NIM : 0502202083
Hawash Abdullah menyebutkan beberapa bukti tentang besarnya peranan para sufi
dalam penyebaran Islam pertama kalinya di Nusantara. Ia menyebutkan tokoh sufi Syekh
Abdullah Arif yang menyebarkan Islam untuk pertama kalinya di Aceh sekitar abad ke -12 M.
Ia adalah seorang pendatang ke Nusantara bersama banyak muballigh lainnya yang diantaranya
bernama Syekh Ismail Zaffi. Lebih jauh lagi, Hawash Abdullah menegaskan bahwa kalau mau
meneliti secara jujur, kita akan berkesimpulan bahwa pada tahun-tahun pertama masuknya
Islam ke Nusantara, para sufilah bukan lainnya yang paling banyak jasanya.
Proses islamisasi di Indonesia strurktural telah di bentuk oleh tiga komponen yang
saling melengkapi yaitu sebagai berikut.
1. Kesultanan dengan maritimnya yang berada di sepanjang pantai utara jawa berusaha
menaklukan negeri-negeri pedalaman.
2. Kelompok ulama Islam asing mengisi pos birokrasi dan memimpin upacara
keagamaan.
3. Para sufi tertarik untuk pindah dari daerah pantai menuju pedalaman jawa untuk
menyampaikan dakwahnya.
B. Tokoh-tokoh Tasawuf
a. Walisongo
Raden Rahmat atau Sunan Ampel (wafat sekitar tahun 1406 M) dikisahkan dalam
Babad Tanah Jawi mengajarkan kehidupan zuhud dengan melakukan riyaḍah secara ketat
kepada masyarakat. Adapun gambaran amalan ruhani yang dijalankan Sunan Ampel sebagai
berikut:
Ora dhahar ora guling/ anyegah ing hawa/ ora sare ing wengine/ ngibadah maring
Pangeran/ fardhu sunat tan katinggal/ sarwa nyegah haram makruh/ tawajuhe muji ing Allah//
Tidak makan tidak tidur, mencegah hawa nafsu/tidak tidur malam untuk beribadah
kepada Tuhan/ fardhu dan sunnah tidak ketinggalan/ serta mencegah yang haram maupun yang
makruh/ tawajuh memuji Allah//.
Bahkan di dalam satu keterangan di dalam Babad Tanah Jawi naskah Drajat, Sunan
Ampel mengajarkan ilmu tasawuf dengan laku suluk menurut ajaran tarekat Naqsyabandiyah.
Sementara itu, Sunan Giri dalam melakukan dakwah Islam di tengah-tengah
masyarakat lebih di bidang pendidikan. Ia merupakan salah satu wali yang mengembangkan
sistem pesantren yang kemudian diikuti oleh hampir seluruh lapisan masyarakat Indonesia.
Dalam menyampaikan dakwah Islam, Sunan Giri melanjutkan dengan cara-cara yang
lunak dengan mengikuti ajaran Islam yang diterima sebagai ajaran. Titik tolok dakwah yang
dikembangkan pada dasarnya adalah menanamkan pendidikan budi pekerti luhur kepada
masyarakat.
Sunan Bonang dikenal sebagai guru tasawuf yang diyakini memiliki kekuatan keramat
sebagaimana lazimnya seorang wali.
Sebuah naskah primbon asal Tuban, yang menurut Schrieke dalam Het Boek Van
Bonang (1916) adalah tulisan Sunan Bonang sendiri, merupakan ikhtisar bebas dari Kitab Iḥyā'
'Ulūm al-Dīn karya al-Ghazālī dan Kitab al-Tamhīd Fī Bayān al-Tawḥīd karya Abu Syakur bin
Syu'aib al-Kasi al-Hanafi al-Salimi.
Sunan Kalijaga dikenal sebagai guru ruhani yang mengajarkan tarekat Syattariyah dari
Sunan Bonang sekaligus tarekat Akmaliyah dari Syekh Siti Jenar. P
elajaran tarekat dalam bentuk laku ruhani yang disebut mujahadah, muqarabah, dan
musyahadah secara arif disampaikan Sunan Kalijaga baik secara tertutup diberikan kepada
murid-murid ruhani sebagaimana layaknya proses pembelajaran di dalam sebuah tarekat.
Sementara itu, pelajaran yang disampaikan secara terbuka, dilakukan melalui
pembabaran esoteris kisah-kisah simbolik dalam pergelaran wayang, sehingga menjadi pesona
tersendiri bagi masyarakat dalam menikmati pergelaran wayang yang digelar Sunan Kalijaga.
Sunan Drajat dikenal sebagai penyebar Islam yang berjiwa sosial tinggi dan sangat
memperhatikan nasib kaum fakir miskin serta lebih mengutamakan kesejahteraan sosial
masyarakat.
Setelah memberikan perhatian penuh, baru Sunan Drajat memberikan pemahaman
tentang ajaran Islam. Ajarannya lebih pada empati dan etos kerja berupa kedermawanan,
pengentasan kemiskinan, usaha menciptakan kemakmuran, solidaritas sosial, dan gotong
royong.
Secara umum, ajaran Sunan Drajat dalam menyebarkan dakwah Islam dikenal
masyarakat sebagai pepali pitu (dasar tujuh ajaran), yang mencakup tujuh falsafah yang
dijadikan pijakan dalam kehiduapan sebagai berikut;
Pertama, memangun resep tyasing suasama (kita selalu membuat senang hati orang
lain.)
