Anda di halaman 1dari 12

PERSPEKTIF FAZLUR RAHMAN, KERUMITAN PERKEMBANGAN AWAL

SUFISME

Izzan Lana Aula

Ivan Maulana

Fakultas Adab dan Humaniora Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya

E-mail: izzanlanaaula@gmail.com

ivanmaulana@gmail.com

Abstrak: Penelitian untuk bertujuan guna mengungkap kerumitan perkembangan awal


sufisme dalam perspektif Fazlur Rahman. Pada awal perorganisasian sufi ditandai oleh
kumpulan bebas dan informal membahas tentang agama dan kegiatan spiritual yang disebut
‘halakah’ (halaqah). Tetapi, belakangan, seperti praktik sederhana ini berkembang menjadi
konsep spiritual yang rumit. Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan kualitatif dengan
jenis penelitian studi dokumen/teks. Peneliti menggunakan dokumen primer yaitu buku-nuku
karangan Fazlur Rahman serta dokumen sekunder lain sebagai pertimbangan dalam
penelitian.

Kata kunci: Sufi, dokumen, Fazlur Rahman.

Pendahuluan

Sufi merupakan istilah untuk orang-orang yang ahli dalam bidang tasawuf atau
sufisme. Orang-orang sufi berusaha mencari cinta Ilahi dan kebenaran dengan menempuh
perjumpaan dengan tuhan. Tasawuf sendiri muncul kedalam Islam pada abad ke-8 sampai ke-
9 Masehi sebagai gerakan akestis. Gerakan ini diberi nama sufisme karena mereka
mengenakan pakaian wol sebagai lambang penolakan mereka terhadap segala hal yang
berbau duniawi.

Sufisme membangun praktik keagamaan yang fokus utamanya adalah pada


pengendalian diri yang ketat dengan makna akhir penyatuan dengan tuhan.Gerakan sufi
terdiri dari ordo persaudaraan dimana guru melatih dan membantu para murid dalam
menguasai praktik ritual tasawuf dan prinsip filosofis.1
1
Woro Anjar Verianty, “Sufi Adalah Orang yang Mendalami Tasawuf, Ini Asal Usulnya”, dalam website
liputan6.com, https://www.liputan6.com/hot/read/5212113/sufi-adalah-orang-yang-mendalami-tasawuf-ini-
Secara bahasa kata Sufi berasal dari s}u<f (‫ )صوف‬yang berarti bulu, al-s}aff (‫)الصف‬
yang artinya barisan , s}ufi (‫ )صوفي‬yang berarti membersihkan hati sanubari dan jiwa Nurani.
Menurut Inayat Khan2 definisi sufisme adalah suci dari kebodohan, kepercayaan yang
ngawur, dogmatic, egoisme, fanatik, ia juga bebas dari ikatan kasta, kepercayaan tertentu,
bangsa dll. Oleh karena itu, sufisme, menurutnya adalah suatu jalan/ proses untuk
mensucikan kemblai, sebagaimana kejadian asalnya yang telah dicptakan oleh tuhan.3

Namun Pandangan lain, ada yang berpendapat tasawuf sebagai disiplin ilmu yang
ambigu, tidak jelas, bid’ah karena oleh Rasulullah Muhammad saw. tidak mencontohkan,
aktivitas kaum zindiq, tidak rasional, berlebihan, tidak dapat diukur dengan paradigma
rasional-empirik dan seterusnya.Tradisi sufistik dianggap sebagai keyakinan yang disertai
dengan praktek ibadah yang penuh dengan khurafat dan takhayul, termasuk upaya memaknai
Alquran yang dilakukan oleh orang-orang sufi atau tafsir yang bercorak sufi.

Demikian pula dalam pandangan Fazlur Rahman, ia berpendapat bahwa pada awal
perorganisasian sufi ditandai oleh kumpulan bebas dan informal membahas tentang agama
dan kegiatan spiritual yang disebut ‘halakah’ (halaqah). Tetapi, belakangan, seperti praktik
sederhana ini berkembang menjadi konsep spiritual yang rumit dengan menyertakan musik
dan tarian, serta menyaıngı kedudukan masjid sebagai tempat peribadatan.

