Anda di halaman 1dari 9

Sejarah Sekte-Sekte di Bali

Sumber ajaran Agama Hindu adalah kitab suci catur veda. Syair-Syair kitab suci Weda Sruti
disebut Mantra. Sedangkan syair-syair kitab Sastra weda disebut Sloka. Kitab suci Catur Weda
itu terdiri dari 20389 Mantra. Empat kitab suci weda itu dipelajari oleh 1180 Sakha atau
kelompok spiritual.
Rg Weda dengan jumlah Mantra sebanyak 10552 dipelajari oleh 21 Sakha.
Sama Weda dengan jumlah Mantra 1.875 dipelajari oleh 1000 Sakha.
Yajur Weda dengan jumlah Mantra 1975 Mantra dipelajari oleh 109 Sakha ,dan
Atharwa Weda dengan jumlah Mantra 5.967 dipelajari oleh 50 Sakha.

SAMPRADAYA (sekta) lahir dari Upanisad


Setiap Sakha dibahas atas bimbingan Resi yang benar-benar menghayati Weda baik teori
maupun praktek. Resi itu disebut Sadaka karena telah mampu melakukan Sadana atau
mewujudkan ajaran suci Weda dalam kehidupannya sehari-hari. Orang yang mampu
melakukan Sadana itulah yang disebut Sadaka. Sakha itu ibarat sekolah. Sedangkan kitab suci
Weda itu ibarat “kurikulum” yang harus diterapkan oleh sekolah tersebut. Meskipun kurikulum
yang diterapkan oleh setiap sekolah itu sama, pasti setiap sekolah itu memiliki ciri khas
tersendiri yang membedakan satu sekolah dengan sekolah yang lainnya. Demikian jugalah
halnya dengan proses mendalami kitab suci Weda sumber ajaran Hindu. Disamping itu Weda
adalah kitab suci yang sangat memberikan kemerdekaan pada setiap orang yang meyakininya
menyerap ajaran Weda sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan masing-masing umat.
Dari system Sakha itulah melahirkan kitab-kitab Upanisad.
Pandangan setiap Upanisad tentunya memiliki penekanan yang berbeda-beda. Perbedaan itu
adalah perbedaan aspek yang ditekankan. Perbedaan tersebut bukan merupakan pertentangan
dalam Hindu. Perbedaan itu semua mengacu pada batas yang diberikan oleh Weda.

Karena itu Upanisad adalah sari-sari dari pada kitab suci Weda. Dari Sakha itulah berkembang
Sampradaya atau garis perguruan.Tiap-tiap garis perguruan tentunya mempertahankan ciri-ciri
khas mereka atau mencapai apa yang disebut Parampara.

Parampara artinya berkesinambungan atau tidak putus-putusnya. Tiap-tiap Sampradaya


tentunya berlomba secara sehat untuk mengimplementasikan ajaran Weda dalam
meningkatkan kwalitas hidup. Perbedaan ciri khas inilah yang sering disebut SEKTA (sekte)
oleh para ilmuwan social.

Sejarah Sekte di Bali


Di dalam bahasa Weda, sekte itu disebut PAKSA yang artinya bagian. Sekte-sekte itu telah ada
sejak zaman Reg Weda. Munculnya sekte-sekte itu karena penonjolan pemujaan kepada
Dewa-Dewa tertentu. Dewa-dewa yang terkenal di dalam Reg Weda antara adalah : agni, Indra,
Marutha, Rudra dan lain-lainnya. Perkembangannya kemudian terutama zaman Upanisad,
sekte-sekte itu bertambah banyak, bahkan banyak muncul sub-sekte antara lain : Saiwa,
Waisnawa, Brahma, Saurapatha, Indra, Wayu, Kala, Tantrayana dan sebagainya. Sekte Saiwa
terbagi menjadi 4 aliran yaitu: Ganapatha, Linggayat, Pasupatha dan Siwa Sidhanta. Demikian
pula sekte yang lain juga terbagi menjadi aliran-aliran.

Sekte-sekte ini masuk ke Indonesia dan ke Bali pada tahap awal kedatangan pengaruh Hindu
ke Indonesia dan Bali. Menurut Dr. Goris, sekte-sekte yang pernah ada di Bali setelah abad IX
meliputi: Siwa Sidhanta, Brahmana, Resi, Sora, Pasupata, Ganapatya, Bhairawa, Waisnawa,
dan Sogatha (Goris, 1974: 10-12). Di antara sekte-sekte tersebut, yang paling besar
pengaruhnya di Bali sekte Siwa Sidhanta.

