Anda di halaman 1dari 21

Telaah Analisis Metodologi Penafsiran

Fazlur Rahman
By
Tongkrongan Islami
461

Share

Advertisement

PENDAHULUAN

Tongkronganislami.net,- Al-Qur’an yang merupakan kitab yang eksistensinya


diwakili oleh teks dan kehadirannya tidak bisa lepas dari setting sosial
masyarakat arab pada zaman Nabi SAW. Pemahaman atas dimensi teks dan
dimensi sosial ini selanjutnya menjadi syarat mutlak untuk menangkap pesan
al-qur’an yang bersifat essensial-substansial, fundamental-universal dan
membedakannya dari pesan al-qur’an yang bersifat local-regional-partikular,
karena pergumulannya dengan sejarah dan masyarakat.
Sedangkan tafsir al-Qur’an merupakan suatu wilayah intelektual yang semakin
mendesak dalam proses pemecahan permasalahan umat. Semenjak
munculnya gerakan revormisme Islam zaman modern, tumpuan pada cara
Islam diinterpretasikan dan dipraktikkan semakin kentara. Proses pemikir
ulang sebagian besar tradisi dan pola pemikiran yang telah mapan telah
dilakukan di dalam beberapa wilayah teologi, fiqh, politik, bahkan juga tafsir.
Hasil daripada segelilntir pemikir revormisme seperti Sayyid Ahmad Khan (w.
1898), Muhammad Abduh (w. 1905), Abdul Kalam Zad (w. 1958) dan lain-lain
telah menyemarakkan pemikiran Islam zaman modern, terutamanya dalam
bidang penafsiran al-Qur’an yang menggugat corak pemikiran Islam yang
jumud dan stagnan. Para pemikir-pemikir ini mencoba member nafas baru
pada umat Islam yang terbelakang dengan merombak cara Islam
diinterpretasikan.
Sudah tentunya bidang tafsir al-Qur’an juga merupakan salah satu wilayah
yang dianggap penting diteliti, terutama dalam merombak hokum-hukum
Islam yang dianggap masih kurang atau tidak relevan mengikuti
perkembangan zaman dan masyarakat. Para pemikir ini sadar bahwa hokum
Islam tidak dapat lari dari keterkaitannya dari sumber utamanya dan
terpenting, yaitu teks al-Qur’an.
Oleh karena itu, kami dating bersamaan tulisan yang singkat ini mencoba
membahas tentang salah satu tokoh pemikir Islam, ialah Fazlur Rahman, yang
turut berandil basar dalam perkembangan pemikiran Islam dan penafsiran al-
Qur’an, dengan menjelaskan sisi historisitasnya, pemikiran dan metodenya
dalam menafsirkan al-Qur’an, serta aplikasi dari metode tersebut.
A. Biografi Singkat Fazlur Rahman
Fazlur Rahman adalah sosok pemikir islam kelahiran Pakistan.yang sangat
intens merumuskan identitas islam ditengah tantangan modernisme.[1] Ia
dilahirkan dalam suatu keluarga muslim yang amat serius dan dibesarkan
dalam keluarga dengan tradisi madzhab Hanafi. Fazlur Rahman lahir pada
tahun 1919 tepatnya tanggal 21 September, di daerah hazara yang terletak di
wilayah Barat Laut Pakistan. Ketika Rahman lahir, anak benua Indo-Pakistan
belum terpecah menjadi dua negara merdeka yang masih menyisakan
persoalan, yakni India dan Pakistan.[2]
Watak liberalisme pemikiran Rahman ini sangat dipengaruhi oleh pendidikan
orangtuanya yang sangat rasional serta didukung oleh ketajaman intelektual
Rahman yang luar biasa.[3] Dari ibunya ia memperoleh pengajaran tentang
nilai-nilai kebenaran, kasih sayang, kesetiaan, dan—diatas segalanya—cinta.
