Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

MELAMAR PEREMPUAN DAN HAK-HAKNYA

OLEH :

Alfan elsandi Ramadani 2021000100025

Khoirun nisa' 2021000100048

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS AGAMA ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM MADURA

2022

1
KATA PENGANTAR

Assalamu ‘Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Segala puji bagi Allah Subhanahu Wata’ala yang dengan segala kasih
sayang dan menyeru hamba-Nya mengikuti petunjuk yang benar, sehingga kami
dapat menyelesaikan makalah ini tentang “Peminangan dalam Perkawinan”.
Shalawat dan salam atas Nabi Muhammad Sallallahu ‘Alaihi Wasallam, Rasul
Allah yang telah mencucurkan keringat jihad sebanyak-banyaknya dalam
mendakwahkan kebenaran dan mengamalkan kebajikan.

Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan
dari teman-teman, dan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar
pembuatan makalah ini. Untuk itu kami mengucapkan banyak terima kasih kepada
semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini. Makalah ini
kami susun untuk menyelesaikan tugas mata kuliah Al-Islam
Kemuhammadiyahan (AIK) VI pada semester VI tahun akademik 2015/2016.

Terlepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena
itu, dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca
agar kami dapat memperbaiki makalah ini.

Akhir kata kami berharap semoga makalah ini memberikan manfaat


maupun inspirasi terhadap pembaca.

Wasalamu ‘Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Makassar, 28 Maret 2016

Kelompok 4

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................i

DAFTAR ISI............................................................................................................ii

BAB I.......................................................................................................................1

PENDAHULUAN...................................................................................................1

A. Latar Belakang..........................................................................................1

B. Rumusan Masalah.....................................................................................1

C. Tujuan Penulisan.......................................................................................1

BAB II......................................................................................................................2

PEMBAHASAN......................................................................................................2

A. Pengertian Peminangan.............................................................................2

B. Hukum Peminangan..................................................................................3

C. Syarat-syarat Peminangan.........................................................................4

D. Tata Cara Peminangan...............................................................................9

BAB III..................................................................................................................11

PENUTUP..............................................................................................................11

A. Kesimpulan..............................................................................................11

B. Saran........................................................................................................11

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................12

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkawinan merupakan salah satu sunnah yang diperintahkan oleh
Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihiwasallam, sebagaimana dalam
sabdanya yang diriwiyatkan oleh muttafaqun ‘alaih yang berasal dari
Abdullah Ibn’ Mas’ud:
“Wahai para pemuda, siapa diantaramu telah mempunyai untuk
kawin, maka kawinlah; karena perkawinan itu lebih menghalangi
penglihatan (dari maksiat) dan lebih menjaga kehormatan (dari
kerusakkan seksual). Siapa yang belum mampu hendaklah berpuasa;
karena puasa itu baginya akan mengekang syahwat”.
Dalam pandangan islam perkawinan itu bukanlah hanya urusan
perdata semata, bukan pula sekedar urusan keluarga dan masalah budaya,
tetapi masalah dan urusan agama, oleh karena itu perkawinan dilakukan
untuk memenuhi sunnah Allah dan sunnah Nabi dan dilaksanakan sesuai
dengan petunjuk Allah dan petunjuk Nabi. Di samping itu, perkawinan
juga bukan untuk mendapatkan ketenangan hidup sesaat, tetapi untuk
selama hidup. Oleh karena itu, seseorang mesti menentukan pilihan
pasangan hidupnya itu secara hati-hati dan dilihat dari berbagai segi.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian peminangan ?
2. Bagaimana hukum peminangan ?
3. Bagaimana tata cara peminangan ?
4. Apa syarat peminangan ?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian peminangan.
2. Unttuk mengetahui hukum peminangan.
3. Untuk mengetahui tata cara peminangan
4. Untuk mengetahui syarat peminangan.

1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Peminangan
Peminangan berasal dari kata pinang dengan kata kerja meminang.
Sinonim meminang adalah melamar yang dalam bahasa Arab disebut
dengan khitbah. Secara etimologi, meminang dapat diartikan meminta
wanita untuk dijadikan istri, baik bagi diri sendiri maupun bagi orang lain.
Ensiklopedi Hukum Islam menyebutkan bahwa khitbah adalah pernyataan
keinginan pihak laki-laki kepada pihak wanita tertentu untuk
mengawininya dan pihak wanita menyebarluaskan berita pertunangan ini.
Pengertian di atas hampir serupa dengan definisi yang
dikemukakan oleh Wahbah az-Zuhailiy, bahwa khitbah adalah pernyataan
keinginan dari seorang lelaki untuk menikah dengan wanita tertentu, lalu
pihak wanita memberitahukan hal tersebut pada walinya. Pernyataan ini
bisa disampaikan secara langsung atau melalui keluarga lelaki tersebut.
Apabila wanita yang di khitbah atau keluarganya sepakat, maka sang lelaki
dan wanita yang dipinang telah terikat dan implikasi hukum dari adanya
khitbah berlaku diantara mereka.
Dalam Fiqh Sunnah”Sayyid Sabiq” maksud dari meminang adalah
seorang laki-laki meminta kepada seorang perempuan untuk menjadi
istrinya, dengan cara yang sudah umum berlaku di tengah-tengah
masyarakat. Meminang termasuk usaha pendahuluan dalam rangka
pernikahan. Peminangan itu disyari’atkan dalam suatu perkawinan yang
waktu pelaksanaannya diadakan sebelum berlansungnya akad nikah.
Keadaan ini pun sudah membudaya di tengah masyarakat dan
dilaksanakan sesuai dengan tradisi masyarakat setempat. Khitbah
merupakan tahapan sebelum perkawinan yang dibenarkan oleh syara’
dengan maksud agar perkawinan dapat dilaksanakan berdasarkan
pengetahuan serta kesadaran masing-masing pihak.

