Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

Ilmu Tasawuf
“Tasawuf di Indonesia, Hamzah Fansuri dan Nuruddin Al Raniri“
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ilmu Tasawuf
Dosen Pengampu: Muhammad Ikhsan Ghofur M.A.

Disusun oleh:
Agus Arifin
Naufal Muhammad Al Hikam

JURUSAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT ISLAM


FAKULTAS USSULUDDIN ADAN DAN DAKWAH
IAIN SYEKH NURJATI CIREBON
2019
Tasawuf di Indonesia, Hamzah Fansuri dan Nuruddin Al
Raniri

A. Hamzah Fansuri
1. Biografi Hamzah Fansuri

Hamzah Fansuri adalah tokoh tasawuf yang hidup di Aceh dan memiliki peran
besar dalam penyebaran Islam di Aceh dan sekitarnya. Ajaran dan paham tasawufnya
telah membawa implikasi luas terhadap perkembangan tasawuf wujudiyah di
Nusantara seiring dengan perkembangan tasawuf yang bercorak Sunni. Dari perspektif
sejarah, Aceh merupakan wilayah strategis dalam penyebaran Islam di Nusantara.

Aceh dengan peran strategisnya dalam penyebaran Islam di Nusantara, yang


kemudian sangat berpengaruh terhadap penyebaran Islam di daerah lain, adalah bukti
bahwa Aceh memang layak disebut sebagai “Serambi Makkah” atau halaman depan
atau pintu gerbang ke Tanah Suci Makkah. Di Aceh telah berkembang corak tasawuf
tidak hanya Falsafi, namun juga Sunni.

Kedua corak tasawuf tersebut telah berhasil menemukan momentumnya dan sangat
berpengaruh terhadap dinamika tasawuf berikutnya, termasuk ke daerah-daerah lain di
Nusantara. Oleh karena itu, pembahasan tentang tasawuf di Nusantara hampir pasti
selalu dimulai dari pembahasan tasawuf di Aceh. Di antara tokoh-tokoh ulama besar
(par excellence) Aceh yang sangat berpengaruh melalui karya-karya tasawufnya,
adalah Syekh Hamzah al-Fansuri, Syamsuddin al-Sumaterani, dan Nuruddin al-Raniri.

Hamzah adalah sosok sufi dan penyair Melayu yang sangat berpengaruh pada
masanya dan bahkan sampai beberapa abad setelahnya. Beliau juga merupakan sosok
ulama dan birokrat yang kritis terhadap penguasa. Namun, sejarah kehidupan tokoh ini
masih diliputi oleh misteri. Sumber-sumber tempatan (traditional sources) abad ke-17
M., seperti Hikayat Aceh, Adat Aceh, dan Bustan al-Salatin, tidak sedikitpun
menyinggung secara eksplisit mengenai tokoh ini. Demikian juga haknya dengan
berbagai sumber luar, terutama karya-karya Eropa.

Riwayat hidup Hamzah Fansuri masih dipersoalkan oleh para peneliti dan sangat
sulit diketahui. Sampai sekarang tidak ditemukan bukti-bukti tertulis yang
memaparkan masa dan perjalanan hidupnya, apa saja risalah tasawuf dan berapa
banyak jumlah puisi asli yang telah ditulis olehnya. Sejarah lahir dan meninggalnya
juga tidak diketahui secara pasti, begitu juga tidak ada yang tahu di mana dia
dimakamkan.

Ada yang mengatakan bahwa Hamzah Fansuri dilahirkan di kota Barus, sebuah
kota yang oleh seorang Arab zaman dahulu dinamai “Fansur”. Itulah sebabnya di
belakang namanya disebut “Fansuri”. Kota Barus atau Fansur, merupakan pusat
pengetahuan Islam lama di Aceh Barat Daya. Masa hidupnya diperkirakan sebelum
tahun 1630-an, karena Syamsuddin Pasai yang menjadi pengikutnya berkomentar
dalam buku tulisannya Syarh Rub’, bahwa Hamzah Fansuri meninggal pada tahun
1630.

Meskipun biografi mengenai kehidupan Hamzah Fansuri sering tidak ditemukan,


namun banyak para sejarawan yang tidak lupa membahas Hamzah Fansuri mengenai
kesufian dan syair-syair yang dikarang olehnya. Serta ajaran tasawuf yang
dikembangkan oleh Hamzah Fansuri. Selama Islam terus berkembang di Nusantara,
Hamzah Fansuri mampu mengajarkan tasawuf etika, estetika, dan metafisika. Ajaran
Hamzah Fansuri tidak jauh dari tasawuf yang dikenal di Persia yaitu wujudiyah, karena
memang tasawufnya berkembang dari Persia, ajaran wujudiyah yang diajarkan
Hamzah Fansuri lebih mudah diterima, terutama di Aceh, tepatnya pada masa
kekuasaan Sultan Alauddin Ri’ayat Syah pada akhir Abad 16 M (1588-1604).