Sedangkan dari ayahnya Rahman memperoleh nilai kebebasan dan
kemodernan dalam berpikir, berbeda dengan mayoritas ulama tradisional
waktu itu, Ayahnya adalah seorang yang sangat yakin bahwa islam harus
menghadapi kemodernan baik sebagai tantangan maupun peluang.[4]
B. Pendidikan dan Sepak Terjang Rahman
Selain memperoleh pendidikan informal dilingkungan keluarga, Ia juga
mendapatkan pendidikan formal yang ia awali dengan belajar di Madrasah
yang didirikan oleh Muhammad Qasim Nanotawi pada tahun 1867. Setelah
menamatkan sekolah menengah, Rahman mengambil studi bidang sastra arab
di Departeman Ketimuran pada Universitas Punjab. Pada tahun 1942, ia
berhasil menyelesaikan studinya di Universitas tersebut dan mendapat gelar
M.A dalam sastra Arab. Kemudian ia meneruskan studinya ke Lahore untuk
program Ph.D., tetapi setelah beberapa waktu Rahman merasa tidak puas
terhadap mutu pendidikan yang ada di dalamnya, akhirnya ia memutuskan
untuk tidak meneruskan,[5] dan pada 1946, Rahman melanjutkan studi ke
Oxford University, dan berhasil meraih gelar doktor filsafat pada tahun
1950.[6] Pada masa ini seorang Rahman giat mempelajari bahasa-bahasa
Barat, sehinga ia menguasai banyak bahasa[7].
Di bawah dekade 1960-an, Rahman kembali ke Pakistan[8], dan menjabat
selama beberapa waktu sebagai salah seorang staf senior pada Institute of
Islamic Research. Dua tahun kemudian, ia ditunjuk sebagai direktur lembaga
tersebut. Dia juga diangkat sebagai anggota Advisory Council of Islamic
Ideology oleh pemerintah Pakistan. Kedua Lembaga Islam tersebut Ia
manfaatkan untuk menyampaikan gagasan pembaharuan dalam dunia islam
yakni menafsirkan kembali islam dalam term-term rasional dan ilmiah dalam
rangka menjawab kebutuhan-kebutuhan masyarakat modern yang progresif.
Sedangkan Dewan Penasehat Ideologi Islam bertugas meninjau seluruh
hukum baik yang sudah maupun belum ditetapkan, dengan tujuan
menyelaraskannya dengan Al-Qur’an dan Sunnah. Kedua lembaga ini memiliki
hubungan kerja yang erat, karena Dewan Penasehat bisa meminta lembaga
riset untuk mengumpulkan bahan-bahan dan mengajukan saran mengenai
rancangan undang-undang.[9] Karena tugas yang diemban oleh kedua
lembaga inilah Rahman intens dalam usaha-usaha menafsirkan kembali Islam
untuk menjawab tantangan-tantangan masa itu. Tentu saja gagasan-gagasan
liberal Rahman, yang merepresentasikan kaum modernis, selalu mendapatkan
serangan dari kalangan ulama tradisionalis dan fundamentalis di Pakistan. Ide-
idenya di seputar riba dan bunga bank, sunnah dan hadis, zakat, proses
turunnya wahyu Al-Qur’an, fatwa mengenai kehalalan binatang yang
disembelih secara mekanis, dan lainnya, telah meledakkan kontroversi-
kontroversi berskala nasional yang berkepanjangan. Bahkan pernyataan
Rahman dalam karya magnum opusnya, Islam, bahwa Al-Qur’an itu secara
keseluruhannya adalah kalam Allah dan dalam pengertian biasa juga
seluruhnya adalah perkataan Muhammad, telah menghebohkan media massa
selama kurang lebih setahun. Banyak media yang menyudutkannya. Al-
Bayyinat, media kaum fundamentalis, misalnya, menetapkan Rahman sebagai
“munkir al-Quran”. Bahkan suasana panas akibat pernyataan Rahman
tersebut semakin menghebat dengan munculnya demonstrasi massa dan aksi
mogok kerja yang berskala massif pada awal September 1968.[10] Aksi massa
yang menurut beberapa kalangan dinilai bersifat politis tersebut memang
dalam waktu yang lama masih belum bisa diredakan.[11] Akhirnya, Rahman
pun mengajukan pengunduran dirinya dari jabatan Direktur Lembaga riset
Islam pada 5 September 1968. Jabatan selaku anggota Dewan Penasehat
Ideologi Islam juga dilepaskannya pada 1969. Dia memutuskan untuk hijrah
ke Chicago, dan sejak 1870 menjabat sebagai Guru Besar Kajian Islam dalam
berbagai aspeknya pada Departement of Near Eastern Languages and
Civilization, University of Chicago sampai Ia wafat.[12]

