Anda di halaman 1dari 4

Nama : Satria Ade Mahendra

Kelas : PAI J
NIM : 201220279
Mapel : Resume Pertemuan 3 Akhlak Tasawuf
A. Sejarah Masuknya Tasawuf di Indonesia
Masuknya Islam di Indonesia terkait erat dengan tasawuf. Peranan para sufi dalam
dakwah Islam di Indonesia telah memberi peran yang  signifikan dalam Proses islamisasi di
negeri ini.
Bukti yang paling sederhana dari signifikansi ini adalah kenyataan bahwa hampir
semua ulama terkemuka periode awal Islam di Indonesia seperti Hamzah Fansuri, Syams al-
Din al-Sumatrani, Nuruddin al- Raniri, ‘Abd al-Ra’uf al-Sinkili, Muhammad Yusuf aal-
Maqassari, dan lain-lain  adalah tokoh sufi yang berjuang di tanah kelahirannya.
Oleh karenanya, tasawuf menjadi salah satu tradisi intelektual yang berkembang pesat
di Indonesia sejak masa awal. Pada penghujung abad ke-16 dan paroh pertama abad ke-17,
Hamzah Fansuri (w. sekitar 1590) dan Al-Sumatrani (w. 1630) telah mengembangkan
pemikiran tasawuf berkembang terus dan membentuk tarekat-tarekat yang memungkinkannya
berperan lebih mengakar, massal dan terorganisasi.
Evolusi tarekat hingga menjadi organisasi dapat terbagi ke dalam tiga tahapan :
Tahapan pertama, ketika tasawuf masih sangat sederhana. Para guru dan murid hidup
sebagaimana orang biasa dengan beberapa aturan yang juga sederhana, hingga kemudian
munculnya fenomena pemondokan sufi yang disebut dengan khanqah.
Tahapan kedua, adalah ketika pengajaran yang berkesinambungan sudah membentuk
ilsilah tariqah, Ajaran dan metode-metode kolektif yang mulai ditransmisikan secara teratur
membentuk tarekat yang terorganisasi dengan tradisi yang mulai membaku. Tahap kedua ini
berlangsung sekitar abad ke6/12 hingga penghujung abad ke-8/14.
Tahapan ketiga, sejak abad ke-9/15 adalah ketika tasawuf yang terorganisasi menjadi
gerakan massal membentuk aliran-aliran dan sub-sub kelompok.
Dalam konteks perkembangan tarekat sebagaimana disebut di atas, Islam mengalami
penyebaran besar-besaran di Indonesia setelah tarekat mencapai fase ketiga dari
perkembangnnya. Akhir abad ke-16 hingga paroh pertama abad ke-17 biasanya dianggap
sebagai era yang sangat penting dalam pembentukan tradisi tasawuf di Indonesia.
Dua tokoh utama, Hamzah Fansuri (w + 1590) dan muridnya. Syamsudin al-
Sumatrani (w. 1630) merupakan tokoh dominan era ini. Hamzah Fansuri biasa dianggap
sebagai pelopor sastra sufi Melayu, sebab sebelumnya dunia Melayu tidak mengenal karya-
karya sufi yang bisa disebut sebagai karya Melayu asli.
Ajaran tasawuf yang paling menonjol dari Hamzah Fansuri dan Syamsudin al-
Sumatrani berporos pada pemikiran wahdatul wujud yang   kemudian dielaborasi dalam
konsepsi martabat tujuh yang ekspressi finalnya dapat dilihat dalam Kitab al-Harakat karya
al-Sumatrani.
Dari sudut pemikiran, martabat tujuh agaknya bersumber dari kitab Tuhfat al-
Mursalah ila Ruh An-Nabi  yang merupakan karya Muhammad  Fadhlullah  al-Burhanpuri
dari  India.
Al-Burhanpuri sendiri bisa disebut sekedar menyederhanakan ajaran al- insan al-
kamil dari sufi ‘Abd al- Karim Al-Jili (w. 1408), yang pada gilirannya adalah merupakan
penafsiran atas pemikiran-pemikiran Muhy al-din Ibn ‘Arabi (w. 1240).
Meskipun ajaran martabat tujuh tidak diperkenalkan sebagai tarekat tingkatan-
tingkatan tersebut bisa melahirkan kesan yang mirip dengan tahapan-tahapan yang umum
terdapat pada tarekat.

