Anda di halaman 1dari 35

IMAM IQBAL UIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA

DINAMIKA KAJIAN AQIDAH DAN


FILSAFAT ISLAM KONTEMPORER
STUDIUM GENERALE PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM
FAKULTAS USHULUDDIN ADAB DAN DAKWAH
UIN SJECH M. DJAMIL DJAMBEK BUKITTINGGI
22 SEPTEMBER 2023
FILSAFAT:

PRA-SCIENTIFIC ERA,
SCIENTIFIC ERA,
POST-SCIENTIFIC ERA
ERA PRA ILMIAH (PRA-SCIENTIFIC ERA)

• Filsafat mengambil bentuk sebagai ajaran kebijaksanaan.


• Filsafat menawarkan visi bagaimana manusia sebaiknya hidup; menjadi
bijaksana.
• Di India dan wilayah Timur lainnya, filsafat berupa ajaran kebijaksanaan yang
mudah dimengerti oleh khalayak umum.
• Filsafat menjadi cara pandang yang menyatu dengan agama yang berupa
spiritualitas masyarakat.
ERA ILMIAH (SCIENTIFIC ERA)

• Pada Era Ilmiah, filsafat muncul sebagai ilmu.


• Filsafat mengembangkan terminologi, konsep-konsep teoritis, bahasa,
bahasan, dan batasan keilmuannya sendiri yang hanya dimengerti oleh
orang-orang yang mempelajarinya saja.
• Fenomena ini telah dimulai 25 abad yang lalu di Yunani, dimana filsafat
Yunani lahir sebagai kritik terhadap cara pandang mitologis tradisional.
• Filsafat menjadi ilmu yang hanya dikonsumsi oleh para ahli filsafat (atau
orang-orang yang berusaha belajar filsafat).
ERA KONTEMPORER (POST-SCIENTIFIC ERA)

• Filsafat masih bertahan sebagai ilmu dan berkembang dalam persinggungan-


nya dengan bidang-bidang kajian yang lebih khusus: filsafat politik, filsafat
hukum, etika biomedik, dst.
• Di Indonesia, filsafat kurang mendapatkan tempat dalam pendidikan
akademik.
• Filsafat tidak diajarkan di level Pendidikan Pra-Perguruan Tinggi.
• Perguruan Tinggi lebih tertarik membuka program studi yang “berguna” dan siap pakai.
• “Link and Match”: Perguruan Tinggi didesak untuk menghasilkan output yang bisa
langsung link dengan keahlian yang dibutuhkan masyarakat dan pasar kerja.
ISLAMIC PHILOSOPHY AND
THEOLOGY:

CLASSICAL & PRA MODERN ERA,

MODERN & CONTEMPORARY ERA


ISLAMIC PHILOSOPHY AND
THEOLOGY:

CLASSICAL & PRA


MODERN ERA
ISLAMIC PHILOSOPHY:
• Pada era klasik, Aqidah dan Filsafat Islam bercorak local-canonical.
• Embrio Filsafat Islam: al-Ḥikmah sebagai Sunnah Nabi dalam berpikir.
• Terdapat anjuran di dalam al-Quran dan hadits agar umat Islam memikirkan secara
kritis segenap realitas yang ada di dunia ini.
• S.H Nasr → filsafat Islam merupakan penjabaran dan pengejawantahan dari prinsip-
prinsip dan menimba inspirasi dari al-Quran dan hadits.
• Musa Asy’arie → karakter filsafat, seperti berpikir kritis, mendalam, radikal, dan
menggugat tatanan masyarakat dengan menawarkan perubahan total telah dipraktekkan
oleh Muhammad hingga akhirnya beliau diangkat menjadi Rasul. Muhammad ibn
Abdilllah adalah filosof sejati yang kemudian diangkat menjadi Rasulullah.
ISLAMIC PHILOSOPHY:
• Hellenisme dan Penerjemahan Karya-karya Yunani → Filsafat dicurigai sebagai
produk Yunani dan dianak-tirikan dalam struktur ilmu-ilmu keagamaan Islam (‘ulūm
ad-dīn).
• Filsafat Islam era klasik dan pra modern terkanonikalisasi dalam bentuk struktur
keilmuan (al-Falsafah al-Islāmiyyah).
• Topik-topik pokok filsafat Islam lebih banyak membahas persoalan ketuhanan
(ilāhiyyah), alam (thabī‘iyyah), dan logika (manthiq).
• Filsafat Islam era klasik hingga pra modern belum banyak menyinggung persoalan-
persoalan kemanusiaan (insāniyyah) dan sejarah (tārīkhiyyah).
• Filsafat berlaku sebagai alat justifikasi rasional-demonstratif bagi keimanan teologis.
ISLAMIC PHILOSOPHY:

