Anda di halaman 1dari 19

INTERPRETASI TUTUR DALAM ANALISIS WACANA

Disusun Oleh : 1. Irvan Pramudia (2113041048)

2. Christina Natalia S. (2113041060)

3. Dwi Rahma Safitri (2113041036)

4. Rizka Aulia Zahra (2113041058)

5. M. Defriza Rizqi R (2113041054)

Kelas : 4B

Kelompok :7

Mata Kuliah : Analisis Wacana

Dosen Pengampu : 1. Dr. Nurlaksana Eko Rusminto, M.Pd.

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

UNIVERSITAS LAMPUNG

2023

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis haturkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas
berkat limpahan rahmat dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan makalah
yang berjudul “Interpretasi Tutur dalam Analisis Wacana” ini dengan baik dan
tepat waktu. Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Analisis
Wacana yang diampu oleh Dr. Nurlaksana Eko Rusminto, M.Pd.
Makalah ini akan membahas interpretasi, penafsiran, atau pandangan
teoretis terkait tuturan dalam wacana. Di dalamnya memuat materi tentang jenis-
jenis tuturan: yang berkaitan dengan kelangsungan–ketidaklangsungan tuturan
dan keliteralan–ketidakliteralan tuturan, analisis cara tujuan yang berkaitan
dengan pemecahan masalah (berorientasi pada cara dan tujuan) yang ada dalam
tuturan, serta analisis heuristik. Disajikan juga beberapa contoh penerapan,
analisis, dan perbandingan untuk mempermudah pembaca dalam memahami
interpretasi tutur dalam wacana secara lebih maksimal.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan. Oleh
karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun
untuk memperbaiki makalah ini sekaligus menjadi acuan untuk penyusunan
makalah-makalah selanjutnya.

Bandarlampung, 16 April 2023

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................................i
DAFTAR ISI....................................................................................................................ii
DAFTAR TABEL...........................................................................................................iii
BAB I.................................................................................................................................1
1.1 Latar Belakang.......................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah..................................................................................................1
1.3 Tujuan.....................................................................................................................1
BAB II...............................................................................................................................2
2.1 Kelangsungan dan Ketidaklangsungan Tuturan.................................................2
2.2 Keliteralan dan Ketidakliteralan Tuturan...........................................................5
2.2.1 Tindak Tutur Literal (Literal Speech Act).....................................................5
2.2.2 Tindak Tutur Tidak Literal (Nonliteral Speech Act)....................................6
2.2.3 Tindak Tutur Langsung Literal (Direct Literal Speech Act).........................6
2.2.4 Tindak Tutur Tidak Langsung Literal (Indirect Literal Speech Act)...........7
2.2.5 Tindak Tutur Langsung Tidak Literal (Direct Nonliteral Speech Act)........8
2.2.6 Tindak Tutur Tidak Langsung Tidak Literal (Indirect Nonliteral Speech
Act)............................................................................................................................8
2.3 Analisis Cara Tujuan (Mean-Ends)....................................................................11
2.4 Analisis Heuristik.................................................................................................13
2.3.1 (…)..................................................................................................................13
2.3.2 (…)..................................................................................................................13
2.3.3 (…)..................................................................................................................13
BAB III............................................................................................................................14
3.1 Kesimpulan...........................................................................................................14
3.2 Saran.....................................................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................15

ii
DAFTAR TABEL

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


1.2 Rumusan Masalah


1. Apa yang dimaksud dengan kelangsungan dan ketidaklangsungan tuturan?
2. Apa saja klasifikasi tuturan langsung dan tidak langsung?
3. Apa yang dimaksud dengan keliteralan dan ketidakliteralan tuturan?
4. Apa saja klasifikasi keliteralan dan ketidakliteralan tuturan dalam wacana?
5. Apa yang dimaksud dengan analisis cara tujuan (mean-ends) dan
penerapannya?
6. Apa yang dimaksud dengan analisis heuristik dalam wacana dan
penerapannya?

