AKDUN NIKAH
Diajukan untuk memenui tugas pada mata kuliah Praktikum Ibadah
Dosen Pengampu : Dr. Akhmad Sodiq, M.Ag
Assalamu’alaikum Wr.Wb
Puji serta syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, atas segala rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul
“Akdun Nikah”. Solawat serta salam tak lupa kami curahkan kepada Nabi
Muhammad SAW, keluarga, sahabat, dan kita sebagai umatnya. Karena berkat beliau
kita dapat menikmati dunia yang terang benderang ini.
Terima kasih pada bapak Dr Akhmad Sodiq, M.Ag, selaku dosen pada mata
kuliah Praktikum Ibadah yang telah memberikan tugas makalah “Akdun Nikah”untuk
kami. Tugas makalah ini, menambah wawasan kami selaku penyusun makalah terkait
materi praktikum ibadah. Kami juga ucapkan terimakasih kepada beberapa pihak
yang telah membantu kami, sehingga makalah ini dapat selesai tepat waktu.
Kami menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini,
oleh karena itu kritik dan saran yang diberikan akan sangat membantu penulis dalam
memperbaiki dan membangun makalah ini agar lebih baik lagi. Mohon maaf apabila
dalam penyusunan makalah ini banyak kekurangan serta apabila ada kata-kata yang
kurang berkenan dihati pembaca. Semoga makalah ini bermanfaat bagi pembaca dan
kami selaku penulis.
Wa’alaikumussalam Wr.Wb
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia merupakan makhluk yang memiliki naluri ataupun keinginan didalam
dirinya. Pernikahan merupakan salah satu naluri serta kewajiban dari seorang
manusia. Sesungguhnya Islam telah memberikan tuntunan kepada pemeluknya yang
akan memasuki jenjang pernikahan, lengkap dengan tata cara atau aturan-aturan Allah
Swt. Sehingga mereka yang tergolong ahli ibadah, tidak akan memilih tata cara yang
lain. Namun di masyarakat kita, hal ini tidak banyak diketahui orang. Menikah
merupakan perintah dari Allah Swt. Seperti dalil berikut ini:
”Dan Allah menjadikan bagimu pasangan (suami atau isteri) dari jenis kamu sendiri
dan menjadikan anak dan cucu bagimu dari pasanganmu, serta memberimu rizki dari
yang baik. Mengapa mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat
Allah?” (An-Nahl : 72)
Adapun secara Islam pernikahan itu sendiri mempunyai tatacara, syarat, tujuan,
hukum, serta hikmahnya tersendiri. Berdasarkan dalil dibawah ini merupakan salah
satu tujuan dari pernikahan:
erdasrka o 䙄䘠䗄kad QGka ad耀d䁚䙄kad ϝd˴d䁚䙄ka d˴䙄Τd˸ rdo a䙄do
“Pemisah antara apa yang halal dan yang haram adalah duff dan shaut (suara)
dalam pernikahan.” (HR. An-Nasa`i no. 3369, Ibnu Majah no. 1896. Dihasankan
Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Al-Irwa` no. 1994)
Berdasarkan dalil-dalil diatas jelas sekali Allah Swt. Telah mengatur sedemikian
rupa permasalahan mengenai pernikahan. Adapun pernyempurnaan dari wahyu yang
diturunkan oleh Allah swt, telah disempurnakan oleh ahli tafsir dengan mengeluarkan
dalil yang dapat memperjelas mengenai pernikahan tanpa mengubah ketentuan yang
telah ditetapkan oleh Allah Swt.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan rumusan masalah yang telah dipaparkan, penyusun merumuskan
masalah sebagai berikut :
1. Apakah Pengertian dan Anjuran dari menikah ?
2. Bagaimanakah Hukum Pernikahan ?
3. Apakah Syarat, Rukun, dan Sunnah dalam Pernikahan ?
C. Tujuan
Berdasarkan tujuan yang telah dipaparkan, penyusun merumuskan tujuan sebagai
berikut :
