1
BAB I
PENDAHULUAN
“Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita
sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”1 Sejatinya, dalam
di dalam kehidupan ini. Hal ini dikarenakan tujuan perkawinan itu sendiri,
yakni dapat membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan ajaran
1
Pasal 1 undang-undang no 1 tahun 1974 tentang perkawinan
2
Pasal 2 undang-undang no 1 tahun 1974 tentang perkawinan
2
suatu perkawinan yang dianggap sah. Tidak hanya itu, suatu perkawinan juga
hukum. Hal ini menunjukan kedua aspek tersebut penting bagi keabsahan suatu
perkawinan.
Indonesia menjadi negara yang kaya akan keanekaragaman. Dengan kata lain
agama, budaya, bahasa serta masih banyak lainnya. Bali sebagai salah satu
keindahan alam yang dimiliki. Selain itu, hal menarik lainnya adalah Bali yang
kaya akan kebiasaan, budaya, serta adat yang lahir dan berkembang di daerah
ini. Di Bali juga memiliki hukum adat yang erat kaitannya dengan Agama
Hindu. Sama dengan hukum adat lainnya, hukum adat Bali juga mengatur
3
Muhammad Ashsbuli, “Undang-Undang Perkawinan dalam Pluralitas Hukum Agama
(Judicial Review Pasal Perkawinan Beda Agama. ” Cita Hukum. Vol. 3 No. 2. 2015. Hal. 298.
3
ngerorod atau nyerod, serta perkawinan pada gelahang.4 Perkawinan mepandik
sesuai dengan sistem kekerabatan yang dianut di Bali, yakni sistem patrilenial.
Dalam perkawinan ini, perempuan dilamar oleh laki-laki dan disetujui oleh
keris. Perkawinan jenis ini ditemukan di beberapa daerah di Bali, salah satunya
namun disandingkan dengan keris.6 Hal ini dikarenakan seseorang pria yang
dikawinkan dengan mempelai wanita telah meninggal dunia. Makna keris dari
nganten keris adalah sebagai pengganti dari pribadi mempelai pria. Hal inilah
yang menjadikan perkawinan mepandik jenis ini yang unik di Bali.7 Penjelasan
4
Kadek Adhi, “Legitimasi Hegemoni Hukum Adat dalam Karya Sastra Berlatar Kultural
Bali.” Jurnal Ilmu Budaya. Vol. 7. No. 2. 2019. Hal. 177.
5
Ibid.
6
Wayan Lali, Upacara Nganten Keris di Desa Bungaya Karangasem, JayaPangus Press,
Denpasar, 2018, hal. 2
7
Ibid. hal 3
4
1. Apakah perkawinan nganten keris sah menurut Undang-Undang Nomor 1
nganten keris ?
nganten keris.
BAB II
5
PEMBAHASAN
Bali
adat di Bali, baik yang masih dilakukan ataupun yang sudah tidak lagi
atau tidak diizinkannya perkawinan ini oleh salah satu pihak orang tua
dan pihak perempuan. Masyarakat umum mengetahui adanya empat kasta yaitu
Brahmana, Ksatria, Waisya, dan Sudra. Brahmana, Ksatria, Waisya, dan Sudra
disebut dengan Tri Wangsa. Pada perkawinan Nyerod ini kemudian dibahas
kasta yang lebih tinggi (perempuan triwangsa) dari pada si laki-laki. Pada
zaman dahulu perkawinan nyerod ini sangat dihindari dan dilarang dikarenakan
sebagai Asu Pundung dan Alangkahi Karang Hulu. Secara harfiah Asu
pasangan yang melakukan perkawinan Nyerod ini baik bagi mempelai laki-laki
I Ketut Sudantra, “Perkembangan Hak Perempuan Bali dalam Hukum Keluarga”
8
6
maupun mempelai perempuan diantaranya yaitu penurunan kasta bagi
hukuman Selong bagi kedua mempelai, bahkan sampai dengan hukuman labuh
gni dan labuh batu. Dalam perkawinan Nyerod jika terjadi perceraian, pihak
gelarnya sebagai triwangsa, maka perempuan tersebut tidak bisa balik lagi pada
terlantar karena tidak dapat tinggal di rumah mantan suaminya dan tidak dapat
kembali ke rumah asalnya atau biasa disebut dengan “Ngutang Raga atau
Ngumbang”. Maka dari itu, pada masa tersebut jarang ditemukan perempuan
perkawinan beda kasta ini, kita dapat melihat bagaimana seorang perempuan
diperlakukan secara tidak adil. Jika dibandingkan dengan nganten keris, kedua
pihak orang tua dari calon mempelai pun juga merestui perkawinan mereka. 9
9
Wayan Lali, Op.Cit., hal.21
10
Guli Mudiarcana, “Tata Cara Perkawinan Hindu”
(http://dharmagupta.blogspot.com/2013/11/tata-cara-perkawinan-hindu-etnis-bali.html, diakses
pada 3 Desember 2019, 2019)
7
antara seorang pria dengan seorang wanita sudah sepatutnya mendapatkan
restu atau izin dari kedua orang tua mereka dimana dalam percakapan tentang
dan sasaran yang ingin dicapai.11 Jika dibandingkan dengan nganten keris,
pada umumnya yang menentukan pertama kali adalah mereka yang akan
kepada orang tua atau keluarga purusa lainnya. Akan tetapi, ada kalanya orang
tua dari pihak perempuan meminta agar anaknya dikawinkan secara mamandik,
apabila orang tua dari pihak perempuan mengetahui dan merestui perjodohan
Dapat juga diganti dengan keris atau pakaian yang biasa dia pakai, misalnya
baju atau saput miliknya. Dan menggunakan lesung atau alat penumbuk padi
11
Wayan, “Percakapan tentang Perkawinan Adat Bali.”