• Pada titik yang ekstrem, pemikiran filosofis tertentu yang dinilai tidak
sesuai dengan doktrin Islam akan dianggap menyimpang dan sesat.
• Hujatan terhadap Abu Bakr ar-Razi (864-932) dan Ibn ar-Rawandi.
• Kritik al-Ghazali (1058 - 1111) terhadap filsafat al-Farabi & Ibn Sina.
• Kritik Ibn Rusyd (1126 -1198) terhadap al-Ghazali.
• Muncul kekhawatiran yang berlebihan terhadap filsafat sebagai cara
pandang kritis di kalangan umat Islam.
ISLAMIC THEOLOGY:
• Ilmu Aqidah (ilmu Ushuluddin) lahir dari penafsiran terhadap nash yang berkenaan dengan
ayat-ayat teologis.
• Hassan Hanafi (min al-’aqīdah ilā ats-tsaurah) menunjukkan bahwa pembentukan Ilmu
Aqidah tidak bisa dilepaskan dari fakta perdebatan teologis dan pertentangan aliran-
aliran yang sarat dengan nuansa pertikaian politik di internal umat Islam.
• Munculnya Beberapa Tema Akibat Berbagai Golongan, dan Timbulnya Berbagai
Golongan Akibat Beberapa Tema.
• Dari Masalah-Masalah ke Tema-Tema, dan dari Tema-Tema ke Kaidah-Kaidah Pokok.
• Dari Kaidah-Kaidah Pokok ke Struktur Ilmu.
• Dari Struktur Ilmu ke Aqidah Iman.
ISLAMIC THEOLOGY:
MUTAKALLIMUN/THEOLOGIANS & MORAL MONISM

• Cara pandang teologis sangat kental dengan truth-claim, judgmental, dan monisme
moral → hanya ada satu jalan hidup yang dianggap benar atau yang paling baik, dan
bahwa yang lainnya tidak utuh.
• Bhikhu Parekh (Rethinking Multiculturalism, 2000):
• Tidak ada cara hidup (way of life) yang bisa didasarkan pada satu nilai saja, melainkan
melibatkan pluralitas nilai.
• Monisme moral selalu menghadapi bahaya kesalah-pahaman terhadap cara hidup yang berbeda . . .
oleh karena pendekatannya terhadap hal-hal tersebut pada dasarnya bersifat menghakimi, maka
kepentingannya untuk memahami hal-hal tersebut hanya terbatas.
ISLAMIC THEOLOGY:
MUTAKALLIMUN/THEOLOGIANS & MORAL MONISM

• Monisme Moral juga menderita cacat lainnya. Pandangan ini memandang perbedaan
sebagai penyimpangan, sebagai ekspresi patologi moral.
• Bagi Plato dan Aristoteles, cara hidup non-kontemplatif dan non-Yunani tidak banyak berguna.
• Bagi Agustinus dan Aquinas, orang-orang non-Kristen dan bahkan orang-orang Kristen yang tidak
setuju dengan penafsiran resmi atas doktrin-doktrin utama mereka semuanya salah dan tidak
mempunyai kontribusi apa pun yang berharga.
• Bagi banyak kaum liberal, cara hidup non-liberal bersifat irasional, bersifat kesukuan, atau tidak
jelas.
• Bagi kaum Marxis, cara hidup keagamaan, tradisional dan nasional layak untuk dihancurkan.
ISLAMIC THEOLOGY:
MUTAKALLIMUN/THEOLOGIANS & MORAL MONISM

• Monisme moral tidak bisa melihat kebaikan apa pun di luar cara
hidup yang disukainya, monisme moral menghindari semua hal kecuali
kontak minimal dengan mereka atau berusaha mengasimilasi mereka
dengan cara damai atau kekerasan.
QUO VADIS ISLAMIC
PHILOSOPHY AND THEOLOGY:

MODERN & CONTEMPORARY ERA


MODERN AND CONTEMPORARY ERA

• Konteksnya adalah perjumpaan Islam dengan modernitas.