2. Kisah Hidup Hamzah Fansuri

Daripada berbagai-bagai sumber disebutkan bahwa Syeikh Hamzah al-Fansuri


telah belajar berbagai ilmu yang menghabiskan waktu yang lama. Selain belajar di
Aceh sendiri beliau telah mengembara ke pelbagai tempat, di antaranya ke Banten
(Jawa Barat), bahkan sumber yang lain menyebut bahwa beliau pernah mengembara
keseluruh tanah Jawa, Semenanjung Tanah Melayu, India , Parsi dan Arab. Dikatakan
bahwa Syeikh Hamzah al-Fansuri sangat mahir dalam ilmu-ilmu fiqah, tashawuf,
falsafah, manthiq, ilmu kalam, sejarah, sastra dan lain-lain. Dalam bidang bahasa pula
beliau menguasai seluruh sektor ilmu Arabiyah, fasih dalam ucapan bahasa itu, bisa
berbahasa Urdu, Parsi, Melayu dan Jawa.

Pengalaman kesufian yang diperoleh dari pengembaraan ke berbagai negeri, dan


daerah di Nusantara memungkinkan Hamzah Fansuri menuangkan pengetahuan dan
pengalamannya dalam banyak karangan. Karangan Hamzah Fansuri tersebut terbagi
dalam dua bentuk, yakni karya yang berbentuk prosa dan karya yang berbentuk syair.

Selain dikenal sebagai tokoh sufi dan penyair yang terkemuka, Hamzah Fansuri
juga dianggap sebagai seorang yang ahli dalam beberapa bidang lainnya, yaitu dalam
bidang kerohanian, keilmuan, filsafat, bahasa, dan sastra. Karya-karyanya banyak
dibaca oleh masyarakat. Beliau juga berhasil meletakkan dasar-dasar puitika dan
estetika Melayu dalam syair-syairnya.

Beliau menjadi seorang tokoh yang multitalenta. Tidak hanya mampu dalam bidang
tertentu saja, namun mampu dan ahli dalam berbagai bidang. Itulah mengapa para
sejarawan banyak membahas mengenai keahlian Hamzah Fansuri.

3. Ajaran Tasawuf Hamzah Fansuri

Ajaran Tasawuf Wujudiyah Hamzah Fansuri Hamzah Fansuri memiliki pandangan


tasawuf yang berbau panteisme (wujudiyah). Ibnu ‘Arabi dianggap sebagai tokoh yang
sangat berpengaruh dalam pemikiran tasawuf Hamzah Fansuri melalui karyakaryanya.
Bahkan Hamzah Fansuri dianggap orang pertama yang menjelaskan paham wihdat al-
wujud Ibnu ‘Arabi untuk kawasan Asia Tenggara. Hamzah Fansuri juga mengutip
pendapat para sufi yang beraliran wujudiyah dan non-wujudiyah untuk menjelaskan
dan memperkuat pendapat Ibnu ‘Arabi yang dinisbatkan kepadanya, seperti Abu Yazid
al-Busthami, al-Junaid al-Baghdadi, al-Hallaj, al-Ghazali, al-Mas’udi, Farid al-Din al-
Attar, Jalal al-Din al-Rumi, al-‘Iraqi, al-Maghribi Syah Ni’matullah, dan al-Jami.
Hamzah Fansuri tidak hanya menerjemahkan dan menghimpun pendapat mereka,
namun juga dengan keahlian dalam menyusun kata-kata sehingga sesuai dengan paham
wahdat al-wujud Ibnu ‘Arabi. Walaupun demikian Hamzah Fansuri masih disebut
sebagai penganut tarekat Qadiriyah yang dinisbatkan kepada Syekh Abdul Qadir al-
Jailani dan beraliran Sunni. Sedangkan dalam bidang fikih, Hamzah Fansuri disebut
bermazhab al-Syafi’i.

Di Nusantara, Hamzah Fansuri lebih dikenal sebagai ulama sufi yang banyak
mengadopsi dan mengembangkan paham tasawuf wujudiyah sebagaimana yang telah
dikembangkan oleh sufi panteis di atas tadi. Paham wujudiyah (wahdat al-wujud)
adalah bahwa Tuhan tidak bertentangan dengan gagasan tentang penampakan
pengetahuan-Nya yang bervariasi di alam nyata ini (‘alam al-khalq). Tuhan adalah
Dzat Mutlak, satu-satunya di dalam ke-Esa-anNya, tanpa ada sekutu bagi-Nya; dan
oleh karena itu Tuhan adalah tanzih (transenden). Manifestasi pengetahuan-Nya
bervariasi dan memiliki penampakan lahir dan batin di samping tanzih (transenden)
Dia juga tasybih (imanen). Hamzah Fansuri memulai ajaran tasawufnya dengan
mengatakan bahwa Tuhan adalah Dzat yang Maha Suci dan Maha Tinggi yang
menciptakan manusia. Hamzah Fansuri mengatakan:

