Anda di halaman 1dari 10

Perkembangan Pemikiran Modern Dalam Islam

Fakultas Adab dan Humaniora UINSA

Dosen pengampu: (Imam Ghazali Said)

Tri Prasetyo Novanto

03040220106

Perkembangan Pemikiran Modern dalam Islam VI B

Soal

1. Rekonstruksi poin-poin penting dan substantif artikel yang sudah anda tulis dan anda
presentasi dalam diskusi kelas. (Jawaban antara 800-100 kata)
2. Seorang pembaharu muncul karena tantangan agar Islam tetap relevan dalam berbagai
situasi. Faktor apa yang membuat Syeikh M Abduh "tidak terbuai" dengan agitasi
politik Jamaluddin al-Afgani (jawaban minimal 500 kata)
3. Apa motivasi Sir Ahmad Khan di India bekerja sama dengan Inggris ? Apakah anda
bisa mengungkap perbedaan dan persemaan antar Sir Ahmad di India dengan Sayyid
Usman yang diangkat oleh Belanda sebagai mufti Islam di Batavia ? (Jawaban
maksimal 500 kata).
4. Setelah anda membaca pemikiran dan tantangan yang dihadapi oleh para pembaharu,
siapa diantara mereka yang paling anda kagumi ? Apa alasannya (Jawaban maksimal
500 kata). Jawaban terhadap 4 pertanyaan di atas sudah saya terima maksimal 8 Juli
2023