• Pada era modern, filsafat Islam berupa pemikiran filosofis (al-Fikr al-Falsafī).
• Filsafat Islam Era Modern dan Kontemporer bercorak critical and global.
→ Para sarjana Muslim modern-kontemporer mulai menyadari bahwa mereka perlu
bersikap kritis dan memikirkan ulang tradisi dan khazanah keilmuan Islam yang
diwariskan dari generasi terdahulu.
→ Bercorak reflektif-rekonstruktif terhadap pemikiran keagamaan → there is some thing
wrong in our religious way of thinking.
→ Bercorak integratif → menjadi bagian integral dari sistem pemikiran dan keilmuan Islam
yang lebih luas: fiqh, kalām, tasawuf, sejarah, dst.
ISLAMIC PHILOSOPHY AND
THEOLOGY:
• Warisan pra modern masih berlanjut. Sikap anti filsafat serta
truth-claim dan monisme moral dalam cara pandang teologis masih
berkembang.
• Pesantren dan sekolah menengah umum di Indonesia tidak mengenal filsafat.
Begitu pun level Perguruan Tingginya.
• Siswa/mahasiswa/dosen tidak terbiasa membangun analisis dari berbagai
sudut pandang yang berbeda untuk mencapai kesimpulan yang besar.
• Secara akademik, kajian Aqidah dan Filsafat Islam masih disajikan in the old
fashion atau dalam genre lama (classical and pra modern era).
FAZLUR RAHMAN: TIDAK MENGENAL FILSAFAT ADALAH
BUNUH DIRI INTELEKTUAL
(INTELLECTUAL SUICIDE)

“Philosophy is, however, a perennial intellectual need and has to be allowed to flourish
both for its own sake and for the sake of other disciplines, since it inculcates a much-
needed analytical-critical spirit and generates new ideas that become important
intellectual tools for other sciences, not least for religion and theology.”

“Filsafat adalah kebutuhan intelektual sepanjang masa dan harus dijinkan untuk
berkembang baik untuk kepentingan pengembangan filsafat itu sendiri maupun untuk
kepentingan pengembangan disiplin ilmu yang lain. Karena filsafat lebih membekali
semangat berpikir kritis dan analitis dan menghasilkan ide dan gagasan baru yang sangat
penting sebagai piranti intelektual bagi keilmuan lain, tanpa kecuali agama dan teologi.”
FAZLUR RAHMAN: TIDAK MENGENAL FILSAFAT ADALAH
BUNUH DIRI INTELEKTUAL
(INTELLECTUAL SUICIDE)

“Therefore a people that deprives itself of philosophy necessarily exposes itself


to starvation in term of fresh ideas – in fact, it commits intellectual suicide.”

“Oleh karena itu, manusia yang menghindari/menjauhi (studi) filsafat (higher


order of thinking skills), maka secara otomatis akan terpapar kemiskinan dan
kekurangan darah pemasok ide-ide yang segar (fresh ideas). Lebih dari itu, dia
telah melakukan bunuh diri intelektual.”
AHMAD DALLAL, 2012, ISLAM, SCIENCE, AND THE CHALLENGE OF HISTORY

• The Qur’an repeatedly calls on humans to reflect on the created world and realize the majesty
of God. This invitation can be an encouragement for science – but only if you also accept that
the inner workings of nature are comprehensible. Yet this not what many classical scholars
seem to have thought. “The ultimate purpose of reflection,” they rather thought, is establish
the limitations of human knowledge and our inability to comprehend creation,
not to establish a scientific fact.”
AHMAD DALLAL, 2012, ISLAM, SCIENCE, AND THE CHALLENGE OF HISTORY

