Anda di halaman 1dari 6

Jatukrami di Pasundan

Oleh: Deri Firman, M. Humi.

Pernikahan pada banyak budaya dianggap sebagai suatu peristiwa yang agung dan sakral. Hal tersebut
terbukti dengan bermacam-macamnya tradisi pernikahan dari banyak suku bangsa yang ada di dunia.
Peristiwa tersebut merekam kekayaan batin sebuah bangsa dengan nilai-nilai agung budaya dan agama
yang dianut oleh masyarakatnya. Termasuk pada budaya Sunda, pernikahan dianggap sesuatu hal yang
agung dan sakral yang dibalut oleh nilai-nilai budaya serta agama untuk mengiring jalan kabahagiaan
bagi kedua insan yang akan memasuki kehidupan rumah tangga.

Pernikahan di tatar Sunda bukan hanya melambangkan pertautan hati di antara kedua mempelai,
melainkan juga mempertautkan kedua keluarga dalam sebuah ikatan yang erat yaitu silaturahim. Ada
beberapa tahapan dalam pernikahan di Pasundan ini, setiap tahapan ini memiliki banyak makna yang
mendalam bagi kedua mempelai hingga keduannya kelak diresmikan pernikahannya melalui prosesi ijab
kabul. Dalam perkembangan masa kini beberapa prosesi pernikahan dianggap sudah tidak relevan lagi
sehingga tidak lagi dilaksanakan, namun beberapa diantaranya masih bertahan hingga hari ini.

Tahapan pertama dalam jatukrami di Pasundan biasanya dimulai dengan hahadéan. Tradisi hahadéan ini
merupakan tahap dimana kedua muda-mudi mulai mengenal lebih dekat atau pada masa kini disebut
berpacaran. Pada tahap ini muda-mudi yang sudah cukup umur memulai memikirkan pada jenjang
selanjutnya yaitu pernikahan, termasuk memohon restu orang tua untuk dapat segera melangsungkan
pernikahan. Orang tua pada tahap ini akan menimbang calon yang layak bagi putra-putrinya yang kelak
akan dinikahkan, menghitung bibit, bebet, bobot agar kedua pasangan yang kelak menikah
mendapatkan pasangan yang nurub cupu atau sesuai dengan segala nilainya.

Setelah menimbang melalui banyak pertimbangan, tahap selanjutnya merupakan prosesi neundeun
omong. Tahapan ini merupakan dimana orang tua pemuda mengirimkan utusan ke pada orang tua
pemudi yang hahadéan ini untuk menanyakan apakah putrinya sudah ada yang melamar atau belum,
apabila belum orang tua si pemuda akan datang pada hari yang ditentukan untuk melakukan lamaran.

Pada hari yang ditentukan tersebut pihak keluarga pemuda akan hadir dalam tahapan ngalamar atau
narosan. Pada tahap ini keluarga si pemuda akan menanyakan apakah si putri yang selama ini hahadéan
sudah ada yang memiliki atau belum, jikalau belum orang tua si pemuda hendak meminang untuk kelak
dinikahkan dengan anaknya. Apabila orang tua pemudi menerima dan begitu juga si pemudi menerima
maka lamaran tersebut diterima. Selanjutnya akan diserahkan pameungkeut oleh orang tua pemuda
kepada orang tua pemudi sebagai sebuah simbol bahwa si anak sudah tidak boleh ada yang
mengganggu dan tanggal pernikahan akan didiskusikan berikutnya. Pada masa lalu prosesi lamaran ini
selalu disertai dengan seperangkat sirih pinang untuk ngalemar atau makan sirih, itu mengapa tradisi ini
dinamai lamaran karena dalam acaranya terdapat tradisi makan sirih sebagai tanda diterimanya
lamaran. Selain itu sebagai tanda pengikat akan dipersembahkan beubeur tameuh atau semacam stagen
dengan warna pelangi sebagai tanda bahwa si pemudi sudah diikat dan akan segera dinikahkan. Namun
pada masa kini pameungkeut tersebut digantikan oleh perhiasan seperti cincin, gelang, atau kalung.
Prosesi setelah tanggal pernikahan dilakukan dilaksanakan tradisi pra pernikahan sebelum akad nikah
dilaksanakan. Tradisi pra pernikahan yang seringkali dilaksanakan adalah rangkaian acara ngaras dan
siraman. Tradisi ngaras ini dilakukan beriiringan dengan khataman, pengajian dilanjutkan dengan
kegiatan ngaras dan siraman. Ngaras merupakan sebuah tradisi yang diinisiasi oleh R. Hidayat Suryalaga
pada tahun 1983 dalam pernikahan putra gubernur Jawa Barat H. Aang Kunaefi ii. Ngaras sendiri
memiliki makna ‘ras’ atau mengingat, juga dari kata ‘raas’ atau ‘ngaraas’ yang berarti menyebrangi
sungai yang tidak terlalu dalam hal tersebut dimaknai sebagai upaya untuk meraih hati juga beranjak
untuk meraih tujuan hidup. Tradisi ngaras tersebut dimulai dengan prosesi ngecageun aisan atau
menurunkan anak dari gendongan yang merupakan sebuah simbol mengantar anak menuju kehidupan
yang baru. Anak akan diais atau digendong oleh ibu dan diaping oleh ayah menuju ke kain batik 7 lapis
untuk duduk. Ketika duduk diatas samping batik oleh juru adat akan dijelaskan makna batik susun tujuh
yang melambangkan dari tujuh waktu dalam seminggu dan jangan sampai kita terlena oleh waktu.