(http://wayahan.blogspot.com/2010/03/percakapan-tentang-perkawinan-adat-bali.html, diakses
pada 1 Desember 2019, 2019)
12
Wayan Lali, Op.Cit., Hal. 30
8
Perkawinan Nyentana adalah suatu istilah yang diberikan kepada
sepasang suami istri dimana suami dipinang (diminta) oleh keluarga dari pihak
istri untuk masuk ke dalam garis leluhur pihak keluarga sang istri serta
Nyentana ini dikarenakan keluarga dari pihak istri tidak memiliki keturunan
laki-laki. Akibat hukum dari Perkawinan Nyentana ini adalah perubahan status
dalam sistem Perkawinan Nyentana, yang mana status laki-laki dan perempuan
dalam hukum adatnya berubah dari brahmacari menjadi grhasta. Pihak laki-
laki berubah statusnya menjadi meawak luh (berstatus wanita) lalu, lepas dari
asalnya. Hak dan kewajiban bagi pasangan suami istri yang melakukan
Perkawinan Nyentana adalah suami mendapatkan hak waris dari orang tua
angkatnya, namun memiliki kewajiban untuk mengurus orang tua pihak istri di
masa tua. Sedangkan hak istri adalah mendapatkan status sebagai sentana
Nyentana akan mengikuti garis keturunan ibu dan memiliki kewajiban sebagi
istri pada umumnya. Jika dibandingkan dengan nganten keris yaitu tempat
13
Ni Komang Putri, “Pelaksanaan Perkawinan Nyentana pada Masyarakat Adat Bali.”
Pactum Law Jurnal. Vol. 1. No. 4. 2018. Hal. 375
9
laki-laki. Hal ini dilakukan karena mempelai laki-laki berperan sebagai purusa.
dengan arahan atau petunjuk sulinggih atau Ida Pedanda yang akan muput.
berbeda dari umumnya karena baik suami ataupun istri bertindak sebagai
Bareng/Negen yaitu, calon istri merupakan anak semata wayang sehingga tidak
ingin kawitan di sanggahnya terputus begitu saja.15 Baik calon istri ataupun
tidak memiliki anak laki-laki, manapula mempelai laki-laki juga tidak berkenan
Bali maupun ajaran agama hindu. Dampak nyata dari Perkawinan Gelahang ini
Pakraman seperti ayah-ayahan di Pura, Banjar, dll. Jika pasutri hanya memiliki
seorang anak, maka beban anak akan berlipat ganda apalagi anak tersebut akan
14
Wayan Lali, Op.Cit., Hal. 33
15
I Ketut Putra, “Perkawinan Gelahang Bareng/Negen pada Masyarakat Bali dalam
Presprektif Hukum Adat Bali”
(https://www.kompasiana.com/ikpj/54ff4670a333112b4a50fc6e/perkawinan-gelahang-bareng-
negen-pada-masyarakat-bali-dalam-perspektif-hukum-adat-bali-studi-kasus-di-kota-singaraja,
diakses pada 1 Desember 2019, 2019)
16
Ibid.