2
B. Hukum Peminangan
Mayoritas ulama’ berpendapat bahwa dalam Islam peminangan
disyari’atkan bagi orang yang hendak menikah. Allah SWT. berfirman
dalam surat al-Baqarah ayat 235, yaitu:
"Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang perempuan-perempuan itu
dengan sindiran atau kamu sembunyikan (keinginanmu) dalam hati."
Peminangan atau khitbah banyak disinggung dalam al-Qur’an dan
hadits Rasulullah saw., akan tetapi tidak ditemukan secara jelas perintah
ataupun larangan untuk melakukan khitbah. Oleh karena itu, tidak ada
ulama yang menghukumi khitbah sebagai sesuatu yang wajib, dengan kata
lain hukum khitbah adalah mubah. Ibnu Rusyd mengatakan bahwa
menurut mayoritas ulama’, khitbah sebagaimana yang telah dilakukan oleh
Rasulullah saw. bukanlah suatu kewajiban. Sedangkan menurut Imam
Daud az-Zahiri hukum khitbah adalah wajib. Perbedaan pendapat diantara
mereka disebabkan karena perbedaan pandangan tentang khitbah yang
dilakukan oleh Rasulullah saw., yaitu apakah perbuatan beliau
mengindikasikan pada kewajiban atau pada kesunnahan.
Imam al-Nawawi menyatakan bahwa hukum peminangan adalah
sunnah, akan tetapi Imam an-Nawawi menegaskan bahwa pendapat dalam
Madzhab Syafi’iyah menghukumi peminangan sebagai sesuatu yang
mubah.
Khitbah dihukumi haram apabila meminang wanita yang sudah
menikah, meminang wanita yang ditalak raj’i sebelum habis masa
iddahnya, dan peminangan yang dilakukan oleh lelaki yang telah memiliki
empat orang istri. Khitbah menjadi wajib bagi orang yang khawatir dirinya
akan terjerumus dalam perzinahan jika tidak segera meminang dan
menikah. Sedangkan khitbah dihukumi mubah apabila wanita yang
dipinang kosong dari pernikahan serta tidak ada halangan hukum untuk
dilamar.

3
C. Syarat-syarat Peminangan
Syarat-syarat meminang ada dua macam, yaitu:

1. Syarat mustahsinah
Syarat mustahsinah adalah syarat yang merupakan anjuran pada
laki-laki yang hendak meminang agar meneliti wanita yang akan
dipinangnya sebelum melangsungkan peminangan. Syarat mustahsinah
tidak wajib untuk dipenuhi, hanya bersifat anjuran dan baik untuk
dilaksanakan. Sehingga tanpa adanya syarat ini, hukum peminangan
tetap sah.
Syarat-syarat mustahsinah tersebut adalah:
a. Wanita yang dipinang hendaknya sekufu atau sejajar dengan laki-
laki yang meminang. Misalnya sama tingkat keilmuannya, status
sosial, dan kekayaan.
b. Meminang wanita yang memiliki sifat kasih sayang dan peranak.
c. Meminang wanita yang jauh hubungan kekerabatannya dengan
lelaki yang meminang. Dalam hal ini sayyidina ‘Umar bin Khattab
mengatakan bahwa perkawinan antara seorang lelaki dan wanita
yang dekat hubungan darahnya akan melemahkan jasmani dan
rohani keturunannya.
d. Mengetahui keadaan jasmani, akhlak, dan keadaan-keadaan
lainnya yang dimiliki oleh wanita yang akan dipinang.
2. Syarat lazimah
Syarat lazimah ialah syarat yang wajib dipenuhi sebelum peminangan
dilakukan. Sah tidaknya peminangan tergantung pada adanya syarat-
syarat lazimah. Syarat-syarat tersebut adalah:
a. Tidak berada dalam ikatan perkawinan sekalipun telah lama
ditinggalkan oleh suaminya.
b. Tidak diharamkan untuk menikah secara syara’. Baik keharaman
itu disebabkan oleh mahram mu’abbad, seperti saudari kandung
dan bibi, maupun mahram mu’aqqat (mahram sementara) seperti

