yang sama dengan label “besi angkatan”
cendenrung merubahnya menjadi:

99
Ini menyebabkan para peneliti merumuskan apa yang mereka observasi itu sebagai berikut:
“orang mengingat label bersama informasi persepsi dan mengingat kembali gambar yang
telah ditunjukkan sebagian dari label dan maknanya. Pengaruh label itu rupanya ialah
membuat pembedaan yang jelas, dan jikalau diperlukan untuk mengingatnya kembali, label
itu membantu orang yang melihat gambar itu untuk menentukan gambar apa yang telah
dilihatnya itu. Jadi, apa yang digambarkan kembali oleh para responden itu bukanlah gambar
yang mereka lihat sesungguhnya, tetapi ingatan akan label itu (yakni suatu konsep yang
dinyatakan dengan kata) yang menunjukkan pengaruh kata atau konsep pada pikiran
seseorang yang kemudian diungkapkan dalam gambar pensil yang sederhana.

Masih ada beberapa hubungan antara bahasa dan kategori pikiran lain yang dapat
disebut di sini (seperti kategori afektif, etis, dan sebagainya) tetapi pengkajian tentang hal-hal
itu dari sudut pandang psikolinguistik belum memadai untuk dapat dikemukakan dalan suatu
buku pegangan seperti ini. Memang seyogyanya hubungan bahasa dengan kategori-kategori
pikiran seperti diungkapkan di atas itu dikaji, terutama pengaruh timbal-balik yang dapat
terjadi. Tetapi untuk suatu buku pengenalan pada bidang psikolinguistik, apa yang
dibicarakan di atas ini cukup kiranya.

Latihan

1. Apa pengaruhnya ingatan terhadap pikiran ?


2. Coba Anda jelaskan dengan alasan, apakah bahasa yang mempengaruhi pikiran atau
sebaliknya pikiran yang mempengaruhi bahasa ?
3. Bagaimana pendapat Sapir & Whorf tentang bahasa dan pikiran dan apa teorinya ?
4. Bagaimanakah kategorisasi mempengaruhi ingatan menurut Greenberg ?
5. Coba Anda jelaskan, bagaimana sebuah gambar dpat dihubungkan dengan ingatan ?

Daftar Pustaka

Chaer, Abdul. 2003. Psikolinguistik: Kajian Teoritik. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Indah, Rohmani Nur dan Abdurrahman. 2008. Psikolinguistik: Konsep dan Isu Umum.
Malang: UIN-Malang Press.

Sapani, Suardi. Dkk. 1997/1998. Teori Pembelajaran Bahasa. Jakarta: Depdikbud.

100
Subyakto-N, Sri Utari. 1988. Psikoinguistik: Suatu Pengantar. Jakarta: Depdikbud Dirjrn
Dikti.

Tarigan, Henry Guntur. 1984. Psikolinguistik. Bandung: Angkasa.

Tentang Penulis

I Nyoman Sudika, lahir di Tabanan Bali, tanggal 31 Desember 1962, Sarjana Bahasa
dan Sastra Indonesia (S1) diselesaikan di Universitas Udayana (Unud) pada tahun 1987.
Sebelas tahun kemudian memperoleh gelar Magister Humaniora (M.Hum) pada Program
Pascasarjana Linguistik Universitas Udayana Denpasar. Sejak tahun 1989, Ia menjadi staf
pengajar di Program Studi Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia, dan Daerah FKIP
101
Universitas Mataram. Selain itu, Ia juga sebagai instruktur pada Program Pengajaran Bahasa
Indonesia bagi Penutur Asing (BIPA) di Pusat Bahasa Universitas Mataram dan sebagai
Dosen Luar Biasa di Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP
Universitas Muhammadyah Mataram. Saat ini aktif sebagai Ketua Program Studi Pendidikan
Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah FKIP Universitas Mataram. Modul yang pernah disusun
antara lain “Penulisan Karya Ilmiah” (PLPG, 2010), “Keterampilan Berbahasa” (PLPG,
2012).

