Anda di halaman 1dari 15

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang telah memberikan rahmat dan
hidayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “Hukum
Pernikahan dalam Islam” ini.

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah
Pendidikan Agama Islam (PAI). Selain itu makalah ini juga bertujuan untuk menambah
wawasan tentang pernikahan dalam islam dan hukumnya bagi para pembaca dan juga
penulis.

Kami mengucapkan terima kasih kepada Ustadz Jundi, Lc selaku dosen pengampu
mata kuliah ini yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah pengetahuan dan
wawasan dengan bidang studi yang kami tekuni.

Kami menyadari makalah yang kami susun ini masih jauh dari kata sempurna oleh
karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat kami butuhkan demi kesempurnaan
makalah ini.

Yogyakarta, 13 Februari 2020

Penyusun
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Manusia merupakan makhluk yang memiliki naluri ataupun keinginan didalam
dirinya. Pernikahan merupakan salah satu naluri serta kewajiban dari seorang
manusia. Sesungguhnya Islam telah memberikan tuntunan kepada pemeluknya yang
akan memasuki jenjang pernikahan, lengkap dengan tata cara atau aturan-aturan Allah
Subhanahu wa ta’ala. Sehingga mereka yang tergolong ahli ibadah, tidak akan
memilih tata cara yang lain. Namun di masyarakat kita, hal ini tidak banyak diketahui
orang. Menikah merupakan perintah dari Allah Swt. Seperti dalil berikut ini:
“Dan Allah menjadikan bagimu pasangan (suami atau isteri) dari jenis kamu sendiri
dan menjadikan anak dan cucu bagimu dari pasanganmu, serta memberimu rizki dari
yang baik. Mengapa mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat
Allah?”(An-Nahl;72).
Oleh karena itu, kami membuat makalah ini sebagai pengetahuan tentang
pernikahan dalam islam.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa saja hal-hal yang berkaitan dengan pranikah ?
2. Apa yang dimaksud dengan nikah ?
3. Seperti apakah pernikahan yang dilarang itu ?
4. Apa hukum dan syarat pernikahan ?
5. Bagaimana hukum kontemporer yang berkaitan dengan pernikahan, seperti
menikah lewat telepon, skype, tv, dan sebagainya ?

C. TUJUAN
1. Mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan pranikah.
2. Mengetahui pengertian dari nikah.
3. Mengetahui macam-macam pernikahan yang dilarang.
4. Mengetahui dan memahami hukum dan syarat pernikahan.
5. Mengetahui hukum kontemporer yang berkaitan dengan pernikahan seperti
menikah lewat telepon, skype, tv, dan sebagainya.
BAB II