Jawaban

1. Mohammed Arkoun lahir pada tanggal 1 Februari 1928 dalam keluarga biasa di
perkampungan Barber yang berada di kaki gunung Taorirt-Mimoun, Kabilia sebelah
timur Aljir, Aljazair. Dari keluarga yang berada dalam strata fisik dan sosial yang
rendah membuat dirinya terpacu untuk memperbaiki kahidupannya dari segi
pendidikan hingga menghabiskan sebagian waktunya untuk berkarir di negara
Perancis. Dengan menguasai tiga bahasa (Kabilia Barber sebagai bahasa ibu, bahasa
Arab sebagai bahasa nasional Aljazair, dan bahasa Perancis), sesungguhnya mewakili
tiga tradisi, orientasi budaya, cara berpikir dan cara memahami yang berbeda.
Apa yang diinginkan oleh Arkoun sebenarnya adalah bagaimana menghadirkan
wahyu dalam konteks sejarah. Dengan kata lain, ia ingin membumikan teologi Islam
dalam kerangka kekinian yang terkait dengan kehidupan modern. Warisan pemikiran
Islam bukanlah sesuatu yang ahistoris. Ia berkait kelindan dengan realitas yang
mengitarinya. Arkoun mengatakan bahwa “kita harus mengetahui bahwa al-Qur‟an
adalah wacana yang mengakar dalam sebuah sejarah yang dinamis dan dapat
dirasakan”. Artinya bahwa ia terangkai dalam sejarah keseharian dan kebiasaan yang
lebih besar. Hanya saja, realitasnya menggambarkan bagaimana aspek kesejarahannya
menjadi terhalang dan berubah menjadi “sesuatu yang suci dan transenden”. Dengan
kata lain, pemikiran teologi Islam lebih sebagai dogma yang tidak perlu disentuh
apalagi dibongkar karena ia seakan-akan berada di luar sejarah.
Untuk dapat menangkap aspek kesejarahan wacana qurani diatas, maka menurut
Arkoun, kita tidak boleh menutup mata terhadap metode dan pendekatan Barat dalam
memahami sesuatu, seperti ilmu bahasa (linguistik), humaniora, sejarah, sosiologi,
bahkan epistemologi, arkeologi serta geneologi. Ilmu-ilmu ini penting untuk diketahui
agar makna yang terbangun pada awal munculnya warisan Islam dapat terungkap. Sisi
inilah yang membuat pikiran Arkoun menjadi menarik untuk ditelaah lebih jauh di
samping keunikannya tetapi juga keberaniannya untuk menyentuh sesuatu yang telah
disakralkan pada pergulatan pemikiran teologi Islam.
Sebagai seorang pemikir pascamodern, Arkoun memiliki pandangan-pandangan yang
sangat sulit dicerna, apalagi epistemologinya. Untuk memahami pemikirannya secara
menyeluruh, kita perlu mendalami ilmu pengetahuan mutakhir yang berkembang
terutama di Prancis, seperti linguistik, antropologi, semiotika, serta perbagai gagasan
dan pendekatan wacana pascamodern yang sangat diakrabi oleh Arkoun. Arkoun
menggunakan bahasa yang rumit dalam karyanya. Seperti dikemukakannya sendiri,
hampir mustahil mengungkapkan gagasan dalam bahasa bangsa yang belum
memikirkannya. Dalam hal ini, Arkoun mengikuti tradisi Prancis tertentu. Salah satu
aspek dari kesulitan bahasa Arkoun adalah kecenderungannya menggunakan aneka
istilah dan ungkapan tanpa rumusan yang jelas atau dalam berbagai arti yang berbeda.
Hal itu antara lain disebabkan banyaknya sumber rujukan yang digunakan secara
variatif.
Kegelisahan Arkoun yang mewarnai hampir seluruh pemikirannya merupakan
kenyataan adanya dikotomi-dikotomi di dalam masyarakat, khususnya masyarakat
muslim. Dikotomi tersebut secara garis besar banyak bersentuhan dengan
persoalanpersoalan particularity versus (vs) universality, dan marginality vs centrality.
Problem ini tercermin dari adanya pembagian dunia secara berhadap-hadapan, seperti
Sunni dengan Syi’ah, kaum mistik dengan kaum tradisionalis, muslim dengan
nonmuslim, Berber (non-Arab) dengan Arab, Afrika (Asia) dengan Eropa dan
sebagainya. Oleh karena itu, dunia yang di tuju oleh Arkoun adalah dunia yang tidak
ada pusat, tidak ada pinggiran, tidak ada kelompok yang mendominasi, tidak ada
kelompok yang terpinggirkan, tidak ada kelompok yang superior, dan tidak ada