Metode

Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan kualitatif dengan jenis penelitian studi
dokumen/teks. Studi dokumen/teks merupakan kajian yang menitik beratkan pada analisis
atau interpretasi bahan tertulis berdasarkan konteksnya. Peneliti memakai metode ini guna
mengkaji tingkat keterbacaan sebuah teks, atau untuk menentukan tingkat pemahaman
keterbacaan dalam sebuah teks.

Karena itu, peneliti menggunakan dokumen primer yaitu buku-nuku karangan Fazlur
Rahman yang berjudul ‘Islam Sejarah Pemikiran dan Perabadan’ dan ‘Gelombang Perubahan
dalam Islam: Studi Tentang Fundamentalisme Islam’, serta dokumen sekunder lain sebagai
pertimbangan dalam penelitian.

Tujuan penelitian adalah ingin mengungkap Bagaimana latar belakang pendidikan


Fazlur Rahman? Bagaimana kemunculan sufisme? Bagaimana Perspektif Fazlur Rahman
asal-usulnya. Diakses Tanggal 3 Maret 2024 pukul 14:39 WIB
2
Guru sufisme universal, lahir 5 Juli 1882, Vadodara, India.
3
Nozira Binti Salleh dan Faudzinaim bin Badaruddin, Sufisme (Sufism) dan Ahli Sufi (The Sufis) Menurut Inayat
Khan (1882-1927), ukm.my, 247.
terhadap sufisme?. Hasil penelitian ini bisa memberikan pengetahuan tentang sejarah sufisme
dan sudut pandang Fazlur Rahman tentang sufisme.

Latar Pendidikan

Fazlur Rahman lahir pada 21 September tahun 1919 di daerah Hazara (anak benua
India) yang letaknya disebelah barat laut Pakistan. Wilayah anak benua India ini telah
mencetak pemikir-pemikir Islam yang sanagat berpenaruh dalam perkembangan pemikir
Islam, contonya Sir Muhammmad Iqbal, Syah Wali Allah, dan Sir Sayyid Ahmad Khan.ia
dididik dalam suati keluarga dengan tradisi keagamaan yang kental dan bermadzhab Hanafi.
Demikian, ia telah terbiasa melaksanakan ritual-ritual agama, seperti shalat, puasa dan
lainnya teratur saat masa kecilnya bahkan ia tidak pernah meninggalkannya.4

Meskipun hidup dikalangan keluarga madzhab Sunmi, Fazlur Rahman dapat


membongkar diri dari sekat-sekat yang membatasi perkembangan intelektualisnya dan
keyakinannya.demikian Fazlur Rahman bisa mengekspresikan gagasan-gagasanya secara
bebas dan terbuka.Fazlur Rahman dibekali pemahaman agama yang kuat oleh ayahnya yang
bernama Maulana Shibab Shibab ad-Din, seorang ulama tradisonal dari lulusan Dar
al-‘Ulum, Deoband. Ayahnya ini mempunyai keyakinan bahwa Islam melihat modernitas
sebagai kesempatan dan tantangan yang wajib dicoba. Keyakinan ini yang kemudian dimiliki
dan mewarnai kehidupan dan pemikiran Fazlur Rahman.5

Pada tahun 1933, Fazlur Rahman meneruskan belajarnya di sekolah modern di


Lahore. Ketika berusia empat belas tahun, Fazlur Rahman sudah memulai Pelajaran filsafat,
tasawuf, Bahasa arab, kalam atau teologi , hadis dan tafsir. Setelah mendapatkan ijazahnya
sekolah menengahnya, Fazlur Rahman lalu melanjutkan pendidikannya dengan mengambil
Bahasa Arab sebagai konsentrasi studinya dan di tahun 1940 ia memperoleh gelar Bachelor
of Art. Dua tahun kemudian, ia telah berhasil menyesaikan studinya di universitas yang sama
dan meraih gelar Master dalam Bahasa Arab. Pada tahun 1946, Fazlur Rahman melanjutkan
pendidikannya di Oxford University. Melalui bimbingan Professor S. Van den Berg dan H A
R Gibb, dapat menyelesaikan studinya dan di tahun 1949 ia mendapatkan gelar Ph. D melalui
disertasinya tentang Ibnu Sina.