PEMBAHASAN

A. HAL-HAL YANG BERKAITAN DENGAN PRANIKAH


Ada beberapa persiapan yang perlu dihadapi menjelang pernikahan, yaitu
persiapan ilmu tentang pernikahan, persiapan mental/psikologis dalam menghadapi
pernikahan, persiapan ruhiyyah menjelang pernikahan serta persiapan fisik sebelum
menikah.
1. Persiapan Ilmu tentang pernikahan
Hal yang perlu dipersiapkan adalah memperjelas visi pernikahan. Untuk apa
kita menikah. Visi yang jelas dan juga sama antara calon suami dan isteri insya Allah
akan melanggengkan pernikahan.
Banyak orang yang menikah hanya karena cinta, atau mengikuti tradisi
masyarakat. Bisa juga karena malu karena sudah cukup umur tetapi masih belum juga
menuju pelaminan. Alasan-alasan seperti ini tidak memiliki akar yang jelas. Bisa juga
menjadi sangat rapuh ketika memasuki bahtera rumah tangga, dan akhirnya hancur
ketika badai rumah tangga datang menerjang.
Ilmu yang lain yang harus diketahui adalah tentang hukum-hukum pernikahan.
Seperti tentang rukun nikah, yaitu mempelai pria dan wanita, dua orang saksi, wali
dari pihak perempuan dan ijab kabul. Bila sudah terpenuhi semuanya, insya Allah
pernikahan menjadi sah secara agama.
Lalu kewajiban memberi mahar sesuai yang diminta oleh pihak wanita. Lalu
masalah walimatul ursy (pesta pernikahan). Tradisi-tradisi daerah bukanlah hal yang
wajib untuk dilakukan. Bahkan sebisa mungkin dihindari tradisi yang bertentangan
dengan aqidah Islam. Lalu juga mempermudah semua proses pernikahan adalah lebih
utama. Juga menyederhanakan pesta pernikahan, tidak bermewah-mewah lebih baik
dalam pandangan Islam.
2. Persiapan mental/psikologis menghadapi pernikahan.
Pernikahan adalah kehidupan baru yang sangat jauh berbeda dari masa-masa
sebelumnya. Dalam pernikahan berkumpul dua pribadi yang berbeda yang berasal
dari keluarga yang memiliki kebiasaan yang berbeda. Didalamnya terbuka semua
sifat-sifat asli masing-masing. Mempersiapkan diri untuk berlapang dada menghadapi
segala kekurangan pasangan adalah hal yang mutlak diperlukan. Begitu juga cara-cara
mengkomunikasikan pikiran dan perasan kita dengan baik kepada pasangan juga perlu
diperhatikan, agar emosi negatif tidak mewarnai rumah tangga kita.
Di dalam pernikahan juga diperlukan rasa tanggung jawab untuk untuk
memenuhi hak dan kewajiban masing-masing. Sehingga setiap anggota keluarga tidak
hanya menuntut hak-haknya saja, tetapi berusaha untuk lebih dulu memenuhi
kewajibannya.
Pernikahan merupakan perwujudan dari tim kehidupan kita untuk mencapai
kebahagiaan di dunia dan akhirat. Oleh karena itu kerja sama, saling mendukung
dalam segala hal sangat diperlukan. Termasuk dalam pendidikan anak. Pernikahan
juga merupakan sarana untuk terus menerus belajar tentang kehidupan. Ketika
memasuki dunia perkawinan seseorang belajar untuk menjadi bagian dari tim
kehidupan. Ketika memiliki anak seseorang belajar untuk mendidik anak dengan cara
yang baik. Tidak jarang juga orang tua perlu memaksa diri untuk merubah kebiasaan-
kebiasaan buruknya agar tidak ditiru oleh anak. Ketika anak-anak menjelang dewasa
orang tua belajar untuk menjadikan anak-anaknya sebagai teman, sebagai bagian dari
tim kehidupan yang aktif menggerakkan roda kehidupan, dan seterusnya.
3. Persiapan Ruhiyyah/ spiritual.
Menikah itu ibadah, oleh karena itu seluruh proses yang dilalui dalam
pernikahan itu harus dengan nuansa ibadah. Proses sebelum menikah sampai
pernikahan itu sendiri juga setelah menikah tidak boleh jauh dari nuansa
penghambaan diri kepada Allah. Sebelum menikah peningkatan kualitas diri dan
kualitas ibadah mutlak diperlukan. Berdoa kepada Allah untuk mendapatkan suami
yang sholih dan anak-anak yang akan menjadi penyejuk mata.
Bergaul dengan orang-orang yang sholih yang dapat menjaga dien kita juga
perlu dilakukan. Membaca buku-buku tentang keutamaan pernikahan juga perlu
dilakukan untuk menguatkan niat kita dalam menikah.
Ketika pinangan datang, ibadah semakin dikencangkan. Terus memohon
kepada Allah untuk mendapatkan yang terbaik sebagai pasangan kita. Saat ini, perlu
juga kita membersihkan hati agar niat ibadah dalam pernikahan ini tidak
menyimpang. Juga menjaga kesucian hubungan kita dengan calon suami sampai
datangnya waktu pernikahan sangat diperlukan, agar tidak terjatuh dalam godaan
setan.
Masa-masa antara meminang dan pernikahan ini sebaiknya dipersingkat agar
kebersihan niat dan hubungan kedua insan bisa terjaga.
4. Persiapan Fisik
Yang terakhir yang tidak kalah penting dalah mempersiapkan tubuh kita
untuk memasuki dunia pernikahan. Mengetahui alat-alat reproduksi wanita dan cara
kerjanya sangat penting bagi kita. Memeriksa kesehatan alat-alat reproduksi juga
penting agar terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan setelah menikah.
Selain itu juga kita harus mengetahui tentang seks yang sehat. Banyak
ornag yang sudah menikah tapi tidak tahu bagaimana berhubungan seks dengan sehat
dan menyenangkan bagi masing-masing pasangan. Hal ini penting karena merupakan
bagian dari kunci kebahagiaan dalam berumah tangga.