Ketahuilah, hai segala kamu anak Adam yang Islam, bahwa Allah Subhanahu wa
ta’ala menjadikan kita, dari pada tiada diadakannya; dan dari pada tiada bernama diberi
nama; dan dari pada tiada berupa diberi berupa; lengkap dengan telinga, dengan hati,
dengan nyawa, dengan budi. Yogya kita cari Tuhan kita ini supaya kita kenal dengan
makrifat kita atau dengan khidmat kita kepada guru yang sempurna mengenal dia
supaya jangan taqsir kita”. Dari ungkapan di atas, ada dua pandangan esensial Hamzah
Fansuri, yaitu pertama, tentang keberadaan Tuhan dianggap memiliki posisi sangat
Tinggi dan Suci di hadapan manusia (makhluq). Kedua, seorang salik (pejalan tasawuf)
harus melalui seorang guru/Syeikh yang dapat membimbing dan mengantarkan si salik
untuk dapat menemukan Tuhannya (ma’rifatullah). Dalam salah satu syairnya, Hamzah
Fansuri mengatakan: Cahayanya-Nya terlalu nyarak Dengan rupa kita yang banyak Ia
juga takur dan arak Jangan kau cari jauh, hai anak. Ajaran tasawuf Hamzah Fansuri
lainnya adalah terkait dengan hakikat wujud dan penciptaan. Hamzah Fansuri melihat
bahwa wujud itu hanya satu walaupun terlihat berbilang (banyak). Dari wujud yang
satu ini ada yang merupakan kulit (madzhar, kenyataan lahir) dan ada yang berupa isi
(kenyataan batin). Semua benda di dunia ini sebenarnya merupakan pancaran
(manifestasi/tajalliyat) dari yang hakiki, yang disebut al-Haqq Ta’ala (Allah Swt. itu
sendiri). Ia menggambarkan wujud Tuhan bagaikan lautan dalam yang tak bergerak.
Sedangkan alam semesta ini merupakan gelombang lautan wujud Tuhan.

Pengaliran dari Dzat yang Mutlak ini diumpamakan gerak ombak yang
menimbulkan uap, asap, dan awan, yang kemudian menjadi dunia gejala. Itulah yang
disebut ta’ayyun dari Dzat yang la ta’ayyun. Itu juga yang disebut tanazul. Kemudian
segala sesuatu kembali lagi pada Tuhan (taraqqi), yang digambarkan sebagai uap, asap,
awan, lalu hujan dan sungai, dan kembali lagi ke lautan. Ajaran Hamzah Fansuri inilah
yang kemudian mendapat pertentangan dari para ulama sufi Sunni Nusantara.
Perumpamaan antara Tuhan dan alam tersebut diilustrasikan oleh Hamzah Fansuri
melalui ungkapannya berikut: Laut tiada bercerai dengan ombaknya, ombak tiada
bercerai dengan lautnya. Demikian juga dengan Allah Swt., tiada bercerai dengan alam,
tetapi tiada di dalam alam dan tiada di luar alam dan tiada di bawah alam dan tiada di
kanan alam dan tiada di kiri alam dan tiada di hadapan alam dan tiada di belakang alam
dan tiada bercerai dengan alam dan tiada bertemu dengan alam dan tiada jauh dari
alam.36 Ungkapan Hamzah Fansuri di atas jelas menunjukkan paham tasawufnya yang
panteis. Sebab ungkapan tersebut seakan menunjukkan bahwa tidak ada jarak antara
Tuhan dengan alam (makhluq). Ungkapan tersebut sesuai dengan hadis Nabi Saw.,
bahwa barangsiapa mengenal dirinya maka akan dapat mengenal Tuhannya (man
‘arafa nafsahu faqad ‘arafa Rabbahu)

4. Karya-karya Hamzah Fansuri

Karya tulis Hamzah Fansuri menurut para peneliti berjumlah tiga buah risalah
berbentuk prosa, dan 32 merupakan kumpulan syair. Syeikh Hamzah al-Fansuri dapat
digolongkan kepada peringkat awal dalam menghasilkan karya puisi/sastra dalam
bahasa Melayu, sangat menonjol terutama sekali dalam sektor sufi. Lebih tersebarlah
lagi kemasyhurannya karena terjadi kontroversi yang dilemparkan oleh orang-orang
yang tidak sependapat dengannya yang dimulai dengan karya-karya Syeikh Nuruddin
ar-Raniri, berlanjutan terus hingga sampai ke hari ini karya-karya Syeikh Hamzah al
Fansuri selalu dibicarakan dalam forum-forum ilmiah. Di bawah ini beberapa karya
beliau yang telah diketahui, yaiitu:

1). Syarb al- ‘Asyiqin atau Zinatul Muwahhidin (Minuman semua orang yang rindu).
Risalah ini berisi ringkasan ajaran tentang wahdat al-wujud dan cara mencapai makrifat
kepada Allah.

