Akhirnya, Rahman memutuskan hijrah ke Chicago untuk menjabat sebagai guru besar
dalam kajian Islam dalam segala aspeknya pada Departement of Near Eastern
Languages and Civilization, University of Chicago. Bagi Rahman, tampaknya tanah
airnya belum siap menyediakan lingkungan kebebasan intelektual yang
bertanggungjawab.
Sementara karya-karyanya yang berbentuk artikel yang tersebar dari beberapa jurnal,
terjemahan karya berjumlah 75 artikel, disamping 7 artikelnya yang dimuat dalam
beberapa insiklopedi dan yang berupa review buku berjumlah 16 tulisan. Selain itu
masih terdapat beberapa karya orisinal Rahman yang sampai saat ini belum
dipublikasikan.[7]
Dalam memahami istilah Sunnah dan Hadis, di kalangan ulama' hadis terjadi terjadi
perbedaan pendapat, khususnya antara Ulama' Mutaqaddimin dan Ulama'
Muta'akkhirin. Menurut Ulama' Mutaqaddimin istilah sunnah dan hadis mempunyai
pengertian yang berbeda. Sunnah adalah segala sesuatu yang diambil dari Nabi, baik
berupa perkataan, perbuatan, ketetapan, sifat-sifat fisik dan non fisik ataupun segala
hal ihwal Nabi sebelum diutus menjadi Rasul. Sedang hadis adalah segala perkataan,
perbuatan, atau ketetapan yang disandarkan kepada Nabi setelah diutus menjadi Nabi
(ba'da nubuwwah). Adapun Ulama' Hadis Muta'akkhirin berpendapat bahwa sunnah
sinonim dengan hadis. Hadis dan sunnah memiliki pengertian yang sama, yakni
segala ucapan, perbuatan, atau ketetapan Nabi.[8]
Sedang menurut Fazlur Rahman, Sunnah mempunyai pengertian yang berbeda dengan
Hadis. Sunnah menurutnya adalah tranmisi non verbal, sementara Hadis adalah
transmisi verbal.[9] Setiap Hadis mengandung dua bagian, teks (matan) hadis itu
sendiri dan mata rantai transmisi (sanad). Baik ahli-ahli sejarah terdahulu maupun
modern sependapat bahwa mula-mula Hadis muncul tanpa dukungan sanad kurang
lebih pada pertukarab abad ke-1 H/7M. Sekitar masa ini pulalah Hadis muncul secara
besar-besaran ketika ilmu-ilmu tertulis yang formal mulai dirintis. Akan tetapi
terdapat bukti yang kuat yang langsung mapun yang tidak langsung yang
menunjukkan bahwa sebelum menjadi disiplin yang formal dalam dalam abad ke-2
H/8 M, fenomena Hadis telah muncul paling tidak sejak kira-kira tahun 680-700 M.
Para sahabat selalu memperhatikan perilaku Nabi saw sebagai teladan. Mereka
berusaha mempraktekkannya perilaku Nabi Saw dalam kehidupan sehari-hari. Setelah
Nabi saw wafat, berkembanglah penafsiran individual terhadap teladan Nabi itu.
Boleh jadi sebagian sahabat memandang perilaku tertentu sebagai sunnah, tapi
sahabat yang lain, tidak menganggapnya sunnah. Dalam "free market of ideas," pada
daerah tertentu seperti Madinah, Kuffah, berkembang sunnah yang umumnya
disepakati para ulama di daerah tersebut. Ada sunnah Madinah, ada sunnah Kuffah.
Secara berangsur-angsur, pada daerah kekuasaan kaum muslim, berkembang secara
demokratis sunnah yang disepakati (amr al-majtama' 'alaih). Karena itu, sunnah tidak
lain dari pada opinio publica. Ketika timbul gerakan hadits pada paruh kedua
Abad 2 Hijrah. Sunnah yang sudah disepakati kebanyakan orang ini, diekspresikan
dalam hadits. Hadits adalah verbalisasi sunnah. Tahapan inilah memunculkan istilah
Dari Sunnah ke Hadis yang sudah menjadi suatu hal yang tidak asing di telinga kita.