4
saudari ipar. Adapun penjelasan tentang wanita-wanita yang haram
dinikahi  terdapat dalam firman Allah surat an-Nisa’ ayat 22-23.
c. Tidak sedang dalam masa iddah. Ulama sepakat atas keharaman
meminang atau berjanji untuk menikah secara jelas (sarih) kepada
wanita yang sedang dalam masa iddah, baik iddah karena kematian
suami maupun iddah karena terjadi talaq raj’iy maupun ba’in.
Allah SWT. berfirman dalam surat al-Baqarah ayat 235: 
Artinya: “Dan tidak ada dosa bagimu meminang perempuan-
perempuan itu dengan sindiran atau kamu sembunyikan
(keinginanmu) dalam hati. Allah mengetahui bahwa kamu akan
menyebut-nyebut kepada mereka. Tetapi janganlah kamu
membuat perjanjian (untuk menikah) dengan mereka secara
rahasia, kecuali sekedar mengatakan kata-kata yang baik”.
Adapun meminang wanita yang sedang dalam masa iddah
secara sindiran, maka ketentuannya adalah sebagai berikut:
a. Iddah wanita karena suaminya wafat. Dalam hal ini, ulama
sepakat bahwa boleh melakukan pinangan secara kinayah
(sindiran). Karena hak suami sudah tidak ada.
b. Tidak dalam talaq raj’iy. Ulama sepakat bahwa haram
meminang wanita yang dalam masa iddah karena talaq raj’iy,
sekalipun dengan cara sindiran. Karena dalam masa iddah
karena talaq raj’iy, suami wanita tersebut masih memiliki hak
atas dirinya.
c. Pendapat ulama mengenai hukum meminang wanita yang
sedang dalam talaq ba’in, baik sugra maupun kubra, terbagi
atas dua pendapat, yaitu:
 Ulama Hanafiyah mengharamkan pinangan pada
wanita yang sedang dalam talaq ba’in dengan alasan
dalam talaq ba’in sugra  suami masih memiliki hak
untuk kembali pada istri dengan akad yang baru.
Sedangkan dalam talaq ba’in kubra, keharamannya

5
disebabkan karena dikhawatirkan dapat membuat
wanita itu berbohong tentang batas akhir iddahnya, dan
bisa jadi lelaki yang meminang wanita tersebut
merupakan penyebab dari kerusakan perkawinan yang
sebelumnya.
 Jumhur ulama’ berpendapat bahwa khitbah atas wanita
yang sedang dalam iddah talaq ba’in  diperbolehkan,
berdasarkan keumuman dari surat al-baqarah ayat 235
dan bahwa sebab adanya talaq ba’in suami tidak lagi
berkuasa atas istri karena perkawinan diantara mereka
telah putus. Sehingga adanya khitbah secara sindiran
ini tidak mengindikasikan adanya pelanggaran atas hak
suami yang mentalak.

Perihal meminang wanita pada masa iddah akan


dijelaskan secara lanjut pada bagian selanjutnya (F).

d. Tidak dalam pinangan orang lain. Hukum meminang pinangan


orang lain adalah haram, karena dapat menghalangi hak dan
menyakiti hati peminang pertama, memecah belah hubungan
kekeluargaan, dan mengganggu ketentraman. Berdasarkan
hadits nabi saw.:
‫س ِم َع ُع ْقبَةَ بْنَ عَا ِم ٍر َعلَى ا ْل ِم ْنبَ ِر يَقُو ُل‬ َ ُ‫سةَ َأنَّه‬ َ ‫ش َما‬
َ ‫عَنْ َع ْب ِد ال َّر ْح َم ِن ْب ِن‬
‫سلَّ َم قَا َل ا ْل ُمْؤ ِمنُ َأ ُخو ا ْل ُمْؤ ِم ِن فَالَ يَ ِح ُّل‬
َ ‫صلَّى هللا َعلَ ْي ِه َو‬َ ِ ‫سو َل هَّللا‬ ُ ‫ِإنَّ َر‬
‫لِ ْل ُمْؤ ِم ِن َأنْ يَ ْبتَا َع َعلَى بَ ْي ِع َأ ِخي ِه َوالَ يَ ْخطُ َب َعلَى ِخ ْطبَ ِة َأ ِخي ِه َحتَّى يَ َذ َر‬
)‫(رواه مسلم‬
Artinya: “Dari ‘Abdurrahman bin Syamasah, ia mendengar
‘Uqbah bin ‘A>mir mengatakan di Minbar bahwa Rasulullah
saw. bersabda: “Seorang mukmin adalah saudara bagi
mukmin lainnya, maka tidak halal baginya untuk membeli
barang yang dibeli saudaranya, dan jangan meminang
pinangan saudaranya hingga ia meninggalkannya.”