2). Asrar al-’Arifin fi Bayan ‘Ilm as-Suluk wa at-Tauhid (Rahasia orangorang ‘arif
dalam menjelaskan ilmu suluk dan tauhid). Risalah ini berisi uraian atau penafsiran
terhadap 15 bait puisi-puisi sufistik yang ia ciptakan sendiri mengenai masalah
metafisika dan ontologi wujudiyah.

3). Al-Muntahi (Ufuk terjauh), Kitab ini membicarakan tentang bagaimana penciptaan
alam, bagaimana Tuhan memanifestasikan diri-Nya, dan bagaimana upaya manusia
untuk kembali ke asalnya.

4). Ruba’i Hamzah Fansuri.

5). Kasyf Sirri Tajalli ash-Shibyan.

6). Kitab fi Bayani Ma’rifah.

7). Syair Si Burung Pingai.

8). Syair Si Burung Pungguk.

9). Syair Sidang Faqir.

10). Syair Dagang.

11). Syair Perahu, syair berbahasa Melayu ini memuat dasar-dasar tasawuf Hamzah
Fansuri. Ia menggunakan perahu sebagai simbol kehidupan
12). Syair Ikan Tongkol/Tunggal, disebut juga Syair Si Burung Pingai. Syair yang
menjelaskan tentang proses fana’ dan baqa’ serta tahapan-tahapan lain yang harus
ditempuh si salik menuju kesatuan wujud.

Menurut para pengkaji naskah-naskah kuno, karya-karya tulis Hamzah Fansuri


tersebut merupakan awal dari kelahiran syair-syair dan literatur Islam dalam bahasa
Melayu.27 Oleh karena itu, Hamzah Fansuri sering dianggap sebagai salah seorang
tokoh sufi awal paling penting di wilayah Melayu-Indonesia, dan juga seorang perintis
terkemuka tradisi kesusasteraan Melayu1.

B. Nuruddin Al Raniri
1. Biografi Nuruddin Al Raniri

Nama lengkapnya adalah Nur al-Din Muhammad Ibn ‘Ali Ibn Hasanji Ibn
Muhammad Ar-Raniry. Dipanggil Ar-Raniry karena beliau dilahirkan di daerah Ranir
(Rander) yang terletak dekat Gujarat (India) pada tahun yang belum diketahui. Ia
adalah keturunan campuran India-Arab dari keluarga sufi dan ulama. Nenek
moyangnya kemungkinan termasuk dalam keluarga al-Hamid dari Zuhra, salah satu
dari sepuluh keluarga Quraiys. Namun bisa jadi ia adalah keturunan Humayd yang
sering dihubungkan dengan Abu Bakar Abdullah ibn Zubair al-Asadi al-Humaydi,
seorang ulama terkenal di Mekkah. Keluarga Ar-Raniry telah memiliki hubungan yang
baik dengan dunia Melayu, khususnya Kerajaan Aceh Darussalam. Sehingga ada
dugaan bahwa sebelum berangkat ke Aceh ia sudah memiliki kemampuan dalam
bahasa Melayu dan menguasai ilmu agama Islam yang sangat luas.

2. Kisah Hidup Nuruddin Al Raniri

Perjalanan intelektual Nuruddin al-Raniri dimulai ditanah kelahirannya (Ranir)


yaitu belajar ilmu agama, kemudian Nuruddin al-Raniri pindah ke Tarim, Hadramaut,
dan Arab Selatan. Kemudian tahun 1621 M Nuruddin al-Raniri menunaikan ibadah
haji dan berziarah ke makam nabi. Selama di Makkah dan Madinah Nuruddin al-Raniri

1
https://media.neliti.com/media/publications/178166-ID-hamzah-fansuri-pelopor-tasawuf-
wujudiyah.pdf
menemui dan menjalin hubungan dengan para jamaah haji dan penduduk asal nusantara
yang sudah menetap dan belajar di Arab. Selaian itu, Nuruddin al-Raniri juga belajar
ilmu tarekat rifa’iyyah, yang didirikan oleh Ahmad Rifai (w. 1183 M) kepada Syaikh
Said Abu Hafs Umar bin ‘Abd Allah Ba Syaiban atau yang terkenal dengan nama Sayid
Umar al-Aydarus dari Tarim. Setelah selasai kemudian Nuruddin al-Raniri oleh
gurunya dijadikan sebagai Syaikh dan pengganti gurunya (khalifah). Walau demikian,
Nuruddin al-Raniri ternyata juga belajar tarekat aydarusiyyah dan qadiriyyah.