Ketika calon pengantin duduk di tujuh samping batik tersebut ia akan menyalakan palita bersumbu 5
yang bermakna iman, islam, iklas, sidikkiyah dan mukarobah. Setelah palita menyala akan dijelaskan juga
siloka-siloka yang terdapat di alam seperti daun hanjuang yang bermakna bahwa hidup akan berjumpa
dengan kematian, daun puring yang bermakna harus bisa menjadi guru untuk diri sendiri, daun seureuh
yang bermakna deudeuh juga reureuh dari hal-hal yang kurang bermanfaat, daun mangkokan yang
bermakna haruslah selalu berdo’a, melati perlambang dari kesucian, daun weregu yang melambangkan
kekuatan dan kesehatan dan lainnya. Selepas menjelaskan makna yang ada di alam calon pengantin
akan menghadap pada orang tuanya untuk memohonkan maaf dan do’a untuk kehidupan yang akan
dijalani kelak ketika berrumah tangga.

Selepas memohon do’a dan restu calon mempelai akan mencuci kaki kedua orang tua dimulai dari ibu
selanjutnya kepada ayah mencium kakinya membersihkan dan diberikan minyak harum sebagai tanda
bakti anak kepada orang tua. Kaki orang tua dicuci pada sebuah paso atau bokor yang dibuat dari tanah
liat sebagai sebuah tanda bahwa manusia akan kembali ketanah menuju pada keabadian. Apabila hadir
pini sepuh calon mempelai akan menyalami para pini sepuh dan juga saudara sekandung untuk
memohon do’a dan restu. Prosesi ngaras ini akan dilanjutkan dengan prosesi siraman, ibu calon
mempelai akan menggendong kembali calon pengantin didampingi oleh ayah yang membawa palita
dengan 5 sumbu menuju ke panyiraman. Setelah digendong calon mempelai akan duduk di panyiraman
orang tua akan mencampur terlebih dahulu air dari tujuh sumber mata air dan bunga rampé untuk
mandi calon mempelai. Yang pertamakali menyiram adalah ibu dilanjutkan ayah, selain itu juga calon
pengantin akan dimandikan oleh tujuh atau sembilan pini sepuh. Setelah prosesi siraman berakhir
mempelai akan berwudhu dibimbing oleh kedua orang tua. Prosesi ngaras dan siraman akan diakhiri
dengan menggunting rambut calon mempelai dan menguburnya sebagai tanda mengubur segala
kebiasaan buruk dan memecahkan kendi sebagai tanda pecah pamornya si calon pengantin. Di beberapa
daerah juga terdapat tradisi sawer samping untuk para tetamu yang hadir dalam kegiatan ngaras.