1.3 Tujuan
1) Menjelaskan pengertian dan konsep kelangsungan dan
ketidaklangsungan tuturan.
2) Menjelaskan klasifikasi tuturan langsung dan tidak langsung.
3) Menjelaskan pengertian dan konsep keliteralan dan ketidakliteralan
tuturan.
4) Menjelaskan klasifikasi keliteralan dan ketidakliteralan tuturan dalam
wacana.
5) Menjelaskan pengertian, konsep, dan contoh dengan analisis cara tujuan
(mean-ends).
6) Menjelaskan pengertian, konsep, dan contoh analisis heuristik dalam
wacana.

1
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Kelangsungan dan Ketidaklangsungan Tuturan


Djajasudarma (dalam Nurlaksana, 2015) mengemukakan bahwa tindak tutur
langsung merujuk pada ucapan yang diungkapkan secara jelas dan mudah
dimengerti oleh mitra tutur, sementara tindak tutur tidak langsung lebih cenderung
memiliki makna yang bergantung pada konteks dan situasi yang ada.

Ada dua aspek utama yang berkaitan dengan kelangsungan dan


ketidaklangsungan suatu tuturan, yaitu masalah bentuk dan masalah isi tuturan.
Masalah bentuk tuturan terkait dengan cara untuk mencapai tujuan ilokusi.
Sementara itu, masalah isi berkaitan dengan tujuan yang terkandung dalam ilokusi
tersebut. Apabila tujuan ilokusi sama dengan makna yang diekspresikan maka
tuturan tersebut sebagai tuturan langsung. Sebaliknya, jika tujuan ilokusi berbeda
dengan makna yang diekspresikan, maka tuturan tersebut disebut sebagai tuturan
tidak langsung.

Contoh:

(1) Aku minta hidupkan AC.


(2) Di sini panas, ya.

Contoh (1) dan (2) menunjukkan perbedaan dalam segi bentuk. Namun,
kedua ilokusi tersebut memiliki kesamaan dalam isi, yaitu meminta hidupkan AC.
Meskipun demikian, tuturan pada contoh (1) lebih langsung dibandingkan contoh
(2).

Untuk menilai kelangsungan dan ketidaklangsungan sebuah tuturan,


terdapat beberapa cara yang dapat ditempuh. Blum-Kulka (dalam Nurlaksana,
2015) mengatakan bahwa daya pragmatik suatu tuturan dapat digunakan untuk
menilai kelangsungan atau ketidaklangsungan suatu tuturan. Dua cara yang dapat
dinilai untuk menilai kelangsungan dan ketidaklangsungan sebuah tuturan
berdasarkan daya pragmatik (1) dengan melihat tingkat kesulitan kognitif dari

2
sebuah tuturan dan (2) dengan mengidentifikasi implikatur dari percakapan yang
terkait dengan tuturan tersebut.

Cara pertama terkait dengan aspek metapragmatik dan lebih cocok


diterapkan dalam sudut pandang psikolinguistik. Sementara itu, cara kedua terkait
dengan aspek pragmatik.

Nurlaksana (2015) mengemukakan dengan mengidentifikasi implikatur dari


percakapan, kelangsungan dan ketidaklangsungan sebuah tuturan dapat dilihat
sebagai garis rentang yang memiliki dua kutub. Kutub paling kiri mewakili
tuturan yang paling langsung, sedangkan kutub paling kanan mewakili tuturan
yang paling tidak langsung. Diantara kedua kutub tersebut terdapat suatu titik
tengah yang dapat disebut sebagai tuturan berpagar.

Leech (dalam Nurlaksana, 2015) mengemukakan bahwa skala


ketidaklangsungan dapat digunakan untuk mengukur kelangsungan dan
ketidaklangsungan sebuah tuturan. Skala ini dapat dilihat dari dua sudut pandang,
yaitu sudut pandang penutur dan sudut pandang mitra tutur. Sudut pandang
penutur menilai kelangsungan dan ketidaklangsungan sebuah tuturan berdasarkan
jarak antara tindak ilokusi dengan tujuan ilokusi yang ingin dicapai, yaitu strategi
ilokusi yang digunakan oleh penutur untuk mencapai tujuan ilokusi. Di sisi lain,
sudut pandang mitra tutur berdasarkan jarak yang harus ditempuh oleh mitra tutur
untuk merekontruksi langkah demi langkah dalam memahami sebuah tindak
ilokusi. Oleh karena itu, Leech menganggap bahwa kedua sudut pandang tersebut
memiliki banya kesamaan dan tidak perlu dibedakan dalam pembahasan tentang
kelangsungan dan ketidaklangsungan sebuah tuturan.