Sayangnya, menurut Fazlur Rahman, formalisasi sunnah ke dalam hadits ini, telah
memasung proses kreatif sunnah dan menjerat para ulama Islam pada rumus-rumus
yang kaku.
Sedang yang dimaksud dengan istilah Dari Hadis ke Sunah adalah: bahwa perilaku
Nabi saw, selama hidupnya terus-menerus menjadi perhatian para sahabat. Mereka
dengan kadar yang bermacam-macam berusaha membentuk tingkah lakunya sesuai
dengan Nabi saw. Nabi saw. berulangkali menyuruh sahabat menirunya. Dalam hal
shalat, Nabi saw. berkata, "Shalatlah kalian seperti kalian melihat aku shalat." Dalam
hal haji, ia berkata "Ambillah dari aku manasik kalian." Sesekali Nabi saw
menegaskan, perilakunya itu sunnah yang harus diikuti, "Nikah itu sunnahku. Siapa
yang berpaling dari sunnahku ia tidak termasuk golonganku."Namun yang pertama
kali beredar di kalangan kaum muslim adalah hadits. Banyak riwayat menunjukkan
perhatian para sahabat untuk menghapal ucapan-ucapan Nabi atau menyampaikan apa
yang dilakukan Nabi saw. Ada di antara mereka yang menuliskannya. Misalnya
'Aisyah juga menyimpan catatan-catatan hadits (mungkin ditulis Abu Bakar).
Kritik Rahman terhadap hadis dari dimensi matan yang menurutnya banyak yang tidak
historis, sistem isnad juga tidak terlepas dari kritikannya. Ia memang mengakui bahwa isnâd
di samping mengandung informasi geografis yang kaya, juga telah meminimalkan upaya-
upaya pemalsuan hadis, tetapi baginya isnâd tidak bisa dijadikan sebagai argumentasi positif
yang final. Menurut Rahman, isnâd berkembang belakangan bermula di sekitar penghujung
abad pertama hijriyah, sehingga hadis-hadis yang bersifat prediktif mengenai gejolak politik
di dalam sahih Bukhari dan Muslim meskipun mempunyai isnad yang mengagumkan
menurut Rahman tidaklah bisa diterima kalau kita memang benar-benar jujur pada sejarah.
[10]
Selanjutnya Rahman memberikan dua kriteria penilai bagi hadis yaitu sejarah dan al Qur’an.
Dan hadis-hadis ini harus ditafsirkan secara situasional menurut perspektif historisnya yang
tepat dan menurut fungsinya yang tepat di dalam konteks kesejarahannya yang jelas. Dengan
prinsip penafsiran yang demikian, Rahman menegaskan agar hadis-hadis hukum tidak
difahami sebagai hukum yang sudah jadi untuk bisa diterapkan secara langsung, tetapi harus
difahami sebagai suatu masalah yang harus ditinjau kembali (a problem to be retreated).[11]
F. Metode Fazlur Rahman dalam memahami Sunnah
Masalah-masalah mendasar mengenai metodologi penafsiran terhadap kedua sumber
pemikiran Islam, yakni al-Qur’an dan sunnah Nabi tidak lagi dibicarakan secara adil oleh
kaum muslimin bahkan oleh pembaharu pemikiran Islam. Hal inilah yang membuat Rahman
beranggapan bahwa krisis dan problematika yang dialami kaum muslim tersebut hanya akan
bisa disembuhkan dengan suatu metodologi yang sistematis dan komprehensif dan
metodologi inilah yang nampaknya menjadi karakteristik utama yang membedakannya dari
gerakan pembaharuan Islam lainnya.
Dalam kajiannya tentang evolusi sunnah dan hadis, meskipun ia menemukan perbedaan
pemahaman terhadap sunnah pada generasi muslim awal dengan generasi berikutnya
khususnya setelah kuatnya gerakan hadis, tetapi pada akhirnya Rahman mengakui bahwa
satu-satunnya tradisi Nabi yang tertinggal dan sampai pada kita adalah hadis, di mana
menurut Rahman banyak yang tidak historis dan sintetis.