SEKTE SIWA SIDHANTA


Ajaran Siwa Sidhanta termuat dalam lontar Bhuanakosa.
Sekte Siwa memiliki cabang yang banyak. Antara lain Pasupata, Kalamukha, Bhairawa,
Linggayat, dan Siwa Sidhanta yang paling besar pengikutnya.
Kata Sidhanta merupakan akronim dari kata Sikara yang berarti Rudra, Dhakara yang berarti
Iswara dan Anta yang berarti Siwa. Jadi, Siwa Sidhanta penunggalan dari hakekat Rudra,
Iswara dan Siwa. Disamping itu Sikara berarti Prthivi (bumi), Dhakara yang berarti angkasa dan
Anta yang berarti sorga. Jadi, Siwa Sidhanta berarti hakekat Siwa yang menguasai ketiga
dunia. (Nurkancana, 1997 : 134).
Kata Sidhanta berarti inti atau kesimpulan.
Jadi Siwa Sidhanta berarti kesimpulan atau inti dari ajaran Siwaisme. Siwa Sidhanta ini
megutamakan pemujaan ke hadapan Tri Purusha, yaitu Parama Siwa, Sada Siwa dan Siwa.
Brahma, Wisnu dan dewa-dewa lainnya tetap dipuja sesuai dengan tempat dan fungsinya,
karena semua dewa-dewa itu tidak lain dari manifestasi Siwa sesuai fungsinya yang berbeda-
beda. Siwa Sidhanta mula-mula berkembang di India Tengah (Madyapradesh), yang kemudian
disebarkan ke India Selatan dipimpin oleh Maharesi Agastya.

SEKTE PASUPATA
Sekte Pasupata juga merupakan sekte pemuja Siwa. Bedanya dengan Siwa Sidhanta tampak
jelas dalam cara pemujaannya. Cara pemujaan sekte Pasupata dengan menggunakan
LINGGA-YONI sebagai simbol tempat turunnya/berstananya Dewa Siwa. Jadi penyembahan
Lingga sebagai lambang Siwa merupakan ciri khas sekte Pasupata. Perkembangan sekte
Pasupata di Bali adalah dengan adanya pemujaan Lingga. Di beberapa tempat terutama pada
pura yang tergolong kuno, terdapat lingga dalam jumlah besar. Ada yang dibuat berlandaskan
konsepsi yang sempurna dan ada pula yang dibikin sangat sederhana sehingga merupakan
lingga semu.

SEKTE WAISNAWA
Adanya sekte Waisnawa di Bali dengan jelas diberikan petunjuk dalam konsepsi Agama Hindu
di Bali tentang pemujaan Dewi Sri sakti Wisnu. Dewi Sri dipandang sebagai pemberi rejeki,
pemberi kebahagiaan dan kemakmuran. Di kalangan petani di Bali, Dewi Sri dipandang sebagai
dewanya padi yang merupakan keperluan hidup yang utama. Bukti berkembangnya sekte
Waisnawa di Bali yakni dengan berkembangnya warga Rsi Bujangga.
Peleburan Waisnawa dengan Siwa Sidhanta dapat dilihat dari patung Ardhanareswara dalam
bentuk separuh wanita dan separuh pria yang dinamakan Hari Hara. Hari yang artinya Wisnu
yang memiliki wanita dan Hara (Siwa) yang memiliki pria. Disamping itu, ada pula tokoh
Sengguhu yang merupakan golongan pendeta dari kelompok Waisnawa dan mempunyai
peranan dalam ritual menjelang Nyepi. (Suhardana, 2008 : 113).

Dalam upacara dapat dilihat bahwa unsur-unsur Waisnawa ada pada bentuk upacara seperti
dibawah ini :
Upacara Mapag Yeh, dilakukan oleh para krama subak yeh yang ditujukan kepada Dewa
Wisnu.
Mabyukukung, upacara ini menggunakan upakara berupa banten dapetan, penyeneng,
jerimpen, pangambyan, sodan, canang, raka putih kuning, toya anyar/air bersih baru di dalam
sibuh yang berisi pucuk daun dapdap. Yang dipuja adalah Hyang Sri Laksmi yang merupakan
saktinya Dewa Wisnu.
Upacara yang dilakukan pada saat menanam padi, dilaksanakan pada sasih kaulu, kesanga
dan kedasa. Dengan menggunakan segehan nasi kepalan (nasi yang di kepal) berwarna hitam,
ikan serba hitam, buah yang berwarna hitam, masawen (sawen = penanda) dengan kayu yang
berwarna hitam, yang disembah atau dipuja adalah Hyang Guru Wisnu.