4
Anisa Nurbaeti Rismalia,”Biografi dan Pemikiran Fazlur Rahman”, dalam website mahasiswaindonesia.id,
https://mahasiswaindonesia.id/biografi-dan-pemikiran-fazlur-rahman/. Diakses 3 Maret 2024 pukul 17:52
WIB.
5
Husnul Abdi, “Biografi Fazlur Rahman, Pemikiran, dan Karya-karyanya” dalam website liputan6.com,
https://www.liputan6.com/hot/read/5466987/biografi-fazlur-rahman-pemikiran-dan-karya-karyanya. Diakses 3
Maret 2024 pukul 18:21 WIB.
Setelah menyelesaikan studinya di Oxford University, Fazlur Rahman tidak langsung
pulang ke negara asalnya, yakni Pakistan. Ia memilih untuk tinggal disana untuk sementara.
Ketika menetap di Inggris, Fazlur Rahman pernah mengajar di Durham University.
Kemudian ia pindah mengajar ke Institute of Islamic Studies, McGill University, Kanada, dan
menjabat sebagai Associate Professor of Philosophy sampai awal tahun 1960. Akhirnya pada
awal tahun 1960 Fazlur Rahman kembali ke Pakistan setelah sebelumnya diminta bantuan
oleh Ayyub Khan agar mengembangkan negeri tempat lahirnya, Pakistan. Permintaan Ayyub
Khan kepada Fazlur Rahman adalah dengan tujuan untuk membawa Pakistan pada khittah
berupa negara yang mempunyai visi keislaman. Kemudian, pada tahun 1962, Fazlur Rahman
dimintai oleh Ayyub Khan untuk mejadi pempimpin dalam Lembaga riset Islam (Islamic
Research Institute) dan menjadi anggota Dewan Penasihat Ideologi Islam (The Advisory
Council of Islamic Ideology).

Akhirnya kursi yang ia duduki meraih reaksi pro dan kontra, para ulama tradisional
melanggar untuk dudukinya, sebaba latar belakang pendidikannya yang dilakoni di Barat.
Hingga akhirnya pada 5 September 1968 Fazlur Rahman memilih untuk mengundurkan diri
dari pepimpinan Lembaga Riset Islam dan dikabulkan oleh Ayyub Khan. Pada tahun 1969
akhir Fazlur Rahman meninggalkan Pakistan untuk memenuhi tawaran di Univertas
California , Los Angeles dan diangkat langsung menjadi Guru Besar Pemikiran Islam. Mata
Kuliah yang ia ajaran mencakup pemahaman Al-Quran, Hukum Islam, pemikiran hukum dan
politik Islam, filsafat Islam, modernisme Islam, kajian tentang al-Ghazali, Muhammad Iqbal,
Shah Wali Allah, dan lain sebagainya. Selain itu, Fazlu Rahman mengharapkan adanya
kterbukaan atas berbagai suasana perdebatan yang sehat serta gagasan yang tidak akan ia
temukan di Pakistan.6 Dari kesungguhannya serta konsisten terhadap kelimuan pada akhirnya
Rahman memperoleh pengakuan Lembaga keilmuan dalam skala internasional. Pengakuan
tersebut salah satunya adalah tahun 1983 ia menerima Giogio Levi Della Vida dari Gustave E
von Grunebaum Center for Near Eastern Studies, California University, Los Angeles.

Kemunculan Sufisme

Mulai dekade akhir abad II Hijriyah, Sufisme sudah dikenal luas dikalangan
masyarkat Kawasan dunia Islam. Fase awal juga disebut sebagai “Fase Askestisme”. Fase ini
adalah embrio lahirnya sufisme dalam peradaban Islam. Diawali dengan timbulnya kelompok

6
Prasinggar Al Suffi, “Biografi dan Pemikiran Fazlur Rahman”dalam website,
Academia.eduhttps://www.academia.edu/5004879/BIOGRAFI_DAN_PEMIKIRAN_FAZLUR_RAHMAN. Diakses
pada 3 Maret 2024 pukul 21:52
individu yang condong kepada kehidupan akhirat dibanding kehidupan dunia, sehingga
perhatianya hanya seakan terpusat untuk melakukan ibadah dan mengabaikan keasyikan
duniawi.Fase peralihan dari asketisme ke sufisme ini dapat disebut sebagai “Fase Kedua”.
Fase kedua ini ditandai antara lain dengan adanya pergantian sebutan “Zahid” menjadi
“Sufi”.