Sejalan dengan pendapat Leech, Gunarwan (dalam Nurlaksana, 2015)


mengemukakan bahwa derajat kelangsungan sebuah tuturan dapat diukur
berdasarkan jarak antara “titik ilokusi” di benak penutur dan “titik tujuan ilokusi”
di benak mitra tutur. Jatrak tersebut dapat digambarkan sebagai garis yang
menghubungkan kedua titik tersebut.

3
Dalam gambar di atas, jarak terdekat antara titik (1) dan titik (2)
diilustrasikan sebagai sebuah garis lurus a, yang menunjukkan tuturan paling
langsung. Di sisi lain, tuturan tidak langsung digambarkan dengan sebuah garis
putus-putus yang menghubungkan titik (1) dan titik (2). Garis putus-putus ini
melibatkan langkah-langkah tambahan a’ dan b’ atau bahkan lebih a, b’, dan c’
untuk menghubungkan kedua titik tersbut.

Dengan lebih rinci Wijana (dalam Nurlaksana, 2015) mengklasifikasikan


tindak tutur ke dalam delapan kategori yang ia sebut “modus tindak tutur”.
Modus-modus ini termasuk: (1) modus langsung, yang mencerminkan kesesuaian
antara tuturan dan tindakan yang diharapkan, seperti tuturan deklaratif untuk
memberitahu, tuturan introgatif untuk bertanya; (2) modus tidak langsung, yang
mencerminkan ketidaksesuaian antara tuturan dan tindakan yang diharapkan
dengan tujuan lebih sopan, seperti tuturan introgatif untuk memerintah; (3) modus
literal, yang mencerminkan kesesuaian makna literal tuturan dengan tindakan
yang diharapkan; (4) modus tidak literal, yang mencerminkan ketidaksamaan
makna literal tuturan dengan tindakan yang diharapkan, seperti “Kelas ini sangat
tenang ya,” padahal sebenarnya sangat berisik; (5) modus langsung literal, yang
diucapkan dengan bentuk tidak sesuai dengan tindakan yang diharapkan tetapi
antara makna literal dan tindakan yang diharapkan terdapat kesamaan, seperti
“pakaianmu kotor” untuk menunjukkan pakaian yang memang kotor tetapi juga
untuk meminta agar dibersihkan; (7) modus langsung tidak literal, yang
diungkapkan dengan bentuk tuturan yang sesuai dengan tindakan yang diharapkan
tetapi makna literal tuturan tidak sesuai dengan tindakan yang diharapkan, seperti
“Suaramu bagus kok” untuk memberitahu dengan makna literal yayng

4
bertentangan; (8) modus tidak langsung tidak literal, yang diungkapkan dengan
bentuk dan makna literal yang tidak sesuai dengan tindakan yang diharapkan,
seperti “Halaman ini bersih sekali,” yang merupakan tindak tutur deklaratif untuk
memerintah dengan makna literal yang menunjukkan kebalikan.

Djajasudarma (dalam Nurlaksana, 2015) mengemukakan hal yang berbeda


dengan Wijana, ia mengklasifikasikan tindak tutur menjadi dua jenis yang lebih
sederhana, yaitu tindak tutur langsung dan tidak langsung. Tindak tutur langsung
adalah tindak tutur yang menunjukkan fungsinya secara langsung dan literal, yaitu
ucapan yang sesuai dengan kenyataan. Ada dua cara untuk mengekspresikan
tindak tutur langsung, yaitu dengan ucapan situasional yang sesuai dengan
kenyataan, dan dengan menggunakan frasa verba sebagai tindak ujar. Sedangkan
tindak tutur tidak langsung adalah tindak tutur yang disampaikan dengan bentuk
lain dan tidak literal (tidak sesuai kenyataan) untuk memperhalus, mengindari
konflik, dan menjaga agar komunikasi tetap menyenangkan.