SEKTE BODHA - SOGATHA


Adanya sekte Bodha dan Sogatha di Bali dibuktikan dengan adanya penemuan mantra Bhuda
tipeyete mentra dalam zeal meterai tanah liat yang tersimpan dalam stupika. Stupika seperti itu
banyak diketahui di Pejeng, Gianyar. Berdasarkan hasil penelitian Dr. W.F. Stutterheim mentra
Budha aliran Mahayana diperkirakan sudah ada di Bali sejak abad ke 8 Masehi. Terbukti
dengan adanya arca Boddhisatwa di Pura Genuruan Bedulu, arca Boddhisatwa Padmapani di
Pura Galang Sanja, Pejeng, Arca Boddha di Goa Gajah, dan di tempat lain, sudah cukup
memberikan bukti adanya sekta Buddha di Bali pada jaman yang silam. Disamping itu dalam
beberapa prasasti Bali Kuna, banyak dijumpai keterangan tentang adanya Bhisu atau pendeta
Buddha di Bali yang memakai gelar Dang Upadhyaya.
Sekte inilah yang dalam perkembangan selanjutnya diakui oleh bangsa Indonesia sebagai
salah satu agama resmi yang disebut agama Buddha.
Sumbangsih sekte ini dalam ritual Hindu adalah penggunaan uang kepeng yang di Bali lumbrah
disebut Pis Bolong dalam berbagai upacara yadnya. Penggunaan uang kepeng sebagai sarana
upacara Panca Yadnya antara lain dalam lis, orti, pedagingan, rambut sedana, pakelem,
kewangen, tamiang dan lain-lain. Dalam seni budaya uang kepeng dijadikan berbagai bentuk
hiasan. Kata Pis Bolong secara harfiah berarti uang yang berlubang, mengingat bentuknya di
tengah-tengah berlubang. Pada permukaan uang kepeng (pis bolong) terdapat tulisan berupa
huruf-huruf Cina. Warisan selanjutnya dari sekte ini berupa mantra-mantra yang mengagungkan
Siwa-Buddha serta adanya Pendeta Buddha dalam eksistensi Tri Sadhaka di Bali.

SEKTE BRAHMANA
Sekte Brahmana adalah pemuja Dewa Api (Dewa Agni). Menurut kepercayaan Hindu Dewa Api
identikkan dengan Dewa Brahma ini karena perkembangan pemahaman theologi tentang dewa,
Dewa Agni yang pada zaman weda beralih menjadi Dewa Brahma pada zaman upanishad,
sama halnya dengan Dewa Waruna menjadi dewa Wisnu dan beberapa resuffle dewa yang
lainya.
Sekte Brahmana menurut Dr. R. Goris seluruhnya telah luluh dengan Siwa Sidhanta.
Di India sekte Brahmana disebut Smarta, tetapi sebutan Smarta tidak dikenal di Bali. Kitab-kitab
Sasana, Adigama, Purwadigama, Kutara, Manawa yang bersumberkan Manawa Dharmasastra
merupakan produk dari sekte Brahmana.

Penganut Sekte Brahmana banyak mempersembahkan wujud bhaktinya melalui upacara yang
lebih banyak didominasi dengan penggunaan sarana api.
Salah satu ritual yang paling populer dari sekte ini adalah Agni Hotra (Homa Yadnya).
Warisan luhur dari Sekte Brahmana dalam Panca Yadnya secara nyata dapat kita lihat sampai
sekarang adalah penggunanan api ketika melalukan ritual agama. Penggunaan api dalam ritual
agama Hindu bisa berupa dupa, dipa dan api takep.

SEKTE RSI
Resi ini di pulau Jawa zaman dahulu merupakan kelompok pertapa yang tinggal di hutan.
Mereka adalah kelompok yang arif dan suci. Di Bali tidak diketahui adanya tempat-tempat
pertapaan sebagaimana di Jawa, sehingga keberadaan Rsi itupun tidak jelas adanya.