Kemudian, percakapan para zahid sudah meningkat pada persoalan bagaimana


penggambaran jiwa yang bersih, apa itu moralitas dan bagaimana pembinaannya, serta
perbincangan masalah kerohanian lainnya. Kemudian tindak lanjut dari diskusi ini adalah
mulai muncul berbagai konsepsi tentang jenjang perjalanan yang harus ditempuh oleh
seorang sufi (al-maqamat) serta cir-ciri yang dimiliki oleh seorang salik (calon sufi) pada
tingkatan tertentu (al-ahwal). Kemudian, sudah mulai berkembang perbincangan mengenai
derajat fana dan ittihad. Bersamaan dengan itu, tampillah para penulis tasawuf terkemuka,
seperti al-Muhasibi (w.234 H), al-Harraj (w. 277H) dan al-Junaid al-Baghdadi (w. 297H), dan
penulis lainnya.

Secara konseptualtekstual sufisme baru muncul pada periode ini, sedangkan


sebelumnya sufisme hanya berupa pengetahuan perorangan atau semacam langgam
keberagamaan. Sejak saat itu, sufisme berkembang terus ke arah penyempurnaan seperti
konsep intuisi, dzauq dan al-kasyf. Kepesatan perkembangan sufisme ini, nampaknya
setidaknya didorong oleh 3 faktor penting, yaitu: Pertama, gaya hidup yang glamour-
profanistik dan corak kehidupan materialis-konsumeris yang diperagakan oleh sebagian besar
penguasa negeri yang segera menular di kalangan masyarakat luas.

Dorongan yang dirasa paling kuat adalah sebagai reaksi terhadap gaya murni ethis,
melalui pendalaman kehidupan rohaniah-spiritual. Tokoh popular yang dapat mewakili
kelompok ini, yaitu Hasan al-Bashri (w. 110H) yang mempunyai pengaruh kuat dalam
membangun kesejahteraan spiritual Islam melalui doktrin al-zuhd, al-khauf dan al-raja’.
Selain Hasan al-Bashri (w. 110H), juga ada Rabiah al-Adawiyah (w.185H) dengan ajaran
populernya al-mahabbah serta Ma’ruf al-Kharki (w.200H) dengan konsepsi al-syauq sebagai
ajarannya. Kedua, timbulnya sikap apatis yang disebabkan oleh gerakan radikalisme Kaum
Khawarij dan polaritas politik yang ditimbulkannya.

Kekerasan pergulatan kekuasaan yang disebabkan pada masa itu, menyebabkan


orang-orang yang ingin merasa tenang jiwa dan raga terpaksa memilih sikap menjauhi
kehidupan masyarakat ramai dengan menyepi sekaligus menghindarkan diri dari keterlibatan
langsung dengan pertentangan politik yang sedang marak terjadi. Sehingga sikap menyepi
sekaligus menghindarkan diri ini melahirkan suatu ajaran yang disebut dengan “‘Uzlah”,
dimana konseptornya adalah Surri al-Saqathi (w. 253H). Apabila dilihat dari aspek sosiologi,
nampaknya kelompok ini bisa dikategorikan sebagai gerakan sempalan. Gerakan sempalan,
yaitu merupakan satu kelompok ummat yang sengaja mengambil sikap ‘uzlah kolektif yang
cenderung ekslusif dan kritis terhadap penguasa.