B. Perkembangan Tasawuf di Indonesia


Wacana tasawuf khususnya tasawuf falsafi di Nusantara dimotori oleh Hamzah
Fansuri dan Syamsuddin Sumatrani, dua tokoh sufi yang datang dari pulau Andalas
(Sumatera) pada abad ke 17 M.
Sekalipun pada abad ke 15 sebelumnya telah terjadi peristiwa tragis berupa eksekusi
mati terhadap Syekh Siti Jenar atas fatwa dari Wali Songo, karena ajarannya dipandang
menganut doktrin sufistik yang bersifat bid’ah berupa pengakuan akan kesatuan wujud
manusia dengan wujud Tuhan, Zat Yang Maha Mutlak.
Menurut Alwi Shihab, kehadiran Syekh Siti Jenar dengan ajaran dan syahahat-nya
yang dipandang sesat, dapat dijadikan sebagai tahap pertama perkembangan tasawuf falsafi di
Indonesia.
Pemikiran Hamzah tentang ajaran wujudiyah terdapat dalam karyanya Zinat al-
Wahidin, yang terdiri dari tujuh bab. Dalam karyanya tersebut Hamzah menjelaskan bahwa
penampakan Tuhan tidak terjadi begitu saja atau secara langsung, tapi melalui tahap tertentu,
sehingga keesaan dan kemurnian Tuhan tidak tercampuri dengan makhluk.
Ajaran wujudiyah Hamzah ini kemudian dikembangkan oleh muridnya Syamsuddin
Sumatrani. Kebanyakan peneliti berpendapat, hubungan mereka adalah guru- murid.
Pengajaran Syamsuddin tentang Tuhan dengan corak paham wujudiyyah dikenal juga
dengan pengajaran tentang “martabat tujuh”, yaitu tentang satu wujud dengan tujuh
martabatnya.
Pengajarannya tentang ini agaknya sama dengan yang diajarkan al-Burhanpuri, yang
diduga kuat sebagai orang pertama yang membagi martabat wujud itu kepada tujuh kategori.
Ketujuh martabat tersebut adalah : martabat ahadiyyah, martabat wahdah, martabat
wahidiyyah, martabat alam arwah, martabat alam mitsal, martabat alam ajsam dan martabat
alam insan. Paham martabat tujuh inilah yang membedakan antara Syamsuddin Sumatrani
dengan gurunya Hamzah Fansuri, yang mana dalam ajaran Hamzah tidak ditemukan
pengajaran ini.
Tetapi keduanya sangat menekankan pemahaman tauhid yang murni, bahwa Tuhan
tidak boleh disamakan atau dicampurkan dengan unsur alam yang  dikenal dalam pengajaran
Hamzah Fansuri dengan istilah la ta’ayyun.
Sedangkan dalam pengajaran Syamsuddin dikenal dengan aniyat Allah, yang
merupakan kejelasan dari ajaran al-Burhanpuri untuk tidak mencampur adukkan martabat
ketuhanan dengan martabat kemakhlukan.
Tasawuf akhlaki adalah aplikasi tasawuf dalam akhlak mukmin yang terpancar dari
bathinnya sehingga berpengaruh kepada seluruh tingkah lakunya. Tasawuf akhlaki menuntut
keikhlasan yang murni semata-mata karena Allah.

C. Kontribusi Tasawuf di Indonesia


1. Kontribusi dalam Perjuangan di Indonesia
Ketika tasawuf telah melembaga menjadi organisasi tarekat, akhinya tarekat memiliki
pertambahan jumlah penganut yang sangat cepat, meskipun ini hampir selalu berarti penganut
awam. Bagi tarekat sebagai sebuah organisasi pertambahan ini tentulah merupakan hal yang
positif dalam artian semakin membesarnya organisasi. Untuk kasus Indonesia, meskipun
sebagai sebuah lembaga dan metode tarekat sudah mulai menyebar sejak abad ke- 16, tarekat
sebagai organisasi baru mulai kelihatan pada penghujung abad ke-18 dan menjadi fenomena
pada abad berikutnya.
Dengan menjadi organisasi, maka tarekat memiliki jaringan yang bisa sangat luas,
sesuai dengan tingkat penyebaran tarekat dimaksud. Sebagai sebuah organisasi tarekat juga
mengembangkan kecenderungan untuk secara sengaja mengirim perwakilan (khalifah, badal)
ke daerah-daerah tertentu.
Di sisi lain, dengan semakin banyaknya penganut awam dalam tarekat (dan ini adalah
konsekwensi logis dari pertumbuhannya sebagai organsiasi), maka tumbuh pulalah
kecenderungan ‘kepengikutan’ total kepada para pemimpin tarekat. Dan ini, meskipun
mungkin sering dianggap sebagai kemandegan pengembangan konseptual, tetapi justru
mendukung kemudahan mobilisasi massal pada saat yang dibutuhkan.

2. Kontribusi dalam Pembentukan akhlak Masyarakat


Tarikat menurut Abdullah Ujong Rimba adalah cara atau kaifiyat mengerjakan
sesuatu amalan untuk mencapai satu tujuan. Cara atau kaifiyat dimaksud adalah cara
sebagaimana   yang  telah diformulasikan dan ditata sedemikian rupa oleh sufi-sufi besar dan
guru- guru tarikat sendiri yang sudah demikian banyak jumlahnya. Namun, semua kelompok
tarikat yang berkembang tersebut mengamalkan tiga ajaran dasar yang sama sebagaimana
disinggung di atas yaitu takhallī, taḥallī  dan tajallī .
Salah satu tarikat terbesar yang berkembang hingga sekarang adalah Tarikat
Naqsyabandiyah. Salah satu Pusat Pengembangannya terdapat di desa Babussalam
Kabupaten Langkat Sumatera Utara. Aliran tarikat ini menurut Rimba tergolong tarikat
sufiyah yang cara mengerjakan amal ibadahnya tanpa begitu terikat
dengan Alqur’an dan Alḥadiṡ, tetapi menurut ajaran yaug diformulasi oleh guru sufi atau
guru tarikat yang mengajarkannya.
Sebagai pembentukan dari tasawuf akhlaki dan ‘amali, maka pengamalan ajaran
tarikat ini menggunakan pendekatan akhlak dan amalan tertentu yaitu zikir dan doa.
Pengamalan ajaran tersebut bertujuan untuk mencapai hakikat atau kasyaf sehingga semakin
dekat dengan Allah. Pelaksanaan amalannya sendiri harus di bawah binbingan dan kontrol
seorang guru atau mursyid. Oleh karena dibimbing dan dipimpin oleh guru mursyid  untuk
menempuh jalan dalam mencapai hakikat, maka tarikat ini dinamakan juga dengan tarikat
suluk. peribadi yang saleh dan berakhlak mulia. Perbuatan yang demikian itu dilakukan
dengan sengaja, sadar, pilihan sendiri dan bukan karena paksaan. Sehingga hasil perubahan
akhlaknya lebih permanen karena dikerjakan oleh orang yang sadar apalagi dewasa.

Anda mungkin juga menyukai