Ilmu Tasawuf
“Tasawuf di Indonesia, Hamzah Fansuri dan Nuruddin Al Raniri“
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ilmu Tasawuf
Dosen Pengampu: Muhammad Ikhsan Ghofur M.A.
Disusun oleh:
Agus Arifin
Naufal Muhammad Al Hikam
A. Hamzah Fansuri
1. Biografi Hamzah Fansuri
Hamzah Fansuri adalah tokoh tasawuf yang hidup di Aceh dan memiliki peran
besar dalam penyebaran Islam di Aceh dan sekitarnya. Ajaran dan paham tasawufnya
telah membawa implikasi luas terhadap perkembangan tasawuf wujudiyah di
Nusantara seiring dengan perkembangan tasawuf yang bercorak Sunni. Dari perspektif
sejarah, Aceh merupakan wilayah strategis dalam penyebaran Islam di Nusantara.
Kedua corak tasawuf tersebut telah berhasil menemukan momentumnya dan sangat
berpengaruh terhadap dinamika tasawuf berikutnya, termasuk ke daerah-daerah lain di
Nusantara. Oleh karena itu, pembahasan tentang tasawuf di Nusantara hampir pasti
selalu dimulai dari pembahasan tasawuf di Aceh. Di antara tokoh-tokoh ulama besar
(par excellence) Aceh yang sangat berpengaruh melalui karya-karya tasawufnya,
adalah Syekh Hamzah al-Fansuri, Syamsuddin al-Sumaterani, dan Nuruddin al-Raniri.
Hamzah adalah sosok sufi dan penyair Melayu yang sangat berpengaruh pada
masanya dan bahkan sampai beberapa abad setelahnya. Beliau juga merupakan sosok
ulama dan birokrat yang kritis terhadap penguasa. Namun, sejarah kehidupan tokoh ini
masih diliputi oleh misteri. Sumber-sumber tempatan (traditional sources) abad ke-17
M., seperti Hikayat Aceh, Adat Aceh, dan Bustan al-Salatin, tidak sedikitpun
menyinggung secara eksplisit mengenai tokoh ini. Demikian juga haknya dengan
berbagai sumber luar, terutama karya-karya Eropa.
Riwayat hidup Hamzah Fansuri masih dipersoalkan oleh para peneliti dan sangat
sulit diketahui. Sampai sekarang tidak ditemukan bukti-bukti tertulis yang
memaparkan masa dan perjalanan hidupnya, apa saja risalah tasawuf dan berapa
banyak jumlah puisi asli yang telah ditulis olehnya. Sejarah lahir dan meninggalnya
juga tidak diketahui secara pasti, begitu juga tidak ada yang tahu di mana dia
dimakamkan.
Ada yang mengatakan bahwa Hamzah Fansuri dilahirkan di kota Barus, sebuah
kota yang oleh seorang Arab zaman dahulu dinamai “Fansur”. Itulah sebabnya di
belakang namanya disebut “Fansuri”. Kota Barus atau Fansur, merupakan pusat
pengetahuan Islam lama di Aceh Barat Daya. Masa hidupnya diperkirakan sebelum
tahun 1630-an, karena Syamsuddin Pasai yang menjadi pengikutnya berkomentar
dalam buku tulisannya Syarh Rub’, bahwa Hamzah Fansuri meninggal pada tahun
1630.
Selain dikenal sebagai tokoh sufi dan penyair yang terkemuka, Hamzah Fansuri
juga dianggap sebagai seorang yang ahli dalam beberapa bidang lainnya, yaitu dalam
bidang kerohanian, keilmuan, filsafat, bahasa, dan sastra. Karya-karyanya banyak
dibaca oleh masyarakat. Beliau juga berhasil meletakkan dasar-dasar puitika dan
estetika Melayu dalam syair-syairnya.
Beliau menjadi seorang tokoh yang multitalenta. Tidak hanya mampu dalam bidang
tertentu saja, namun mampu dan ahli dalam berbagai bidang. Itulah mengapa para
sejarawan banyak membahas mengenai keahlian Hamzah Fansuri.