6
‫سلَّ َم‬
َ ‫صلَّى هللا َعلَ ْي ِه َو‬ َ ِ ‫سو ُل هَّللا‬ُ ‫عَنْ َأبِى ُه َر ْي َرةَ رضى هللا عنه قَا َل نَ َهى َر‬
َ‫ َوالَ يَبِي ُع ال َّر ُج ُل َعلَى بَ ْي ِع َأ ِخي ِه َوال‬، ‫اجشُوا‬ ِ ‫َأنْ يَبِي َع َحا‬
َ َ‫ َوالَ تَن‬، ‫ض ٌر لِبَا ٍد‬
‫ق ُأ ْختِ َها لِتَ ْكفََأ َما فِى‬
َ َ‫سَأ ُل ا ْل َم ْرَأةُ طَال‬
ْ َ‫ َوالَ ت‬، ‫ب َعلَى ِخ ْطبَ ِة َأ ِخي ِه‬
ُ ُ‫يَ ْخط‬
َ ‫ِإنَاِئ‬
)‫ها (رواه بخاري‬

Artinya: "Dari Abi Hurairah RA berkata: Rasulullah saw.


melarang untuk menjualkan barang orang desa (menjadi calo),
dan jangan mencampuri barang yang bagus dengan barang
yang jelek, dan jangan membeli barang yang dibeli
saudaranya, jangan meminang pinangan saudaranya serta 
Jangalah seorang wanita meminta (kepada suaminya) untuk
menceraikan madunya agar ia bisa menumpahkan apa yang
ada di bejana madunya tersebut"
‫سلَّ َم قَا َل الَ يَبِ ِع ال َّر ُج ُل َعلَى بَ ْي ِع‬
َ ‫صلَّى هللا َعلَ ْي ِه َو‬
َ ‫َع ِن ا ْب ِن ُع َم َر َع ِن النَّبِ ِّى‬
)‫طبَ ِة َأ ِخي ِه ِإالَّ َأنْ يَْأ َذنَ لَهُ (رواه مسلم‬ ْ ‫َأ ِخي ِه َوالَ يَ ْخطُ ْب َعلَى ِخ‬

Artinya: Dari Ibnu ‘Umar, Nabi saw. bersabda, “seseorang


tidak boleh membeli barang yang dibeli oleh saudaranya, dan
jangan meminang atas pinangan saudaranya hingga ia
mengizinkan.”
Menurut Ibnu Qasim, yang dimaksud larangan disini adalah
apabila lelaki sholeh meminang wanita yang dipinang orang
sholeh pula. Sedangkan apabila lelaki sholeh meminang wanita
yang dipinang orang yang tidak sholeh, maka pinangan
semacam itu diperbolehkan.
Meminang wanita yang telah dipinang orang lain dihukumi
haram apabila perempuan tersebut talah menerima pinangan
yang pertama dan walinya telah jelas-jelas mengizinkannya.
Sehingga peminangan tetap diperbolehkan apabila:

7
a. Wanita atau walinya menolak pinangan pertama secara
terang-terangan maupun sindiran.
b. Laki-laki kedua tidak tahu bahwa wanita tersebut telah
dipinang oleh orang lain.
c. Peminangan pertama masih dalam tahap musyawarah.
d. Lelaki pertama membolehkan lelaki kedua untuk
meminang wanita. Jika seorang wanita menerima pinangan
lelaki kedua dan menikah dengannya setelah ia menerima
pinangan pertama, maka ulama berbeda pendapat, yaitu:
 Menurut mayoritas ulama, pernikahannya tetap sah,
karena meminang bukan syarat sah perkawinan.
Oleh karena itu, pernikahannya tidak boleh difasakh
sekalipun mereka telah melanggar ketentuan
khitbah.
 Imam Abu Daud berpendapat bahwa pernikahan
dengan peminang kedua harus dibatalkan baik
sesudah maupun sebelum persetubuhan.
 Pendapat ketiga berasal dari kalangan Malikiyah
yang menyatakan bahwa bila dalam perkawinan itu
telah terjadi persetubuhan, maka perkawinan
tersebut tidak dibatalkan, sedangkan apabila dalam
perkawinan tersebut belum terjadi persetubuhan,
maka perkawinan tersebut harus dibatalkan.

Perbedaan pendapat diantara ulama di atas


disebabkan oleh perbedaan dalam menanggapi
pengaruh pelarangan terhadap batalnya sesuatu yang
dilarang. Pendapat yang mengatakan bahwa
perkawinannya sah beranggapan bahwa larangan tidak
menyebabkan batalnya apa yang dilarang, sedangkan
pendapat yang mengatakan bahwa perkawinan tidak sah

8
dan harus dibatalkan beranggapan bahwa larangan
menyebabkan batalnya sesuatu yang dilarang.