Mengenai sekte Rsi di Bali, Goris memberikan uraian yang sumir dengan menunjuk kepada
suatu kenyataan, bahwa di Bali, Rsi adalah seorang Dwijati yang bukan berasal dari Wangsa
(golongan) Brahmana. Istilah Dewarsi atau Rajarsi pada orang Hindu merupakan orang suci
(peranda) di antara raja-raja dari Wangsa Ksatria. tetapi pedanda Resi ini hanya boleh
memberikan air suci kepada kelompok keluarga saja. (Suhardana, 2008 : 114)

SEKTE SORA
Pemujaan terhadap Dewa Surya sebagai Dewa Utama yang dilakukan sekte Sora, merupakan
satu bukti sekte Sora itu ada. Sistem pemujaan Dewa Matahari yang disebut Suryasewana
dilakukan pada waktu matahari terbit dan matahari terbenam menjadi ciri penganut sekte Sora.

Pustaka Lontar yang membentangkan Suryasewana ini juga terdapat sekarang di Bali. Selain
itu yang lebih jelas lagi, setiap upacara agama di Bali selalu dilakukan pemujaan terhadap
Dewa Surya sebagai dewa yang memberikan persaksian bahwa seseorang telah melakukan
yajnya.

Bukti dari kristalisasi sekte ini dalam Siwa Shidanta yang masih kita dapat lihat lainnya adalah
penggunaan sebuah mantra yang mengagungkan Dewa Siwa Raditya dalam Kramaning
Sembah.

SEKTE GONAPATYA
Sekte Gonapatya adalah kelompok pemuja Dewa Ganesa. Adanya sekte ini dahulu di Bali
terbukti dengan banyaknya ditemukan arca Ganesa baik dalam wujud besar maupun kecil. Ada
berbahan batu padas atau dari logam yang biasanya tersimpan di beberapa pura.
Fungsi arca Ganesa adalah sebagai Wigna, yaitu penghalang gangguan. Oleh karena itu pada
dasarnya Ganesa diletakkan pada tempat-tempat yang dianggap bahaya, seperti di lereng
gunung, lembah, laut, pada penyebrangan sungai, dan sebagainya.
Setelah zaman Gelgel, banyak patung ganesha dipindahkan dari tempatnya yang terpencil ke
dalam salah satu tempat pemujaan. Akibatnya, patung Ganesa itu tak lagi mendapat pemujaan
secara khusus, melainkan dianggap sama dengan patung-patung dewa lain.
Konsepsi pelinggih Jero Gede Pangijeng Karang yang ada di Bali disinyalir mengadopsi konsep
Dewa Ganesha.
Di Bali, Ada sebuah ritual khusus yang didedikasikan untuk menghormati Dewa Ganesha yang
disebut dengan Rsi Gana.
Patut dipahami terlebih dulu bahwa Rsi Gana itu bukanlah caru, melainkan suatu bentuk
pemujaan kepada Gana Pati/Ganesha (Penguasa/Pemimpin para Gana) sebagai Vignesvara
(raja atas halangan). Upacara ini diselenggarakan dengan tujuan supaya manusia terhindar dari
berbagai halangan. Namun dalam penyelenggaraan upacara Rsi Gana memang tidak pernah
terlepas dari penggunaan caru sebagai landasan upacaranya, sehingga seolah-olah Rsi Gana
itu sama dengan caru (kebanyakan orang menyebut dengan istilah Caru Rsi Gana). Upacara
Rsi Gana bisa diikuti berbagai macam caru. Adapun jenis caru yang mengikuti upacara Rsi
Gana ini tergantung tingkatan Rsi Gana bersangkutan. Rsi Gana Alit diikuti dengan caru
ekasata yang lazim dikenal dengan sebutan ayam abrumbunan (seekor ayam dengan bulu lima
jenis warna). Rsi Gana Madya diikuti dengan caru pancasata (lima ekor ayam dengan bulu
berbeda). Rsi Gana Agung diikuti dengan caru pancakelud ditambah seekor bebek putih,
menggunakan seekor kambing sebagai dasar kurban caru.