Di Nusantara, Hamzah Fansuri lebih dikenal sebagai ulama sufi yang banyak
mengadopsi dan mengembangkan paham tasawuf wujudiyah sebagaimana yang telah
dikembangkan oleh sufi panteis di atas tadi. Paham wujudiyah (wahdat al-wujud)
adalah bahwa Tuhan tidak bertentangan dengan gagasan tentang penampakan
pengetahuan-Nya yang bervariasi di alam nyata ini (‘alam al-khalq). Tuhan adalah
Dzat Mutlak, satu-satunya di dalam ke-Esa-anNya, tanpa ada sekutu bagi-Nya; dan
oleh karena itu Tuhan adalah tanzih (transenden). Manifestasi pengetahuan-Nya
bervariasi dan memiliki penampakan lahir dan batin di samping tanzih (transenden)
Dia juga tasybih (imanen). Hamzah Fansuri memulai ajaran tasawufnya dengan
mengatakan bahwa Tuhan adalah Dzat yang Maha Suci dan Maha Tinggi yang
menciptakan manusia. Hamzah Fansuri mengatakan:
Ketahuilah, hai segala kamu anak Adam yang Islam, bahwa Allah Subhanahu wa
ta’ala menjadikan kita, dari pada tiada diadakannya; dan dari pada tiada bernama diberi
nama; dan dari pada tiada berupa diberi berupa; lengkap dengan telinga, dengan hati,
dengan nyawa, dengan budi. Yogya kita cari Tuhan kita ini supaya kita kenal dengan
makrifat kita atau dengan khidmat kita kepada guru yang sempurna mengenal dia
supaya jangan taqsir kita”. Dari ungkapan di atas, ada dua pandangan esensial Hamzah
Fansuri, yaitu pertama, tentang keberadaan Tuhan dianggap memiliki posisi sangat
Tinggi dan Suci di hadapan manusia (makhluq). Kedua, seorang salik (pejalan tasawuf)
harus melalui seorang guru/Syeikh yang dapat membimbing dan mengantarkan si salik
untuk dapat menemukan Tuhannya (ma’rifatullah). Dalam salah satu syairnya, Hamzah
Fansuri mengatakan: Cahayanya-Nya terlalu nyarak Dengan rupa kita yang banyak Ia
juga takur dan arak Jangan kau cari jauh, hai anak. Ajaran tasawuf Hamzah Fansuri
lainnya adalah terkait dengan hakikat wujud dan penciptaan. Hamzah Fansuri melihat
bahwa wujud itu hanya satu walaupun terlihat berbilang (banyak). Dari wujud yang
satu ini ada yang merupakan kulit (madzhar, kenyataan lahir) dan ada yang berupa isi
(kenyataan batin). Semua benda di dunia ini sebenarnya merupakan pancaran
(manifestasi/tajalliyat) dari yang hakiki, yang disebut al-Haqq Ta’ala (Allah Swt. itu
sendiri). Ia menggambarkan wujud Tuhan bagaikan lautan dalam yang tak bergerak.
Sedangkan alam semesta ini merupakan gelombang lautan wujud Tuhan.
Pengaliran dari Dzat yang Mutlak ini diumpamakan gerak ombak yang
menimbulkan uap, asap, dan awan, yang kemudian menjadi dunia gejala. Itulah yang
disebut ta’ayyun dari Dzat yang la ta’ayyun. Itu juga yang disebut tanazul. Kemudian
segala sesuatu kembali lagi pada Tuhan (taraqqi), yang digambarkan sebagai uap, asap,
awan, lalu hujan dan sungai, dan kembali lagi ke lautan. Ajaran Hamzah Fansuri inilah
yang kemudian mendapat pertentangan dari para ulama sufi Sunni Nusantara.