Dilihat dari sisi motivasi, kecenderungan memilih kehidupan rohaniah mistis,


sepertinya merupakan pelarian atau sarana untuk mencari kompensasi untuk memenangkan
pertempuran ukhrawi di medan duniawi. Ketika di dunia ini sudah kering dari siraman cinta
kasih, mereka bersama membangun dunia baru atau realitas baru yang terbebas dari sifat
keserakahan dan kekejaman, yaitu dunia spiritual yang penuh dengan kecintaan dan
kebijakan. Ketiga, dikarenakan oleh faktor kodifikasi hukum Islam (fiqh) dan perumusan
ilmu kalam atau teologi yang dialektis-rasional, sehingga kurang bermotivasi ethical yang
menyebabkan kehilangan nilai spiritualnya menjadi semacam wahana tiada isi ataupun
semacam bentuk tanpa jiwa. Formalitas paham keagamaan dirasakan semakin mengering dan
menyesakkan ruh al-din yang berakibat terputusnya komunikasi langsung dan suasana
keakraban personal antara hamba dan Khaliqnya. Kondisi hukum dan teologi yang kering
tanpa jiwa itu, dihadapkan pada dominannya posisi moral dalam agama, menggugah para
zuhud untuk mencurahkan perhatian mereka terhadap moralitas, sehingga memacu
pergeseran asketisme kesalehan kepada sufisme. Doktrin al-zuhud misalnya, yang tadinya
sebagai dorongan untuk meninggalkan ibadah semata-mata karena takut pada siksa neraka,
bergeser kepada sikap kecintaan dan semata-mata karena Allah SWT, agar selalu dapat
berkomunikasi dengan-Nya.

Konsep tawakkal yang tadinya berkonotasi kesalehan yang etis, kemudian secara
diametral dihadapkan kepada pengingkaran kehidupan duniawiprofanistik di satu pihak dan
konsep sentral tentang hubungan manusia dengan Tuhan, yang kemudian popular dengan
doktrin al-hubb. Doktrin al-hubb merupakan semacam prama’rifat, yaitu mengenal Allah
SWT secara langsung melalui pengalaman batin. Menurut sebagian sufi (tasawuf sunni)
ma’rifatullah adalah tujuan akhir dan merupakan tingkat kebahagiaan yang paripurna, yang
bisa dicapai manusia di dunia ini. Untuk bisa mencapai kualitas ilmu seperti itu, maka harus
melalui proses inisiasi yang panjang dan bertingkattingkat. Perlu diketahui bahwa inisiasi
yang panjang dan bertingkat-tingkat ini hanya dimiliki oleh orang-orang tertentu saja, tidak
semua hamba Allah SWT dapat melakukan hal tersebut.
Karena Esensi dari tasawuf bermuara pada hidup zuhud. Zuhud, yaitu hidup dengan
tidak mementingkan kemewahan duniawi dalam rangka agar dapat berhubungan langsung
dengan Tuhan. Bertasawuf berarti melakukan komunikasi dengan perasaan benar-benar
berada di hadirat Allah SWT.7 Para sufi menganggap bahwa ibadah yang dilaksanakan
dengan cara formal (mahdhoh) belum dirasa cukup, karena belum memenuhi kebutuhan
spiritual mereka. Oleh karena itu menurut para sufi, mereka tidak memiliki tujuan lain dalam
ber-taqarrub kepada Allah SWT kecuali dengan tujuan untuk mencapai ”ma’rifat billah”,
yakni mengenal Allah SWT dengan sebenar-benarnya

Dalam kurun waktu yang sama, tampil Dzu al-Nan al-Mishri (w.245H) dengan
konsepsi metodologi spiritual menuju Allah SWT, yaitu al-maqamat yang secara parallel
berjalan bersama al-hal yang bersifat psiko-gnostik. Sejak diterimanya konsepsi al-maqamat
dan al-ahwal secara luas, perkembangan tasawuf dirasa telah sampai pada tingkat kejelasan
perbedaannya dengan kesalehan asketis, baik dalam tujuan maupun ajarannya. Selain dari
pada itu, sejak periode ini, persyaratan yang harus dipenuhi untuk menjadi seorang sufi juga
dirasa semakin berat dan sulit, persyaratan ini hampir sama halnya dengan kelahiran kembali
seorang manusia di dunia, bahkan jauh lebih berat dari kelahiran pertama.

Karena kalau kelahiran pertama menyongsong kehidupan duniawi yang


mengasyikkan, tetapi pada kelahiran kedua ini, justru melepas dan membuang kehidupan
material yang menyenangkan, untuk kembali kealam rohaniyah, pengabdian, dan kecintaan
serta kesatuan dengan alam malakut. Sementara itu pada abad ketiga ini juga Abu Yazid al-
Busthami (w.260H) melangkah lebih maju dengan doktrin al-ittihad melalui al-fana, yaitu
beralih dan meleburnya sifat kemanusiaan ke dalam sifat ilahiyah, sehingga terjadi
penyatuan manusia dengan Tuhan dalam doktrin al-fana tersebut.