• Al-Qur’an selalu mengajak manusia untuk memikir-merenungkan


alam ciptaan Tuhan dan kebesaran-Nya. Ini merupakan ajakan serius
untuk masuk ke dalam dunia ilmu pengetahuan dan penelitian.
Dengan syarat manusia mau mengakui bahwa dalam alam semesta
ada mekanisme otonom yang berupa hukum kausalitas yang dapat
dipahami oleh manusia.
• Tapi bukan begitu cara ulama klasik Muslim berpikir-berkesimpulan.
• “Tatafakkarun, ta’qilun, tatadabbarun” lebih diartikan pada kenyataan
terbatasnya pengetahuan manusia dan ketidakmampuan manusia
untuk memahami dan meneliti alam ciptaan Tuhan, bukannya untuk
membangun dan menemukan fakta-fakta ilmiyah. → Jangan percaya
pada kemampuan mata. Tongkat akan terlihat bengkok ketika
dimasukkan ke dalam air.
AHMAD DALLAL, 2012, ISLAM, SCIENCE, AND THE CHALLENGE OF HISTORY

• “... That most modern-day Muslims are decidedly anti-science. Quite the contrary, most of
them, including the Islamist, appreaciate science, which they understand as the West’s secret,
and they only want to have to have more of it. However, they understand it “as an instrument
of power rather than a system of thought with its own epistemological assumptions.”

• “...Bahwa sebagian besar Muslim modern jelas-jelas anti-sains. Sebaliknya, kebanyakan dari
mereka, termasuk kelompok Islamis, menghargai ilmu pengetahuan, yang mereka pahami
sebagai rahasia Barat, dan mereka hanya ingin memilikinya lebih banyak lagi. Namun, mereka
memahaminya “sebagai instrumen kekuasaan dan bukan sebagai sistem pemikiran dengan
asumsi epistemologisnya sendiri.”
AHMAD DALLAL, 2012, ISLAM, SCIENCE, AND THE CHALLENGE OF HISTORY

In other words, they do want to have iPhones, flat screens, and warplanes, but they are not
interested in the mindset that has invented their technological products (inner working of
nature). Other Muslims, whom we call apologists, are busy proving that all achievement of
modern science actually came from Islam, and were even foretold in the Qur’an, with
arguments that convince only those who are already faithful.

Dengan kata lain, mereka memang ingin memiliki iPhone, layar datar, dan pesawat tempur,
namun mereka tidak tertarik dengan pola pikir yang menciptakan produk teknologi mereka.
Umat Muslim lainnya, yang kita sebut sebagai apologis, sibuk membuktikan bahwa semua
pencapaian ilmu pengetahuan modern sebenarnya berasal dari Islam, dan bahkan telah
dinubuatkan dalam al-Qur’an, dengan argumen-argumen yang hanya meyakinkan mereka yang
sudah beriman.
KESULITAN TEOLOGIS-AQIDAH DUNIA MUSLIM
(MUSTAFA AKYOL, REOPENING MUSLIM MINDS, A RETURN TO REASON, FREEDOM,
AND TOLERANCE)

“What we still can’t fully embrace is what gave rise to modernity in the West: a
methodological study of observable facts in nature and society, and an objective effort to
figure out the causal links between them – a more rational and scientific view of the world,
so to speak. (Mustafa Akyol, p. 106).

Yang tetap kita tidak dapat mengerti dan pahami dengan baik adalah apa akar penyebab yang
mampu menghadirkan modernitas di Barat? Yakni, cara mengkaji, meneliti secara metodologis
terhadap fakta-fakta di alam semesta (darat, laut, udara), dan fakta-fakta di alam kehidupan
masyarakat [manusia, agama-suku-ras-budaya-seni-teknologi], dan secara objektif mampu
menjelaskan adanya hubungan kausalitas yang kompleks antar data-data tersebut; penjelasan
yang lebih saintifik-rasional terhadap alam semesta dan alam kemanusiaan.
KESULITAN TEOLOGIS-AQIDAH DUNIA MUSLIM:
OCCASIONALISME ASY’ARIYYAH
Ash’arites reject all natures. There is no heat in fire, or coldness in snow, or
natures in beings ... There is no intoxicating (memabukkan) quality in wine, or a
nature in sperm. They said God creates whatever He wants. He could create a
camel from human sperm or a human from donkey’s sperm.”