D. Tata Cara Peminangan


Seorang lelaki yang ingin menyampaikan kehendak untuk
meminang wanita, maka ia perlu mengetahui keadaan wanita tersebut. Jika
wanita yang ingin ia lamar termasuk wanita mujbiroh, maka kehendak
untuk meminangnya disampaikan pada wali wanita tersebut. Rasulullah
saw. bersabda:
َّ‫ث عَنْ يَ ِزي َد عَنْ ِع َرا ٍك عَنْ ع ُْر َوةَ َأن‬ ُ ‫َح َّدثَنَا َع ْب ُد هَّللا ِ بْنُ يُوسُفَ َح َّدثَنَا اللَّ ْي‬
‫شةَ ِإلَى َأبِى بَ ْك ٍر فَقَا َل لَهُ َأبُو بَ ْك ٍر ِإنَّ َما َأنَا‬
َ ‫سلَّ َم َخطَ َب عَاِئ‬ َ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو‬َ ‫النَّبِ َّى‬
‫ فَقَا َل َأ ْنتَ َأ ِخى فِى ِدي ِن هَّللا ِ َو ِكتَابِ ِه َو ِه َى لِى َحالَ ٌل‬، ‫َأ ُخو َك‬
Artinya: ‘Abdullah bin Yusuf menceritakan bahwa Lays bercerita dari
Yazid dari ‘Irak dari ‘Urwah bahwa Nabi Muhammad saw. meminang
‘Aisyah pada Abu Bakr, lalu Abu Bakr berkata pada Nabi:
“Sesungguhnya aku adalah saudaramu”, lalu Nabi saw. bersabda:
“Engkau adalah saudaraku dalam agama dan kitab Allah, dan dia
(‘Aisyah) halal bagiku.”
Apabila wanita yang ingin ia lamar sudah baligh, maka ia bisa
menyampaikan kehendak untuk meminang kepada walinya atau
menyampaikan kepada wanita tersebut secara langsung, berdasarkan sabda
Rasulullah saw. berikut:
‫سلِ ِمينَ َخ ْي ٌر ِمنْ َأبِى‬ ُّ ‫سلَ َمةَ قُ ْلتُ َأ‬
ْ ‫ى ا ْل ُم‬ َ ‫سلَ َمةَ َأنَّ َها قَالَتْ فَلَ َّما َماتَ َأبُو‬ َ ‫عَنْ ُأ ِّم‬
ُ ‫سلَّ َم ثُ َّم ِإنِّى قُ ْلتُ َها فََأ ْخلَفَ هَّللا‬
َ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو‬ َ ِ ‫ول هَّللا‬
ِ ‫س‬ ُ ‫َاج َر ِإلَى َر‬َ ‫ته‬ ٍ ‫سلَ َمةَ َأ َّو ُل بَ ْي‬
َ
‫سلَّ َم‬ َ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو‬ َ ِ ‫سو ُل هَّللا‬ َ ‫سلَّ َم قَالَتْ َأ ْر‬
ُ ‫س َل ِإلَ َّى َر‬ َ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو‬
َ ِ ‫سو َل هَّللا‬ ُ ‫لِى َر‬
‫حا ِط َب بْنَ َأبِى بَ ْلتَ َعةَ يَ ْخطُبُنِى لَهُ فَقُ ْلتُ ِإنَّ لِى بِ ْنتًا َوَأنَا َغيُو ٌر‬.
َ
Artinya: Dari Ummu Salamah bahwasanya dia berkata “Ketika
Abu Salamah wafat, aku berkata siapakah diantara orang-orang islam
yang lebih baik dari Abu Salamah, dia dan keluarganya pertama kali
hijrah pada Rasulullah saw.? Kemudian aku mengucapkan kalimat

9
istirja’, lalu Allah memberi ganti kepadaku yakni Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam.” Ummu Salamah berkata: “Rasulullah mengutus Hatib
bin Abi Balta’ah agar melamarku untuk beliau, lalu aku berkata:
Sesungguhnya aku memiliki seorang anak dan aku adalah wanita
pencemburu.”
Cara penyampaian kehendak peminangan dapat dibedakan menjadi
dua macam, yaitu secara jelas (sarih) dan secara sindiran (kinayah).
Peminangan dikatakan sarih apabila peminang melakukannya dengan
perkataan yang dapat dipahami secara langsung, seperti “aku ingin
menikahi Fulanah”. Peminangan secara kinayah dilakukan dengan cara
peminang menyampaikan kehendaknya secara sindiran atau memberi
tanda-tanda kepada wanita yang hendak dilamar (bi al-kinayah aw al-
qarinah). Seperti: kamu telah pantas untuk menikah.
Peminangan sunnah dimulai dengan bacaan hamdalah dan pujian-
pujian pada Allah SWT. serta salawat pada Rasulullah saw. yang
dilanjutkan dengan wasiat untuk bertaqwa kepada Allah SWT., setelah itu
barulah lelaki yang akan meminang menyampaikan keinginannya.
Kesunnahan ini hanya berlaku bagi khitbah yang boleh dilakukan secara
terang-terangan, tidak pada khitbah yang hanya boleh dilakukan dengan
cara sindiran

Dalam Islam, bertunangan sebagaimana praktek yang umumnya


terjadi di tengah masyarakat tidak memiliki dasar baik dari al-Qur’an
maupun hadis Nabi saw., karena merupakan tradisi yang muncul dan
berkembang dalam masyarakat tertentu. Namun terkadang, istilah
tunangan ini sering diidentikkan oleh sebagian orang dengan
istilah khitbah. Padahal antara “Tunangan” dan “Khitbah” (melamar)
memiliki perbedaan yang cukup mendasar. Khitbah merupakan proses
melamar wanita yang akan dinikahinya yang selanjutnya dalam waktu
yang tidak terlalu lama dilanjutkan dengan proses pernikahan.