Perumpamaan antara Tuhan dan alam tersebut diilustrasikan oleh Hamzah Fansuri
melalui ungkapannya berikut: Laut tiada bercerai dengan ombaknya, ombak tiada
bercerai dengan lautnya. Demikian juga dengan Allah Swt., tiada bercerai dengan alam,
tetapi tiada di dalam alam dan tiada di luar alam dan tiada di bawah alam dan tiada di
kanan alam dan tiada di kiri alam dan tiada di hadapan alam dan tiada di belakang alam
dan tiada bercerai dengan alam dan tiada bertemu dengan alam dan tiada jauh dari
alam.36 Ungkapan Hamzah Fansuri di atas jelas menunjukkan paham tasawufnya yang
panteis. Sebab ungkapan tersebut seakan menunjukkan bahwa tidak ada jarak antara
Tuhan dengan alam (makhluq). Ungkapan tersebut sesuai dengan hadis Nabi Saw.,
bahwa barangsiapa mengenal dirinya maka akan dapat mengenal Tuhannya (man
‘arafa nafsahu faqad ‘arafa Rabbahu)
Karya tulis Hamzah Fansuri menurut para peneliti berjumlah tiga buah risalah
berbentuk prosa, dan 32 merupakan kumpulan syair. Syeikh Hamzah al-Fansuri dapat
digolongkan kepada peringkat awal dalam menghasilkan karya puisi/sastra dalam
bahasa Melayu, sangat menonjol terutama sekali dalam sektor sufi. Lebih tersebarlah
lagi kemasyhurannya karena terjadi kontroversi yang dilemparkan oleh orang-orang
yang tidak sependapat dengannya yang dimulai dengan karya-karya Syeikh Nuruddin
ar-Raniri, berlanjutan terus hingga sampai ke hari ini karya-karya Syeikh Hamzah al
Fansuri selalu dibicarakan dalam forum-forum ilmiah. Di bawah ini beberapa karya
beliau yang telah diketahui, yaiitu:
1). Syarb al- ‘Asyiqin atau Zinatul Muwahhidin (Minuman semua orang yang rindu).
Risalah ini berisi ringkasan ajaran tentang wahdat al-wujud dan cara mencapai makrifat
kepada Allah.
2). Asrar al-’Arifin fi Bayan ‘Ilm as-Suluk wa at-Tauhid (Rahasia orangorang ‘arif
dalam menjelaskan ilmu suluk dan tauhid). Risalah ini berisi uraian atau penafsiran
terhadap 15 bait puisi-puisi sufistik yang ia ciptakan sendiri mengenai masalah
metafisika dan ontologi wujudiyah.
3). Al-Muntahi (Ufuk terjauh), Kitab ini membicarakan tentang bagaimana penciptaan
alam, bagaimana Tuhan memanifestasikan diri-Nya, dan bagaimana upaya manusia
untuk kembali ke asalnya.
11). Syair Perahu, syair berbahasa Melayu ini memuat dasar-dasar tasawuf Hamzah
Fansuri. Ia menggunakan perahu sebagai simbol kehidupan
12). Syair Ikan Tongkol/Tunggal, disebut juga Syair Si Burung Pingai. Syair yang
menjelaskan tentang proses fana’ dan baqa’ serta tahapan-tahapan lain yang harus
ditempuh si salik menuju kesatuan wujud.
B. Nuruddin Al Raniri
1. Biografi Nuruddin Al Raniri
Nama lengkapnya adalah Nur al-Din Muhammad Ibn ‘Ali Ibn Hasanji Ibn
Muhammad Ar-Raniry. Dipanggil Ar-Raniry karena beliau dilahirkan di daerah Ranir
(Rander) yang terletak dekat Gujarat (India) pada tahun yang belum diketahui. Ia
adalah keturunan campuran India-Arab dari keluarga sufi dan ulama. Nenek
moyangnya kemungkinan termasuk dalam keluarga al-Hamid dari Zuhra, salah satu
dari sepuluh keluarga Quraiys. Namun bisa jadi ia adalah keturunan Humayd yang
sering dihubungkan dengan Abu Bakar Abdullah ibn Zubair al-Asadi al-Humaydi,
seorang ulama terkenal di Mekkah. Keluarga Ar-Raniry telah memiliki hubungan yang
baik dengan dunia Melayu, khususnya Kerajaan Aceh Darussalam. Sehingga ada
dugaan bahwa sebelum berangkat ke Aceh ia sudah memiliki kemampuan dalam
bahasa Melayu dan menguasai ilmu agama Islam yang sangat luas.
1
https://media.neliti.com/media/publications/178166-ID-hamzah-fansuri-pelopor-tasawuf-
wujudiyah.pdf
menemui dan menjalin hubungan dengan para jamaah haji dan penduduk asal nusantara
yang sudah menetap dan belajar di Arab. Selaian itu, Nuruddin al-Raniri juga belajar
ilmu tarekat rifa’iyyah, yang didirikan oleh Ahmad Rifai (w. 1183 M) kepada Syaikh
Said Abu Hafs Umar bin ‘Abd Allah Ba Syaiban atau yang terkenal dengan nama Sayid
Umar al-Aydarus dari Tarim. Setelah selasai kemudian Nuruddin al-Raniri oleh
gurunya dijadikan sebagai Syaikh dan pengganti gurunya (khalifah). Walau demikian,
Nuruddin al-Raniri ternyata juga belajar tarekat aydarusiyyah dan qadiriyyah.