Sejak munculnya doktrin al-fana dan al-ittihad tersebut, terjadi pulalah pergeseran
tujuan akhir dari sufisme. Kalau mulanya sufisme bertujuan ethis, yaitu agar selalu dengan
Allah SWT, sehingga dapat berkomunikasi langsung dengan Allah SWT, maka selanjutnya
tujuan akhir dari sufisme tersebut naik lagi pada tingkat penyatuan diri dengan Allah SWT.
Konsep penyatuan diri dengan Allah SWT ini berangkat dari paradigma, bahwa manusia yang
secara biologis adalah jenis makhluk yang mampu melakukan satu transformasi dan
transendensi melalui peluncuran atau mi’raj spiritual ke alam ketuhanan.

7
Fazlur Rahman, Gelombang Perubahan dalam Islam: Studi tentang Fundamentalisme Islam,Rajawali Press,
2000,152.
Bersamamaan dengan itu, timbul pula sikap pro-kontra terhadap konsep al-ittihad dan
menjadi salah satu sumber terjadinya suatu konflik dalam dunia pemikiran Islam, baik itu
konflik intern sufisme maupun dengan fuqaha dan para teolog. Dua kelompok ini secara
bersama menuduh penganut sufisme al-ittihad sebagai gerakan sempalan yang telah merusak
prinsip-prinsip Agama Islam. Apabila dilihat dari sisi tasawuf sebagai ilmu, maka fase ini
merupakan fase ketiga yang ditandai dengan mulainya unsur-unsur luar Agama Islam yang
berakulturasi dan bahkan sinkretis dengan sufisme.

Perspektif Fazlur Rahman terhadap sufisme

Pada awal perorganisasian sufi ditandai oleh kumpulan bebas dan informal membahas
tentang agama dan kegiatan spiritual yang disebut ‘halakah’ (halaqah). Pelafahan dzikir
secara berulang-ulang berlangsung Dimana saja, termasuk di masjid Ini menunjukkan bahwa
pada tahap ini (paruh pertama abad ke-3 H/9 M). praktik sufi belum dianggap sebagai
perkembangan yang bertentangan dengan disiplin formal Islam Tetapi, belakangan, seperti
praktik sederhana ini berkembang menjadi konsep spiritual yang rumit dengan menyertakan
musik dan tarian, serta menyaıngı kedudukan masjid sebagai tempat peribadatan.

Seiring melebarnya perpecahan antara praktik sufi beserta ideologi yang disiratkannya
di satu sisi dan sistem ortodoks yang tengah berkembang di sisi lain, sekumpulan Hadis baru
pun mulai muncul. Untuk membela pendiriannya, kaum sufi merumuskan dan menciptakan
secara verbal) pernyataan-pernyataan. yang kadang ajaib dan secara historis mengada-ada,
yang dipertalikan dengan Nabi. Pernyataan-pernyataan tersebut melebih-lebihkan
kesederhanaan Nabi menjadi kezuhudan dan penghindaran dunia yang ekstrem.

Yang paling sulit diterima Islam adalah sikap negatif terhadap dunia yang tampaknya
merebak di kalangan sufi. Tak heran jika ia mendapat celaan dari sebuah Hadis terkenal, tak
ada kependetaan dalam Islam", dengan catatan tambahan, Kependetaan (al-ruhbiniyyah)
umatku adalah Jihad". Upaya-upaya tersebut berhasil mencegah sufisme untuk menegakkan
orde-ordo kependetaan, jika telak dicegah, dengan daya tarikaya yang luar biasa, bangunan
Islam sudah pasti akan rusak olehnya.