10
menikah.17 Jika dibandingkan dengan nganten keris, meskipun perkawinan ini
mempelai pria, tetap sah perkawinannya baik secara agama, adat, maupun
hukum.
berarti selain negara hanya mengenal perkawinan antara wanita dan pria,
Perlu ditekankan di sini bahwa bagaimana tata tertib adat yang harus dilakukan
oleh mereka yang akan melangsungkan perkawinan menurut bentuk dan sistem
selera dan nilai-nilai budaya dari masyarakat bersangkutan, asal saja segala
17
Ibid.
18
Wayan Lali, Op.Cit., Hal. 24
11
sesuatunya tidak bertentangan dengan kepentingan umum, Pancasila dan UUD
1945.
(1) dan 2 Ayat (2), maka harus pula memenuhi syarat-syarat perkawinan, baik
perkawinan yang dimaksud adalah terdiri dari syarat material dan syarat formil.
Syarat Material, Syarat material adalah mengenai diri pribadi orang yang akan
melekat pada diri calon mempelai. Syarat ini, untuk dapat melangsungkan
perkawinan bagi calon mempelai dapat dibagi ke dalam dua klasifikasi, yaitu
bagi semua perkawinan. Jadi syarat ini harus dipenuhi oleh semua calon
mempelai. Asas Monogami, asas ini diatur dalam Pasal 3 Ayat (1) Undang-
Republik Indonesia Tahun 1974 nomor 1, yang menegaskan bahwa: “dalam hal
suami akan beristri lebih dari seorang, sebagaimana tersebut dalam Pasal 3
yang sama, maka seorang suami hanya dapat beristri satu orang saja,
sebaliknya seorang istri hanya boleh bersuami satu. Namun, apabila para pihak
menginginkan sesuai dengan ketentuan Pasal 3 Ayat (2), jo Pasal 4 Ayat (2)
19
Rena Megawati, “Tinjauan Yuridis Mengenai Keabsahan Perkawinan Pariban dalam
Hukum Adat Batak Toba dihubungkan dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974”. Hal. 70
20
Ibid.
12
Undang-Undang nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Lembaran Negara
atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; c) istri tidak dapat melahirkan
berumur 19 tahun dan wanita sudah berumur 16 tahun. Apabila usia kawin
1975.21
1974 Nomor 1), yaitu : 1) Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke
antara saudara orang tua dan antara seseorang dengan saudara neneknya; 3)
dengan istri atau sebagai bibi atau kemenakan dari istri dalam hal seorang
suami yang beristri lebih dari seorang; 6) Yang memunyai hubungan yang oleh
13
yang masih terikat perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin; 8) Harus
ada izin kawin (Pasal 6 Ayat 1 hingga Ayat 5 UndangUndang Nomor 1 Tahun
tahun 1975 yaitu sebagai berikut: a. harus ada pemberitahuan kepada pegawai
Nomor 1).23
14
Selanjutnya apabila dihubungkan dengan Hukum Nasional lainnya, seperti
kekerabatan yang rukun dan damai, bahagia dan kekal; 2) Perkawinan tidak
saja harus sah dilaksanakan menurut hukum agama dan atau kepercayaan,
Perkawinan dapat dilakukan oleh seorang pria dengan beberapa wanita sebagai
anggota kerabat. Masyarakat adat dapat menolak kedudukan suami atau istri
yang tidak diakui masyarakat adat; 5) Perkawinan dapat dilakukan oleh pria
dan wanita yang belum cukup umur atau masih anak-anak. Walaupun sudah
cukup umur, perkawinan harus berdasarkan izin orang tua atau keluarga dan
kerabat; 6) Perceraian ada yang dibolehkan dan ada yang tidak dibolehkan.
istri-istri berdasarkan ketentuan hukum adat yang berlaku, ada istri yang
berkedudukan sebagai ibu rumah tangga dan ada istri yang bukan ibu rumah
tangga.
dan mendapat restu dari kedua belah pihak orang tua, baik pihak purusa/laki-
24
Rena Megawati, Op.Cit., Hal. 68
15
laki maupun pihak pradana/perempuan. Karena kedua belah pihak orang tua
upacara pajatian atau mapamit/mohon permisi kepada Bhatara Guru dari pihak
perkawinan jika mempelai laki-laki berhalangan karena suatu sebab, maka dia
dapat diganti dengan keris atau pakaian yang biasa dia pakai, misalnya baju
atau saputangan miliknya. Pada zaman kerajaan dulu, seorang raja atau
keluarga kerajaan jika kawin dengan seorang perempuan yang tidak tergolong
prami atau bangsawan yang sepadan, maka digunakan keris atau pakaian
dapat dilaksanakan sesuai dengan ajaran agama, adat, dan untuk menjawab
sah karena disaksikan oleh Tri Upasaksi yaitu Dewa saksi, Manusa saksi,
25
Wayan Lali, Op.Cit., Hal. 41
16
Bhuta saksi, serta anak yang nantinya lahir dapat diterima dan mempelai
dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sahnya perkawinan apabila
yang penerapannya disesuaikan dengan tradisi atau adat setempat. Jadi upacara
maupun hukum, sehingga status sosial pengantin perempuan dan anak yang
pengantin laki-laki.