Dari sini Rahman menawarkan alternatif berupa penafsiran situasional terhadap hadis-hadis
teknis tersebut melalui pendekatan historis dan kritis, karena kebutuhan umat Islam dewasa
ini adalah menuangkan kembali atau mencairkan kembali hadis-hadis yang ada ke dalam
bentuk sunnah yang hidup. Dalam konteks ini Rahman mengemukakan : tentu saja harus
dikemukakan secara tegas bahwa suatu reevaluasi terhadap aneka ragam unsur dalam hadis
dan reinterprestasinya yang sempurna selaras dengan perubahan-perubahan kondisi
sosiomoral dewasa ini mesti dilakukan. Hal ini hanya dapat dilakukan melalui suatu studi
historis terhadap hadis dengan mereduksinya menjadi sunnah yang hidup dan dengan
membedakan secara tegas nilai-nilai nyata yang terkandung di dalamnya latar belakang
situasionalnya.[12] Walhasil penafsiran situasional dengan metode pendekatan historis ini
mengisyaratkan adanya langkah-langkah strategis; pertama, memahami makna hadis tersebut
kemudian memahami latar belakang situasionalnya termasuk memahami asbâb al wurûdnya.
Dari sini dapat difahami dan dibedakan nilai-nilai nyata atau sasaran hukumnya (ratio legal)
dari ketetapan legal spesifiknya. Dan dengan demikian, bisa dirumuskan prinsip ideal-moral
dari hadis tersebut. Kemudian langkah selanjutnya adalah penumbuhan kembali hukumnya,
yakni dari prinsip ideal-moral yang didapat tersebut diaplikasikan dan diadaptasikan dalam
latar sosiologis dewasa ini. Inilah yang dimaksud dengan pereduksian hadis menjadi “sunnah
yang hidup”. Dengan demikian penafsiran situasional Rahman ini mengkombinasikan metoda
pendekatan historis dengan metoda pendekatan sosiologis.
Dengan demikian, operasionalisasi ajaran Islam sebagai hasil pemahaman dari penafsiran
seperti ini terasa lebih kontekstual dan realis terhadap tuntutan sejarah, dan tidak terasa
sebagai pengekangan atau pemandulan terhadap laju modernitas. Akan tetapi sebaliknya bisa
jadi sebagai alat legitimasi bagi proses modernisasi.
Pada dataran aplikatifnya yang mapan, penafsiran dengan metoda pendekatan semacam ini
juga memungkinkan untuk memberi jawaban bagi krisis serta problematika pemikiran Islam
dan merupakan jawaban bagi kelemahan penafsiran dan pemahaman literal dari ulama’-
ulama’ klasik khususnya al Syafi’I sebagaimana dituduhkan Rahman, bahkan jawaban bagi
modernis klasik yang menganggap ketidak normatifan dan invaliditas sunnah karena terlalu
irrasional, dan berbanding terbalik dengan kebutuhan masyarakat kontemporer.
Akan tetapi di sisi lain metoda pendekatan Rahman ini sangat memungkinkan sekali terhadap
munculnya subyektivitas yang sangat dominan, karena proses perumusan hikmah yang tidak
jelas indikatornya berarti mengharuskan keikutsertaan penghayatan psikologis seseorang
dalam proses pemahaman dan penafsiran tersebut. Pada titik ini ketidak mampuan seseorang
mengontrol kesadaran psikologisnya kemungkinan besar terjadi. Padahal ketidak mampuan
mengontrol kesadaran psikologis ini akan berakibat pemaksaan terhadap obyek pemahaman
dan penafsiran (dalam hal ini adalah hadis) untuk menghasilkan kesimpulan atau doktrin-
doktrin hukum yang tunduk kepada kecenderungan subyektif. Jika demikian, akan terjadi
proses penuhanan dan penabian subyektivitas.
Untuk selanjutnya, Rahman dengan motodologi kritik hadis mengatakan ketidak setujuannya
tentang pemikiran-pemikiran ulama’- ulama’ klasik, bahwa historisitas hadis dijustifikasi
oleh isnâd. Pernyataan ini mengandung pengertian bahwa Rahman tidak menerima sistem
isnâd (metodologi kritik sanad) dalam rangka menentukan validitas hadis. Pemikiran Rahman
yang demikian ini berarti telah menafikan pemikir-pemikir klasik dan muhaddisîn
(tradisionalis) yang telah menyeleksi puluhan ribu hadis untuk menentukan validitas
(kesahihannya) dengan metode kritik sanad.