kelompok yang inferior di dalam menghasilkan sebuah kebenaran.
Arkoun berusaha mengajukan pertanyaan yang kritis kepada kita, yaitu “Bagaimana
seluruh manusia bisa menjadi dirinya sendiri dengan identitas sendiri tanpa
menyendiri dari pada tetangga dan sesama manusia lainnya?” Bagi orang Islam,
Arkoun bertanyatanya,” Dapatkah identitas muslim didamaikan dengan identitas non
muslim?”
Metodologi dam pendekatan yang dilakukan oleh Mohammed Arkoun, sedikit banyak
telah dipengaruhi oleh dua kekuatan tradisi pemikiran yang telah ada, yaitu tradisi
pemikiran budaya Timur Tengah Kuno yang memilik tempat khusus di dalam
pemikiran Yunani dan tardisi pemikiran monoteisme yang dibawa oleh para nabi.
Sehingga Arkoun mengemukakan bahwa dirinya sebagai pengguna metodologi
historis-kritis yang mencoba merespon rasa keingintahuannya secara modern, karena
metodologi ini nilainya dapat menelusuri studi tentang pengetahuan mistis yang tidak
hanya dibatasi dengan mentalitas lama. Dengan demikian, menurut Arkoun, saat ini
usaha intelektual utama yang harus dipresentasikan secara luas ke dalam pemikiran
tentang Islam dan tentang agama lainnya adalah bagaimana mengevaluasi
karakteristikkarakteristik dari sistem ilmu pengetahuan yang historis dan mistis
dengan perspektif epistimologis yang baru.
Muhammad Arkoun sebagai salah satu tokoh di antara banyaknya pemikir dan tokoh
muslim yang memberikan tawaran dalam metodologi penafsiran Al-Qur’an. Teori-
teori yang muncul dalam hal penafsiran Al-Qur’an pun juga sangat kaya. Muhammed
Arkoun menawarkan kajian yang cukup menggingit dan berani dalam pembacaannya
terhadap al-Qur’an. Secara radikal Arkoun mempersoalkan kembali esensi wahyu
sebagai kalam Allah yang transenden dan wacana wahyu sebagai perwujudan kalam
tersebut dalam dataran imanen. Ia menekankan pembacaan al-Qur’an sebagai kajain
yang memungkinkan suatu pembacaan yang ideal bertepatan dengan maksud-maksud
pemaknaan yang asli dari al-Qur’an pada tahap wacana bukan pada tahap teks.
Dengan mengadopsi ilmu-ilmu barat kontemporer dalam menafsirkan Al-Qur’an, baik
itu ilmu linguistik, sejarah, antropologi dan yang lainnya, dia mengharapkan akan
menghasilkan penafsiran baru yang belum pernah dilakukan oleh ilmuan muslim
sebelumnya. Ia telah mengangkat hermeneutika al-Qur’an dalam terma-terma
kontemporer modern sehingga penafsiran al-Qur’an yang ia tawarkan cukup
menggeser peran metode tafsir al-Qur’an bil ma’tsur.
Sebagai seorang intelektual yang hidup di dua dunia, timur dan barat, Pemikiran dan
karya-karya Arkoun sangat ketara dipegaruhi oleh gerakan (post) strukturalitis
Perancis. Metode historisme yang dipakai Arkoun adalah formulasi ilmu-ilmu sosial
barat modern hasil ciptaan para pemikir (post) strukturalis Perancis referensi
utamanya adalah De Sausure (linguistik), Levi Staurus (antropologi), Lacan
(psikologi), Barthes (smiologi), Foucault (epistimologi), Derrida (grammatologi)
filosof Perancis Paul Ricour, antropolog seperti Jack Goody dan Pierre Bourdieu.
Arkoun memanfaatkan keilmuan Barat Modern khususnya Perancis dengan
memanfaatkan segala keilmuan mutakhir (ilmu-ilmu sosial dan ilmu bahasa) seperti
ilmu sosiologi, antropologi, linguistik untuk pemikiran Islam.
2. Posisi yang dimainkan oleh Jamaluddin Al-Afghani dan M. Abduh pada pemikiran
Islam modern sangat berpengaruh sekali pada negeri-negeri muslim. Penghormatan
mereka pada akaldan hukum alam dan Tuhan yang tak menyangkal keduanya.
Dengan latar belakang filsafat muslim, memungkinkan mereka memberikan pengaruh
lslam tentang pengajaran modernisasi. Mereka mengajarkan hal-hal yang dianjurkan
oleh filosof muslim, menyampaikan agama yang ortodoks kepada masyarakat awam,
ketuhanan yang rasional pada kaum elit.