Di tahun itu juga Nuruddin al-Raniri sebenarnya sedang menulis kitab jawahir baru
sampai bab lima. Penyelesaian penulisan kitabnya selanjutnya diserahkan kepada
murid terdekatnya. Selain dikenal sebagai ulama Nuruddin al-Raniri terkenal sebagai
seorang sufi, teolog, faqih, dan politisi, serta dikenal juga sebagai sastrawan, yaitu
mempopulerkan bahasa Melayu sebagai bahasa ke dua di dunia islam setelah bahasa
Arab dan bahasa Melayu sebagai lingua franca. Nuruddin al-Raniri juga dianggap
sebagai pembaharu dalam bidang metodologi penulisan ilmiah, pendapat ini didukung
atas semua tulisan Nuruddin al-Raniri selalu menyebutkan sumber referensi dalam
memperkuat argumen yang dipaparkannya. Nuruddin al-Raniri terkenal sebagai
seorang penulis produktif. Tulisannya meliputi berbagai cabang ilmu agama, seperti
sejarah, fikih, Hadits, akidah, mistik, filsafat, dan ilmu perbandingan agama.
Nuruddin Ar-Raniry, Tokoh tasawuf yang terkenal dan sebagai pelopor anti paham
wujudiyyah di Aceh pada masa pemerintahan Iskandar Tsani. Otaknya yang sangat
cerdas berhasil menjatuhkan dan melenyapkan paham Wujudiyyah yang sedang
berkembang saat itu. Ia memiliki banyak keahlian selain sebagai sufi, juga ahli teolog,
ahli fikih, ahli hadits, sejarahwan, ahli perbandingan agama, dan politisi.
Karakteristik Pemikiran Islam Nuruddin Ar-Raniry sebagai alim, mufti, dan penulis
produktif yang menentang doktrin Wujudiyyah yang dianut oleh Hamzah Fansuri dan
Syamsuddin As-Sumatrani. Menurut Ar-Raniry, Wujudiyyah itu suatu paham yang
menyesatkan. Ia mengeluarkan fatwa untuk memburu orang yang dianggap sesat,
membunuh orang yang menolak bertobat dari kesesatan, serta membakar buku-buku
yang berisi ajaran sesat. Dan pada tahun 1054/1644, ia meninggalkan Aceh karena
mendapatkan serangan balik dari lawan-lawan polemiknya yang tajam dari murid
Syamsuddin yang dituduh menganut paham panteisme.
Nuruddin Ar-Raniry, adalah seorang sosok sufi yang tidak toleran dan ortodoks,
yang tidak menghargai karya dan pemikiran orang lain. Tetapi disisi lain ia dianggap
berjasa dalam mengembangkan ilmu keislaman yang integral antara syariat dan
tasawuf. Dalam kajian yang dilakukan al-Attas mengenai Ar-Raniry, ia cenderung
mendukung argumen Daudy. Ia mengatakan Ar-Raniry sebagai ulama yang cerdas,
yang dikaruniai kebijaksanaan dan diberkati denan pengetahuan yang otentik, yang
berhasil menjelaskan ajaran-ajaran keliru tokoh wujudiyyah. Bukti kecerdasan dan
pengetahuan Ar- Raniry yang luas dalam ilmu keagamaan terlihat dari banyaknya
karya yang dapat kita peroleh hingga kini. Ia menulis dalam bidang tauhid, tasawuf,
fikih ushul dan fikih praktis serta menulis sejarah Aceh masa itu yang sampai sekarang
menjadi referensi utama dalam sejarah Aceh. Berikut ini sebagian ajaran Nuruddin al
Raniri,
1. Wujud Tuhan.
Nuruddin al-Raniri mengungkapkan bahwa wujud Tuhan adalah esa lagi hakiki
tanpa harus memerlukan dalil apapun.