Nuruddin al-Raniri selanjutnya merantau ke nusantara, tepatnya pada 31 Mei 1637


M, Nuruddin al-Raniri datang ke Aceh di masa Sultan Iskandar Tsani. Ada dua asumsi
yang mengatakan kenapa Nuruddin al-Raniri memilih Aceh. Pertama karena Aceh
pada saatitu telah menggantikan peran Malaka yang dikuasai Portugis, sebagai pusat
perdagangan, politik, dan studi islam di kawasan Asia Tenggara. Kedua karena
mengikuti jejak pamannya Muhammad al-Jailani bin Hasan bin Muhammad Hamid al-
Raniri (1588 M). Singkatnya, Nuruddin al-Raniri diterima dengan terbuka oleh Sultan
Iskandar Tsani (menantu Iskandar Muda) terutama dalam hal pemikiran
keagamaannya, yang dianggap sejalan dengan sang sultan. Sebagai bentuk
penghormatan kepada Nuruddin al-Raniri kemudian Sultan Iskandar Tsani
mengangkatnya sebagai mufti kerajaan (ketua penasehat). Aceh dikenal dengan kuat
atas paham wujudiyyahnya, sehingga menggugah Nuruddin al-Raniri untuk
menuliskan beberapa kitab sebagai pembanding. Selain itu juga sultan sendiri tidak
jarang menyuruh Nuruddin al-Raniri untuk menulis kitab-kitab terutama tasawuf,
utamanya untuk membatasi pengaruh paham wujudiyyah di Aceh. Salah satu peristiwa
penting dalam membatasi pengaruh paham wujudiyyah, Nuruddin al-Raniri didukung
oleh sultan mengadakan majelis persidangan terkait paham wujudiyyah dengan 40
ulama pendukung paham tersebut. Dalam kesempatan tersebut Nuruddin al-Raniri
mengungkapkan kelemahan pahan wujudiyyah sekaligus bertentangan dengan al-
Quran dan Hadits. Atas kewenangan sultan kemudian kitab kitab wujudiyyah karya
Hamzah al-Fansuri dan Syamsuddin al-Sumaterani dibakar di depan masjid
Baiturrahman Banda Aceh. Di tahun ke-7 sebagai mufti kerajaan, Nuruddin al-Raniri
memutuskan kembali ke tanah kelahirannya, tepatnya di tahun 1644 M.

Di tahun itu juga Nuruddin al-Raniri sebenarnya sedang menulis kitab jawahir baru
sampai bab lima. Penyelesaian penulisan kitabnya selanjutnya diserahkan kepada
murid terdekatnya. Selain dikenal sebagai ulama Nuruddin al-Raniri terkenal sebagai
seorang sufi, teolog, faqih, dan politisi, serta dikenal juga sebagai sastrawan, yaitu
mempopulerkan bahasa Melayu sebagai bahasa ke dua di dunia islam setelah bahasa
Arab dan bahasa Melayu sebagai lingua franca. Nuruddin al-Raniri juga dianggap
sebagai pembaharu dalam bidang metodologi penulisan ilmiah, pendapat ini didukung
atas semua tulisan Nuruddin al-Raniri selalu menyebutkan sumber referensi dalam
memperkuat argumen yang dipaparkannya. Nuruddin al-Raniri terkenal sebagai
seorang penulis produktif. Tulisannya meliputi berbagai cabang ilmu agama, seperti
sejarah, fikih, Hadits, akidah, mistik, filsafat, dan ilmu perbandingan agama.

3. Ajaran Tasawuf Nuruddin Al Raniri

Nuruddin Ar-Raniry, Tokoh tasawuf yang terkenal dan sebagai pelopor anti paham
wujudiyyah di Aceh pada masa pemerintahan Iskandar Tsani. Otaknya yang sangat
cerdas berhasil menjatuhkan dan melenyapkan paham Wujudiyyah yang sedang
berkembang saat itu. Ia memiliki banyak keahlian selain sebagai sufi, juga ahli teolog,
ahli fikih, ahli hadits, sejarahwan, ahli perbandingan agama, dan politisi.

Dan ia juga seorang khalifah tarekat rifa’iyah yang kemudian ia kembangkan


sampai ke wilayah Melayu. Menurut pandangan Azyumardi Azra, Ar-Raniri dalam hal
Kalam dan Tasawuf dengan fasih mengutip Imam al-Ghazali, Ibn ‘Arabi, al-Qunyawi,
al-Qasyani, al- Fairuzabadi. al-Jilli, ‘Abd ar-Rahman al-Jami’, Fadhlullah al-
Burhanpuri, dan para ulama terkemuka lainnya. Dalam bidang fikih, merujuk buku-
buku Syafi’i standar seperti Minhaj at-Thalibin, karya an-Nawawi, Fath al Wahhab bin
Syarh Minhaj at-Thullab, karya Zakariyya al-Anshari, Hidayat al-Muhtaj Syarh al-
Mukhtashar karya Ibn Hajar, Kitab al- Anwar karya al-Ardabili atau Nihayat al Muhtaj
(Ila Syarh al-Minhaj, karya an-Nawawi) karya Syams ad-Din ar-Ramli. 4 Nuruddin Ar-
Raniry adalah sufi yang pernah menjabat Syeikh al-Islam atau mufti di kerajaan aceh
pada zaman Sultan Iskandar Tsani. Ia hidup di Aceh selama 7 tahun.