10
Khitbah menurut syari’at Islam adalah langkah penetapan atau
penentuan sebelum pernikahan dilakukan dengan penuh kesadaran,
kemantapan  dan ketenangan untuk menentukan pilihannya, sehigga tidak
terlintas dalam benaknya untuk membatalkan pinangan tanpa ada faktor
yang dibenarkan. Hal ini karena membatalkan pinangan dapat menyakiti
perasaan wanita yang dipinang beserta keluarga besarnya, merusak
kemuliaan dan nama baiknya, dapat memutuskan tali silaturrahim serta
tidak sesuai dengan akhlak yang mulia (akhlaq karimah). Dengan
demikian, khitbah merupakan sebuah proses pra nikah yang diperbolehkan
dalam Islam.
Istilah khitbah dalam syari’at Islam dapat ditemukan dalam
beberapa hadis Nabi saw., antara lain:
ُ ‫ َع بَع‬L ‫لَّ َم َأ ْن يَبِي‬L‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َس‬
‫ ُك ْم‬L‫ْض‬ ِ ‫َأ َّن ا ْبنَ ُع َم َر َر‬
َ ‫ض َي هللاُ َع ْنهُ َما َكانَ يَقُو ُل نَهَى النَّبِ ُّي‬
ُ‫ ا ِطب‬L‫هُ ْال َخ‬Lَ‫ْأ َذنَ ل‬Lَ‫هُ َأوْ ي‬Lَ‫ ا ِطبُ قَ ْبل‬L‫ك ْال َخ‬ ْ ‫ب ال َّر ُج ُل َعلَى ِخ‬
َ ‫طبَ ِة َأ ِخي ِه َحتَّى يَ ْت ُر‬ َ ُ‫ْض َواَل يَ ْخط‬
ٍ ‫َعلَى بَي ِْع بَع‬
]‫[رواه البخارى‬.
“Bahwa Ibnu Umar ra. [diriwayatkan] berkata, Nabi saw. telah
melarang sebagian kalian untuk berjual beli atas jual beli
saudaranya, dan janganlah seseorang meminang atas pinangan orang
lain sehingga ia meninggalkannya atau ia telah diberi izin oleh sang
peminang pertama.” [HR. al-Bukhari].
Dalam hadis lain juga disebutkan pula:
‫ِإ َّن‬Lَ‫ال ِإيَّا ُك ْم َوالظَّ َّن ف‬L َ ‫ال قَا َل َأبُو هُ َر ْي َرةَ يَْأثُ ُر ع َْن النَّبِ ِّي‬
َ Lَ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم ق‬ َ َ‫ج ق‬ ِ ‫ع َْن اَأْل ْع َر‬
‫ ُل َعلَى‬L‫ث َواَل تَ َج َّسسُوا َواَل تَ َح َّسسُوا َواَل تَبَا َغضُوا َو ُكونُوا ِإ ْخ َوانًا َواَل يَ ْخطُبُ ال َّر ُج‬ ِ ‫الظَّ َّن َأ ْك َذبُ ْال َح ِدي‬
]‫ك [رواه البخاري و مسلم‬ ْ ‫خ‬.
َ ‫طبَ ِة َأ ِخي ِه َحتَّى يَ ْن ِك َح َأوْ يَ ْت ُر‬ ِ
“Dari al-A’raj [diriwayatkan] ia berkata; Abu Hurairah berkata;
Satu warisan dari Nabi saw., beliau bersabda: Jauhilah oleh kalian
prasangka, sebab prasangka itu adalah ungkapan yang paling dusta. Dan
janganlah kalian mencari-cari aib orang lain, jangan pula saling menebar
kebencian dan jadilah kalian orang-orang yang bersaudara. Janganlah
seorang laki-laki meminang atas pinangan saudaranya sampai ia
menikahinya atau meninggalkannya.” [HR. al-Bukhari dan Muslim]