Dalam rangka menyeleksi dan membersihkan hadis dari pemalsuan, ahli hadis telah
merumuskan seperangkat teori, yang diantaranya adalah metodologi kritik sanad hadis. Dari
seperangkat teori tersebut, mereka menghasilkan klasifikasi hadis menjadi mutawatir, ahad,
masyhûr, azîz dan gharîb, sahîh, hasan, dla’îf serta mursal, muttashil dan sebagainya. Dengan
pemikiran tersebut, Rahman secara tidak langsung telah menafikan klasifikasi-klasifikasi
hadis yang demikian. Di samping itu juga telah mengaburkan teori-teori ulama’ klasik
tentang qath’i dan dzanni hadis. Dalam penelitian hadis, kritik yang ditujukan kepada sanad
merupakan kritik ekstern atau al naqd al khariji atau disebut juga al naqd al dzâhiri, sedang
kritik yang ditujukan kepada matan merupakan kritik intern atau al naqd al dâkhili atau biasa
disebut al naqd al bâtini. Dalam melakukan kritik terhadap hadis, pada kenyataannya Rahman
menggunakan metode kritik matan dan mengesampingkan metode kritik sanad. Dan
kriterium penilai yang digunakan adalah sejarah dan al- Qur’an. Kriterium penilai sejarah
dimaksudkan bahwa jika matan hadis tidak mencerminkan problematika yang cocok untuk
periode Nabi Muhammad, maka jelas hadis tersebut dinyatakan palsu (tidak sahih). Sedang
kriterium penilai al-Qur’an dimaksudkan bahwa jika matan suatu hadis tidak relevan dengan
isyarat al-Qur’an, maka juga dinyatakan palsu. Selanjutnya jika kita menganalisa metode
kritik hadis para tradisionis (muhaddisîn), kita juga mendapatkan gambaran bahwa meskipun
mereka telah membuat beberapa kaedah tentang kesahihan hadis, namun dalam
pelaksanaannya terhadap kritik matan masih kurang mendapatkan porsi yang mapan,
sehingga jika diletakkan pada kerangka teori metode sejarah di atas, maka melaksanaan
metode kritik yang demikian punya kelemahan, karena masih dianggap mengesampingkan
kritik intern hadis.
Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa Fazlur Rahman tidak menyamakan
antara pengertian Sunnah dan Hadis. Menurutnya Sunnah adalah tranmisi non verbal,
sementara Hadis adalah transmisi verbal. Sunnah yang sudah disepakati kebanyakan orang
ini, diekspresikan dalam hadits. Hadits adalah verbalisasi sunnah. Hal inilah yang
memunculkan istilah Dari Sunnah ke Hadis. Sedang yang dimaksud dengan istilah Dari
Hadis ke Sunah adalah: bahwa perilaku Nabi saw, selama hidupnya terus-menerus menjadi
perhatian para sahabat. Mereka dengan kadar yang bermacam-macam berusaha membentuk
tingkah lakunya sesuai dengan Nabi saw. Nabi saw berulangkali menyuruh sahabat
menirunya. Dalam hal shalat, Nabi saw bersabda: "Shalatlah kalian seperti kalian melihat aku
shalat." Dalam hal haji, ia berkata "Ambillah dari aku manasik kalian." Sesekali Nabi saw
menegaskan, perilakunya itu sunnah yang harus diikuti, "Nikah itu sunnahku. Siapa yang
berpaling dari sunnahku ia tidak termasuk golonganku.
Dan untuk menanggulangi permasalahan yang dialami oleh kaum muslim (dalam
memandang kedua sumber pemikiran Islam, yakni al-Qur’an dan sunnah Nabi lewat
pendekatan-pendekatan ahistoris, literalis, dan atomistis) Rahman menawarkan penafsiran
situasional dengan metode pendekatan historis, kemudian mengkombinasikannya dengan
metoda pendekatan sosiologis.