1. Mengetahui dan memahami Pengertian dan Anjuran dari Menikah.
2. Mengetahui dan memahami Hukum dari Pernikahan.
3. Mengetahui dan memahami Syarat, Rukun, dan Sunnah dalam Pernikahan.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Mazhab Al-Hanafiyah
2. Mazhab Al-Malikiyah
3. Mazhab Asy-Syafi'iyah
Akad yang mencakup pembolehan melakukan hubungan seksual dengan lafadz
nikah, tazwij atau lafadz yang maknanya sepadan
Menikah sangat dianjurkan dalam islam, Dalam ajaran Islam, menikah salah satu
ibadah yang dianjurkan. Karena dengan menikah seseorang akan membina rumah
tangga dan membentuk keluarga sakinah, mawaddah, dan wa rahman. Menjalin
silaturahmi dengan keluarga dan memiliki keturunan. Selain itu juga menghindari
zina. Dalam Islam, zina adalah haram. Maka diperintahkan untuk menikah bagi yang
mampu dan berpuasa bagi yang belum mampu.
Menikah merupakan sunnah, hal ini diriwayatkan dari hadis nabi berikut :
“Menikah adalah sunnahku, barangsiapa yang tidak mengamalkan sunnahku,
bukan bagian dariku. Maka menikahlah kalian, karena aku bangga dengan
banyaknya umatku (di hari kiamat) (HR. Ibnu Majah no. 1846, dishahihkan Al Albani
dalam Silsilah Ash Shahihah no. 2383).
“Dari Anas ra bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Orang yang diberi rizki oleh
Allah SWT seorang istri shalihah berarti telah dibantu oleh Allah SWT pada
separuh agamanya. Maka dia tinggal menyempurnakan separuh sisanya. (HR.
Thabarani dan Al-Hakim)
Tetapi di balik itu Islam juga menentang setiap perasaan yang bertentangan
dengan gharizah ini. Untuk itu maka dianjurkannya supaya kawin dan melarang
hidup membujang dan kebiri.
Seorang muslim tidak halal menentang perkawinan dengan anggapan, bahwa
hidup membujang itu demi berbakti kepada Allah, padahal dia mampu kawin; atau
dengan alasan supaya dapat seratus persen mencurahkan hidupnya untuk beribadah
dan memutuskan hubungan dengan duniawinya.
B. Hukum Pernikahan
1. Wajib
Menikah itu wjib hukumnya bagi seorang yang sudah mampu secara
finansial dan juga sangat beresiko jatuh ke dalam perzinaan. Hal itu disebabkan
bahwa menjaga diri dari zina adalah wajib. Maka bila jalan keluarnya hanyalah
dengan cara menikah, tentu saja menikah bagi seseorang yang hampir jatuh ke
dalam jurang zina wajib hukumnya.
Imam Al-Qurtubi berkata bahwa para ulama tidak berbeda pendapat tentang
wajibnya seorang untuk menikah bila dia adalah orang yang mampu dan takut
tertimpa resiko zina pada dirinya. Dan bila dia tidak mampu, maka Allah SWT
pasti akan membuatnya cukup dalam masalah rezekinya, sebagaimana
firman-Nya :
ϢΤ d ϊ˶d 䗄 ˶d 䙄 do ˴o 䗄 ˶ Ϣ r䙄 晦 d 䘑ad耀d o a䘠 䘠ad晦 o 䙄Ϣa䘑rdood 䙄ϢԸrd 䙄˴o d˴Τ䁚 䗄k˶d 䙄Ϣaro ϰd˴d晦d䙄˴˶ a䘠䁚a d˶d
”Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang
yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan
hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan
memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya)
lagi Maha Mengetahui” (QS. An-Nuur : 32)
2. Sunnah
Orang yang punya kondisi seperti ini hanyalah disunnahkan untuk menikah,
namun tidak sampai wajib. Sebab masih ada jarak tertentu yang menghalanginya
untuk bisa jatuh ke dalam zina yang diharamkan Allah SWT.