Keduanya juga anti kolonialisme dan anti imperialisme yang dilakukan oleh negara
Eropa, seperti Prancis dan lebih-lebih Inggris dan keinginan mereka mempertahankan
kebebasan negeri-negeri muslim. Al-Afghani menekankan aspek-aspek pragmatis dan
internal dalam pengembangan diri, termasuk pendidikan teknik dan ilmiah. Meskipun
sebagian pengagumnya menunjukkan pada ucapan-ucapan pro konstitusional yang
sangat jarang dari al-Afgani, hal ini sebagian besar terbatas di Mesir, pada tahun 1870
an, ketika konstitusi menjadi isu praktis. Al-afghani kerap bekerja sama dengan
penguasa otokratis dan baru menjelang akhir hayat dia mengatakan penyesalan serta
berbicara tentang perlunya membangkitkan rakyat. Sebagai seorang orator ulung di
Mesir, Al-Afghani bisa mempengaruhi masyarakat dengan ide dan gerakan politik
sehingga dapat membangkitkan semangat umat dan menuangkan dalam bentuk tulisan
untuk tujuan-tujuan politiknya.
Kepopuleran al-Afghani semakin meningkat justru setelah kematiannya. Abduh
sebagai muridnya, kendatipun meninggalkan aktivisme politik al-Afghani, dia
meneruskan satu aspek dari upaya al-Afghani ketika mencoba mengembangkan
penafsiran modern dan pragmatis atas Islam.
Muhammad Rasyid Ridho, murid Abduh, secara khusus menekankan pengaruh al-
Afghani, sekalipun dalam penekanan pada Islam, Ridho lebih konservatif. Al-Afghani
dan Abduh, Ridho dan tokoh lain-terutama di AfrikaUtara, sering dicirikan sebagai
kaum Salatiyyah, yaitu mereka yang menginginkan kembali pada jalan pengikut awal
Muhammad.
Lebih lanjut, al-Alghani melihat bahwa kemunduran umat Islam bukan disebabkan
ketidaksesuaian Islam dengan perkembangan zaman dan perubahan kondisi.
Kemunduran mereka disebabkan beberapa faktor28. Umat Islam telah dipengaruhi
silatstatis, berpegang pada taklid, bersikap fatalis, telah meninggalkan akhlak yang
tinggi, dan telah melupakan ilmu pengetahuan. Artinya, umat Islam telah
meninggalkan ajaran Islam yang sebenarnya yang menghendaki agar umat Islam
bersifat dinamis, tidak bersifat fatalis, berpegang teguh pada akhlak yang tinggi, dan
mencintai ilmu pengetahuan. Sikap statis itu menyebabkan umat Islam tidak
berkembang, dan hanya mengikuti apa yang telah menjadi hasil ijtihad ulama sebelum
mereka. Mereka kiranya bersikap menyerah dan pasrah kepada nasib.
Faktor lain ialah adalah paham Jabariyah dan salah paham terhadap Qada (ketentuan
Tuhan yang tercantum di Lauh Mahfuz/belum terjadi dan Qadar ketentuan Tuhan
yang sudah terjadi). Paham itu menjadikan umat Islam tidak mau berusaha sungguh-
sungguh dan bekerja giat. Menurut pemikiran al-Afghani, Qada dan Qadar
mengandung pengertian bahwa segala sesuatu terjadi menurut sebab musabab
(kausalitas). Kurangnya pendidikan dan pengetahuan umat lslam tentang dasar ajaran
agama mereka, lemahnya rasa persaudaraan, perpecahan di kalangan umat Islam yang
dibarengi dengan pemerintahan absolut, kepercayaan kepada pemimpin yang tidak
dapat dipercaya, dan kurangnya pertahanan militer, merupakan faktor yang ikut
membawa kemunduran umat Islam. Semua faktor ini menjadikan umat Islam lemah,
statis, fatalis, dan mundur. Al-Afghani dan Abduh ingin melihat umatnya kuat,
dinamis, dan maju. Jalan keluar yang ditunjukkannya untuk mengatasi keadaan ini
ialah melenyapkan pengertian salah yang dianut umat Islam dan kembali kepada
ajaran Islam yang sebenarnya. Menurut mereka, Islam mencakup segala aspek
kehidupan, baik ibadah, hukum maupun sosial. Corak pemerintahan otokrasi harus
diubah dengan corak pemerintahan demokrasi, dan persatuan umat Islam harus
diwujudkan kembali. Kekuatan dan kelanjutan hidup umat Islam bergantung pada
keberhasilan pembinaan persatuan dan kerjasama.
Mereka pun meninggalkan banyak karya, baik dari aspek pemikiran seperti: teologi,