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadapan Tuhan Yang Mahaesa, karena berkat
rahmat-Nyalah buku ajar ini dapat diselesaikan sesuai dengan rencana. Buku ajar ini disusun
untuk kelengkapan materi dan memudahkan pemahaman materi bagi mahasiswa dalam

102
kegiatan perkuliahan mata kuliah Psikolinguistik pada Program Studi Pendidikan Bahasa,
Sastra Indonesia dan Daerah FKIP Universitas Mataram.
Proses penyelesaian penulisan buku ajar ini berkat kerja keras dari penyusun sendiri
dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, selayaknya dalam kesempatan ini penulis
mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian
buku ajar yang sederhana ini.
Buku ajar ini yang berjudul “Psikolinguistik: Sebuah Pengantar” terdiri atas enam
bab, yaitu: (1) Hakikat Psikolinguistik, (2) Tinjauan Perkembangan Psikolinguistik, (3)
Psikolinguistik Perkembangan, (4) Keuniversalan dan Pemerolehan Bahasa, (5) Gangguan
Berbahasa, dan (6) Bahasa dan Pikiran. Setiap bab dirinci menjadi subbab-subbab. Semua
materi ini buku ajar ini dipetik dari beberapa referensi seperti yang telah tercantum dalam
setiap akhir bab.
Buku ajar ini sudah tentu masih jauh dari sempurna. Untuk itu, sumbang saran dan
kritik dari pembaca sangat penulis harapkan untuk kesempurnaan buku ajar ini. Semoga buku
ajar ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Mataram, November 2013

Penulis

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
BAB I HAKIKAT PSIKOLINGUISTIK 1

103
1.1 Psikologi dan Linguistik 2
1.2 Psikolinguistik 6
BAB II TINJAUAN PERKEMBANGAN PSIKOLINGUISTIK 12
2.1 Ikhwal Psikolinguistik 12
2.2 Pekembangan Psikolinguistik 16
BAB III PSIKOLINGUISTIK PERKEMBANGAN 21
3.1 Proses Pemerolehan Bahasa dan Bahasa Anak 21
3.2 Teori-Teori Pemerolehan Bahasa 22
3.3 Peranan Faktor Bahasa Lingkungan 27
3.4 Gejala-Gejala Bahasa yang Mendukung Teori LAD 33
3.5 Perkembangan Bahasa pada Anak-Anak 33
BAB IV KEUNIVERSALAN DAN PEMEROLEHAN BAHASA 49
4.1 Keuniversalan Bahasa 49
4.2 Pemerolehan Bahasa 52
BAB V GANGGUAN BERBAHASA 67
5.1 Proses Berbahasa 67
5.2 Gangguan Berbahasa 68
BAB VI BAHASA DAN PIKIRAN 84
6.1 Pendahuluan 84
6.2 Kategori-Kategori Kognitif 85
6.3 Kategori-Kategori Sosial 91

iii

BUKU AJAR

104
PSIKOLINGUISTIK
SEBUAH PENGANTAR

Oleh

I NYOMAN SUDIKA

FKIP UNIVERSITAS MATARAM

DESEMBER 2013

DESKRIPSI MATA KULIAH

105
Buku ajar ini diawali dengan pemaparan tentang hakikat Psikolinguistik yang
disajikan pada Bab I, tidak hanya itu mahasiswa diharapkan memiliki wawasan tentang
perkembangan Psikolinguistik yang tertuang dalam Bab II. Sebagai calon guru Bahasa
Indonesia disajikan pula mengenai Psikolinguistik yang membahas tentang pemerolehan dan
perkembangan bahasa anak, yang disajikan pada Bab III.

Keuniversalan bahasa dan pemerolehan bahasa sebagai bagian yang tidak terpisahkan
dari pembelajaran bahasa diuraikan dalam Bab IV. Selanjutnya, pada Bab V dikupas tentang
proses berbahasa dan gangguan berbahasa. Sebagai bab penutup, yaitu Bab VI disajikan
mengenai bahasa dan pikiran, yang membahas hubungan antara bahasa dan pikiran manusia.

TINJAUAN MATA KULIAH

106
Buku ajar ini terkait erat dengan mata kuliah Psikolinguistik yang diprogramkan pada
semester V dengan bobot 2 SKS, sebagai matakuliah keakhlian berkarya (MKB). Buku ini
disusun dalam rangka membantu mahasiswa program studi pendidikan bahasa, sastra
Indonesia, dan daerah dalam memahami konsep dan teori Psikolinguistik.

Agar pemahaman mahasiswa terhadap materi ini baik, terdapat enam materi pokok
yang harus dipelajari, yakni: hakikat Psikolinguistik, perkembangan Psikolinguistik,
Psikolinguistik perkembangan, keuniversalan bahasa dan pemerolehan bahasa, gangguan
berbahasa, dan bahasa dan pikiran.

Dengan mempelajari setiap materi pokok yang tersaji dalam setiap bab secara
saksama, termasuk mengerjakan latihan-latiahan yang diberikan pada setiap babnya,
pemahaman Anda tentang Psikolinguistik diharapkan lebih baik. Selamat belajar !

IDENTITAS MATA KULIAH

107
Mata Kuliah : Psikolinguistik

Kode Mata Kuliah : MKB 313519

Bobot SKS : 2 SKS

Semester :V

108

Anda mungkin juga menyukai