Sufisme, bagaimanapun, tidak bisa terus puas dengan kesalehan sederhana dan seruan
cintanya. Ketika pandangan umumnya mulai dianut tokoh-tokoh ortodoks terkemuka, ia pun
segera mengembangkan metodologi jalan batiniah' atau 'jalan spiritual" menuju Tuhan.
Dorongan ke arah itu juga dipicu tuduhan para ulama bahwa, jika klaim sufi diakui,
kekacauan spiritual akan terjadi karena mustahil mengatur, mengendalikan, dan meramalkan
jalannya 'kehidupan batin Dzun-Nun al-Misri (w. 245 H/859 M), yang dianggap berjasa oleh
kaum sufi atas usahanya membagi tahapan perkembangan spiritual, didakwa berbuat bid'ah di
BagHdad pada 240 H/854 M. Lagi pula, kaum sufi sendiri merasa perlu mengembangkan
semacam metode kontrol dan kritik untuk membakukan dan, sebisa mungkin, membuktikan
pengalaman mereka Doktrin mengenai kedudukan atau tingkat (maqamat) jalan sufi ini
umumnya diungkapkan dalam terminologi moral-keagamaan,

diambil seluruhnya dari al-Qur'an [seperti 'tobat', 'Zuhud", "sabar', 'syukur', 'tawakal,
dan 'rida' (atas kehendak "Tuhan), tetapi ia juga mengelaborasi keadaan-keadaan (ahwal)
psikologis-gnostik yang dilalui sufi. Pada pertengahan abad ke-3 H/9 M, perkembangan ini
kian pasti, dan mengarah pada doktrin 'peleburan" atau "pemusnahan" (fana), yaitu
bergantinya sifat manusiawi dengan sifat llahi. Doktrin ini biasanya dikaitkan dengan seorang
sufi terkemuka, Abu Yazid al-Bistami (w. 260 H/874 M), yang konon merupakan sumber
ungkapan-ungkapan ekstase (syathahat) seperti Terpujilah aku, mahabesar keagunganku',
'Akulah Tuhanmu', dan 'panjiku lebih hebat dari panji Muhammad”.8

lebih hebat dari panji Muhammad'. Ungkapan-ungkapan ekstase semacara itu, yang
marak di kalangan sufi, dianggap sebagai ungkapan 'tidak bisa dimintai pertanggungjawaban',
yang diucapkan dalam keadaan tak sadar. Tetapi, keseluruhan metode sufi menciptakan
masalah besar bagi Islam. Dengan adanya doktrin jalan spiritual, muncul masalah juga soal
tujuan suit yang berupa peleburan manusia ke dalam sifat dan harkat Ilahiah. Bersamaan
dengan mm, kensep kewalian (wilayah) dikembangkan dengan mengambil istilah wali
(sahabat Tuhan") dalam al-Qur'an, tetapi dengan kandungan khas sufi yang tampaknya
dipinjam dari mistisis ne Kristen Timur, Gnostisisme, dan belakangan juga Neoplatonisme.

Persoalan pun muncul seputar hubungan kewalian dengan Kenabian serta hubungan
wali dengan Nabi. Kedekatan konsep kewalian dalam Sufisme dengan kenabian sudah
tampak sejak abad ke-3 H/9 M ketika muncul gagasan Penutup para wali yang disandingkan
dengan konsep Khatam al-Nabiyyin ("Penutup para Nabi"), sebutan al-Qur'an untuk Nabi
Muhammad yang menunjukkan rampungnva risalah kenabian pada diri beliau. Kitab yang
ditulis al-Hakim al-Tirmidhi (w. 285 H/898 M), tokoh sufi terkemuka pada abad ke-3 H9 M,
memuat bahasan bahasannya seperti "siapa yang berhak memangku gelar Penutup para Wat
dan bagaimana hubungan wali dengan Nabi, dsb.

8
Fazlur Rahman,IIslam Sejarah Pemikiran dan Peradaban, Mizan, 2017,202.
Demikianlah dunia sufi yang tak kasat mata. Di dunia kasat mata, para sufi atau
mereka yang dianggap wali dibekali : karamah atau karamat vang menjadi tanda kewalian
mereka. Teori khusus dibangun untuk membedakan karamah tersebut dengan mukjizat para
nabi agar keduanya tidak dianggap saling menyaingi Setelah itu, ortodoksi pun tak ragu
menerima doktrin tersebut dalam sistemnya. Tetapi, sejak abad ke-4 H/10 M dan 5 H/II M.
muncul satu doktrin baru yang bertentangan dengan semangat Islam ortodoks, tetapi justru
menjadi doktrin pertama dalam paham Sufisme yang mulai terorganisasi.