2.2 Keliteralan dan Ketidakliteralan Tuturan


Wijana (dalam Razak, dkk., 2022) mengklasifikasikan tindak tutur menjadi
beberapa jenis berdasarkan konteks atau kesesuaian masud pembicara dengan
kata-kata yang menyusunnya. Klasifikasi tersebut di antaranya tindak tutur literal
dan nonliteral. Karena memiliki keterkaitan dengan tindak tutur langsung dan
tidak langsung, maka pembagian ini berkembang jenisnya menjadi tindak tutur
langsung literal, tindak tutur tidak langsung literal, tindak tutur langsung tidak
literal, dan tindak tutur tidak langsung tidak literal. Berikut adalah penjelasan
bentuk-bentuk tindak tutur menurut Wijana.

2.2.1 Tindak Tutur Literal (Literal Speech Act)


Tindak tutur literal merupakan tindak tutur yang memiliki maksud sama
dengan kata-kata yang menyusunnya. Artinya, maksud tuturan dapat
langsung dipahami dari kesesuaian konteks dengan tuturannya dan tidak ada
maksud lain di luar tuturannya tersebut.

5
Konteks: Feli berkunjung ke rumah Shafa untuk mengerjakan tugas bersama.
Mereka mengerjakan tugas di kamar Shafa yang tertata rapi dan bersih.

Tuturan: “Wah, Shafa, kamarmu rapi sekali!”

Analisis: maksud tuturan Feli menyatakan pujian atau hanya berniat untuk
mengungkapkan kekaguman dan mengapresiasi usaha Shafa menjaga kebersihan
dan kerapian kamarnya.

Modus: tuturan Feli sesuai dengan makna tuturan yang disampaikan. Oleh karena
itu, tuturan ini termasuk tindak tutur literal.

2.2.2 Tindak Tutur Tidak Literal (Nonliteral Speech Act)


Tindak tutur tidak literal (nonliteral speech act) adalah tindak tutur yang
maksudnya tidak sama atau berlawanan dengan makna kata-kata yang
menyusunnya.

Konteks: Feli berkunjung ke rumah Shafa untuk mengerjakan tugas bersama.


Mereka mengerjakan tugas di kamar Shafa. Namun, saat itu kamar Shafa sangat
berantakan dan belum dibersihkan

Tuturan: “Kamarmu sangat rapi, Shafa, hahaha.”

Analisis: maksud tuturan Feli ingin menyatakan bahwa kamar Shafa sangat
berantakan dan kotor, namun ia menuturkan bentuk yang berlainan dengan
maksud yang hendak disampaikannya itu.

Modus: tuturan Feli berlawanan dengan maksud yang ingin disampaikannya


sehingga tuturan tersebut termasuk tindak tutur tidak literal.

2.2.3 Tindak Tutur Langsung Literal (Direct Literal Speech Act)


Tindak tutur langsung literal (direct literal speech act) adalah tindak tutur
yang diutarakan dengan modus tuturan dan makna yang sama dengan
maksud pengutaraannya. Modus tuturan adalah pengungkapan (Ardianto,
2022) atau cara yang digunakan penutur untuk mengungkapkan suatu
maksud kepada mitra tuturnya.

Konteks: Dalam suatu rapat, ketua rapat berkata pada bendahara untuk
menyiapkan beberapa berkas keuangan yang akan digunakan untuk presentasi 6
keesokan harinya.