Dalam tradisi pernikahan di Pasundan terdapat juga tradisi ngeuyeuk seureuh yang merupakan proses
yang menjelaskan mengenai kehidupan rumah tangga termasuk pendidikan seksual pada kedua
mempelai. Biasanya apabila dilaksanakan prosesi ngeuyeuk seureuh rangkaian seserahan tidak
dilaksanakan ketika akan berlangsungnya akad nikah. Prosesi ngeuyeuk seureuh ini biasanya dipimpin
oleh seorang perempuan yang sudah dewasa, sudah menikah dan memiliki anak serta mantu disebut
nini pangeuyeuk. Apabila dalam tradisi Jawa perempuan tidak bertemu dengan calon suami di malam
midadareni di adat Sunda kedua calon mempelai akan berjumpa dan melaksanakan tradisi ngeuyeuk
seureuh. Ngeuyeuk seureuh akan dimulai dengan nini pangheuyeuk memukul perlahan kedua mempelai
dengan menggunakan sapu lidi memberikan nasihat pernikahan. Kedua mempelai kemudian akan
membuka peralatan ngeuyeuk seureuh yang sebelumnya ditutupi oleh kasang jinem atau kain poleng
tanpa jahitan. Di dalam kasang jinem tersebut terdapat dua ikat padi, sepasang baju pengantin, baki dan
baskom yang terdiri atas telur, beras kuning, uang receh, élékan, parang, alu serta lumpang, mayang
jambé, daun sirih bertangkai, pinang, kapur sirih, gambir, dan rambu kantéh. Kemudian nini pangeuyeuk
akan menjelaskan makna-makna yang terkandung dari barang-barang tersebut. Mengakhiri prosesi
ngeuyeuk seureuh kedua calon mempelai akan membuang sisa-sisa dari upacara tersebut ke
persimpangan jalan.

Ada beberapa aturan dalam prosesi ngeuyeuk seureuh diantaranya adalah hendaknya yang memimpin
prosesi ini adalah seorang perempuan yang cukup tua dengan pengalaman kehidupan yang banyak serta
memiliki cerminan keluarga yang bahagia. Perempuan dan laki-laki lajang dilarang untuk menyaksikan
prosesi ini, selain itu perempuan yang sering menikah dan bercerai dilarang untuk menyaksikan serta
perempuan yang tidak pernah menstruasi juga tidak boleh menyaksikan prosesi ini. Hal tersebut
dikarenakan nini pangheuyeuk akan menjelaskan persoalan-persoalan yang berkaitan dengan kehidupan
seksualiii.

Pada hari berikutnya biasanya dilaksanakan akad nikah atau ijab Kabul. Dalam kebiasaan adat Pasundan
akad nikah selalu dimulai dengan prosési pangbagéa atau penyambutan yang dilakukan oleh orang tua
dan pini sepuh calon pengantin perempuan terhadap calon pengantin laki-laki beserta rombongan
keluarga. Prosesi pangbagéa ini melibatkan payung atau songsong agung untuk memayungi calon
mempelai laki-laki sebagai tanda penjemputan tamu kehormatan. Selanjutnya akan dikalungkan kalung
manglé oleh ibu dari mempelai perempuan serta penyematan duhung atau keris pusaka oleh ayah
mempelai laki-laki kemudian kedua orang saling munjungan atau bersalaman. Mempelai laki-laki akan
diapit oleh ibu dan ayah mempelai perempuan menuju tempat akad nikah untuk melaksanakan prosesi
sérén tampi. Selepas protokol membuka acara secara resmi pertama akan diundang sesepuh atau
perwakilan keluarga besar mempelai laki-laki untuk nyérénkeun atau menyampaikan sambutan
menyerahkan mempelai laki-laki yang hadir beserta rombongan keluarganya, dan nanti akan
dipersilakan juga sesepuh dari mempelai perempuan untuk menjawab dan menyambut kehadiran dari
rombongan mempelai laki-laki. Sebagai bentuk berpautnya silaturahim dua keluarga diserahkan
seserahan secara simbolis yang merupakan persembahan berkah untuk kedua mempelai dalam
mengarungi bahtera rumah tangga. Terkadang dipersembahkan juga pamulang asih sebagai tanda
kanyaah ibu dari mempelai perempuan kepada mempelai laki-laki.