Pertentangannya tidak hanya dengan Islam ortodoks, tetapi juga dengan praktik sufi
awal. Jika pada juga abad pertama, para penempuh jalan sufi memperlihatkan semangat
kebebasan jiwa, kecerdikan dan kreativitas, setelah menjadi disiplin keras dan ketundukan
buta kepada kediktatoran Syaikh atau guru sufi lika pada abad ke-3 49 M. Junaid al Baghdadi
mengajarkan bahwa seorang penempuh meski bersikap her wayang di hadapan Tuhan kini
dikatakan bahwa seseorang mesti berada di genggaman gurunya layaknya 'jenazah' di tangan
orang yang memandikannya.

Kesimpulan

Fazlur Rahman lahir pada 21 September tahun 1919 di daerah Hazara (anak benua
India) yang letaknya disebelah barat laut Pakistan. Ia dididik dalam suati keluarga dengan
tradisi keagamaan yang kental dan bermadzhab Hanafi. Meskipun hidup dikalangan keluarga
madzhab Sunmi, Fazlur Rahman dapat membongkar diri dari sekat-sekat yang membatasi
perkembangan intelektualisnya dan keyakinannya.demikian Fazlur Rahman bisa
mengekspresikan gagasan-gagasanya secara bebas dan terbuka.

Mulai dekade akhir abad II Hijriyah, Sufisme sudah dikenal luas dikalangan
masyarkat Kawasan dunia Islam. Fase awal juga disebut sebagai “Fase Askestisme”. Fase ini
adalah embrio lahirnya sufisme dalam peradaban Islam. Diawali dengan timbulnya kelompok
individu yang condong kepada kehidupan akhirat dibanding kehidupan dunia, sehingga
perhatianya hanya seakan terpusat untuk melakukan ibadah dan mengabaikan keasyikan
duniawi.Fase peralihan dari asketisme ke sufisme ini dapat disebut sebagai “Fase Kedua”.
Fase kedua ini ditandai antara lain dengan adanya pergantian sebutan “Zahid” menjadi
“Sufi”.

Pada awal perorganisasian sufi ditandai oleh kumpulan bebas dan informal membahas
tentang agama dan kegiatan spiritual yang disebut ‘halakah’ (halaqah). Pelafahan dzikir
secara berulang-ulang berlangsung Dimana saja, termasuk di masjid Ini menunjukkan bahwa
pada tahap ini (paruh pertama abad ke-3 H/9 M). praktik sufi belum dianggap sebagai
perkembangan yang bertentangan dengan disiplin formal Islam Tetapi, belakangan, seperti
praktik sederhana ini berkembang menjadi konsep spiritual yang rumit dengan menyertakan
musik dan tarian, serta menyaıngı kedudukan masjid sebagai tempat peribadatan.

Daftar Pustaka

Sumber Primer
Fazlur Rahman, Gelombang Perubahan dalam Islam: Studi tentang Fundamentalisme Islam,Rajawali
Press,2000.

Fazlur Rahman, Islam Sejarah Pemikiran dan Peradaban, Mizan, 2017.

Sumber Sekunder

Anisa Nurbaeti Rismalia,”Biografi dan Pemikiran Fazlur Rahman”, dalam website mahasiswaindonesia.id,
https://mahasiswaindonesia.id/biografi-dan-pemikiran-fazlur-rahman/

Husnul Abdi, “Biografi Fazlur Rahman, Pemikiran, dan Karya-karyanya” dalam website liputan6.com,
https://www.liputan6.com/hot/read/5466987/biografi-fazlur-rahman-pemikiran-dan-karya-
karyanya

Nozira Binti Salleh dan Faudzinaim bin Badaruddin, Sufisme (Sufism) dan Ahli Sufi (The Sufis) Menurut Inayat
Khan (1882-1927), ukm.my.

Prasinggar Al Suffi, “Biografi dan Pemikiran Fazlur Rahman”dalam website,


Academia.eduhttps://www.academia.edu/5004879/BIOGRAFI_DAN_PEMIKIRAN_FAZLUR_RAH
MAN.

Woro Anjar Verianty, “Sufi Adalah Orang yang Mendalami Tasawuf, Ini Asal Usulnya”, dalam website
liputan6.com, https://www.liputan6.com/hot/read/5212113/sufi-adalah-orang-yang-
mendalami-tasawuf-ini-asal-usulnya.

Anda mungkin juga menyukai