Ajaran teologi Asy’ariyyah menolak segala bentuk hukum alam. Tidak ada panas dalam api,
atau dinginnya salju, atau sifat-sifat dalam makhluk ... Tidak ada kualitas yang memabukkan
dalam anggur, atau sifat dalam air mani. Mereka mengatakan bahwa Allah menciptakan apa
pun yang diinginkan-Nya. Allah bisa menciptakan unta dari sperma manusia atau manusia
dari sperma keledai. (Ibn Hazm, al-Fasl fi al-Milal wa al-Ahwa’ wa-n-Nihal; dikutip dalam Mustafa Akyol,
Reopening Muslim Minds. A Return to Reason, Freedom and Tolerance, 2021.)
KESULITAN TEOLOGIS-AQIDAH DUNIA MUSLIM:
OCCASIONALISME ASY’ARIYYAH:
FROM “OCCASIONALISM” TO “CONCURRENTISM”, THEN TO “CONSERVATIONISM”

“The Christian alternative to occasionalism was the view that while God created
the whole universe as the “First Cause,” He had also allowed “secondary causes” to
operate within His creation. Saint Thomas Aquinas articulated his view in his
Summa Theologia. God gave “the dignity of causality” to His creatures, he
explained, “not on account of any defect in His power, but by reason of abundance
of His goodness.” The view has been called “concurrentism,” as it implies
concurrence between the acts of God and the acts of creature.”

(Mustafa Akyol, Reopening Muslim Minds. A Return to Reason, Freedom and Tolerance, 2021.)
KESULITAN TEOLOGIS-AQIDAH DUNIA MUSLIM:
OCCASIONALISME ASY’ARIYYAH:
FROM “OCCASIONALISM” TO “CONCURRENTISM”, THEN TO “CONSERVATIONISM”

“Alternatif Kristen terhadap occasionalisme adalah pandangan bahwa meskipun


Tuhan menciptakan seluruh alam semesta sebagai “Penyebab Pertama”, Dia juga
mengizinkan “penyebab sekunder” bekerja dalam ciptaan-Nya. Santo Thomas
Aquinas mengutarakan pandangannya dalam karyanya, Summa Theologia. Tuhan
memberikan “martabat kausalitas” kepada ciptaan-Nya, “bukan karena adanya
cacat pada kekuasaan-Nya, namun karena banyaknya kebaikan-Nya.” Pandangan
ini disebut konkurentisme (concurrentism),” karena menyiratkan adanya
kesesuaian antara tindakan Tuhan dan tindakan makhluk.”

Muhammad Iqbal menyebutnya sebagai “Co-worker of God.


KESULITAN TEOLOGIS-AQIDAH DUNIA MUSLIM:
OCCASIONALISME ASY’ARIYYAH:
FROM “OCCASIONALISM” TO “CONCURRENTISM”, THEN TO “CONSERVATIONISM”

A third view called “conservationism,” which implies that God created the universe and
“conserves” it, but “creatures are causally active in bringing about their natural effects” and
“God’s contribution is remote or indirect”. In these views, “the supernatural” does not “replace ...
the natural,” but rather “guides and completes” it. And this acknowledgment of nature calls for
its study, whereas occasionalism “plunges us into radical skepticism about the external world.”

(Mustafa Akyol, Reopening Muslim Minds. A Return to Reason, Freedom and Tolerance, 2021.)
KESULITAN TEOLOGIS-AQIDAH DUNIA MUSLIM:
OCCASIONALISME ASY’ARIYYAH:
FROM “OCCASIONALISM” TO “CONCURRENTISM”, THEN TO “CONSERVATIONISM”

Pandangan ketiga disebut “konservasionisme,” yang menyiratkan bahwa


Tuhan menciptakan alam semesta dan “melestarikannya”, namun
“makhluk secara kausal aktif dalam menghasilkan dampak alaminya”
dan “kontribusi Tuhan tidak langsung atau kecil”. Dalam pandangan ini,
“yang supernatural” tidak “menggantikan ... yang alamiah,” melainkan
“membimbing dan melengkapinya”. Dan pengakuan terhadap
(eksistensi) alam memerlukan studi terhadapnya, sementara paham
occasionalism “menjerumuskan kita ke dalam skeptisisme radikal
terhadap dunia luar.”
KESULITAN TEOLOGIS-AQIDAH DUNIA
MUSLIM:
“The first great flowering in Europe of confidence in reason and respect for humanity as
possessing inherent dignity came in the eleventh to thirteenth centuries, and is well
represented by the works of Anselm and Peter Abelard, finding its summation in theological
compendia of Thomas Aquinas.