Disamping itu, dalam melakukan kritik terhadap hadis, pada kenyataannya Rahman
menggunakan metode kritik matan dan mengesampingkan metode kritik sanad. Hal ini
dikarenakan sanâd berkembang belakangan bermula di sekitar penghujung abad pertama
hijriyah, sehingga hadis-hadis yang bersifat prediktif mengenai gejolak politik di dalam sahih
Bukhari dan Muslim meskipun mempunyai isnad yang mengagumkan menurut Rahman
tidaklah bisa diterima kalau kita memang benar-benar jujur pada sejarah. Selanjutnya
Rahman memberikan dua kriteria penilai bagi hadis yaitu sejarah dan al Qur’an, suatu hadis
dikatakan sahih apabila tidak bertentangan dengan sejarah begitu juga dengan al Qur'an.
Daftar Pustaka
Amal, Tufik Adnan. Islam dan Tantang Modernitas. Bandung: Mizan, 1999.
___________. Fazlur Rahman dan Usaha-usaha Neomodernisme Islam Dewasa Ini dalam
Fazlur Rahman, Metode dan Alternatif.
Rahman, Fazlur. Islam dan Tantangan Modernitas: Tentang Transformatif social, terj. Ahsin
Muhammad. Bandung: Pustaka, 1985.
___________. Kontroversi Kenabian dalam Islam: antara Filsafat dan Ortodoksi, (Bandung:
Mizan, 2003)
M Ihsan Ali Fauzi dan Taufik Adnan Amal,"Bibliografi Karya-karya Intelektual Fazlur
Rahman", dalam Jurnal Islamika, vol. 2, Oktober-Desember, 1993, hlm. 81-84.
Catatn kaki
[1] Biografi Rahman secara lengkap dapat dijumpai dalam banyak buku. Misalnya Tufik
Adnan Amal, Islam dan Tantang Modernitas, (Bandung: Mizan, 1999), hlm. 79-111; ini
dapay dijumpai pula dalam Muqaddimah Islam karya Fazlur Rahman.
[3] Fazlur Rahman, Islam dan Tantangan Modernitas: Tentang Transformatif social, terj.
Ahsin Muhammad, (Bandung: Pustaka, 1985), hlm. 36-98.
[4] Paling tidak ia menguasai bahasa Latin, Yunani, Inggris, Perancis, Jerman, Turki, Persia,
Arab dan Urdu. Lihat Fazlur Rahman, Kontroversi Kenabian dalam Islam: antara Filsafat dan
Ortodoksi, (Bandung: Mizan, 2003), hlm. 14.
[5] Taufik Adnan Amal, Fazlur Rahman dan Usaha-usaha Neomodernisme Islam Dewasa
Inidalam Fazlur Rahman, Metode dan Alternatif, hlm. 13-14.
[6] Informasi tentang karya Fazlur Rahman dapat dijumpai di banyak buku, diantaranya:
Fazlur Rahman, Kontroversi Kenabian dalam Islam, hlm, 33. Juga Taufik Adnan Amal,
Fazlur Rahman dan Usaha-usaha Neomodernisme Islam Dewasa Ini dalam Fazlur Rahman,
Metode dan Alternatif, hlm.112.
[7] M Ihsan Ali Fauzi dan Taufik Adnan Amal,"Bibliografi Karya-karya Intelektual Fazlur
Rahman", dalam Jurnal Islamika, vol. 2, Oktober-Desember, 1993, hlm. 81-84.
[8] Suryadi, Metode Kontemporer Pemahaman Hadis Nabi, ( Yogyakarta: Teras, 2008),
hlm.2-3. Dijelaskan pula dalam Shubhi al Shalih, Memahami Ilmu-Ilmu Hadis, ( Jakarta:
Pustaka Firdaus, 2007), hlm. 23. Bahwa Sunnah pada dasarnya tidaklah sama dengan Hadis.
Sunnah adalah jalan keagamaan yang ditempuh oleh Nabi SAW yang tercermin dalam
perilakun-Nya yang suci. Apabila Hadis bersifat umum, meliputi sabda dan perbuatan Nabi,
maka Sunnah khusus berhubungan dengan perbutan-perbuatan beliau.
[10] Fazlur Rahman, Membuka Pintu Ijtihad,(Bandung: Pustaka, 1995), hlm .112-113.