SEKTE BHAIRAWA
Sekte Bhairawa adalah sekte yang memuja Dewi Durga sebagai Dewa Utama. Pemujaan
terhadap Dewi Durga di Pura Dalem yang ada di tiap desa pakaman di Bali merupakan
pengaruh dari sekte ini. Begitu pula pemujaan terhadap Ratu Ayu (Rangda) juga merupakan
pengaruh dari sekte Bhairawa. Sekte ini menjadi satu sekte wacamara (sekte aliran kiri) yang
mendambakan kekuatan (magic) yang bermanfaat untuk kekuasaan duniawi. Ajaran Sadcakra,
yaitu enam lingkungan dalam badan dan ajaran mengenai Kundalini yang hidup dalam tubuh
manusia juga bersumber dari sekte ini.
Mada (mabuk-mabukan), Mamsa (makan daging), Matsya (Makan Ikan), Mudra (melakukan
gerak-gerik tangan seperti menari dalam ilmu Leak) merupakan ciri-ciri dari sekte ini. Sehingga
dalam ritual pemujaan, bahan-bahan seperti daging, darah, arak dan berem merupakan bahan
yang sering digunakan oleh sekte ini. Bukti dari kristalisasi sekte Bhairawa ke dalam Siwa
Sidhanta yang masih dianut oleh umat Hindu di Bali sampai saat ini adalah adanya Segehan
dan Caru serta adanya tutur Dharma Caruban.

Hal unik, peninggalan sekte Bhairawa dalam bidang kuliner adalah masakan khas Bali yaitu
Lawar. Lawar adalah masakan yang berbahan dari daging mentah yang dicincang, kelapa
parut, racikan bumbu dan darah mentah yang diaduk sedemikian rupa hingga menimbulkan
tekstur warna merah pada parutan kelapa dan memiliki cita rasa yang khas.
Menurut Ida Pedanda Gede Wayahan Wanasari dalam ibgwiyana, didalam lontar Sad Agama
disebutkan ada 6 sekte agama Hindu di Bali yaitu : Brahma, Waisnawa, Saiwa, Bauddha, Kala
dan Bayu. Apabila diteliti secara seksama, baik di dalam tradisi, maupun didalam prasasti dan
kesusastraan, dapat disimpulkan sekte-sekte agama Hindu yang ada atau pemah ada di Bali
adalah:
Sekte Brahma: Homatraya dan Agenisala;
Sekte Waisnawa: Danukrtih;
Sekte Linggayat: Pemujaan Lingga;
Sekte Ganapatha: Pemujaan Gana;
Sekte Pasupatha: Pemujaan Pasupati ;
Sekte Siwa-Siddhanta: Pemujaan Tripurusa;
Sekte Tantrayana: Pemujaan Durga dan Dewi;
Sekte Indra: Pemujaan Akasa dan mohon hujan;
Sekte Kala: Mengupacarai Gunung dan Lautan;
Sekte Sambhu: Mengupacarai Jagat;
Sekte Bayu: Pemujaan terhadap kekuatan (pramana);
Sekte Saurapatha: Pemujaan Surya;
Sekte Bauddha: Pemujaan Wairocana;

KRISTALISASI SEKTA di BALI


Pada tahun Saka 910 (988 M), Bali diperintah raja Dharma Udayana. Permaisurinya berasal
dari Jawa Timur bernama Gunapria Dharmapatni (putri Makutawangsa Whardana).
Pemerintahan Dharma Udayana dibantu beberapa pendeta yang didatangkan dari Jawa Timur.
Antara lain Mpu Kuturan. Mpu Kuturan diserahi tugas sebagai ketua majelis tinggi penasehat
raja dengan pangkat senapati, sehingga dikenal sebagai Senapati Kuturan.