nomor 1 Tahun 1974, maka dapat diartikan bahwa perkawinan yang dilakukan
berdasarkan hukum adat masih dapat dilakukan selama masih diperlukan dan
menurut tata tertib aturan hukum yang berlaku dalam agama Islam, Kristen,
26
Ibid. hal. 44
17
Dari uraian di atas dapat dimengerti bahwa berdasarkan undang-undang
bahwa negara hanya menitik beratkan pada perkawinan antara pria dan wanita,
agama dan kepercayaan masing-masing. Tata cara nganten keris pun tidak
hadir, sehingga pada intinya perkawinan tersebut adalah perkawinan antara pria
dan wanita sesuai dengan sahnya sebuah perkawinan yang diatur dalam
kemasyarakatan Bali yang tidak hanya ditinggali etnis Bali, tetapi juga terdapat
pula etnis lain, sehingga melahirkan desa adat multietnis. Desa pakraman ialah
pakraman. Peraturan Daerah Provinsi Bali No. 3 Tahun 2001 tentang desa
18
yaitu: 1) mengatur penduduk (krama) desa; 2) membuat peraturan desa
mengacu pada pengesahan perkawinan agar pihak wanita serta anak yang lahir
dari perkawina ini dapat diakui oleh krama desa. Terkait dengan pelaksanaan
nganten keris, desa pakraman juga ikut andil dalam upacara. Dalam upacara
disaksikan oleh beberapa unsur, salah satunya oleh prajuru desa pakraman. 28
27
I Gusti Ketut, “Harmonisasi, Integrasi Desa Pakramandengan Desa Dinas yang
Multaetnik dan Multiagama Menghadapi Pergeseran, Pelestarian, dan Konflik di Bali. ” Jurnal
Ilmu Sosial dan Humaniora. Vol. 3 No. 2. 2014. Hal. 449.
28
Wayan Lali, Op.CIt., Hal. 57
19
dengan istilah perarem, yakni seperangkat peraturan desa yang diciptakan dari
tingkah laku, baik tertulis maupun tidak tertulis yang dibuat oleh masyarakat
desa setempat, yang didasarkan kepada keadilan dan kepatutan yang hidup
dalam masyarakat tersebut dengan Tri Hita Karana, yakni dalam hubungan
antara anggota desa dengan Tuhan, antar sesama anggota desa, maupun
mengacu pada pengesahan perkawinan agar pihak wanita serta anak yang lahir
dari perkawina ini dapat diakui oleh krama desa. Terkait dengan pelaksanaan
nganten keris, awig-awig mengatur antar sesama anggota desa salah satunya
keris. 30
29
Agus Purbathin. “Eksistensi Desa Adat dan Kelembagaan Lokal: Kasus Bali.” Hal 2
30
Wayan Lali, Op.Cit., Hal. 58
20
21
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
keris sah dilakukan serta berdasarkan hukum adat masih dapat dilakukan
Nasional.
pakraman.
3.2. Saran
perkawinan nganten keris ini agar pihak yang terkait di dalam perkawinan ini
22
DAFTAR BACAAN
Buku
Jurnal
Adhi, Kadek. 2019. Legitimasi Hegemoni Hukum Adat dalam Karya Sastra
298.
Purbathin, Agus. Eksistensi Desa Adat dan Kelembagaan Lokal: Kasus Bali.
23
Internet
(http://dharmagupta.blogspot.com/2013/11/tata-cara-perkawinan-hindu-
(https://www.kompasiana.com/ikpj/54ff4670a333112b4a50fc6e/perkawin
an-gelahang-bareng-negen-pada-masyarakat-bali-dalam-perspektif-
2019)
Keluarga. (http://sudantra.blogspot.com/2011/12/gender-dalam-hukum-
(http://wayahan.blogspot.com/2010/03/percakapan-tentang-perkawinan-
24