“Perkembangan besar pertama di Eropa atas kepercayaan terhadap akal budi dan rasa
hormat terhadap kemanusiaan sebagai hal yang memiliki martabat yang melekat terjadi
pada abad kesebelas hingga ketiga belas, dan tercermin dengan baik dalam karya-karya
Anselmus dan Peter Abelard, yang terangkum dalam ringkasan teologis Thomas Aquinas.

(Keith Ward, 2004, The Case for Religion, Oxford, Oneworld)


KESULITAN TEOLOGIS-AQIDAH DUNIA
MUSLIM:
His work was indebted to the earlier scholars of Islam, who had translated the Greek classics
into Arabic, and made the works of Aristotle available as models of systematic and critical
thought. But in Islam attention turned away from ‘scientific investigation of the world’ to
concentrating on ‘submission to divine law’.
Karyanya berhutang budi kepada para sarjana Islam sebelumnya, yang telah menerjemahkan
karya klasik Yunani ke dalam bahasa Arab, dan menjadikan karya Aristoteles tersedia sebagai
model pemikiran sistematis dan kritis. Namun dalam Islam, perhatian beralih dari
‘penyelidikan ilmiah terhadap dunia’ menjadi fokus pada ‘ketundukan pada hukum Tuhan’.

(Keith Ward, 2004, The Case for Religion, Oxford, Oneworld)


SUDAH WAKTUNYA FILSAFAT DIBERI TEMPAT
DI ALAM AKADEMIK INDONESIA

• Menurut Noah Yuval Harari (Sapiens: a Brief History of Humankind) → industri 4.0
menuntut agar orang mampu untuk setiap lima tahun mengembangkan kemampuan-
kemampuan baru.

SIKAP AKADEMIK SEMACAM APA YANG PERLU DIKEMBANGKAN...???


• Program Studi Aqidah dan Filsafat Islam jangan mengajarkan hal-hal yang waktu lulus
S1 sudah kadaluarsa, melainkan mengantarkan mahasiswa ke perkembangan
wawasan, ketajaman intelektual, dan sikap kritis yang diperlukan untuk
terus mengarah ke hal-hal yang baru.
FILSAFAT SEBAGAI ILMU KRITIS

• Komitmen pertama filsafat adalah komitmen kepada kebenaran


(al-haqq). Bukan sebagai sumber kebenaran, melainkan sebagai
wahana kritik terhadap segala macam half-truth, post-truth dan
non-truth.
• Filsafat diperlukan di alam akademik sebagai ilmu kritis. Filsafat
berguna untuk ketajaman analisa, wawasan yang luas, sikap kritis
terhadap segala macam pemikiran asal-asalan yang suka menjadi
wahana segala macam klaim atas kebenaran.
KAJIAN AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM ERA
MODERN DAN KONTEMPORER
• Materi dan sudut pandang keilmuan filsafat Islam yang sudah ada dikembangkan secara integratif
dengan bidang keilmuan Islam lainnya.
• Mendialogkan bidang kajian Aqidah dan Filsafat Islam dengan kajian filsafat dari tradisi lain, seperti
Eropa, India, China, dan lainnya.
• Membuka ruang bagi pembahasan persoalan-persoalan kemanusiaan yang bersifat global, seperti isu
radikalisme, pluralisme, teorisme, demokrasi, liberalisme, krisis lingkungan, konflik dan kekerasan,
hak asasi manusia, gender, ijtihad kontemporer, dan lainnya.
• Di Indonesia, dinamika kajian aqidah dan filsafat Islam bisa diarahkan ke (1) pengkajian historis
filsafat Islam di Indonesia; (2) kajian filsafat Islam yang berbasis lokalitas budaya Indonesia; (3)
perubahan dan pergeseran cara pandang dan cara berpikir keislaman yang terjadi pada
generasi umat Islam Indonesia pada abad sekarang ini.
TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai