PRA-SCIENTIFIC ERA,
SCIENTIFIC ERA,
POST-SCIENTIFIC ERA
ERA PRA ILMIAH (PRA-SCIENTIFIC ERA)
• Pada titik yang ekstrem, pemikiran filosofis tertentu yang dinilai tidak
sesuai dengan doktrin Islam akan dianggap menyimpang dan sesat.
• Hujatan terhadap Abu Bakr ar-Razi (864-932) dan Ibn ar-Rawandi.
• Kritik al-Ghazali (1058 - 1111) terhadap filsafat al-Farabi & Ibn Sina.
• Kritik Ibn Rusyd (1126 -1198) terhadap al-Ghazali.
• Muncul kekhawatiran yang berlebihan terhadap filsafat sebagai cara
pandang kritis di kalangan umat Islam.
ISLAMIC THEOLOGY:
• Ilmu Aqidah (ilmu Ushuluddin) lahir dari penafsiran terhadap nash yang berkenaan dengan
ayat-ayat teologis.
• Hassan Hanafi (min al-’aqīdah ilā ats-tsaurah) menunjukkan bahwa pembentukan Ilmu
Aqidah tidak bisa dilepaskan dari fakta perdebatan teologis dan pertentangan aliran-
aliran yang sarat dengan nuansa pertikaian politik di internal umat Islam.
• Munculnya Beberapa Tema Akibat Berbagai Golongan, dan Timbulnya Berbagai
Golongan Akibat Beberapa Tema.
• Dari Masalah-Masalah ke Tema-Tema, dan dari Tema-Tema ke Kaidah-Kaidah Pokok.
• Dari Kaidah-Kaidah Pokok ke Struktur Ilmu.
• Dari Struktur Ilmu ke Aqidah Iman.
ISLAMIC THEOLOGY:
MUTAKALLIMUN/THEOLOGIANS & MORAL MONISM
• Cara pandang teologis sangat kental dengan truth-claim, judgmental, dan monisme
moral → hanya ada satu jalan hidup yang dianggap benar atau yang paling baik, dan
bahwa yang lainnya tidak utuh.
• Bhikhu Parekh (Rethinking Multiculturalism, 2000):
• Tidak ada cara hidup (way of life) yang bisa didasarkan pada satu nilai saja, melainkan
melibatkan pluralitas nilai.
• Monisme moral selalu menghadapi bahaya kesalah-pahaman terhadap cara hidup yang berbeda . . .
oleh karena pendekatannya terhadap hal-hal tersebut pada dasarnya bersifat menghakimi, maka
kepentingannya untuk memahami hal-hal tersebut hanya terbatas.
ISLAMIC THEOLOGY:
MUTAKALLIMUN/THEOLOGIANS & MORAL MONISM
• Monisme Moral juga menderita cacat lainnya. Pandangan ini memandang perbedaan
sebagai penyimpangan, sebagai ekspresi patologi moral.
• Bagi Plato dan Aristoteles, cara hidup non-kontemplatif dan non-Yunani tidak banyak berguna.
• Bagi Agustinus dan Aquinas, orang-orang non-Kristen dan bahkan orang-orang Kristen yang tidak
setuju dengan penafsiran resmi atas doktrin-doktrin utama mereka semuanya salah dan tidak
mempunyai kontribusi apa pun yang berharga.
• Bagi banyak kaum liberal, cara hidup non-liberal bersifat irasional, bersifat kesukuan, atau tidak
jelas.
• Bagi kaum Marxis, cara hidup keagamaan, tradisional dan nasional layak untuk dihancurkan.
ISLAMIC THEOLOGY:
MUTAKALLIMUN/THEOLOGIANS & MORAL MONISM
• Monisme moral tidak bisa melihat kebaikan apa pun di luar cara
hidup yang disukainya, monisme moral menghindari semua hal kecuali
kontak minimal dengan mereka atau berusaha mengasimilasi mereka
dengan cara damai atau kekerasan.
QUO VADIS ISLAMIC
PHILOSOPHY AND THEOLOGY:
“Philosophy is, however, a perennial intellectual need and has to be allowed to flourish
both for its own sake and for the sake of other disciplines, since it inculcates a much-
needed analytical-critical spirit and generates new ideas that become important
intellectual tools for other sciences, not least for religion and theology.”
“Filsafat adalah kebutuhan intelektual sepanjang masa dan harus dijinkan untuk
berkembang baik untuk kepentingan pengembangan filsafat itu sendiri maupun untuk
kepentingan pengembangan disiplin ilmu yang lain. Karena filsafat lebih membekali
semangat berpikir kritis dan analitis dan menghasilkan ide dan gagasan baru yang sangat
penting sebagai piranti intelektual bagi keilmuan lain, tanpa kecuali agama dan teologi.”
FAZLUR RAHMAN: TIDAK MENGENAL FILSAFAT ADALAH
BUNUH DIRI INTELEKTUAL
(INTELLECTUAL SUICIDE)
• The Qur’an repeatedly calls on humans to reflect on the created world and realize the majesty
of God. This invitation can be an encouragement for science – but only if you also accept that
the inner workings of nature are comprehensible. Yet this not what many classical scholars
seem to have thought. “The ultimate purpose of reflection,” they rather thought, is establish
the limitations of human knowledge and our inability to comprehend creation,
not to establish a scientific fact.”
AHMAD DALLAL, 2012, ISLAM, SCIENCE, AND THE CHALLENGE OF HISTORY
• “... That most modern-day Muslims are decidedly anti-science. Quite the contrary, most of
them, including the Islamist, appreaciate science, which they understand as the West’s secret,
and they only want to have to have more of it. However, they understand it “as an instrument
of power rather than a system of thought with its own epistemological assumptions.”
• “...Bahwa sebagian besar Muslim modern jelas-jelas anti-sains. Sebaliknya, kebanyakan dari
mereka, termasuk kelompok Islamis, menghargai ilmu pengetahuan, yang mereka pahami
sebagai rahasia Barat, dan mereka hanya ingin memilikinya lebih banyak lagi. Namun, mereka
memahaminya “sebagai instrumen kekuasaan dan bukan sebagai sistem pemikiran dengan
asumsi epistemologisnya sendiri.”
AHMAD DALLAL, 2012, ISLAM, SCIENCE, AND THE CHALLENGE OF HISTORY
In other words, they do want to have iPhones, flat screens, and warplanes, but they are not
interested in the mindset that has invented their technological products (inner working of
nature). Other Muslims, whom we call apologists, are busy proving that all achievement of
modern science actually came from Islam, and were even foretold in the Qur’an, with
arguments that convince only those who are already faithful.
Dengan kata lain, mereka memang ingin memiliki iPhone, layar datar, dan pesawat tempur,
namun mereka tidak tertarik dengan pola pikir yang menciptakan produk teknologi mereka.
Umat Muslim lainnya, yang kita sebut sebagai apologis, sibuk membuktikan bahwa semua
pencapaian ilmu pengetahuan modern sebenarnya berasal dari Islam, dan bahkan telah
dinubuatkan dalam al-Qur’an, dengan argumen-argumen yang hanya meyakinkan mereka yang
sudah beriman.
KESULITAN TEOLOGIS-AQIDAH DUNIA MUSLIM
(MUSTAFA AKYOL, REOPENING MUSLIM MINDS, A RETURN TO REASON, FREEDOM,
AND TOLERANCE)
“What we still can’t fully embrace is what gave rise to modernity in the West: a
methodological study of observable facts in nature and society, and an objective effort to
figure out the causal links between them – a more rational and scientific view of the world,
so to speak. (Mustafa Akyol, p. 106).