Setelah melaksanakan prosesi seserahan dilanjutkan kepada pembacaan ayat suci Al Quraan untuk
membuka rangkaian akad nikah. Selepas itu rangkaian acara akan dipimpin oleh naib atau petugas
kantor urusan agama. Dalam prosesi akad nikah adat Sunda kedua mempelai akan diselubungkan
kerudung putih sebagai simbol dari berpautnya dua hati. Selesai akad nikah dilangsungkan prosesi
sungkeman kepada kedua orang tua, pertama kedua mempelai akan menghampiri ibu dan ayah dari
mempelai perempuan terlebih dahulu kemudian mempelai perempuan memohon do’a kepada orantua
kandungnya selanjutnya mempelai laki-laki akan mengikuti dari belakang. Apabila kedua mempelai
sudah munjungan kepada orangtua mempelai perempuan mempelai laki-laki akan munjungan kepada
orang tuanya diikuti mempelai perempuan.

Dalam pernikahan adat Sunda prosesi yang dilakukan setelah akad nikah yaitu prosesi sawer panganten
sebagai ungkapan rasa syukur dari kedua orang tua terhadap kebahagiaan yang diperoleh oleh kedua
putra putrinya yang baru saja menikah. Sawer panganten berasal dari kata uwar-awer yaitu sifat cair
atau jatuhnya air secara mawur atau besar, hal tersebut dilambangan sebagai pemberian yang besar
untuk seluruh alam. Sawer biasanya dilakukan di panyaweran yaitu tempat jatuhnya air hujan di muka
rumah. Dalam sawer pengantin terdapat beberapa hal seperti rampé yang bermakna keharuman dari
kehidupan yang akan dijalani, kunyit bermakna kemulyaan, beras lambang kesejahteraan, uang lambang
dari kekayaan, dan tékték lambang dari kerukunan. Namun pada masa kini juga ditambah permen
sebagai siloka dari rasa yang akan dijalani semoga selalu berbuah manis. Sawer mulanya sebuah nasihat
yang diberikan oleh orang tua untuk kedua mempelai dengan ditembangkan, namun karena terkadang
sulit untuk menembang diwakilkan kepada sesepuh lain yang dianggap mampu untuk memberikan
nasihat untuk kedua mempelai. Pada masa lalu juru sawer adalah seorang laki-laki tua yang sudah
berrumah tangga umumnya anak muda tidak diperkenankan nyawer karena dianggap belum memenuhi
persyaratan yaitu sudah menikah dan memiliki mantu. Pada masa lalu juga dikenal terdapat tradisi
ngaleupaskeun japati sapasang oleh kedua orang tua, japati ini dilambangkan sebagai mengantar putra-
putri menuju kehidupan rumah tangga.

Apabila prosési sawer panganten selesai dilanjutkan dengan prosesi bantayan. Prosesi bantaian dimulai
dengan nincak endog sebagai lambang dari kesuburan, dilanjutkan mempelai perempuan mencuci kaki
suami sebagai tanda bakti istri kepada suami. Setelah telur pecah diinjak juga élekan sebagai lambang
saling mengisi kekosongan hidup ketika masih lajang. Selanjutnya prosesi meuleum harupat, prosesi ini
memiliki siloka ulah geutas harupateun atau perlambangan jangan mudah mengumbar amarah. Harupat
yang sudah terbakar kemudian akan dipadamkan menggunakan air dalam kendi, lalu dipatahkan dan
dilempar kebelakang namun jangan dilihat kembali. Prosesi tersebut memiliki makna bahwa hendaknya
apabila ada amarah harus secepatnya diredam dan permasalahan harus segera dibereskan. Pada masa
lalu juga ada tradisi ngalengkahan pakara atau melangkahi alat tenun seperti gedogan, suri, kincir dan
barera. Tradisi ngalengkahan pakara memiliki makna yang sebelumnya pamali sekarang sudah tidak lagi,
yang mulanya hanya hahadéan tidak boleh melanggar susila kini kedua mempelai sudah sah menikah
dan sudah bebas untuk melakukan hal yang sebelumnya dilarang.