Karakteristik Pemikiran Islam Nuruddin Ar-Raniry sebagai alim, mufti, dan penulis
produktif yang menentang doktrin Wujudiyyah yang dianut oleh Hamzah Fansuri dan
Syamsuddin As-Sumatrani. Menurut Ar-Raniry, Wujudiyyah itu suatu paham yang
menyesatkan. Ia mengeluarkan fatwa untuk memburu orang yang dianggap sesat,
membunuh orang yang menolak bertobat dari kesesatan, serta membakar buku-buku
yang berisi ajaran sesat. Dan pada tahun 1054/1644, ia meninggalkan Aceh karena
mendapatkan serangan balik dari lawan-lawan polemiknya yang tajam dari murid
Syamsuddin yang dituduh menganut paham panteisme.

Nuruddin Ar-Raniry, adalah seorang sosok sufi yang tidak toleran dan ortodoks,
yang tidak menghargai karya dan pemikiran orang lain. Tetapi disisi lain ia dianggap
berjasa dalam mengembangkan ilmu keislaman yang integral antara syariat dan
tasawuf. Dalam kajian yang dilakukan al-Attas mengenai Ar-Raniry, ia cenderung
mendukung argumen Daudy. Ia mengatakan Ar-Raniry sebagai ulama yang cerdas,
yang dikaruniai kebijaksanaan dan diberkati denan pengetahuan yang otentik, yang
berhasil menjelaskan ajaran-ajaran keliru tokoh wujudiyyah. Bukti kecerdasan dan
pengetahuan Ar- Raniry yang luas dalam ilmu keagamaan terlihat dari banyaknya
karya yang dapat kita peroleh hingga kini. Ia menulis dalam bidang tauhid, tasawuf,
fikih ushul dan fikih praktis serta menulis sejarah Aceh masa itu yang sampai sekarang
menjadi referensi utama dalam sejarah Aceh. Berikut ini sebagian ajaran Nuruddin al
Raniri,

1. Wujud Tuhan.

Nuruddin al-Raniri mengungkapkan bahwa wujud Tuhan adalah esa lagi hakiki
tanpa harus memerlukan dalil apapun.

2. Sifat dan zat Tuhan.

Sifat dan zat Tuhan harus dilihat dari dua aspek pertama aspek wujud; yaitu
antara sifat dan zat tidak memiliki perbedaan karena wujud yang hakiki adalah Allah
Swt. Kedua aspek pengertian; bahwa dari segi pengertian antara sifat dan zat itu
berbeda begitu juga antara sifat satu dengan sifat lainnya.

Selanjutnya Nuruddin al Raniri membagi sifat Tuhan menjadi dua sebagaimana


diterangkan berikut: 1. Sifat zat, terdiri dari qidam (dahulu), baqa (kekal), mukhalafatu
li’l hawadits (berbeda dengan makhluk), qiyamuhu bi nafshi (berdiri sendiri), dan
wahdaniyyat (keesaan); 2.Sifat ma’ani, terdiri dari al-hayah (hidup), al-ilmu (ilmu), al-
qudrah (kuasa), al-iradah (kehendak), al-sam’u (mendengar), al-bashr (melihat) dan al-
kalam (berbicara). Dari sifat ma’ani dikenalah sifat ma’nawiyyah yaitu al-Hayyu
(Yang Hidup), al-‘Alimu (Yang Mengetahui), al-Qadiru (Yang Berkuasa), al-Muridu
(Yang Berkehendak), al-Sami’u (Yang Mendengar), al-Bashiru (Yang Melihat) dan al-
Mutakallimu (Yang Berbicara). Dan dari sifat-sifat ma’nawiyah lahir sifat sifat fi’il
(perbuatan) yang berhubungan dengan manusia yaitu al-Khaliq (Yang Mencipta), al-
Raziq (Yang Memberi Rezeki), al-Hadi (Yang Memberi Petunjuk), al-Muhyi (Yang
Menghidupkan), dan al-Mumit (Yang Mematikan);