11
Sedangkan praktik bertunangan dengan saling memakaikan cincin,
saling pegangan atau bahkan dengan cium kening atau pipi pasangannya,
dalam syari’at Islam termasuk sesuatu yang dilarang, karena dua insan
yang menjalin ikatan pertunangan maupun khitbah tetaplah sebagai
pasangan yang belum diikat dengan pernikahan yang syar’i, sehingga
mereka tidak bisa leluasa untuk melakukan berbagai tindakan sebagaimana
layaknya pasangan suami-istri, seperti berduaan, berpegangan tangan,
maupun hidup serumah.
Dengan demikian, ungkapan yang menyatakan bahwa “Seorang
tunangan laki-laki mempunyai setengah kewajiban dari calon istrinya”,
tentu merupakan pernyataan dan sikap yang tidak memiliki dasar sama
sekali. Dengan ungkapan lain; bahwa orang yang bertunangan tidak
memiliki kewajiban maupun hak untuk memberi dan mendapatkan nafkah
baik lahir (sandang, pangan dan papan) maupun nafkah batin.
Namun jika yang dimaksudkan itu adalah kewajiban untuk
menjaga janji atau kesepakatan bersama atau menjaga nama baik masing-
masing pihak, maka itu merupakan kewajiban setiap orang yang menjalin
perjanjian atau hubungan kerjasama (muamalah) selama hal tersebut tidak
bertentangan dengan norma dan hukum agama. Oleh sebab itu, sebagai
sebuah tradisi yang dilakukan oleh sebagian masyarakat, bertunangan
perlu diatur dan diberikan rambu-rambu atau ketentuan-ketentuan agar
tidak bertentangan dengan syari’at Islam, antara lain:
Laki-laki dan wanita yang menjalin ikatan pertunangan tidak boleh
melakukan sesuatu yang bertentangan dengan hukum agama Islam, seperti
bersentuhan, berduaan, atau tinggal serumah layaknya pasangan suami-
istri serta berbagai tindakan yang dilarang oleh agama. Hal ini
sebagaimana ditegaskan dalam hadis Nabi saw:
‫ َع ِذي‬L‫ا ْم َرَأ ٍة ِإاَّل َم‬LLِ‫ ٌل ب‬L‫ َو َّن َر ُج‬L ُ‫ا َل اَل يَ ْخل‬LLَ‫لَّ َم ق‬L ‫ ِه َو َس‬L‫لَّى هللاُ َعلَ ْي‬L‫ص‬
َ ‫س ع َْن النَّبِ ِّي‬
ٍ ‫ع َْن ا ْب ِن َعبَّا‬
]‫ َمحْ َر ٍم [رواه البخاري ومسلم‬.

12
“Dari Ibnu Abbas [diriwayatkan] dari Nabi saw., beliau bersabda:
Janganlah sekali-kali seorang laki-laki berduaan dengan perempuan
kecuali dengan ditemani mahramnya” [HR. al-Bukhari dan Muslim].
Hendaknya saling menjaga nama baik diri dan keluarga besar
masing-masing pihak, dengan tidak menceritakan aib atau kekurangan
pihak lain serta tidak melakukan berbagai tindakan dan pernyataan yang
dapat merusak nama baik diri maupun keluarga besarnya.
َ LL‫ض َي هللاُ َع ْنهُ َما َأ ْخبَ َرهُ َأ َّن َر ُس‬
ِ‫ول هللا‬ ِ ‫ب َأ َّن َسالِ ًما َأ ْخبَ َرهُ َأ َّن َع ْب َد هللاِ ْبنَ ُع َم َر َر‬ ٍ ‫ع َْن ا ْب ِن ِشهَا‬
ُ‫انَ هللا‬LL‫ ِه َك‬L‫ ِة َأ ِخي‬L‫انَ فِي َحا َج‬LL‫ظلِ ُمهُ َواَل يُ ْسلِ ُمهُ َو َم ْن َك‬ ْ َ‫ال ْال ُم ْسلِ ُم َأ ُخو ْال ُم ْسلِ ِم اَل ي‬
َ َ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم ق‬
َ
‫لِ ًما‬L‫تَ َر ُم ْس‬L‫ َو َم ْن َس‬ ‫ ِة‬L‫وْ ِم ْالقِيَا َم‬LLَ‫ت ي‬
ِ ‫ا‬LLَ‫ةً ِم ْن ُك ُرب‬Lَ‫فِي َحا َجتِ ِه َو َم ْن فَ َّر َج ع َْن ُم ْسلِ ٍم ُكرْ بَةً فَ َّر َج هللاُ َع ْنهُ ُكرْ ب‬
]‫[رواه البخاري ومسلم‬ ‫ َست ََرهُ هللاُ يَوْ َم ْالقِيَا َم ِة‬.
“Dari Ibnu Syihab bahwa Salim mengabarkannya bahwa Abdullah
bin Umar ra. mengabarkannya bahwa Rasulullah saw. bersabda: Seorang
muslim adalah saudara bagi muslim lainnya, dia
tidak boleh menzhaliminya dan tidak membiarkannya untuk
disakiti. Barangsiapa yang membantu kebutuhan saudaranya maka Allah
akan membantu kebutuhannya. Barangsiapa yang menghilangkan suatu
kesusahan seorang muslim, maka Allah menghilangkan satu kesusahan
baginya dari kesusahan-kesusahan hari kiamat. Dan barangsiapa yang
menutupi (aib) seorang muslim maka Allah akan menutup aibnya pada
hari kiamat” [HR. al-Bukhari dan Muslim].
Menjaga dan menepati janji yang telah diikrarkan di hadapan
keluarga besarnya, karena melanggar janji merupakan perbuatan tercela
dan termasuk ciri-ciri orang munafik.
‫ب َوِإ َذا‬
َ ‫ َذ‬L‫ث َك‬ ِ ِ‫اف‬LLَ‫ال آيَةُ ْال ُمن‬
ٌ ‫ق ثَاَل‬
َ ‫ َّد‬L‫ث ِإ َذا َح‬ َ ‫ع َْن َأبِي هُ َري َْرةَ ع َْن النَّبِ ِّي‬
َ َ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم ق‬
]‫ َو َع َد َأ ْخلَفَ َوِإ َذا اْؤ تُ ِمنَ َخانَ [رواه البخاري ومسلم‬.
“Dari Abu Hurairah [diriwayatkan] dari Nabi saw., beliau
bersabda: Tanda-tanda munafiq ada tiga; jika berbicara dusta, jika
berjanji mengingkari dan jika diberi amanat dia khianat” [HR. al-Bukhari
dan Muslim].