B. PENGERTIAN NIKAH
Pernikahan berasal dari kata dasar nikah. Kata nikah memiliki persamaan
dengan kata kawin. Menurut bahasa Indonesia, kata nikah berarti berkumpul atau
bersatu. Menurut istilah, nikah itu berarti melakukan suatu akad atau perjanjian untuk
mengikatkan diri antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang bertujuan
untuk menghalalkan hubungan kelamin antara keduanya dengan dasar suka rela demi
terwujudnya keluarga bahagia yang diridhoi oleh Allah SWT.
Dalil Pernikahan : Al Quran dan Hadits :
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman :
“Dan diantara tanda-tanda kekuasaanNya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri
dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan
dijadikanNya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian
itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.”
[QS. Ar. Ruum (30):21].
Nabi shallallahu wasallam bersabda :
“ Wahai generasi muda, barangsiapa diantara kamu telah mampu berkeluarga
hendaknya ia kawin karena ia dapat menundukkan pandangan dan memelihara
kemaluan. Barang siapa belum mampu hendaknya berpuasa sebab ia dapat
mengendalikanmu ”.
(HR. Bukhari dan Muslim dari Ibnu Mas’ud).

C. MACAM-MACAM PERNIKAHAN YANG DILARANG


1. Nikah Syighar
Definisi nikah ini sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam:
‫ زَ ِّ ِوجْ نِي ا ْبنَتَكَ َوأُزَ ِّ ِوجُكَ ا ْبنَتِي أ َ ْو زَ ِّ ِوجْ نِي أ ُ ْختَكَ َوأُزَ ِّ ِوجُكَ أ ُ ْختِي‬:‫لر ُج ِل‬ َّ ‫َار أ َ ْن يَقُ ْو َل‬
َّ ‫الر ُج ُل ِل‬ ُ ‫شغ‬ِّ ِ ‫ َوال‬.
“Nikah syighar adalah seseorang yang berkata kepada orang lain, ‘Nikahkanlah
aku dengan puterimu, maka aku akan nikahkan puteriku dengan dirimu.’ Atau
berkata, ‘Nikahkanlah aku dengan saudara perempuanmu, maka aku akan nikahkan
saudara perempuanku dengan dirimu.”
Dalam hadits lain, beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
‫“ الَ ِشغَا َر فِي اْ ِإل ْسالم‬Tidak ada nikah syighar dalam Islam.”
Hadits-hadits shahih di atas menjadi dalil atas haram dan tidak sahnya nikah
syighar. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak membedakan, apakah nikah
tersebut disebutkan mas kawin ataukah tidak.
2. Nikah Tahlil
Yaitu menikahnya seorang laki-laki dengan seorang wanita yang sudah ditalak
tiga oleh suami sebelumnya. Lalu laki-laki tersebut mentalaknya. Hal ini bertujuan
agar wanita tersebut dapat dinikahi kembali oleh suami sebelumnya (yang telah
mentalaknya tiga kali) setelah masa ‘iddah wanita itu selesai.
Nikah semacam ini haram hukumnya dan termasuk dalam perbuatan dosa besar.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam melaknat muhallil dan muhallala lahu.”
3. Nikah Mut’ah
Nikah mut’ah disebut juga nikah sementara atau nikah terputus. Yaitu
menikahnya seorang laki-laki dengan seorang wanita dalam jangka waktu
tertentu; satu hari, tiga hari, sepekan, sebulan, atau lebih.
Para ulama kaum muslimin telah sepakat tentang haram dan tidak sahnya nikah
mut’ah. Apabilah telah terjadi, maka nikahnya batal.
Telah diriwayatkan dari Sabrah al-Juhani radhiyal-laahu ‘anhu, ia berkata :
‫ ث ُ َّم لَ ْم نَ ْخ ُرجْ ِم ْن َها َحتَّى َن َهانَا َع ْن َها‬،َ‫ام ْالفَتْحِ ِحيْنَ دَخ َْلنَا َم َّكة‬
َ ‫سلَّ َم بِ ْال ُمتْعَ ِة َع‬
َ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو‬ ُ ‫أ َ َم َرنَا َر‬.
َ ِ‫س ْو ُل هللا‬

“Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah memerintahkan kami untuk


melakukan nikah mut’ah pada saat Fat-hul Makkah ketika memasuki kota
Makkah. Kemudian sebelum kami mening-galkan Makkah, beliau pun telah
melarang kami darinya (melakukan nikah mut’ah).
4. Nikah Dalam Masa ‘Iddah.
Berdasarkan firman Allah Ta’ala:
ُ‫ع ْقدَة َ ال ِنِّكَاحِ َحت َّ ٰى يَ ْبلُ َغ ْال ِكتَابُ أ َ َجلَه‬
ُ ‫َو َال ت َ ْع ِز ُموا‬
Dan janganlah kamu menetapkan akad nikah, sebelum habis masa ‘iddahnya.”
[Al-Baqarah : 235]
5. Nikah Dengan Wanita Kafir Selain Yahudi Dan Nasrani.
Berdasarkan firman Allah Ta’ala:
“Dan janganlah kaum nikahi perempuan musyrik, sebelum mereka beriman.
Sungguh, hamba sahaya perempuan yang beriman lebih baik daripada perempuan
musyrik meskipun ia menarik hatimu. Dan janganlah kamu nikahkan orang (laki-
laki) musyrik (dengan perempuan yang beriman) sebelum mereka beriman.
Sungguh, hamba sahaya laki-laki yang beriman lebih baik daripada laki-laki
musyrik meskipun ia menarik hatimu. Mereka mengajak ke Neraka, sedangkan
Allah mengajak ke Surga dan ampunan dengan izin-Nya. (Allah) menerangkan
ayat-ayat-Nya kepada manusia agar mereka mengambil pelajaran.” [Al-Baqarah :
221]
6. Nikah Dengan Wanita-Wanita Yang Diharamkan Karena Senasab Atau
Hubungan Kekeluargaan Karena Pernikahan.
Berdasarkan firman Allah Ta’ala :
“Diharamkan atas kamu (menikahi) ibu-ibumu, anak-anak perempuanmu,
saudara-saudara perempuanmu, saudara-saudara perempuan ayahmu, saudara-
saudara perempuan ibumu, anak-anak perempuan dari saudara laki-lakimu, anak-
anak perempuan dari saudara perem-puanmu, ibu-ibu yang menyusuimu, saudara-
saudara perempuan yang satu susuan denganmu, ibu-ibu isterimu (mertua), anak-
anak perempuan dari isterimu (anak tiri) yang dalam pemeliharaanmu dari isteri
yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum mencampurinya (dan sudah
kamu ceraikan) maka tidak berdosa atasmu (jika menikahinya), (dan diharamkan
bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu), dan (diharamkan)
mengumpulkan (dalam pernikahan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang
telah terjadi pada masa lampau. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha
Penyayang.” [An-Nisaa’ : 23]
7. Nikah Dengan Wanita Yang Haram Dinikahi Disebabkan Sepersusuan,
Berdasarkan Ayat Di Atas.
8. Nikah Yang Menghimpun Wanita Dengan Bibinya, Baik Dari Pihak
Ayahnya Maupun Dari Pihak ibunya.
Berdasarkan sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
‫الَ يُجْ َم ُع بَيْنَ ْال َم ْرأَةِ َو َع َّمتِ َها َوالَ َبيْنَ ْال َم ْرأَةِ َوخَالَتِ َها‬.
“Tidak boleh dikumpulkan antara wanita dengan bibinya (dari pihak ayah),
tidak juga antara wanita dengan bibinya (dari pihak ibu).”
9. Nikah Dengan Isteri Yang Telah Ditalak Tiga.
Wanita diharamkan bagi suaminya setelah talak tiga.
Tidak dihalalkan bagi suami untuk menikahinya hingga wanitu itu menikah
dengan orang lain dengan pernikahan yang wajar (bukan nikah tahlil), lalu terjadi
cerai antara keduanya. Maka suami sebelumnya diboleh-kan menikahi wanita itu
kembali setelah masa ‘iddahnya selesai.
Berdasarkan firman Allah Ta’ala yang artinya :
“Kemudian jika ia menceraikannya (setelah talak yang kedua), maka
perempuan itu tidak halal lagi baginya sebelum ia menikah dengan suami yang
lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa
bagi keduanya (suami pertama dan bekas isteri) untuk menikah kembali jika
keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah
ketentuan-ketentuan Allah yang diterangkan-Nya kepada orang-orang yang
berpengetahuan.” [Al-Baqarah : 230]
Wanita yang telah ditalak tiga kemudian menikah dengan laki-laki lain dan
ingin kembali kepada suaminya yang pertama, maka ketententuannya adalah
keduanya harus sudah bercampur (bersetubuh) kemudian terjadi perceraian, maka
setelah ‘iddah ia boleh kembali kepada suaminya yang pertama. Dasar harus
dicampuri adalah sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam :
‫س ْيلَت َِك‬ ُ ‫س ْيلَتَهُ َويَذُ ْوقِى‬
َ ‫ع‬ َ ‫ع‬ُ ‫ َحتَّى تَذُ ْوقِى‬،َ‫ال‬
“Tidak, hingga engkau merasakan madunya (bersetubuh) dan ia merasakan
madumu.”
10. Nikah Pada Saat Melaksanakan Ibadah Ihram.
Orang yang sedang melaksanakan ibadah ihram tidak boleh menikah,
berdasarkan sabda Nabi shallal-laahu ‘alaihi wa sallam :
ُ‫طب‬ ُ ‫ا َ ْل ُمحْ ِر ُم الَ يَ ْن ِك ُح َوالَ يَ ْخ‬
“Orang yang sedang ihram tidak boleh menikah atau melamar.”
11. Nikah Dengan Wanita Yang Masih Bersuami.
Berdasarkan firman Allah Ta’ala :
‫َت أ َ ْي َمانُ ُك ْم‬
ْ ‫اء ِإ َّال َما َملَك‬
ِ ‫س‬ َ ِِّ‫صنَاتُ ِمنَ الن‬ َ ْ‫َو ْال ُمح‬
“Dan (diharamkan juga kamu menikahi) perempuan yang bersuami…” [An-
Nisaa’ : 24]
12. Nikah Dengan Wanita Pezina/Pelacur.
Berdasarkan firman Allah Ta’ala:
َ‫ان أ َ ْو ُم ْش ِركٌ ۚ َو ُح ِ ِّر َم ٰذَلِكَ َعلَى ْال ُمؤْ ِمنِين‬ ٍ َ‫الزانِيَةُ َال يَ ْن ِك ُح َها ِإ َّال ز‬
َّ ‫الزانِي َال يَ ْن ِك ُح ِإ َّال زَ انِيَةً أَ ْو ُم ْش ِر َكةً َو‬
َّ
“Pezina laki-laki tidak boleh menikah kecuali dengan pezina perempuan, atau
dengan perempuan musyrik; dan pezina perempuan tidak boleh menikah kecuali
dengan pezina laki-laki atau dengan laki-laki musyrik; dan yang demikian itu
diharamkan bagi orang-orang mukmin.” [An-Nuur : 3]
Seorang laki-laki yang menjaga kehormatannya tidak boleh menikah dengan
seorang pelacur. Begitu juga wanita yang menjaga kehormatannya tidak boleh
menikah dengan laki-laki pezina. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala:
‫ت ۚ أُو ٰلَئِكَ ُمبَ َّر ُءونَ ِم َّما‬ ِ ‫طيِِّبَا‬َّ ‫طيِِّبُونَ ِلل‬
َّ ‫طيِِّ ِبينَ َوال‬
َّ ‫ط ِِّيبَاتُ ِلل‬
َّ ‫ت ۖ َوال‬ِ ‫ْال َخبِيثَاتُ ِل ْل َخبِيثِينَ َو ْال َخبِيثُونَ ِل ْل َخبِيثَا‬
‫يَقُولُونَ ۖ لَ ُه ْم َم ْغ ِف َرة ٌ َو ِر ْز ٌق ك َِري ٌم‬
“Perempuan-perempuan yang keji untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang
keji untuk perempuan-perempuan yang keji (pula), sedangkan perempuan-
perempuan yang baik untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik untuk
perempuan-perempuan yang baik (pula). Mereka itu bersih dari apa yang
dituduhkan orang. Mereka memperoleh ampunan dan rizki yang mulia (Surga).”
[An-Nuur : 26]
13. Nikah Dengan Lebih Dari Empat Wanita.
Berdasarkan firman Allah Ta’ala:
‫ع‬َ ‫ث َو ُر َبا‬ َ ‫اء َمثْن َٰى َوث ُ َال‬
ِ ‫س‬ َ ِّ‫اب لَ ُك ْم ِمنَ ال ِن‬َ ‫ط‬ َ ‫طوا ِفي ا ْل َيت َا َم ٰى فَا ْن ِك ُحوا َما‬ ُ ‫َو ِإ ْن ِخ ْفت ُ ْم أ َ َّال ت ُ ْق ِس‬
“Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak)
perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah perempuan
(lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat…” [An-Nisaa’ : 3]