Tuturan: “Mohon disiapkan laporan keuangan untuk presentasi besok pukul 7


2.2.4 Tindak Tutur Tidak Langsung Literal (Indirect Literal Speech Act)
Tindak tutur tidak langsung literal (indirect literal speech act) adalah tindak
tutur yang diungkapkan dengan modus kalimat yang tidak sesuai dengan
maksud pengutaraannya, tetapi makna kata-kata yang menyusunnya sesuai
dengan apa yang dimaksudkan penutur. Tindak tutur tidak langsung literal
terjadi ketika pesan yang ingin disampaikan tidak disampaikan secara
langsung atau harfiah, melainkan menggunakan kata-kata yang lebih sopan
atau halus. Makna pesan dalam tindak tutur ini dipahami secara tersirat dari
ungkapan yang digunakan.

Konteks: Seorang tamu yang tidak diundang datang ke sebuah pesta. Si tuan
rumah menyambutnya.

Tuturan: “Oh, kamu datang juga. Aku tidak tahu bahwa kamu ingin datang, tapi
selamat datang.”

Analisis: Dalam situasi ini, tuan rumah sebenarnya tidak nyaman dengan
kehadiran tamu yang tidak diundang tersebut, namun tidak ingin menunjukkan
ketidaknyamanannya secara langsung. Oleh karena itu, tuan rumah menyapa tamu
tersebut dengan tuturan yang lebih sopan.

7
2.2.5 Tindak Tutur Langsung Tidak Literal (Direct Nonliteral Speech
Act)
Tindak tutur langsung tidak literal (direct nonliteral speech act) adalah
tindak tutur yang diutarakan dengan modus kalimat yang sesuai dengan
maksud tuturan, tetapi kata-kata yang menyusunnya tidak memiliki makna
yang sama dengan maksud penuturnya.

Konteks: Farel menemui Adi untuk meminta saran tentang pekerjaannya. Farel
menceritakan tentang kesulitannya membangun kerja sama, rasa tanggung jawab,
dan motivasi bekerja anggota timnya yang suka kabur-kaburan dalam
mengerjakan proyek.

Tuturan: “Menurutku, kamu sudah cukup pintar untuk menyelesaikan masalah


ini sendirian.”

Analisis: Ucapan Adi, yang menyatakan bahwa Farel bisa menyelesaikan


masalah ini sendiri tanpa perlu meminta saran atau bantuan orang lain. Namun,
sebenarnya Adi tidak ingin mmeberikan saran atau membantu Farel
menyelesaikan masalah tersebut. Jadi, tuturan Adi dimaksudkan untuk menolak
memberikan tanggapan atau saran untuk Farel secara halus dan tidak langsung.

2.2.6 Tindak Tutur Tidak Langsung Tidak Literal (Indirect Nonliteral


Speech Act)
Tindak tutur tidak langsung tidak literal (indirect nonliteral speech act)
adalah tindak tutur yang diutarakan dengan modus kalimat dan makna
kalimat yang tidak sesuai dengan maksud yang hendak diutarakan. Jadi
makna pesan oleh penutur tidak dikodekan dalam ucapan yang digunakan
dan tidak sesuai dengan makna harfiah dari kata-kata tersebut.
Konteks: Ruang kelas yang ricuh, beberapa siswa melakukan keributan di dalam
kelas. Guru yang sedang melakukan tanya jawab dengan salah satu siswa tidak
dapat mendengar suara siswa tersebut.

Tuturan: “Nak, suaramu terlalu pelan, tidak kedengaran.”

Analisis: maksud tuturan guru tersebut adalah menyindir siswa lain yang
menciptakan keributan dan membuat kegiatan belajar mengajar tidak kondusif.
Guru ingin menyampaikan bahwa situasi kelas ramai dan kurang kondusif
sekaligus menyuruh siswa lain agar mengecilkan volume suaranya atau
menghentikan keributan yang ada untuk fokus pada pelajaran.