Kedua, jroning suka kudu eling lan waspodo (dalam suasana gembira tetap ingat
Tuhan dan selalu waspada.)
Ketiga, laksitaning subrata tan nyipta marang pringga bayaning lampah (dalam
upaya mencapai cita-cita luhur janggan tantangan dan rintangan.)
Keempat, meper hardaning pancadriya (senantiasa berjuang menekan gejolak nafsu-
nafsu inderawi.)
Kelima, heneng-hening-henung (dalam diam akan mencapai keheningan dan di dalam
hening akan mencapai jalan kebebasan mulia.)
Keenam, mulya guna panca waktu (pencapaian kemuliaan lahir batin dicapai dengan
menjalankan salat lima waktu.)
Ketujuh, menehono teken marang wong kang wuto. Menehono mangan marang wong
kang luwe. Menehono busana marang wong kang wuda. Menehono pangiyup marang wong
kang kaudanan (berikan tongkat kepada orang buta. Berikan makan kepada orang yang
lapar.berikan pakaian kepada orang yang tidak memiliki pakaian. Berikan tempat teduh yang
kehujanan.
Penanaman nilai-nilai ajaran Islam melalui keteladanan yang baik sebelum
mengucapkan kata, bukan dengan cara propaganda dan cara yang tidak bijak lainnya,
menjadikan dakwah yang diajarkan Wali Songo mendapatkan simpati di hati masyarakat.
Ajaran ajaran semacam ini yang selalu digaungkan dalam ajaran Islam dan bahkan lebih
dianjurkan karena sesuai dengan dalil normatif al-Qur'an dan Sunnah.
Jika demikian model dakwah yang dikembangkan oleh Wali Songo, maka kita akan
menemukan kecocokan model dakwah atau ajaran tasawuf Wali Songo dengan tipologi
tasawuf Akhlaki yang diserukan oleh al-Ghazālī.
Nampaknya tawaran tasawuf al-Ghazālī lebih mendapat simpati bagi Wali Songo untuk
diajarkan kepada masyarakat secara luas. Ini bisa dengan data yang sudah menjelaskan tentang
ajaran tasawuf Sun Bonang dan Sunan Kalijaga yang menjadikan buku-buku al-Ghazālī
sebagai rujukan utama.
Proposisi lain yang mungkin dapat diperdebatkan adalah selain dari ajaran Wali Songo
Di atas terdapat pula ajaran Syekh Siti Jenar, di mana pemikiran-pemiknya masuk dalam
tipologi tasawuf falsafi?
Syekh Lemah Abang berujar, 'Marilah kita berbicara dengan terus terang bahwa Aku
ini Allah. Akulah yang sejatinya disebut Prabu Satmata, tidak ada yang lain yang ilahi',
Maulana Maghrib mencela, 'tapi itu jisim namanya disebut,' Syekh Lemah Abang menyahut,
'Saya menyampaikan ilmu yang bukan tubuh, karena tubuh pada hakikatnya tidak ada. Yang
kita bincang adalah ilmu sejati. Kepada semuanya saja, kita buka tabir rahasia ilmu sejati'.
Dengan demikian, benih-benih tasawuf falsafi di Indonesia sedari awal memiliki
kekuatan yang sama besar dengan tasawuf akhlaki.
Sangat penting ajaran Syekh Siti Jenar, sebagai wali dengan kapasitas keilmuan yang
sangat mumpuni, mendapat banyak tempat di hati masyarakat. Hal ini menunjukkan model
kedua tasawuf pernah ada dan tumbuh bahkan pada taraf menjadi suatu arus utama di
Nusantara.
Pernyataan di atas bisa menjadi benar, jika dakwah dan ajaran Syekh Siti Jenar tidak
mendapatkan resistensi dari para anggota wali lainnya.
Pada kenyataannnya di dalam sejarah yang dibuktikan bahwa usaha-usaha pemakzulan
terhadap paham yang cenderung pada ajaran filosofis-panteistis yang diajarkan Syekh Siti
Jenar. Bahkan diberitahukan bahwa Sunan Giri (anggota Wali Songo) dikabarkan kuliah Siti
Jenar yang berpandangan panteisme.
b. Ar-Raniri
Nama lengkapnya adalah Nuruddin Muhammad bin Ali bin Hasanji bin Muhammad
Hanif Al-Raniri Al-Quraisyi Al-Syafi’i. Nuruddin Al Raniri adalah sarjana India keturunan
Arab, beliau dilahirkan di daerah Ranir yang tak jauh dari Gujarat.
Nuruddin Ar-Raniri lahir di kota Ranir Pantai Gujarat, India. Tahun kelahirannya tidak
di ketahui tetapi banyak ahli yang memperkirakan ia lahir di akhir abad 16. Guru yang paling
berpengaruh adalah Abu Nafs Sayyid Imam bin ‘Abdullah bin Syaiban, seorang guru Tarekat
Rifa’iyah. Ar-Raniri merupakan tokoh pembaharuan Islam di Aceh. Pembaharuan utamanya
adalah memerangi aliran Wujudiyyah yang dianggap aliran sesat. Karya-karya beliau antara
lain Ash-Shirath Al-Mustaqim, Bustan As-Salatin fi DzikirAl-Awwalin wa Al-Akhirin, Durrat
Al-Farra’idh bi Syarhi Al’Aqa’id, Syifa Al-Qulub.