D. HUKUM DAN SYARAT NIKAH


1. Hukum - Hukum Nikah
Dalam agama islam pernikahan memiliki hukum yang disesuaikan dengan kondisi
atau situasi orang yang akan menikah. Berikut hukum pernikahan menurut islam :
 Wajib : Nikah menjadi wajib menurut pendapat sebagian ulama dengan
alasan bahwa diberbagai ayat dan hadits sebagaimana tersebut diatas
disebutkan wajib. Terutama berdasarkan hadits riwayat Ibnu Majah seperti
dalam sabda Rasulullah Salallahu Alaihi Wa Salam “Barang siapa yang
tidak mau melakukan sunnahku, maka tidaklah termasuk golonganku”.
Selanjutnya nikah itu wajib sesuai dengan faktor dan situasi. Jika ada
sebab dan faktor tertentu yang menyertai nikah menjadi wajib. Contoh:
jika kondisi seseorang sudah mampu memberi nafkah dan takut jatuh pada
perbuatan zina, dalam situasi dan kondisi seperti itu wajib nikah. Sebab
zina adalah perbuatan keji dan buruk yang dilarang Allah SWT. Rasulullah
saw. bersabda sebagai berikut.
Dari Aisyah ra., Nabi saw. besabda: “Nikahilah olehmu wanita-wanita itu,
sebab sesungguhnya mereka akan mendatangkan harta bagimu”. (HR. Al-
Hakim dan Abu Daud).
 Sunnah : Sebagian besar ulama berpendapat bahwa pada prinsipnya nikah
itu sunnah. Alasan yang mereka kemukakan bahwa perintah nikah dalam
berbagai Al-Qur’an dan hadits hanya merupakan anjuran walaupun banyak
kata-kata amar dalam ayat dan hadits tersebut. Akan tetapi, bukanlah amar
yang berarti wajib sebab tidak semua amar harus wajib. Nikah hukumnya
sunnah berlaku bagi seseorang yang memiliki kemampuan untuk menikah
namun jika tidak menikah ia tidak akan tergelincir pada perbuatan zina.
 Makruh : jika ia memiliki kemampuan untuk menikah dan mampu
menahan diri dari zina tapi ia tidak memiliki kemampuan yang kuat untuk
menikah, ditakutkan akan menimbulkan madharat salah satunya akan
menelantarkan istri dan anaknya.
 Mubah
 Haram : berlaku bagi seseorang yang mempunyai niat untuk menyakiti
perempuan yang akan dinikahinya.
2. Syarat dan sahnya pernikahan
 Calon suami dengan syarat-syarat berikut ini :
a) Beragama islam
b) Berjenis kelamin laki-laki
c) Ada orangnya dan jelas identitasnya
d) Setuju untuk menikah
e) Tidak memiliki halangan untuk menikah
 Calon istri dengan syarat-syarat berikut :
a) Beragama islam
b) Berjenis kelamin perempuan
c) Ada orangnya dan jelas identitasnya
d) Setuju untuk menikah
e) Tidak terhalang untuk menikah
 Wali nikah dengan syarat :
a) Laki-laki
b) Dewasa
c) Mempunyai hak perwalian atas mempelai wanita
d) Adil
e) Beragama islam
f) Berakal sehat
g) Tidak sedang berihram haji atau umroh
Dari Aisyah ra., Rasulullah saw. bersabda: “Tidak sah nikah
melainkan dengan wali dan dua orang saksi yang adil.” (HR. Ibnu
Hiban).
 Saksi nikah dalam pernikahan harus memenuhi beberapa syarat berikut ini:
a) Minimal terdiri dari 2 orang laki-laki
b) Hadir dalam proses ijab qobul
c) Mengerti maksud akad nikah
d) Beragama islam
e) Adil
f) Dewasa
“Tidak sah nikah kecuali dengan wali dengan 2 saksi yang adil”
(HR. Ahmad)
 Ijab qobul harus memenuhi syarat-syarat berikut ini :
a) Dilakukan dengan bahasa yang mudah mengerti kedua belah pihak
baik oleh pelaku akad dan penerima akad dan saksi. Ucapan akad
nikah juga haruslah jelas dan dapat didengar oleh para saksi.
perkataan dari pihak wali perempuan, seperti kata wali “Saya
nikahkan kamu dengan anak saya bernama……………..” jawab
mempelai laki-laki “Saya terima menikahi……………………”,
boleh juga didahului perkataan dari pihak mempelai seperti
“Nikahkanlah saya dengan anakmu” jawab wali “Saya nikahkan
engkau dengan anak saya………………..” karena maksudnya
sama. Tidak sah akad nikah kecuali dengan lafadz nikah, tazwij,
atau terjemahan dari keduanya.

E. HUKUM KONTEMPORER YANG BERKAITAN DENGAN PERNIKAHAN


1. Media-media elektronik yang dapat dijadikan sarana untuk melangsungkan
pernikahan jarak jauh adalah sebagai berikut :
 Telepon kabel, handphone tanpa fasilitas internet, dan handy talky
Proses pernikahan melalui telepon hanya mengandalkan suara masing-
masing pihak, tanpa ada penyajian gambar bergerak dari para pihak,
proses pernikahan melalui telepon adalah wali nikah melakukan ijab
melalui gagang telepon atau mikropon yang dapat didengar oleh semua
pihak. Kemudian calon mempelai pria akan melakukan qabul juga melalui
telepon yang dapat didengar oleh semua pihak, baik wali maupun saksi.
Setelah proses ijab-qobul berhasil dilanjutkan dengan pemberian mahar
diserahkan secara langsung oleh mempelai pria, jika calon mempelai pria
dan wanita berada di satu lokasi, atau mahar telah dihadirkan terlebih
dahulu di lokasi calon mempelai wanita berada apabila mahar berbentuk
fisik. Namun jika tidak tersedia, calon mempelai laki-laki hanya
menyebutkan mahar yang akan diberikan dan diserahkan di waktu yang
akan datang.
 Media internet dan video phone
Mekanisme pernikahan melalui video converence dan video call adalah
dengan mulai menyiapkan perangkat dan peralatan yang dibutuhkan,
begitupula system operasional pada perangkat-perangkat tersebut.
Kemudian setiap pihak berada di tempat masing-masing, calon
mempelai, wali dan saksi. Setiap pihak berada di lokasi yang memadai
agar suara dapat didengar dan gambar dilihat di layar monitor. Wali nikah
mulai menikahkan dengan menjabat tangan, jika mempelai pria berada di
lokasi yang sama atau mengucapkan ijab nikahnya tanpa menjabat tangan
jika calon mempelai pria tidak berada di lokasi yang sama. Kemudian
dilanjutkan dengan qabûl yang diucapkan oleh mempelai pria secara
langsung melalui teleconverence atau tanpa media jika di lokasi yang
sama. Lalu disusul dengan pengesahan dari pihak saksi-saksi, yang mereka
ucapkan secara langsung melalui teleconverence atau tanpa media jika
berada di lokasi yang sama. Setelah proses ijab-qabul telah selesai dan
disahkan oleh para saksi, proses selanjutnya adalah penyerahan mahar.
Agar setelah proses ijab-qabul dapat dilanjutkan dengan penyerahan mahar
dan diterima fisiknya secara langsung, namun apabila mahar berupa benda
fisik dan calon mempelai tidak berada di lokasi yang sama, mahar dapat
dikirimkan terlebih dahulu ke lokasi di mana keberadaan wali
dan calon mempelai perempuan berada. Jika tidak memungkinkan
pengirimannya, benda itu dapat diperlihatkan kepada calon mempelai
wanita, dan diserahkan pada waktu yang akan datang.
2. Hukum akad nikah melalui media elektronik telah terjawab dengan menggunakan
metode maṣlaḥah mursalah.
Penggunaan media elektronik untuk melakukan pernikahan jarak jauh tidak
ada dalil yang melarang dan menganjurkannya. Adanya media elektronik telah
memudahkan masyarakat untuk dimanfaat sebagai alat komunikasi juga
dimanfaatkan untuk melangsungkan pernikahan jarak jauh. Kemudahan ini sangat
membantu masyarakat yang sangat membutuhkan untuk menyelenggarakan
pernikahan karena kondisi yang memaksa mereka untuk melakukan akad nikah
jarak jauh. Maṣlaḥah mursalah sebagai metode dalam hukum Islam membolehkan
penggunakan media elektronik untuk melangsungkan akad nikah jarak jauh paling
kurang ada dua muslahat yang tercapai dalam penyelenggaraan pernikahan melaui
media elektronik, yaitu :
 Terwujudnya kemudahan bagi masyarakat yang tidak mampu untuk hadir
pada satu tempat yang sama dalam melangsungkan pernikahan
konvensional, karena alasan ekonomi, waktu atau aturan keimigrasian
yang mereka hadapi.
 Terjadinya pernikahan antara dua orang yang sudah saatnya untuk segera
menikah, sehingga mereka berdua terhindar dari perbuatan zina, paling
kurang terhindar dari khalwat antara mereka berdua dalam berkomunikasi
jarak jauh.
Meskipun hukum akad nikah melalui media elektronik dengan pendekatan
maṣlaḥah mursalah adalah sah, namun harus memenuhi persyaratan sebagai
berikut :
 Calon mempelai laki-laki dan perempuan adalah orang yang sudah wajib
menikah dan mendesak untuk segera menikah, bila tidak akan terjerumus
pada perbuatan yang dilarang olah Islam.
 Harus adanya alasan yang mengharuskan para pihak melakukan
pernikahan jarak jauh, seperti orang yang sedang menjadi tenaga kerja di
luar negeri dan tidak mampu kembali ke negeri asalnya, karena alasan
keuangan atau keimigrasian. Sehingga menghalangi mereka untuk
melangsungkan pernikahan dengan cara penikahan konvensional.
 Adanya wali perempuan, misal ayahnya atau wakilnya sesuai dengan
tertib perwalian qabûl.
 Hendaknya ada dua orang saksi yang mendengarkan atau menyaksikan
ijab dan kabul dari kedua pihak, baik secara langsung maupun melalui
media elektronik.
 Antisipasi terhadap pemalsuan dan manipulasi calon pengantin dan wali
hendaknya diverfikasi terlebih dahulu oleh para saksi.
 Disyaratkan pelaksanaan akad nikah melalui media elektronik di kantor-
kantor pemerintahan yang berwenang, atau ditempat-tempat lain yang
disaksikan oleh pegawai pemerintah yang memiliki wewenang dalam
menangangi urusan pernikahan. Persyaratan-persyaratan di atas sangat
diperlukan agar tidak terjadi manipulasi dan dimanfaat oleh oknum-
oknum untuk melakukan bisinis prostitusi berkedok agama.
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN
Perkawinan adalah suatu perjanjian yang suci kuat dan kokoh untuk hidup
bersama secara sah antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan membentuk
keluarga yang kekal, di mana antara suami istri itu harus saling menyantuni, kasih-
mengasihi, terdapat keadaan aman dan tenteram penuh kebahagiaan baik moral,
spiritual dan materil.
Hukum nikah terbagi menjadi beberapa macam. Ada yang wajib, mubah,
sunnah, makrum, dan haram. Begitupula dengan syarat-syarat nikah yang harus
dipenuhi agar pernikahan itu sah seperti yang sudah dijelaskan di bab II.
Ada beberapa kondisi pernikahan yang dilarang seperti nikah tahlil, nikah
syighar, nikah mut’ah, nikah dalam masa iddah dan lainnya.
Kemajuan media elektronik dalam bidang telekomunikasi memberikan
kemudahan bagi masyarakat dalam menjalankan berbagai aktifitasnya. Masyarakat
selain memanfaatkan mediamedia komunikasi dan komunikasi untuk berbagi
informasi dan bisnis, juga mereka manfaat untuk melangsungkan akad nikah jarak
jauh. Kasus pernikahan jarak jauh menggunakan media elektronik telah mulai muncul
di masyarakat sejak beberapa tahun yang lalu. Kasus ini bukan hanya terjadi di
Indonesia, terjadi juga di belahan dunia yang lain, seperti Arab Saudi, Pakistan dan
negara-negara yang lain.

Referensi :

1. Kitab fiqh muyassar


2. Edi Swanto, 19070730-2 (2018). Hukum Pernikahan melalui Media Elektronik (Studi
Fiqih Kontemporer melalui Pendekatan Maslahah Mursalah). Doctoral Thesis, UIN
Ar-raniry Banda Aceh.
3. https://alminhaj.or.id/3233-pernikahan-yang-dilarang-dalam-syariat-islam.html
4. http://www.konsultasiislam.co/2010/01/persiapan-pra-nikah.html?m=1
MAKALAH PAI

HUKUM PERNIKAHAN DALAM ISLAM

DISUSUN OLEH :

1. Annisa Hikmatul Aliyah (M18020001)


2. Astuti R. Pelu (M18020002)

DOSEN PENGAMPU :

Ustadz Jundi. Lc
PRODI D3 KEBIDANAN T.A 2019/2020

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MADANI

BANTUL, YOGYAKARTA

Anda mungkin juga menyukai