3. Tajalli serta A’yan Tsabitah.

Nuruddin al-Raniri mengutip hadits qudsi bahwa Aku (Allah) adalah


perbendaharaan yang terpendam (kanzah makhfiyyan). Aku ingin supaya dikenal,
maka Aku jadikan alam ini, sehingga itu mereka mengenal Aku. Tajalli dalam
pandangan Nuruddin al-Raniri berlangsung dalam dua martabat, yaitu: 1. Martabat
wahidah; Pada martabat ini terjadi tajalli zat pada sifat yang disebut syu’un zat atau
ta’ayyun awwal. Ditegaskan bahwa sifat-sifat itu identik dengan zat Tuhan, dan tajalli
sifat pada hakikatnya adalah peristiwa ma’nawi yang timbul dari pengertian akal yang
mengharuskan adanya zat terlebih dahulu dari sifat yang wujudnya selalu mengikuti
zat. Intinya Nuruddin al-Raniri memandang bahwa zat Tuhan tidak pernah sepi
(mujarrad) dari sifat. Martabat wahidiyyah; Pada martabat ini terjadi tajalli asma yang
juga disebut ta’ayyun atau a’yan tsabitah (hakikat alam). Mengingat Tuhan bersifat
ilmu, maka ada ma’lum (yang diketahui), dan isi yang diketahui, itu adalah hakikat
alam semesta atau a’yan tsabitah. Oleh karena itu, a’yan tsabitah adalah hakikat alam
yang merupakan objek yang diketahui (suwar ma’lumat) yang terletak dalam ilmu
Allah Swt. Karena sifat identik dengan zat, maka hakikat alam atau a’yan tsabitah juga
tidak berbeda dengan zat Allah Swt. Dengan kata lain, segala hakikat telah ada dalam
zat Tuhan sebelum bertajalli dalam ilmuNya. Selain itu, dibedakan secara tegas bahwa
perbedaan antara zat Allah dan a’yan tsabitah bukan terletak pada wujudnya, karena
yang berwujud adalah Tuhan, tetapi perbedaan hanya ada pada pemahaman akal
semata. Sedangkan alam tidak lebih dari bayangan dan tidak memiliki wujud, dan
hanya berperan sebagai wadah fenomena indrawi atas tajalli Allah melalui sifat
asmaNya.

4. Manusia

Manusia terdiri atas jasad dan ruh, jasad adalah wadah dari ruh, yang tercipta
dari alam ciptaan (alam khalaq) yang terdiri atas berbagai unsur material.

Sedangkan ruh atau nasf nathiqah (jiwa berpikir) adalah hakikat segala manusia
mengetahui segala sesuatu, ruh berasal dari alam arwah dan jasad dijadikan sebagai
tempat. Insan kamil berasal dari nur Muhammad dan selalu berpindah dalam berbagai
bentuk dari satu generasi ke generasi selanjutnya, mulai para rasul, para nabi, para
sahabat, dan seterusnya hingga berakhir di nabi Isa. Nur Muhammad adalah hakikat
pertama yang muncul dalam ilmu Allah atau yang disebut ta’ayyun awal yang lahir
dari tajalli zat atas zat.

5. Agama.

Agama terbagi atas empat bagian yaitu iman, islam, makrifat, dan tauhid.

a. Iman; yang dimaksud terbagi menjadi dua, yaitu: pertama iman umum (mujmal)
ialah beriman kepada Allah beserta sifat-sifatnya dan beriman pada rasul beserta sabda-
sabdanya; kedua iman terperinci (mufashshal) yang terbagi atas enam perkara, yaitu:

1) iman kepada Allah dan nabi Muhammad, mengakui zat dan sifat Allah Swt.
Sedangkan iman atas nabi Muhammad ialah menyakini bahwa benar sebagai
utusan Allah dan banar dari segala yang diajarkannya;

2) iman kepada malaikat.


3) iman kepada kitab suci;

4) iman kepada rasul;

5) iman kepada hari kiamat; dan

6) iman kepada qada’ dan qadar;

b. Islam; manusia dikatakan islam ketika melaksanakan lima hal, yaitu :

1) mengucap dua kalimat syahadat;

2) mengerjakan shalat lima waktu;

3) membayar zakat;

4) berpuasa di bulan ramadhan; dan

5) menjalankan ibadah haji;

c. Makrifat adalah pengetahuan atas zat, sifat, dan perbuatan Allah Swt;

d. Tauhid ialah pengetahuan lebih dalam tentang keesaan Allah, zat, sifat-sifat, dan
fiilNya; Kritik pada Paham Wujudiyyah.

1. Hamzah al-Fansuri mengajarkan ajaran wujudiyyah (panteisme), yaitu


Tuhan dalam kandungan (immanen) alam. Tuhan adalah hakikat fenomena
alam ini;

2. Nyawa bukan merupakan khalik dan bukan juga makhluk;

3. Al-Qur’an adalah makhluk;

4. Nyawa berasal dari Tuhan, dan kembali akan bersatu denganNya, seperti
ombak kembali ke laut; Persamaan dengan Hamzah al-Fansuri ialah
menganggap alam tidak memiliki bayangan dan yang hakiki hanyalah Tuhan.
Perbedaannya, Nuruddin al-Raniri menganggap bahwa ketiadaan alam ini
disebabkan oleh yang esa dari Tuhan, sementara wujud lain adalah majazi.
Sedangkan Hamzah al-Fansuri menganggap bahwa yang meniadakan alam ini
adalah wujud Tuhan yang hakiki yang ada dalam kandungan alam tersebut,
sehingga keduanya merupakan satu-kesatuan hakikat wujud yang tidak dapat
dipidahkan.

4. Karya-karya Nuruddin Al Raniri

Jumlah karya tulisannya kurang lebih 29 kitab. Karyanya dalam bidang fikih yang
cukup populer adalah al-Shirath al-Mustaqim (jalan lurus), membahas berbagai
masalah ibadah, seperti shalat, puasa, dan zakat. Karya-karya lainnya antara lain bustan
al-Shalathin fi dzikir al-‘Awwalin wa al-Akhirin (berisi sejarah), dan ‘Asrar alInsan fi
ma’rifat al-Ruh wa al-Rahman (berisi ilmu kalam).