3. Haram
Secara normal, ada dua hal utama yang membuat seseorang menjadi haram
untuk menikah. Pertama, tidak mampu memberi nafkah. Kedua, tidak mampu
melakukan hubungan seksual. Kecuali bila dia telah berterus terang sebelumnya
dan calon istrinya itu mengetahui dan menerima keadaannya.
Selain itu juga bila dalam dirinya ada cacat pisik lainnya yang secara umum
tidak akan diterima oleh pasangannya. Maka untuk bisa menjadi halal dan
dibolehkan menikah, haruslah sejak awal dia berterus terang atas kondisinya itu
dan harus ada persetujuan dari calon pasangannya.
Seperti orang yang terkena penyakit menular dimana bila dia menikah
dengan seseorng akan beresiko menulari pasangannya itu dengan penyakit. Maka
hukumnya haram baginya untuk menikah kecuali pasangannya itu tahu
kondisinya dan siap menerima resikonya.
1. Masalah Fundamental
Masalah pertama adalah masalah umum yang terkait dengan masalah umum.
Yaitu masalah agama, keturunan, harta dan kecantikan.
Dari Abi Hurairah ra bahwa rasulullah bersabda, ‘wanita itu dinikahi karena 4 hal :
karena agamanya, nasabnya, hartanya, kevantikannya. Maka perhatikanlah agamanya
maka kamu akan selamat (HR. Bukhari Muslim)
2. Masalah Selera
Untuk permaalahn ini kembali pada individu masing masing setelah masalah
fundamental telah terjalani. Seperti seseorang menginginkan pasangan hidup dengan
cara berpikir, atau suku dan ras yang sama. Islam memberikan hak ini sepenuhnya
namun tetap dalam batas wajar dan manusiawi memang realitas yang tidak dapat
dihindarkan
1. Kualitas agama
2. Diutamakan perawan
3. Belum memiliki anak
4. Keturunan
5. Kesuburan
6. Kecantikan dan kepatuhan
7. Berakal dan berakhlaq baik
2. Diajak mempertimbangkan
Wanita juga berhak diajak berembuk dan berunding dalam memilih lelaki yang
akan menjadi suaminya nanti.
3. Berhak mendapatkan lelaki yang soleh
Setiap wanita berhak mendapatkan lelaki sholeh, maka dari itu lamaran orang
shaleh tidak boleh ditolak.
D. Khitbah
E. Rukun-Rukun Nikah
Menikah bukan asal asalan dilakukan, tetapi harus memenuhi syarat dan rukun agar
pernikahan tersebut sah dimata agama. Adapun rukun-rukun nikah ada 5 yaitu :
1. Suami (mempelai pria), saat nikah mempelai pria harus hadir dan tidak boleh
diwakilkan. Berlangsungnya pernikahan sama dengan proses penyerahan tanggung
jawab dari wali kepada mempelai pria (suami).
2. Istri (mempelai pria yang halal untuk dinikahi). Selain karna hubungan darah, ada
beberapa kondisi yang menyebabkan seorang wanita haram dinikahi seperti dalam
keqadaan hamil adan masih berada dalam masa iddah.
3. Wali. Utamanya wali nikah bagi mempelai wanita adalah ayah kandung. Namun
jika ayah kandung sudah meninggal atau berhalangan sebab kondisi yang mendesak
ayah sebagai wali bisa digantikan oleh wali lainnya.
4. Dua saksi. Saat ijab kabul dihadirkan dua orang saksi. Kedua saksi inipun harus
memenuhi enam syarat. Yaitu; islam, baligh, berakal, merdeka (bukan budak) dan
laki-laki
5. Sighat (ijab-kabul). Ijab Kabul diucapkan oleh mempelai pria sebagi kesediaan
bertangung jawab atas istrinya.
F. Wali Nikah
Dalam akad nikah, seorang wanita tidak melakukan ijab kabul, melainkan dilakukan
oleh wali dari wanita tersebut.