Satu hal yang dapat dicermati dari perjalanan intelektual Rahman adalah
bahwa hampir sepanjang karir intelektualnya baik ketika menjadi direktur
lembaga riset islam maupun professor kajian – kajian keislaman di Universitas
Chicago, Rahman berusaha memahami tantangan modernitas serta
merumuskan methodologi yang sistematis dan konperehensif untuk menjawab
tantangan tersebut sekaligus menumbuhkan ajaran al qur’an kedalam realitas
praktis kehidupan umat islam.[13] Oleh karena itu tidak mengherankan jika
tulisan-tulisan Rahman selalu menekankan pentingnya metodologi penafsiran
Al qur’an. upaya yang dilakukan ini menurut Nur cholis Majid dtitunjang oleh
pengetahuannya yang luas dan mendalam tentang sejarah islam, baik dalam
bidang pemikiran, perkembangan sosial, politik dan kebudayaan pada
umumnya serta kemampuannyya dalam membaca secara cermat khasanah
intelektual klasik yang baginya merupakan refleksi berbagai nuansa kitab
suci.[14]
Pada kesempatan berbeda Wan Mohd. Nor Wan Daud[15]mengungkapkan
bahwa Fazlur Rahman adalah seorang penulis yang agresif lebih-lebih ketika
mengevaluasi perjalanan sejarah umat islam. Keagresifan dan keuletannya
tergambar dari perpustakaannya di basement (lantai dasar bawah tanah)
disitulah ia menghabiskan waktunya untuk membaca, menulis, berpikir,
menulis, dan mengajar.
C. Karya-karya Fazlur Rahman
Agresifitas dan produktivittas intelektual fazlurrahman bisa dilihat dari karya-
karyanya dalam bentuk buku, artkel, entri untuk ensiklopedi, kata pengantar.
dan bentuk lainnya, karya-karya Rahman yang berbentuk buku setidaknya
berjumlah sekitar Sembilan buah, diantaranya: 1. Avicenna Psychology
(Oxford: Oxford University Press,1952); 2. Propesy in Islam, Philosophy and
Ortodoxcy ( G. Allen & Unwin, London, 1958 ); 3. Avicenna De Anima, Being
the Psysicological Part of Kitab al Syifa'( New York: Oxford University Press,
1959); 4. Islamic Metodology in History( Karachi: Central Institute of Islamic
Research, 1965), yang berisi tentang kajian Rahman tentang evolusi history
dari aplikasi keempat prinsip pokok pemikiran islam, yaitu al Qur’an, Sunnah,
Ijma’, dan Qiyas, serta peran aktual dari prinsip-prinsip tersebut bagi
perkembangan islam; 5. Islam (Hold Rineland & Winston: New York, 1966)
merupakan usaha Rahman dalam member definisi “Islam” bagi Pakistan: 6.
Phylosophy of Mulla Sadra Syirazi (Al Bany: State University of New York Press,
1976), merupakan kajian historis Rahman terhadap pemikiran Religio filosofis
Sadr al Din Al Syirazi (Mulla Sadra); 7. Major Themes of the
Qur’an(Minneapolis Bibliotheca Islamica, 1980) yang berisi delapan tema
pokok al Qur’an: Tuhan, manusia sebagai Individu, manusia sebagai anggota
masyarakat, alam semesta, kenabian dan wahyu, eskatologi, Syaitan dan
kejahatan, serta lahirnya masyarakat muslim; 8. Islam dan Modernity;
Transformation of an Intellectual Tradition( Chicago: University of Chicago,
1982), merupakan hasil riset dari Unversitas of Chicago tentang “Islam dan
Change” , yang menjelaskan tentang sejarah intelektual dan kehidupan Islam
sejak periode klasik sampai periode saat ini; 9. dan Healt and Medicine in
Islamic Tradition ( Cross Roads Book: New York, 1987).
Sementara karya-karyanya yang berbentuk artikel yang tersebar
dari beberapa jurnal, terjemahan karya berjumlah 75 artikel, disamping 7
artikelnya yang dimuat dalam beberapa ensiklopedi dan yang berupa review
buku berjumlah 16 tulisan. Selain itu masih terdapat beberapa karya orisinal
Rahman yang sampai saat ini belum dipublikasikan.[16]
D. Kegelisahan Akademik Fazlur Rahman
Fazlur Rahman menyatakan, al-Qur’an sebagai firman Allah pada dasarnya
adalah suatu kitab mengenai prinsip-prinsip dan nasehat-nsehat keagamaan
dan moral bagi manusia; dan ia bukan sebuah dokumen hukum, meskipun ia
mengandung sejumlah hukum-hukum dasar seperti shalat, puasa, dan haji.