Sifat dan zat Tuhan harus dilihat dari dua aspek pertama aspek wujud; yaitu
antara sifat dan zat tidak memiliki perbedaan karena wujud yang hakiki adalah Allah
Swt. Kedua aspek pengertian; bahwa dari segi pengertian antara sifat dan zat itu
berbeda begitu juga antara sifat satu dengan sifat lainnya.
4. Manusia
Manusia terdiri atas jasad dan ruh, jasad adalah wadah dari ruh, yang tercipta
dari alam ciptaan (alam khalaq) yang terdiri atas berbagai unsur material.
Sedangkan ruh atau nasf nathiqah (jiwa berpikir) adalah hakikat segala manusia
mengetahui segala sesuatu, ruh berasal dari alam arwah dan jasad dijadikan sebagai
tempat. Insan kamil berasal dari nur Muhammad dan selalu berpindah dalam berbagai
bentuk dari satu generasi ke generasi selanjutnya, mulai para rasul, para nabi, para
sahabat, dan seterusnya hingga berakhir di nabi Isa. Nur Muhammad adalah hakikat
pertama yang muncul dalam ilmu Allah atau yang disebut ta’ayyun awal yang lahir
dari tajalli zat atas zat.
5. Agama.
Agama terbagi atas empat bagian yaitu iman, islam, makrifat, dan tauhid.
a. Iman; yang dimaksud terbagi menjadi dua, yaitu: pertama iman umum (mujmal)
ialah beriman kepada Allah beserta sifat-sifatnya dan beriman pada rasul beserta sabda-
sabdanya; kedua iman terperinci (mufashshal) yang terbagi atas enam perkara, yaitu:
1) iman kepada Allah dan nabi Muhammad, mengakui zat dan sifat Allah Swt.
Sedangkan iman atas nabi Muhammad ialah menyakini bahwa benar sebagai
utusan Allah dan banar dari segala yang diajarkannya;
3) membayar zakat;
c. Makrifat adalah pengetahuan atas zat, sifat, dan perbuatan Allah Swt;
d. Tauhid ialah pengetahuan lebih dalam tentang keesaan Allah, zat, sifat-sifat, dan
fiilNya; Kritik pada Paham Wujudiyyah.
4. Nyawa berasal dari Tuhan, dan kembali akan bersatu denganNya, seperti
ombak kembali ke laut; Persamaan dengan Hamzah al-Fansuri ialah
menganggap alam tidak memiliki bayangan dan yang hakiki hanyalah Tuhan.
Perbedaannya, Nuruddin al-Raniri menganggap bahwa ketiadaan alam ini
disebabkan oleh yang esa dari Tuhan, sementara wujud lain adalah majazi.
Sedangkan Hamzah al-Fansuri menganggap bahwa yang meniadakan alam ini
adalah wujud Tuhan yang hakiki yang ada dalam kandungan alam tersebut,
sehingga keduanya merupakan satu-kesatuan hakikat wujud yang tidak dapat
dipidahkan.
Jumlah karya tulisannya kurang lebih 29 kitab. Karyanya dalam bidang fikih yang
cukup populer adalah al-Shirath al-Mustaqim (jalan lurus), membahas berbagai
masalah ibadah, seperti shalat, puasa, dan zakat. Karya-karya lainnya antara lain bustan
al-Shalathin fi dzikir al-‘Awwalin wa al-Akhirin (berisi sejarah), dan ‘Asrar alInsan fi
ma’rifat al-Ruh wa al-Rahman (berisi ilmu kalam).
Berikut ini adalah beberapa hasil karya Nuruddin Ar-Raniry, antara lain sebagai
berikut:
5. Mâ’al-Hayât li Ahl al-Mamat (Air Kehidupan Bagi Orang-orang yamg Mati), sebuah
kitab berbahasa Melayu tentang kebatilan ajaran Wujudiyyah dalam hal kesatuan alam
dan manusia dengan Tuhan, keqadiman jiwa dan perbedaan syariat dengan hakikat.
10. Kaifiyat al-Salat. Ada sekitar 30 judul buku hasil karya Nuruddin Ar-Raniry yang
sudah ditemukan hingga kini2
2
Skripsi Kritik Nuruddin Al Raniri terhadap Hamzah Fansuri oleh Muhammad Zainurrafiq,
http://repository.uinjkt.ac.id
3
https://jurnal.ar-raniry.ac.id
Daftar Pustaka