Seperti telah diuraikan sebelumnya, sebelum pemerintahan suami istri Dharma


Udayana/Gunapria Dharmapatni (sejak awal abad ke 10), di Bali telah berkembang berbagai
sekte.
Pada mulanya sekte-sekte tersebut hidup berdampingan secara damai.
Lama-kelamaan justru sering terjadi persaingan.
Keributan, Kericuhan terjadi di masyarakat memperdebatkan Dewa-Nya
Bahkan tak jarang terjadi bentrok secara fisik.
Hal ini dengan sendirinya sangat menganggu ketentraman Pulau Bali.
Sehubungan dengan hal tersebut, raja lalu menugaskan kepada Senapati Kuturan untuk
mengatasi kekacauan itu. Atas dasar tugas tersebut, Mpu Kuturan mengundang semua
pimpinan sekte dalam suatu pertemuan yang dilakukan di Bata anyar (Pura Samuan Tiga).
Pertemuan ini mencapai kata sepakat dengan keputusan Tri Sadaka dan Kahyangan Tiga.
Pertemuan ini akhirnya mencapai kata sepakat dengan keputusan sebagai berikut :
Paham Tri Murti dijadikan dasar di Bali, yang berarti di dalamnya telah mencakup seluruh
paham sekte yang berkembang di Bali saat itu.
Dalam setiap Desa Pakraman (Desa Adat) supaya dibangun Kahyangan Tiga, yaitu : Pura Bale
Agung, Pura Puseh dan Pura Dalem.
Dalam setiap rumah tangga supaya didirikan Rong Tiga (sanggah Kemulan) sebagai tempat
memuja Tri Murti. Brahma di ruang kanan, Wisnu di ruang kiri dan di tengah adalah Siwa
sebagai Maha Guru atau Bhatara Guru. Rong Tiga itu selain sebagai tempat memuja Tri Murti,
juga difungsikan untuk memuja ruh leluhur. Ruang kanan untuk memuja leluhur laki-laki
(purusa), ruang kiri untuk memuja leluhur wanita (pradana) sedangkan ruang di tengah-tengah
untuk memuja leluhur yang sudah menyatu dengan Bhatara Guru. (Subandi dalam Nurkancana,
1997 : 139).

Konsensus (kesepakatan) tersebut merupakan wujud dari sinkretisme sekte-sekte yang ada
pada saat itu. Wilayah Bali kemudian kembali menjadi tentram. Masing-masing sekte saling
menjaga toleransi antara satu dengan lainya, ini berkat kesuksesan Mpu Kuturan sebagai
pimpinan (manggala) dalam pertemuan tersebut yang menghasilkan keputusan yang mampu
mengakomodir semua sekte. salah satu yang hingga dikenal hingga saat ini adalah pemujaan
Dewata Nawa Sanga.
TRI SADAKA dalam hal ini adalah WARNA BRAHMANA siwa-budha-waisnawa, bukan
pedanda dari soroh/wangsa/keturunan pemuja siwa, budha ataupun waisnawa, melainkan
setiap orang yang menjadi sulinggih (ma-dwijati) adalah seorang sadaka.
Sekte-sekte diatas mengalami perluluhan atau sinkritisme antara yang satu dengan yang lain.
Proses perluluhannya adalah sebagai berikut:
Perluluhan pertama terlihat pada prasasti Canggal tahun 732 di Jawa Tengah dimana Brahma-
Wisnu-Siwa dipuja dalam kesatuan vertikal dengan mentokohkan Dewa Siwa sebagai pujaan
yang utama.
Perluluhan kedua terlihat pada prasasti Klurak tahun 762 M di Jawa Tengah antara agama
Hindu (baca : Tri Murti) dengan agama Buddha Mahayana. Perluluhan Siwa-Buddha ini makin
kuat di Jawa Timur mulai Zaman pemerintahan raja sendok dan berlanjut sampai zaman
Singosari dan zaman Majapahit serta ke Bali.
Perluluhan ketiga terjadi secara intensif di Bali dimulai dari periode Empu Kuturan di Bali tahun
l039 M, dengan tahapan sebagai berikut :
Sekte-sekte agama Siwa (Linggayat, Ganapatha, Pasupatha dan Siwa-Sidhanta) luluh dan
menyatu ke dalam Siwa-Sidhanta.
Sekte-sekte yang lain (selain Bauddha) luluh menjadi satu yaitu : Tri Murti yang terdiri dari :
Brahma-Wisnu-Siwa (Iswara) dalam suatu kesatuan vertikal.
Konsepsi Tri Murti di Bali luluh dengan Konsepsi Tripurusa yang merupakan hakekat dari pada
ajaran Siwa-Sidhanta dengan menonjolkan Paramasiwa sebagai Sang Hyang Widhi.
Konsepsi Tripurusa seperti tersebut pada butir c, luluh dengan Konsepsi Buddha Mahayana
dengan menyamakan Panca Tathagatha dengan Panca Dewata dalam agama Hindu. Di dalam
perluluhan Siwa-Budha ini, Siwaisme lebih dominan dari pada Buddhisme.