Dari awal hingga akhir, al-Qur’an selalu memberikan penekanan pada semua
aspek-aspek moral, yang diperlukan bagi tindakan kreatif manusia. Oleh
karena itu, kepentingan sentral al-Qur’an adalah manusia dan perbaikannya.
Agar Islam relevan dengan situasi dan kondisi sekarang, dia menyarankan
agar kaum muslim berani melampaui penafsiran literal dan tradisional atas al-
Qur’an untuk memahami spiritnya. Oleh karena itu, ia memandang bahwa
salah satu perkembangan paling menentukan dalam sejarah Islam adalah
sikap kaum muslimin yang kaku dan formal terhadap al-Qur’an dan hadits.
Pada periode awal keduanya dipahami secara historis dan dianggap sebagai
suatu keutuhan yang terpadu dimana bagian-bagiannya diperlakukan seperti
kaitan secara intim dan substantif, sehingga al-Qur’an dan hadits dipandang
sebagai sumber yang mampu menjawab semua persoalan.
Menurut Rahman, pemikiran modernis untuk melihat kenyataan yang ada dan
kemudian mencari jawabannya dalam al-Qur’an adalah suatu hal yang tepat.
Tetapi mereka tidak mampu menciptakan metode yang cocok dan tepat,
sehingga menyebabkan mereka tidak konsisten dalam menganalisis. Hal ini
dapat menyebabkan mereka tergelincir sebagai westernis yang
mengakibatkan timbulnya reaksi terhadap kaum modernis, baik dari kaum
tradisionalis maupun dari kaum neorevivalis.
Sementara kritik Rahman terhadap tradisionalisme dinyatakannya bahwa
“suatu masyarakat yang harus memulai hidup dalam kerangka masa lampau,
betapa pun manis kenangannya, dan gagal menghadapi realitas kekinian
secara jujur, ia pasti menjadi sebuah fosil; dan sudah merupakan hukum
Tuhan bahwa fosil tidak akan tahan lama:
“Bukanlah Kami berbuat lalim terhadap mereka, merekalah yang melalimi diri
mereka sendiri” (Q.S. Hud/11: 101; al-Nahl/16: 33).
Fazlur Rahman berpendapat perlunya pengembangan metodologi penafsiran
al-Qur’an yang memadai, mengingat selama ini umat Islam belum memiliki
suatu pedoman yang mendasar mengenai metode dan cara penafsiran al-
Qur’an. Terdapat kesalahan yang umum dalam memahami pokok-pokok
keterpaduan al-Qur’an, sehingga umat Islam sudah cukup puas dengan
berpegang pada arti ayat-ayat secara terpisah-pisah. Kegagalan memahami
al-Qur’an sebagai suatu kesatu-paduan yang saling berkaitan ini terjadi dalam
bidang hukum, teologi maupun sufisme. Kegagalan ini tetap berlanjut hingga
dewasa ini.
Bagi Rahman, tanpa suatu metode yang tepat dalam memahami Islam dan
seluruh pesannya, orang akan sulit menangkap secara jelas dan tajam kaitan
organis antara pondasi teologisnya dengan persoalan dan nilai praktis
kemanusiaan dalam kehidupan kolektif. Oleh sebab itu Rahman berkali-kali
menegaskan bahwa al-Qur’an harus dijadikan pedoman pertama dan utama
dalam memahami Islam.
Di samping itu, pendekatan historis dalam memahami kandungan al-Qur’an
perlu dilakukan, sehingga memahami kondisi aktual masyarakat Arab ketika
al-Qur’an diturunkan pada saat memahami kandungan ayat-ayat adalah
sangat penting. Dalam memahami al-Qur’an, yang utama harus lebih
ditekankan pada tujuan “ideal moral” dari pada “legal spesifik”. Tujuan ideal
moral yang terkandung dalam ayat-ayat harus lebih diutamakan dari
ketentuan legal spesifiknya. Selain itu, sasaran al-Qur’an harus juga dipahami
dan ditetapkan dengan memperhatikan latar belakang sosiologis, yang
merupakan kondisi lingkungan di mana Nabi bergerak dan bekerja.
E. Perkembangan Pemikiran Fazlur Rahman
Rahman dalam pemikirannya tentang keagamaan, melalui tahapan-tahapan
hingga akhirnya ia berhasil mengemukakan suatu penafsiran Islam yang –
menurutnya– dapat memberi solusi bagi krisis pemikiran Islam dewasa ini dan
problem-problem yang dihadapi umat. Perkembangan pemikiran Rahman
menurut taufik Adnan Amal dibagi kedalam tiga periode: (i) periode awal
(dekade 50-an); (ii) periode Pakistan (dekade 60-an); dan (iii) periode
Chicago (1970 dan seterusnya). [17]
Dalam periode pertama, Rahman belum memperhatikan perhatian serius
terhadap kajian-kajian Islam normatif, karya-karya intelektualnya yang
dihasilkan dalam periode ini meskipun amat kritis, lebih merupakan kajian-
kajian Islam historis. Baru pada periode kedua, ia mulai menekuni kajian-
kajian Islam normatif dan terlibat dalam arus pemikiran Islam. Akan tetapi,
keterlibatannya tidaklah dilandasi dengan basis metodologi yang sistematis,
dan pemikiran-pemukiran keagamaannya pada periode ini lebih merupakan
upaya untuk memberi definisi “Islam” bagi Pakistan. Pada tahun 1970, baru
terlihat keterlibatannya dalam kajian Islam normatif yang didukung dengan
suatu metodologi tafsir yang sistematis, ketika ia di Chicago.[18]
Dalam sebuah artikel yang ditulis pada penghujung dekade 70-an, Rahman
membagi dialektika perkembangan pembaruan yang muncul didunia Islam
selama dua abad terakhir kedalam empat gerakan[19]. Gerakan pertama
adalah Revivalisme (Pra-Modernis), mulai muncul pada akhir abad ke-18 dan
awal abad ke-19 yang dipelopori oleh gerakan Wahabiyah di Arab, Sanusiyah
di Afrika Utara, dan Fulaniyah di Afrika Barat. Gerakan ini tidak terkena
sentuhan Barat. Gerakan ini secara sederhana mempunyai ciri-ciri umum: (a)
keprihatinan yang mendalam terhadap degenarasi sosio-moral umat Islam;
(b) imbauan untuk kembali kepada Islam yang sebenarnya, dengan
memberantas takhayul-takhayul dan dengan membuka dan melaksanakan
ijtihad; (c) imbauan untuk membuang sikap fatalisme; dan (d) imbauan untuk
melaksanakan pembaruan ini lewat jihad jika diperlukan.
Dasar pembaruan revivalisme kemudian diambil oleh gerakan kedua,
modernisme klasik, yang dipelopori oleh Jamaluddin Al-Afghani (w. 1897) di
seluruh Timur Tengah, Sayyid Ahmad Khan (w. 1898) di India, dan Muhammad
Abduh (w.1905) di Mesir. Gerakan ini muncul pada pertengahan abad 19 dan
awal abad 20 dibawah pengaruh ide-ide Barat. Yang baru pada gerakan ini
adalah perluasannya terhadap “isi” ijtihad –seperti hubungan antara akal dan
wahyu, pembaruan sosial terutama dalam bidang pendidikan dan status
wanita, serta pembaruan politik dan bentuk-bentuk pemerintahan yang
representatif dan konstitusional– lantaran kontaknya dengan pemikiran Barat.
Modernisme klasik telah memberikan pengaruh kepada gerakan ketiga, neo-
revivalisme atau revivalisme pascamodernis, gerakan ketiga ini mendasari
dirinya pada basis pemikiran modernisme klasik bahwa Islam itu mencakup
segala aspek kehidupan manusia, baik individual maupun kolektif. Namun
karena usahanya untuk membedakan diri dari Barat, maka neorevivalisme
merupakan reaksi terhadap modernisme klasik. Mereka tidak menerima
metode atau semangat modernisme klasik, tetapi sayangnya mereka tidak
mampu mengembangkan metodologi apapun untuk menegaskan posisinya.
gerakan ini cenderung menutup diri, apologetis dan tidak otentik.
Terakhir, gerakan Neo-Modernisme. Gerakan ini muncul dibawah pengaruh
neorevivalisme, tetapi juga merupakan tantangan terhadapnya. Rahman
mengkategorikan dirinya termasuk dalam barisan gerakan ini. Menurutnya,
neo-modernisme harus mengembangkan sikap kritis terhadap Barat maupun
terhadap warisan kesejarahannya sendiri. Kaum muslimin harus mengkaji
dunia Barat beserta gagasan-gagasannya secara obyektif, demikian pula
halnya dengan gagasan-gagasan dan ajaran-ajaran dalam sejarah
kegamaannya sendiri. Bila kedua hal ini tidak dikaji secara obyektif, maka
kenerhasilannya dalam menghadapi dunia modern merupakan suatu hal yang
mustahil, bahkan kelangsungan hidupnya sebagai muslim pun akan sangat
meragukan. Kaum muslim harus bisa mengembangkan prasyarat keyakinan
diri, tanpa mengalah kepada Barat secara membabi-buta atau menafikannya.
Tugas utama orang muslim yang paling mendasar adalah mengembangkan
suatu metodologi yang tepat dan logis untuk mempelajari al-Qur’an guna
mendapatkan petunjuk bagi masa depannya. Metodologi inilah yang
membedakan antara neomodernisme dan modernisme klasik.
Rahman secara blak-blakan menolak doktrin tertutupnya pintu ijtihad,
ataupun pemilahannya ke dalam ijtihad muthlaq, ijtihad fil masail, dan ijtihad
fil madzhab. Rahman mendobrak doktrin ini dengan beberapa langkah:
Pertama (1), menegaskan bahwa ijtihad bukanlah hak privilise eksklusif
golongan tertentu dalam masyarakat muslim; Kedua (2), menolak kualifikasi
ganjil mengenai ilmu gaib misterius sebagai syarat ijtihad; dan Ketiga (3),
memperluas cakupan ranah ijtihad klasik. Hasilnya adalah satu kesimpulan
Rahman: ijtihad baik secara teoritis maupun secara praktis senantiasa terbuka
dan tidak pernah tertutup/Tetapi, Rahman pun tampaknya tidak ingin daerah
teritorial kebebasan ijtihad yang telah dibukanya”sebagai hasil dari
liberalisasinya terhadap konsep ijtihad menjadi tempat persemaian dan
pertumbuhan ijtihad yang liar, sewenang-wenang, serampangan dan tidak
bertanggung jawab. Ijtihad yang diinginkan Rahman adalah upaya sistematis,
komprehensif dan berjangka panjang. Untuk mencegah ijtihad yang sewenag-
wenang dan merealisasikan ijtihad yang bertanggung jawab itulah, Rahman
mengajukan metodologi tafsirnya, yang disusun belakangan pada periode
Chicago. Dan dalam konteks inilah metodologi tafsir Rahman yang
dipandangnya sebagai “the correct prosedure for understanding the Qurân•
atau the correct methode of Interpreteting The Qurân”.[20]
F. Metodologi Penafsiran Fazlur Rahman
Seperti orang-orang Islam pada umumnya, Rahman mengakui bahwa al-
Qur’an adalah wahyu yang secara literal diwahyukan kepada Nabi Muhammad
SAW, ia juga mengakui bahwa al-Qur’an adalah kalam ilahi. Namun,
menurutnya al-Qur’an juga merupakan perkataan Muhammad.[21]
Pernyataan inilah yang membuatnya dianggap munkir al-Qur’an oleh kaum
tradisionalis dan fundamentalis.[22]
Menurutnya, kaum muslim dewasa ini tengah membutuhkan suatu teori yang
memadai untuk menafsirkan al-Qur’an bagi kebutuhan-kebutuhan mereka
yang secara khusus memberi ciri kepada ajaran sosial al-Qur’an. Rahman
memandang bahwa para mufasir klasik dan abad pertengahan telah
memperlakukan al-Qur’an secara atomistik (ayat per ayat) meski terkadang
mereka memberikan rujukan silang ketika menafsirkan suatu ayat, tapi hal ini
tidak dilakukan secara sistematis. Karena itu, tafsir-tafsir mereka tidak
menghasilkan suatu weltanschaung (pandangan-dunia) yang kohesif dan
bermakna bagi kehidupan secara keseluruhan. [23] metode-metode atau
prisip-prinsip penafsiran al-Qur’an (ushul al-tafsir) yang dibuat oleh para
Ulama merupakan jasa besar bagi pemahaman al-Qur’an dan hal ini
merupakan hal yang sangat penting bagi pemahaman al-Qur’an. Namun,
walaupun demikian, terdapat suatu kebutuhan mendesak terhadap teori
hermeneutik yang akan menolong kita untuk memahami makna al-Qur’an
secara utuh dan menyeluruh.[24]
Bagi Rahman, bagian dari tugas untuk memahami pesan al-Qur’an sebagai
suatu kesatuan adalah mempelajarinya dengan sebuah latar belakang . latar
belakang langsungnya adalah aktivitas Nabi sendiri dan perjuangannya selama
dua puluh tiga tahun dibawah bimbingan al-Qur’an.[25] Selanjutnya, ia
menawarkan metodologi penafsiran yang –menurutnya– tepat untuk
menafsirkan al-Qur’an.[26] Proses penafsiran yang Rahman tawarkan
merupakan gerakan ganda (double movement), dari situasi sekarang ke masa
al-Qur’an diturunkan dan kembali lagi ke masa kini. Berikut ungkapannya:
Proses penafsiran yang diusulkan disini terdiri dari suatu gerakan ganda, dari
situasi sekarang ke masa al-Qur’an diturunkan dan kembali lagi ke masa kini.
Al-Qur’an adalah respons ilahi, melalui ingatan dan pikiran Nabi, kepada situasi
moral sosial Arab pada masa Nabi, khususnya kepada masalah-masalah
masyarakat dagang masyarakat Makkah pada masanya.[27]
Jadi, menurutnya al-Qur’an turun untuk menjawab problem-problem yang
terjadi pada masyarakat Arab, sehingga untuk mengkontekstualisasikannya
pada masa kini diperlukan pengetahuan historis yang menjadi latar belakang
turunnya suatu ayat. Tidak hanya itu, situasi Makkah sebelum Islam datang
pun memerlukan pemahaman yang mendalam. Didalamnya juga mencakup
perihal pranata-pranata sosial, kehidupan ekonomis, dan hubungan-hubungan
politik. Peran penting suku Quraisy dan pengaruh kekuasaan relogio-
ekonomisnya dikalangan orang-orang Arab harus difahami.[28] Double
movement yang diusung Rahman sebagaimana pernyataannya:
Gerakan pertama yang terdiri dari dua langkah yaitu: pertama, orang harus
memahami arti atau makna dari suatu pernyataan dengan mengkaji situasi
atau problem historis dimana pernyataan al-Qur’an tersebut menjadi
jawabannya. Sehingga akan menghasilkan pemahaman makna al-Qur’an
sebagai suatu keseluruhan disamping dalam batas-batas ajaran-ajaran khusus
yang merupakan respons terhadap situasi-situasi khusus. Langkah kedua,
adalah menggeneralisasikan jawaban-jawaban spesifik tersebut dan
menyatakannya sebagai pernyataan-pernyataan yang memiliki tujuan-tujuan
moral-sosial umum yang dapat disaring dari ayat-ayat spesifik dalam sinaran
latar belakang sosio-historis dan rationes legis yang sering dinyatakan oleh
ayat sendiri. Yang harus diperhatikan selama langkah ini adalah ajaran Al-
Quran sebagai keseluruhan, sehingga setiap arti yang ditarik, setiap hukum
yang disimpulkan dan setiap tujuan yang dirumuskan koheren satu sama lain.
Ini sesuai dengan klaim Al-Quran sendiri bahwa ajarannya tidak mengandung
kontradiksi-dalam dan koheren secara keseluruhan. Langkah ini juga bisa dan
selayaknya dibantu oleh pelacakan terhadap pandangan-pandangan kaum
muslim awal. Menurut Rahman, sampai sekarang sedikit sekali usaha yang
dilakukan untuk memahami Al-Quran secara keseluruhan.[29]
Gerakan pertama Rahman terdiri dari dua langkah, yakni memahami suatu
ayat sesuai dengan konteksnya pada masa al-Qur’an turun (asbab al-nuzul),
sehingga dengan hal ini akan dihasilkan penafsiran yang obyektif.[30] Dan
selanjutnya hasil pemahaman tersebut degeneralisasikan. Beliau
menggunakan konsep “al-‘ibrah bi’umūm al-lafz lā bi khusūs al-
sabab”.Selanjutnya mengenai gerakan kedua, Rahman menyatakan:
Sementara gerakan yang pertama mulai dari hal-hal yang spesifik lalu ditarik
menjadi prinsip-prinsip umum dan nilai-nilai moral jangka panjang, maka
gerakan kedua ditempuh dari prinsip umum ke pandangan spesifik yang harus
dirumuskan dan direalisasikan ke dalam kehidupan sekarang. Artinya, ajaran-
ajaran yang bersifat umum harus ditubuhkan (embodied) dalam konteks
sosio-historis yang kongkrit di masa sekarang. Ini sekali lagi memerlukan
adanya kajian yang cermat atas situasi sekarang sehingga situasi sekarang
bisa dinilai dan dirubah sesuai dengan prioritas-prioritas moral tersebut.