Berikut ini adalah beberapa hasil karya Nuruddin Ar-Raniry, antara lain sebagai
berikut:

1. Lathâif al-Asrar (Kehalusan Rahasia), sebuah kitab berbahasa Melayu yang


membahas ilmu tasawuf.

2. Nubdzah fi Da’wa azh-Zhil ma’a Shâhibih, yang berisi soal-jawab mengenai


kesesatan ajaran Wujudiyyah.

3. Asrâr al-Insân fi Ma’rifat ar-Ruh wa ar-Rahmân (Rahasia Manusia dalam


Mengetahui Roh dan Tuhan), sebuah kitab berbahasa Melayu dan Arab yang
membahas manusia, terutama roh, sifat, hakikatnya, serta hubungan manusia dengan
Tuhan.

4. Hill azh-Zhill (Menguraikan perkataan “Zhill”), sebuah kitab berbahasa Melayu


yang bersifat polemik tentang kebatilan ajaran Wujudiyyah.

5. Mâ’al-Hayât li Ahl al-Mamat (Air Kehidupan Bagi Orang-orang yamg Mati), sebuah
kitab berbahasa Melayu tentang kebatilan ajaran Wujudiyyah dalam hal kesatuan alam
dan manusia dengan Tuhan, keqadiman jiwa dan perbedaan syariat dengan hakikat.

6. Fath al-Mubîn ‘ala al-mulhidin


7. Hidayat al-Habib fi al Targhib wa al-Tarhib. Kitab hadits ini berisi 831 Hadits dalam
bahasa Arab dan Melayu dan ditulis pada tahun 1045 H (1635 M). dua kitab ini (No.2
dan 3), ditulis di Semenanjung Tanah Melayu dan dibawa ke Aceh pada zaman Sultan
Iskandar Tsani

8. Jawahir al-‘ulum fi Kasyf al-Ma’lum.

9. Aina al-A’lam qalb an Yukhlaq.

10. Kaifiyat al-Salat. Ada sekitar 30 judul buku hasil karya Nuruddin Ar-Raniry yang
sudah ditemukan hingga kini2

Karya Ar-Raniry tersebut di atas, sebagian besar berhubungan dengan masalah


Tasawuf. Di antaranya berkaitan dengan penolakannya terhadap paham panteisme
yang di nilainya sesat dan uraian lengakap tentang perdebatan melawan pengikut
Fansuri yang menjadi penyebab dikeluarkannya fatwa “hukuman mati” kepada
mereka. Nubzah fi Da’wah az-Zil, misalnya memuat topik pemaparan tentang tasawuf
dan merupakan penegasan aliran pemikirannya yang menilai konsep panteisme sesat.
At-Tibyan fi Ma’rifah al-Adyan fi at-Tashawwuf, berisi uraian lengkap tentang
perdebatan melawan pengikut Fansuri yang menjadi penyebab dikeluarkannya fatwa
“hukuman mati” kepada mereka3.

2
Skripsi Kritik Nuruddin Al Raniri terhadap Hamzah Fansuri oleh Muhammad Zainurrafiq,
http://repository.uinjkt.ac.id
3
https://jurnal.ar-raniry.ac.id
Daftar Pustaka

Jurnal Syamsun Ni’am Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan IAIN


Tulungagung , https://media.neliti.com/media/publications/178166-ID-hamzah-
fansuri-pelopor-tasawuf-wujudiyah.pdf
Skripsi Kritik Nuruddin Al Raniri terhadap Hamzah Fansuri oleh Muhammad
Zainurrafiq, http://repository.uinjkt.ac.id

Abdullah, Hawash, Perkembangan Ilmu Tasawuf dan Tokoh-Tokohnya di


Nusantara, Surabaya: al-Ikhlas, t.t.

Ahmad, Kamaruzzaman Bustaman, “Mempertimbangkan Kontribusi Charles


Taylor terhadap Studi Agama di Indonesia”, dalam Jurnal Episteme, Vol. 11, No. 2,
Desember 2016.

Ali, Pengantar Ilmu Tasawuf, Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1987.

Arifin, Miftah, Sufi Nusantara: Biografi, Karya Intelektual dan Pemikiran


Tasawuf, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2013.

Azra, Azyumardi, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara


Abad XVII dan XVIII, Bandung: Mizan, 1995.

Dhofier, Zamakhsyari, Tradisi Pesantren: Studi Pandangan Hidup Kyai dan


Visinya Mengenai Masa Depan Indonesia, Cet. 9, Jakarta: LP3ES, 2011.

Drewes and Brakel, The Poems of Hamzah Fansuri, Dordrecht-Holland: Foris


Publication, 1986.

Anda mungkin juga menyukai