Contoh Kristalisasi Sekta dibali


Dalam upakara dapat dilihat bahwa unsur-unsur sekta ada pada penggunaan :
Canang Genten, bentuknya : memakai alas yang berupa ceper atau yang berupa reringgitan,
disusun dengan plawa (daun), porosan yang berupa sedah berisi apuh dan jambe diikat dengan
tali porosan, disusun dengan tempat minyak, bunga dan pandan arum yang bermakna
penyatuan pikiran yang suci untuk sujud bhakti kehadapan Hyang Widhi dalam wujudnya
sebagai Brahma Wisnu dan Iswara.
Gayah Urip, mempergunakan seekor babi. Diatas kepala babi tersebut ditancapkan sembilan
jenis sate yang berbentuk senjata, yang penempatannya sesuai dengan pengideran dewata
nawa sanga.
Tirta dan Api (baik berupa dupa maupun dipa) hampir disetiap upacara menggunakannya. Air
merupakan lambang dari Dewa Wisnu. Api lambang Dewa Agni
Banten Pula Gembal, terdapat beberapa bagian yang mewakili wisnu diantaranya adalah
terdapat jajan yang menggambarkan senjata dan salah satunya adalah senjata cakra yang
merupakan senjatanya Dewa Wisnu. Adanya unsur Waisnawa dipertegas lagi dalam puja Pula
Gembal, yaitu : Om Ganapati ya namah swaha, Om Ang brahma saraswat Dewaya Namah
Swaha, Om Ung Wisnu Sri Dewyo namah swaha, Om Mang Iswara Uma Dewya namah swaha,
Om Om Rudra Rudga Dewya namah swaha, Om Sri Guru Byo namah swaha.
Sate dan Lawar, merupakan implementasi dari ajaran bhairawa yang meresap di semua sisi
upacara yadnya dibali.

Satu Karya Mpu Kuturan yang harusnya setiap Orang Bali wajib ketahui dan memahaminya
adalah Desa Pakraman, sistem masyarakat agraris, harmonis, sederhana dengan Kayangan
Tiga sebagai Tempat Pemujaan kepada Hyang Widhi, ini adalah pelaksanaan dari Sistem
tatanan masyarakat berdasarkan Warnasrama Dharma, dimana setiap individu bekerja dan
berinteraksi berdasarkan Guna dan Karma bukan keturunan. Namun prinsip ini kemudian lama-
keamaan tergerus perkembangan system politik dan kekuasaan dan kini mulai dilupakan

Hakekat ajaran sekte-sekte itu semuanya menyatu menjadi satu konsepsi agama Hindu dan
ditopang oleh nilai-nilai alam pikiran lokal di Bali yang hidup di masyarakat. Inilah gambaran
kehidupan agama Hindu di Bali yang telah belangsung harmonis secara turun-temurun dalam
tatanan masyarakat Hindu di Bali.

Berbeda halnya dengan di India dimana sekte-sekte itu berdiri sendiri dan sulit terjadinya
perluluhan antara sekte yang satu dengan sekte yang lain, bahkan bertentangan antar sekte
banyak sekali

Mari Belajar Weda yang merupakan Wahyu Tuhan, untuk menguatkan keyakinan kita akan
kebenaran ajaran Sanatana Dharma, jangan samapai belajar Weda, purana dan Itihasa
membuat kita kembali menjadi FANATIK terhadap dewa-dewa pujaan sendiri karena tertarik
dengan salah satu purana ataupun itihasa. ingatlah... Sampradaya di Bali sudah disatukan,
semua sudah diakomodir lewat Panca Yadnya dan Keseharian di Bali. harusnya kita Orang Bali
Belajar Weda untuk mengisi kehausan kita akan makna yang tersirat di dalam ajaran hindu bali,
bukan kembali menjadi sekterian.

berbagai sumber,
salah satunya disadur dari artikel "Jejak Panjang Bhujangga Waisnawa" Majalah Gumi Bali
Sarad No. 99/ Tahun IX Juli 2008 (http://saradbali.com/edisi99/tatwa.htm)
Gunawan, I Ketut Pasek. 2012. Pengantar Bahan Ajar Siva Siddhanta I. Singaraja (Tanpa
Penerbit).
Nurkancana, Wayan. 1997. Menguak Tabir Perkembangan Hindu. Denpasar : Bali Post
Suhardana, K.M. 2008. Tri Murti. Surabaya : Paramita.
____, 1994. Doa Sehari-hari Menurut Hindu. Denpasar : Pustaka Manik Geni.
Berbagi
6 komentar:

Anda mungkin juga menyukai