sosial, politik, militer, pendidikan dan pengajaran. Yang perlu diingat pengaruh tokoh
ini sampai sekarang menjadi rujukan bagi aktivis muslim, khususnya di Indonesia.
3. Inti dari pemikiran Ahmad Khan adalah merubah konfrontasi menjadi kompromi,
permusuhan menjadi persahabatan. Sikap menolak semua ide dari barat diubah
dengan sikap kooperatif dengan mempelajari kemajuan peradaban dan teknologi yang
ada pada penjajah tersebut. Baginya perlawanan terhadap Inggeris hanya akan
menambah kehancuran umat Islam.
Untuk itu dia berusaha memberi keyakinan kepada pihak Inggeris bahwa pada
pemberontakan tahun 1857 umat Islam bukan pemeran utama. Kemarahan umat Islam
terjadi karena ada informasi yang menyatakan bahwa penjajah Inggeris akan
melakukan kristenisasi di India. Pada sisi lain penjajah Inggeris juga tidak memahami
permasalahan sensitif di kalangan masyarakat setempat sehingga banyak tindakan
mereka yang menimbulkan kemarahan di tengah masyarakat.
Banyak cadangan dan pemikiran Ahmad Khan yang dipakai oleh penjajah Inggeris
sehingga dapat memperbaiki hubungan India dengan Inggeris, khususnya umat Islam.
Di atas jasa-jasanya tersebut maka kerajaan Inggeris menganugerahkan gelaran Sir
kepadanya. Hubungannya dengan pihak Inggris menjadi baik dan ini ia pergunakan
untuk kepentingan umat Islam India.
Sayyid Ahmad Khan berpendapat bahwa peningkatan kedudukan umat Islam India
dapat diwujudkan hanya dengan bekerja sama dengan Inggris. Inggris telah
merupakan penguasa yang terkuat di India dan menentang kekuasaan itu tidak akan
membawa kebaikan bagi umat Islam India. Hal ini akan membuat mereka tetap
mundur dan akhirnya akan jauh ketinggalan dari masyarakat Hindu India.
Pandangan Sayyid Usman terhadap gejala kolonialisme pun mendapat sorotan.
Alihalih mendukung gerakan pembaharuan Islam, sang mufti Betawi justru malah
mengecam gerakan yang menjadi musuh besar kolonialisme Eropa tersebut. Meskipun
ia tidak pernah secara langsung menyebutkan pembaharuan Islam yang dikecamnya
berada di wilayah Nusantara, namun kritiknya jelas sekali terlihat di dalam
karyakaryanya yang membahas wacana dan ide-ide pembaharuan seperti Tarîq al-
Salâmah min al-Khusrân wa al-Nadâmah (1911); Salâmat alMuslimîn min al-Ibtidâ’
fî alDîn(1911); Fasl al-Khitâb fî Bayân alSawâb (1911); I’ânat alMustarsyidîn ‘alâ
Ijtinâb al-Bida’ fî al-Dîn (1911); ‘Ainu al-Haqq wa Faslu al-Khitâb (1905); Jam’u
alNafâ`is li Tahsîn al-Madâris (1909); dan al-Haqq al-ladzî Yajibu Ittibâ’uhu fî al-
Dîn (tt). Di samping itu, jabatannya sebagai salah seorang penasehat kolonial dan juga
sejumlah aktivitasnya yang seringkali membantu pemerintah menunjukkan dengan
jelas bahwa tokoh tersebut tidak pernah mencoba memberi kecaman terhadap
pemerintah kolonial, dan malah seolah-olah menjaga status dua kekuasaannya.
Meskipun demikian, kondisi saat itu jauh berbeda dengan konteks kekinian sehingga
apa yang dilakukan sang sayyid mesti dipandang secara jernih dalam konteks ilmiah
dan keilmuan.
Pemikiran Sayyid Ahmad Khan tentang pembaruan Islam adalah sebagai
berikut:
• Kemunduran umat Islam disebabkan tidak mengikuti perkembangan
zaman dengan cara menguasai sains dan teknologi.
• Ia berpendirian bahwa manusia bebas berkehendak dan berbuat sesuai
dengan sunatullah yang tidak berubah. Gabungan kemampuan akal,
kebebasan manusia berkehendak dan berbuat, serta hukum alam inilah
yang menjadi sumber kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi
modern.
• Sumber ajaran Islam hanyalah al-Qur’an dan hadis.
• Ia menentang taklid dan perlu adanya ijtihad sehingga umat Islam
dapat berkembang seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi modern.
• Ia berpendapat satu-satunya cara untuk mengubah pola pikir umat
Islam dari keterbelakangan adalah pendidikan.