Pada masa lalu setelah bantayan dan sawér dilaksanakan tradisi buka pintu, tradisi ini lahir di tahun
1930 di Cianjuriv. Tradisi buka pintu adalah prosesi kedua mempelai berdialog melalui tembang
Cianjuran dengan lagu bayubud sebagai tanda sudah masuknya kedua mempelai pada kehidupan yang
baru. Kedua mempelai akan berhadapan dihalangi oleh sehelai samping batik. Mempelai laki-laki akan
memohon masuk ke dalam pada mempelai perempuan namun mempelai perempuan akan menguji
mempelai laki-laki terlebih dahulu dan apabila mempelai laki-laki mampu melewati ujiannya baru
diperkenankan masuk. Menutup prosesi buka pintu kedua ibu dari mempelai akan melepaskan sepasang
burung merpati sebagai siloka melepaskan putra-putrinya menuju kehidupan yang baru. Ketika sudah
memasuki ruangan kedua mempelai akan melakukan prosesi huap lingkung yaitu kedua mempelai saling
menyuapi nasi tumpeng kuning atau nasi punar sebanyak tiga suapan. Pertama saling menyuapi sambil
saling menatap, kedua menyuapi namun tangan dilingkarkan pada leher atau disebut huap lingkung
sebanyak dua suapan. Suapan tersebut memiliki makna saeundeuk saigel, sabobot sapihanéan atau
harus dapat bekerja sama dalam kebaikan. Adapun selanjutnya yaitu pabetot-betot bakakak yang
melambangkan rizki yang besar yang akan diperoleh kedua mempelai dalam menjalani kehidupan
rumah tangga. Tradisi ini ditutup oleh saling memberikan minum sebagai simbol dari harus bisa saling
mendinginkan suasana hati. Pada masa lalu prosesi huap lingkung dilaksanakan di pangkeng kajuaran
tidak di hadapan tamu undangan karena dianggap kedua mempelai masih malu-malu apabila saling
menyuapi berbarengan dengan tamu undangan.

Pada masa kini dalam prosesi pernikahan adat Sunda dilengkapi dengan prosesi karesemen mapag
panganten dalam rangka resepsi pernikahan. Prosesi karesemen mapag panganten diinisiasi pertama
oleh seniman budayawan Wahyu Wibisana pada tahun 1964 dan dikembangan pada tahun 1970an
untuk menyambut kehadiran ratu Belanda ke Jawa Barat v. Karesemen mapag panganten ini dilakukan
untuk menjemput kedua mempelai menuju ke puade atau pelaminan dengan tarian-tarian
penyambutan. Setelah kedua mempelai bersanding di atas pelaminan, kedua mempelai akan
mendengarkan sambutan, do’a dan nasihat dari pini sepuh sebelum menyambut kehadiran tamu
undangan. Yang pertama menerima kehadiran tamu undangan adalah kedua orang tua dari mempelai
perempuan apabila bertindak sebagai tuan rumah. Tamu undangan akan berramah tamah dengan
kedua mempelai dan tuang leueut sapulukaneun atau menikmati hidangan yang sudah disediakan.

Demikianlah rangkaian jatukrami di Pasundan yang sering dilaksanakan pada masa lalu hingga masa kini.
Perubahan banyak dilakukan untuk memenuhi perkembangan zaman asal tidak mengubah esensi dan
nilai dari pernikahan tersebut. Nilai-nilai yang melekat pada adat pernikahan di Pasundan dimaksudkan
memberi bekal kepada kedua mempelai dalam mengarungi bahtera kehidupan rumah tangga yang akan
dijalani.
i
Penulis merupakan lulusan Pendidikan Bahasa Sunda UPI serta Kajian Budaya Populer, Fakultas Ilmu Budaya Universitas
Padjadjaran. Pewara dan pewicara publik yang mengkhususkan diri pada acara adat Sunda. Sekarang bertugas sebagai
presenter berita di salah satu stasiun TV di Kota Bandung dan seorang peneliti serta penulis lepas.
ii
Disebutkan dalam makalah Dian Hendrayana Makna Simbolik dina Upacara Adat Ngaras. dimuat dina Sonagar, volume 5,
no.2 Desember 2011
iii
Sebagaimana tercantum pada buku Modana karya R. H Uton Muchtar dan Ki Umbara pada tahun 1977
iv
Riwayat Pembentukan dan Perkembangan Cianjuran yang disusun oleh Enip Sukanda, RHM. Kosasih dan Dadang
Sulaeman yang terbit pertama pada 1978
v
Sebagaimana dituliskan oleh Riyana Rosilawati pada artikel Akulturasi Karesemen Mapag Pangantén adat Sunda di kota
Bandung yang diterbitkan oleh jurnal seni tari Makalangan ISBI Bandung tahun 2018.

Anda mungkin juga menyukai