13
Pada prinsipnya, seseorang tidak boleh mengambil kembali barang
yang telah diberikan kepada pihak lain, kecuali jika terjadi pengkhianatan
terhadap kesepakatan yang telah diikrarkan sejak awal, hal ini didasarkan
pada hadis Nabi saw:
“Dari Ibnu Abbas ra. [diriwayatkan] dari Rasulullah saw., beliau
bersabda: Orang yang menarik (mengambil) kembali pemberiannya,
seperti seekor anjing yang muntah dan memakan (menjilat) kembali
muntahannya” [HR. al-Bukhari dan Muslim]
Seseorang yang sudah berniat untuk menikah, sepatutnya segera
menikah tanpa harus menunggu-nunggu atau menunda-nunda, baik dengan
cara bertunangan atau sejenisnya untuk menghindari sesuatu yang dilarang
oleh agama seperti berkhalwat (berdua-duaan), pegang-pegangan dan
tindakan lain yang dilarang oleh agama.
“Dari Alqamah [diriwayatkan] ia berkata: Sesungguhnya Nabi
saw. telah bersabda kepada kita: Wahai sekalian pemuda, siapa di antara
kalian yang telah mempunyai kemampuan menanggung beban pernikahan,
maka hendaklah ia menikah, dan barangsiapa yang belum mampu,
hendaklah ia berpuasa karena hal itu akan lebih bisa meredakan
gejolaknya” [HR. al-Bukhari dan Muslim]
Namun jika hal tersebut dilakukan karena pertimbangan tertentu
yang sangat vital, maka hendaknya dilaksanakan layaknya silaturrahim
dua keluarga besar untuk menjalin sebuah komunikasi dan komitmen
tentang masa depan hubungan anaknya sebelum melangkah ke pelaminan
(ta’aruf), serta menghindari hal-hal yang dilarang oleh agama seperti
berduaan (berkhalwat), tinggal serumah, berpegangan, maupun
mengadakan kegiatan (seremonial) yang berlebihan (tabzir). Hal ini karena
sesuatu yang disyari’atkan dalam konteks pernikahan
adalah; khitbah untuk mengenal calon pasangan, akad nikah dan walimah,
dan bukan dengan cara-cara yang tidak dituntunkan oleh agama serta
membuka peluang terjadinya pelanggaran terhadap ajaran agama.
Demikian jawaban dari kami terkait hal tentang bertunangan tersebut.

14
BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan
Peminangan adalah suatu usaha yang dilakukan mendahului
perkawinan dan menurut biasanya setelah itu baru dilangsungkan akad
perkawinan. Dalam hal peminangan juga ada syarat-syarat orang yang
akan dipinang, salah satunya; orang yang akan dipinang tidak sedang
dalam pinangan orang lain. Jika telah dilakukan peminangan, maka hal-hal
yang boleh dilakukan masih terbatas karena belum adanya akad
pernikahan yang sah. Dalam hal ini Fuqaha berbeda pendapat, ada yang
mengatakan boleh seluruh badannya dilihat, dan ada yang mengatakan
hanya boleh muka dan telapak tangan saja.
Dalam masa antara peminangan dan akad pernikahan, jika
seandainya nanti ada hal-hal tertentu yang mengakibatkan batalnya
peminangan, maka barang yang diberikan kepada orang yang dipinang
berhak diminta kembali karena pihak perempuan belum mempunyai hak
sedikitpun terhadap barang tersebut. Yang perlu kita ketahui bahwa dalam
pinangan itu sebenarnya hanyalah merupakan perjanjian untuk melakukan
akad nikah, bukan sudah terjadi akad nikah.

B. Saran
Dalam makalah ini masih banyak kekurangan dan kekhilafan, oleh
karena itu pemakalah mengharapkan kritik dan saran terutama dari
dosen pengampuh demi kesempurnaan makalah ini.

15
DAFTAR PUSTAKA
http://www.fiqihkehidupan.com/bab.php?id=137 (diakses tanggal 21 Maret 2016)

https://almanhaj.or.id/3231-khitbah-peminangan.html (diakses tanggal 21 Maret


2016)

16

Anda mungkin juga menyukai