Yang tetap kita tidak dapat mengerti dan pahami dengan baik adalah apa akar penyebab yang
mampu menghadirkan modernitas di Barat? Yakni, cara mengkaji, meneliti secara metodologis
terhadap fakta-fakta di alam semesta (darat, laut, udara), dan fakta-fakta di alam kehidupan
masyarakat [manusia, agama-suku-ras-budaya-seni-teknologi], dan secara objektif mampu
menjelaskan adanya hubungan kausalitas yang kompleks antar data-data tersebut; penjelasan
yang lebih saintifik-rasional terhadap alam semesta dan alam kemanusiaan.
KESULITAN TEOLOGIS-AQIDAH DUNIA MUSLIM:
OCCASIONALISME ASY’ARIYYAH
Ash’arites reject all natures. There is no heat in fire, or coldness in snow, or
natures in beings ... There is no intoxicating (memabukkan) quality in wine, or a
nature in sperm. They said God creates whatever He wants. He could create a
camel from human sperm or a human from donkey’s sperm.”
Ajaran teologi Asy’ariyyah menolak segala bentuk hukum alam. Tidak ada panas dalam api,
atau dinginnya salju, atau sifat-sifat dalam makhluk ... Tidak ada kualitas yang memabukkan
dalam anggur, atau sifat dalam air mani. Mereka mengatakan bahwa Allah menciptakan apa
pun yang diinginkan-Nya. Allah bisa menciptakan unta dari sperma manusia atau manusia
dari sperma keledai. (Ibn Hazm, al-Fasl fi al-Milal wa al-Ahwa’ wa-n-Nihal; dikutip dalam Mustafa Akyol,
Reopening Muslim Minds. A Return to Reason, Freedom and Tolerance, 2021.)
KESULITAN TEOLOGIS-AQIDAH DUNIA MUSLIM:
OCCASIONALISME ASY’ARIYYAH:
FROM “OCCASIONALISM” TO “CONCURRENTISM”, THEN TO “CONSERVATIONISM”
“The Christian alternative to occasionalism was the view that while God created
the whole universe as the “First Cause,” He had also allowed “secondary causes” to
operate within His creation. Saint Thomas Aquinas articulated his view in his
Summa Theologia. God gave “the dignity of causality” to His creatures, he
explained, “not on account of any defect in His power, but by reason of abundance
of His goodness.” The view has been called “concurrentism,” as it implies
concurrence between the acts of God and the acts of creature.”
(Mustafa Akyol, Reopening Muslim Minds. A Return to Reason, Freedom and Tolerance, 2021.)
KESULITAN TEOLOGIS-AQIDAH DUNIA MUSLIM:
OCCASIONALISME ASY’ARIYYAH:
FROM “OCCASIONALISM” TO “CONCURRENTISM”, THEN TO “CONSERVATIONISM”
A third view called “conservationism,” which implies that God created the universe and
“conserves” it, but “creatures are causally active in bringing about their natural effects” and
“God’s contribution is remote or indirect”. In these views, “the supernatural” does not “replace ...
the natural,” but rather “guides and completes” it. And this acknowledgment of nature calls for
its study, whereas occasionalism “plunges us into radical skepticism about the external world.”
(Mustafa Akyol, Reopening Muslim Minds. A Return to Reason, Freedom and Tolerance, 2021.)
KESULITAN TEOLOGIS-AQIDAH DUNIA MUSLIM:
OCCASIONALISME ASY’ARIYYAH:
FROM “OCCASIONALISM” TO “CONCURRENTISM”, THEN TO “CONSERVATIONISM”
“Perkembangan besar pertama di Eropa atas kepercayaan terhadap akal budi dan rasa
hormat terhadap kemanusiaan sebagai hal yang memiliki martabat yang melekat terjadi
pada abad kesebelas hingga ketiga belas, dan tercermin dengan baik dalam karya-karya
Anselmus dan Peter Abelard, yang terangkum dalam ringkasan teologis Thomas Aquinas.
• Menurut Noah Yuval Harari (Sapiens: a Brief History of Humankind) → industri 4.0
menuntut agar orang mampu untuk setiap lima tahun mengembangkan kemampuan-
kemampuan baru.