Urutan wali dalam madzhab syafiiyah :
1. Ayah Kandung
Wali yang asli dan sesungguhnya tidak lain adalah ayah kandung seorang wanita
yang secara nasab memang syah sebagai ayah kandung.
2. Kakek
Dalam kasus ayah kandung tidak ada, entah hilang, wafat atau tidak memenuhi
syarat sebagai wali, maka duduk pada urutan berikutnya adalah ayahnya ayah atau
kakek
3. Saudara seayah dan seibu
Bila ada saudara yang kedudukannya dengan wanita yang akan dinikahkan sebagai
saudara seayah dan seibu, maka dia didahulukan sebagai wali.
Sedangkan saudara yang hanya seayah saja tapi lain ibu, didudukkan pada
posisi di belakangnya. Saudara seayah saja seringkali disebut dengan saudara
tiri.
7. Paman
Yang dimaksud dengan paman adalah saudara laki-laki ayah bagi pengantin
wanita, baik lebih muda (adiknya ayah) atau pun lebih tua (kakaknya ayah).
8. Anak Paman
Urutan paling akhir dari para wali adalah anak laki-laki dari paman, atau
anak laki-laki dari saudara laki-laki ayah. Posisi ini sering disebut sebagai sepupu
atau saudara misan.
G. Saksi Nikah
Maka sebuah pernikahan siri yang tidak disaksikan jelas diharamkan dalam
Islam. Dalilnya secara syarih disebutkan oleh Khalifah Umar ra.
Dari Abi Zubair Al-Makki bahwa Umar bin Al-Khattab ra ditanya tentang
menikah yang tidak disaksikan kecuali oleh seorang laki-laki dan seorang wanita.
Maka beliau berkata :
Ini adalah nikah sirr, aku tidak membolehkannya. Bila kamu menggaulinya
pasti aku rajam. (HR. Malik dalam Al- Muwaththa')
Mirip dengan syarat sebagai wali, untuk bisa dijadikan sebagai saksi, maka
seseorang harus memiliki kriteria antara lain beragama Isla, aqil baligh (taklif),
punya sifat al-‘adalah, jumlahnya minimal dua orang, dimana keduanya berjenis
kelamin laki-laki, serta orang yang merdeka dan bukan budah atau hamba
sahaya.
H. Ijab Qabul
Ijab adalah Akad yang disampaikan (diucapkan) oleh pihak istri atau walinya
baik disampaikan di awal atau di akhir
Maksudnya, lafadz akad yang datang dari pihak wanita adalah ijab, meski pun
sebelumnya sudah didahului oleh pihak suami.
Sedangkan makna kabul (ϝ䘠 o) adalah menyatakan persetujuan atas ijab yang
telah ditetapkan.
Syarat ijab qabul :
1. Satu Majelis
3. Tidak Bertentangan
4. Tamyiz
I. Walimatul Urs
A. Pengertian
Walimatul ‘Urs adalah jamuan makan yang menghadirkan para undangan sebuah
pernikahan. Hukum mengadakan walimah ini adalah sunnah muakkad, dalilnya
adalah hadits Rasulullah SAW berikut:
J. Talak
A. Pengertian
Istilah perceraian dalam Bahasa arab disebut dengan istilah ˴ . Talak adalah
membuka ikatan pernikahan baik yang berlaku saat itu ataupun di masa yang akan
datang dengan menggunakan lafaz tertentu atau hal – hal yang senilai dengannya.
B. Hukum Talak
1. Wajib
Apabila tujuannya untuk menyelesaikan konflik yang terjadi antar suami – istri.
2. Sunnah
Apabila talak dilakukan terhadap seorang istri yang telah berbuat zhalim kepada
hak – hak Allah, seperti Shalat, dimana berbagai cara telah dilakukan oleh sang suami
untuk menyadarkannya tetapi tidak berhasil
3. Mubah
Apabila tujuannya untuk menghindari bahaya yang mengancam salah satu pihak.
4. Makruh
Apabila tanpa alasan yang jelas
5. Haram
Dilakukan bukan karena adanya tuntutan yang jelas.
C. Rukun Talak
1. Shigat: pernyataan dari suami yang intinya menegaskan bahwa ia telah
menjatuhkan talak kepada istrinya. Dapat berupa lisan, tulisan, dan isyarat.
2. Ahliyah: orang yang menjatuhkan talak adalah orang yang berhak untuk
menjatuhkan talak tersebut
3. Al – Qashdu: menyebutkan lafaz talak dengan sengaja
4. Al – Mahal: orang yang menjadi sasaran talak adalah istri sah yang dinikahi
sesuai aturan Syariah.
1. Perbedaan agama
Faktor paling utama seorang wanita dilarang untuk dinikahi ialah perbedaan
agama atau keyakinan yang dipeluk. Pada prinsipnya memang islam melarang
pernikhn dengan beda agama, dan jika hal itu terjadi maka pernikahan itu tidak sah
dan dikategorikan perzinahan. Dan anak yang lahir pun menjadi hasil dari hubungan
zina, dan tidak memiliki kekuatan syariah.
Namun islam memperbolehkan seorang lelaki muslim menikahi wanita ahli kitab
yang sejatinya bukan pemeluk islam namun mengakui ketauhidan. Pada permasalahan
kali ini akan ada syarat dan ketentuan yang berlaku.
Kita memang seharusnya memilih pasangan yang baik untuk dijadikan teman
hidup. Karena pada pernikahan seorang anak sudah selayak dan sepantasnya
mendapatkan pendidikan yang baik dari orang tua terutama dari seorang ibu. Maka
dilarang menikahi seorang wanita yang berperilaku buruk, seperti masih menjadi
penjual kenikmatan sesaat pada lelaki. Jika pernikahan itu terjadi, memang tetap sah.
Namun menjadi dosa, contoh ketika lelaki mukmin menikahi perempuan malam.
Baiknya sebelum dijadikan pasangan hidup, orang tersebut sudah bertaubat dan
memperbaiki kesalahan masa lalunya.
Karena sejatinya setiap lelaki baik untuk perempuan baik seperti pada firman
Allah berikut ini,
“Laki laki yang berzina tidak mengawini melainkan wanita yang berzina
atau perempuan musyrik; dan perempuan berzina tidak dikawini melainkan oleh laki
laki yang berzina atau laki laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang
orang mukmin ” (QS. An- Nuur :2)
3. Mahram
Secara Bahasa : berasal dari kata haram yang berarti dilarang. Yakni sesutau yang
terlarang dan tidak boleh dilakukan.
Secara Istilah : dikalangan ulama fikih mahram didefisinikan dengan wanita yang
diharamkan untuk dinikahi secara permanen baik karena faktor kerabat, penysuan
ataupun berbesanan.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Pernikahan adalah akad nikah (Ijab Qobul) antara laki-laki dan perempuan yang
bukan muhrimnya sehingga menimbulkan kewajiban
dan hak di antara keduanya melalui kata-kata secara lisan,
sesuai dengan peraturan-peraturan yang diwajibkan secara Islam. Pernikahan
merupakan sunnah Rasulullah Saw. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Rasulullah:
“nikah itu Sunnahku, barang siapa membenci pernikahan, maka ia bukanlah
ummadku”.
Hadis lain Rasulullah Bersabda:
“Nikah itu adalah setengah iman”.
Berdasarkan apa yang telah kami jelaskan dalam makalah mengenai pernikahan
ini pasti ada kekurangan maupun kelebihannya. Mudah-mudahan makalah ini dapat
bermanfaat bagi pembaca dan dapat menambah wawasan pembaca mengenai
pernikahan berdasarkan Islam. Adapun kritik maupun saran dapat disampaikan ke
penulis agar dapat memperbaiki makalah ini baik dari segi penulisan, materi, maupun
tata bahasa yang disampaikan. Penulis mengharapkan pembaca dapat mengambil
manfaat dari makalah yang telah dibuat.
DAFTAR PUSTAKA