8
Untuk memudahkan pemahaman mengenai tipe-tipe tindak tutur, perhatikan
tabel perbandingan di bawah ini.

Tabel 1. Perbandingan tipe tindak tutur


No. Tindak Tindak Tindak Tindak Tindak Tindak
Tutur Tutur Tutur Tutur Tutur Tutur
Literal Tidak Langsung Tidak Langsung Tidak
Literal Literal Langsung Tidak Langsung
Literal Literal Tidak
Literal
1. Makna Makna Makna Makna Makna Makna
yang yang yang yang yang yang
disampai- disampai- disampai- disampai- disampai- disampai-
kan oleh kan oleh kan oleh kan oleh kan oleh kan oleh
kata/ kata/ kata/ kata/ kata/ kata/
kalimat kalimat kalimat kalimat kalimat kalimat
sesuai tidak sesuai secara berbeda tidak
dengan sesuai dengan tidak dengan langsung
makna dengan makna langsung makna atau
harfiah- makna harfiahnya, atau harfiahnya, implisit,
nya. harfiahnya. dan implisit, tetapi dan
tindakan tetapi masih berbeda
yang masih diucapkan dengan
diucapkan sesuai secara makna
langsung dengan langsung. harfiahnya.
diarahkan makna.
kepada
lawan
bicara.
2. Untuk Untuk Untuk Untuk Untuk Untuk
memberi- memberi- memper- memberika menyata- memberi
kan kan kesan halus atau n kesan kan kesan
informasi yang lebih memper- atau penolakan khusus,

9
secara kuat atau suasif mengekspr atau menunjukk
jelas dan menggamb komunikasi esikan maksud an perasaan
tepat. arkan agar suatu ide lain secara atau emosi
sesuatu terlihat dengan tidak tanpa
dengan lebih sopan lebih langsung terlihat.
cara yang dan tidak kreatif dan demi
lebih menggang- menarik. mengungka
menarik. gu perasaan pkan
pihak lain. makna
yang lebih
dalam atau
untuk
menghinda
ri kejelasan
dalam
komunikasi
(terhadap
partisipan
yang tidak
diinginkan)
.
3. Situasi Situasi Negosiasi Percakapan Percakapan Situasi
formal, informal, permohon- sehari-hari, sehari-hari. formal/
resmi, komunikasi an komunikasi resmi yang
presentasi di media di sosial menjun-
, dll. sosial media. jung
prinsip
kebijak-
sanaan dan
kesantunan
dalam
berkomuni

10
kasi.

2.3 Analisis Cara Tujuan (Mean-Ends)


Penutur menghadapi masalah dalam merencanakan tuturan saat terlibat
dalam sebuah peristiwa tutur. Masalah tersebut adalah bagaimana penutur dapat
mengubah atau mempertahankan keadaan mental mitra tuturnya, dan penutur
perlu mengetahui apa yang harus diucapkan agar tujuannya tercapai.
Dalam hal ini, penutur dapat menggunakan analisis cara-tujuan (means-
ends) yang mencakup keadaan awal sebagai masalah, keadaan pertengahan, dan
keadaan akhir sebagai tujuan yang ingin dicapai oleh penutur untuk mengatasi
masalah melalui cara-cara yang tersusun dalam rangkaian antara masalah dan
tujuan. Leech dalam Rusminto (2015) memberikan contoh yang jelas mengenai
hal tersebut seperti yang tertera pada gambar berikut:

Keterangan
1 = keadaan awal (periutur merasa dingin) 2 = keadaan tengahan (mitra tutur
mengerti bahwa penutur merasa dingin)
3 = keadaan tengahan (mitra tutur mengerti bahwa penutur ingin alat
pemanas dinyalakan)
4 = keadaan akhir (penutur merasa hangat)

11
G = tujuan (goal), yakni untuk mencapai keadaan 3
Gps = tujuan untuk mematuhi PS
Gpk = tujuan untuk mematuhi PK
G’ = tujuan-tujuan lain
a = tindakan penutur menyatakan kepada mitra tutur bahwa udaranya sangat
dingin
b = tindakan penutur berupa tuturan kepada mitra tutur agar alat pemanas
dinyalakan
c = tindakan mitra tutur menyalakan alat pemanas

Untuk menyederhanakan atau memperluas gambaran analisis cara-tujuan


yang mencakup keadaan-keadaan tengah, termasuk sasaran-sasaran dan tujuan-
tujuan sekunder serta kondisi-kondisi yang lebih kompleks dalam mencapai
tujuan akhir sebuah tuturan, keterangan-keterangan pada gambar tersebut dapat
diubah atau ditambahkan sesuai kebutuhan. Keterangan pada gambar tersebut
menjelaskan empat keadaan yang meliputi keadaan awal di mana penutur merasa
dingin, keadaan tengah di mana mitra tutur mengerti bahwa penutur merasa dingin
dan ingin alat pemanas dinyalakan, serta keadaan akhir di mana penutur merasa
hangat. Selain itu, terdapat juga tiga tujuan yang mencakup tujuan untuk mencapai
keadaan 3, yaitu (Gps) tujuan untuk mematuhi PS dan (Gpk) tujuan untuk mematuhi
PK, serta tujuan-tujuan lain (G’). Tindakan-tindakan yang dilakukan adalah
penutur menyatakan kepada mitra tutur bahwa udaranya sangat dingin (a), penutur
meminta agar alat pemanas dinyalakan (b), dan mitra tutur menyalakan alat
pemanas (c).

2.4 Analisis Heuristik


Dalam analisis sebuah wacana, terdapat teknik yang bisa digunakan untuk
menelaah suatu wacana yaitu teknik analisis heuritik. Analisis heuristik menurut
Leech (1993:61) adalah analisis yang diawali dengan problema kemudian
didukung dengan latar belakang konteks kemudian mitra tutur memberikan
hipotesis tujuan atau maksud.

12
Analisis heuristik dalam pengujiannya dilakukan sampai betul-betul
menemukan kesusaian dengan konteks yang melatar belakanginya. Hipotesis akan
diuji kebenarannya, bila hipotesis sesuai dengan bukti-bukti kontekstual yang
tersedia,maka dipastikan pengujian tersebut dapat diterima. Sebaliknya, bila
pengujian hipotesis tidak sesuai dengan bukti-bukti kontekstualnya, maka proses
bisa diulang sampai mendapatkan hipotesis yang dapat diterima.

Contoh :

D : “Aduh, perut aku sakit!” Dandi tanggung jawab dong.”

D : “Lah kok, Susi?

D: “Ya, gara – gara Dandi, aku jadi gak bisa tidur.”

Peristiwa tutur terjadi malam hari ketika Defriza pulang dari Mushola untuk
melaksanakan shalat Tarawih. Kebiasaan Defri setelah pulang Tarawih adalah
makan. Ketika Defri baru saja menyelesaikan makannya, Dandi pun ikut makan.
Karena melihat menu yang dimakan oleh Dandi berbeda, Defri pun ikut makan
lagi.

Data diatas merupakan tindak asertif mengeluh. Hal ini tampak pada tuturan
Defri yang mengeluhkan perutnya sakit. Kata aduh pada tuturan (2) sebagai
penanda bahwa tuturan tersebut merupakan tuturan mengeluh. Hal ini terjadi
karena Defri kekenyangan makan.

Konteks kedua bisa jadi Dandi membuatkan makanan kepada Defri, namun
makanannya ternyata terlalu pedas sehingga membuatnya sakit perut hingga tidak
bisa tidur.

13
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

3.2 Saran

14
DAFTAR PUSTAKA

Rusminto, N.E. (2015). Analisis Wacana; Kajian Teoritis dan Praktis.


Yogyakarta: Graha Ilmu.
Ardianto. 2022. Kekerasan Simbolik dalam Wacana Interaksi Kelas (Pertama).
Yogyakarta: Penerbit Lakeisha.
https://www.google.co.id/books/edition/KEKERASAN_SIMBOLIK_DALA
M_WACANA_INTERAKS/LpCkEAAAQBAJ?hl=id&gbpv=0

Razak, N. K., Hamsa, A., dan Syamsudduha. 2022. Pragmatik Berbasis Blended
Learning (Pertama). Sumatera Barat: Penerbit LPP Balai Insan Cendekia.
https://www.google.co.id/books/edition/Pragmatik_Berbasis_Blended_Learn
ing/jOqxEAAAQBAJ?hl=id&gbpv=0

15

Anda mungkin juga menyukai