4. Sayyid Utsman lahir di Pekojan. Ayahnya bernama Sayid Abdullah bin Aqil
bin Umar bin Yahya. Ibunya bernama Aminah binti Syekh Abdurrahman
AlMishri yang tidak lain salah seorang ulama terkemuka di zamannya. Sejak
kecil ia gemar menuntut ilmu. Menginjak usia remaja, ia menunaikan ibadah
haji di Mekkah lalu bertahan di sana selama 7 tahun. Di sana ia mengaji
kepada ayahnya sendiri dan mufti Mekkah bermazhab Syafi’i Sayid Ahmad
Zaini Dahlan.
Pada 1848 M Sayyid Utsman bergerak menuju Hadhramaut. Di negeri ini ia
berguru kepada Habib Abdullah bin Umar bin Yahya, Habib Hasan bin
Shaleh Al-Bahar, Syekh Abdullah bin Husein bin Thahir, dan Habib Alwi
bin Saggaf Al-Jufri. Lepas dari Hadhramaut, ia melanglang buana mengejar
ilmu ke sejumlah negeri. Sayyid Utsman mengunjungi antara lain Mesir,
Tunis,
Istambul, Persia, dan Syiria, (Ulama Betawi, Studi Tentang Jaringan Ulama
Betawi dan Kontribusinya terhadap Perkembangan Islam Abad ke-19 dan
20, Ahmad Fadli HS).
Pada 1862 M, Sayyid Utsman tiba di tanah air. Belanda mengangkatnya
sebagai mufti di Jakarta, menggantikan Syekh Abdul Ghani yang usianya
semakin lanjut. Kecuali itu, ia diangkat Belanda sebagai adviseur honorer
untuk urusan Arab di kantor Voor Inlandsche Zaken pada 1899 M. Di sini ia
sebagai penasihat pemerintah Kolonial untuk urusan agama, bergaul dengan
Snouck Hurgronye, KF Holle, dan LWC Van den Berg.
Atas jasanya, pemerintah kolonial Belanda menyematkan bintang
penghargaan sebagai tanda jasa pemerintah terhadapnya. Sayyid Utsman
juga mendapat honor bulanan sebesar 100 gulden, hanya 1/7 dari gaji yang
diterima Snouck.
Selama hidup, Sayyid Utsman aktif berdakwah melalui media ceramah dan
menulis. Ia membuka majelis hadir di kediamannya di bilangan Petamburan.
Sementara produktivitasnya tidak perlu disangkal. Karyanya banyak sekali
dicetak dan menjadi rujukan Bergama masyarakat Jakarta karena
menggunakan bahasa masyarakat, Arab Melayu.
Kecuali itu, Sayyid Utsman tidak jarang terlibat polemik terbuka dengan
ulama lain misalnya dengan Syekh Ahmad Khatib Minangkabau perihal dua
masjid di Palembang. Polemiknya diwujudkan dalam bentuk sebuah karya
untuk menjawab atau mementahkan pandangan ulama lain dengan dasar
argumentasi yang kuat.
Sayyid Utsman sendiri dikenal sebagai seorang faqih dan mutakallim yang
memandang segala sesuatunya dari sudut disiplin Fiqih dan Ilmu Kalam.
Untuk itu, sikapnya terhadap tarekat cenderung ketat. Ia hanya mengakui
tarekat-tarekat muktabarah yang sesuai syariah saja seperti tarekat yang
diajarkan Syekh Junaid Al-Baghdadi, Sadatul Alawiyin, Ghazaliyah,
Qadiriyah, Naqshabandiyah, Khalwatiyah, juga Rifa’iyah.
Menyadari rendahnya pemahaman agama umumnya masyarakat, Sayyid
Utsman melarang pelajaran tasawuf di kalangan awam. Pasalnya dapat
membawa kemudaratan atau salah paham. Begitu juga dengan ilmu Kalam.
Dengan mengutip Az-Zawajir karya Ibnu Hajar, Ia dalam Sifat Dua
Puluhnya melarang keras orang belajar ilmu Kalam terlampau tinggi karena
khawatir tergelincir paham.
Namun demikian Sayyid Utsman mengambil sikap penolakan nyata terhadap
paham Wahabi dan penyebaran pahamnya. Menurut Fadli HS, Sayyid
Utsman juga sangat anti gerakan Wahabi dan menganggap gerakan itu
sangat radikal. Dalam bukunya Mustika Pengaruh buat Menyembuhkan
Penyakit Keliru, ia berpendapat bahwa kaum Wahabi adalah paling
berdusta.
Sayyid Utsman sangat berjasa dalam peningkatan pemahaman masyarakat
Betawi khususnya terhadap ilmu syariah melalui karya tulisnya yang
berbahasa Arab Melayu. Tidak kurang dari 120 karyanya dicetak dan
disebarluaskan. Sebagian darinya berbahasa Arab. Karyanya menyentuh
pelbagai isu yang berkembang di masyarakat mulai dari kisah Rasul, aqidah,
fiqih haji, fiqih sembahyang, adab di rumah tangga, kumpulan doa
keseharian, tajwid, gramatika, Falak, kamus, geografi, silsilah para nabi,
hukum perkawinan, silsilah Alawiyah, tarekat-tarekat muktabarah, dan isu
lainnya. Karyanya seperti Sifat Dua Puluh, Babul Minan, Maslakul Akhyar,
Irsyadul Anam hingga kini masih dibaca oleh para orang tua di Jakarta.
Bahkan kitab Zuhral Basim yang memuat kisah hidup Nabi Muhammad
SAW hingga dibaca setiap kali peringatan maulid atau Isra di langgar-
langgar di Jakarta. Muridnya yang kemudian menjadi ulama besar ialah
Guru Mughni Kuningan dan Habib Ali al-Habsyi Kwitang. Sayyid Utsman
dipanggil Allah pada pertengahan Januari 1914 M dan dikebumikan di TPU
Karet.

Anda mungkin juga menyukai