Apabila kedua momen gerakan ini ditempuh secara mulus, maka perintah Al-
Quran akan menjadi hidup dan efektif kembali. Momen gerakan kedua ini juga
berfungsi sebagai alat koreksi terhadap momen pertama, yakni terhadap hasil-
hasil dari penafsiran. Apabila hasil-hasil pemahaman gagal diaplikasikan
sekarang, maka tentunya telah terjadi kegagalan baik dalam memahami Al-
Quran maupun dalam memahami situasi sekarang. Sebab, tidak mungkin
bahwa sesuatu yang dulunya bisa dan sungguh-sungguh telah direalisasikan
ke dalam tatanan spesifik di masa lampau, dalam konteks sekarang tidak
bisa.[31]
Selanjutnya, gerakan kedua harus bisa membaca situasi masa kini dengan
cermat dan menerapkan apa yang dihasilkan dalam gerakan pertama kedalam
situasi masa kini. Jika hasil pemahaman gagal diterapkan, maka letak
kesalahan bisa jadi pada gerakan pertama dalam memahami al-Qur’an
maupun dalam memahami situasi masa sekarang.
Sebagai contoh aplikasi dari metodologi penafsirannya adalah mengenai riba
dan zakat. Menurut Rahman, untuk mengatasi orang-orang lalai karena
kekayaannya, al-Qur’an mengambil dua buah kebijaksanaan penting yakni
melarang riba dan menetapkan zakat.
Rahman mengungkapkan bahwa tujuan al-Quran adalah menegakkan tata
masyarakat yang ethis dan egalitarian. Hal ini terlihat dalam celaannya
terhadap disekuilibrium ekonomi dan ketidak adilan sosial di dalam
masyarakat Makkah pada waktu itu.

Pertama kali Rahman mengajak kita untuk menengok perekonomian di kota


Makkah pada masa itu. Makkah adalah suatu kota dagang yang ramai. Tetapi
di kota itupun tanpa kentara dijumpai eksploitasi terhadap orang-orang yang
lemah, dan berbagai kecurangan di dalam praktek-praktek perdagangan dan
keuangan. Dengan jelas sekali al-Qur’an menggambarkan situasi yang
bercirikan sikap kikir yang keterlaluan, sikap mementingkan diri sendiri, dan
kemewahan di samping kemiskinan dan ketidakberdayaan. Firman Allah dalam
surat al-Takatsur ayat 1-4:
“Bermegah-megahan telah melalaikan kamu. Sampai kamu masuk ke dalam
kubur. Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu
itu). Dan janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui.”
Dalam surat al-Humazah ayat 1-7, Allah berfirman:
“kecelakaanlah bagi Setiap pengumpat lagi pencela. yang mengumpulkan
harta dan menghitung-hitung. Dia mengira bahwa hartanya itu dapat
mengkekalkannya, Sekali-kali tidak! Sesungguhnya Dia benar-benar akan
dilemparkan ke dalam Huthamah. Dan tahukah kamu apa Huthamah itu?
(yaitu) api (yang disediakan) Allah yang dinyalakan, Yang (membakar) sampai
ke hati.”

Orang-orang Makkah berkata bahwa mereka telah berusaha untuk


memperoleh kekayaan mereka, oleh karena itu kekayaan tersebut adalah hak
penuh mereka, dan mereka dapat mempergunakannya sekehendak hati
mereka. Tetapi al-Quran berkata: bahwa tidak seluruh kekayaan merupakan
hak dari yang mengusahakannya; orang-orang miskin juga memiliki “hak”
didalam kekayaan tersebut. Al-Qur’an memerintahkan kepada kaum muslimin,
khususnya orang-orang yang mampu, bahwa mereka lebih baik mengeluarkan
harta kekayaan mereka diatas jalan Allah daripada membungakan uang untuk
menghirup darah orang miskin (30:39; 2:245; 5:12, 18; 57:11, 18; 64:17;
73:20). Atas dasar inilah, al-Quran mengambil dua buah kebijaksanaan untuk
mengatasi hal diatas yakni melarang riba (menggandakan uang) dan
menetapkan zakat. Larangan riba ini bersumber dari ayat:
“dan sesuatu Riba (tambahan) yang kamu berikan agar Dia bertambah pada
harta manusia, Maka Riba itu tidak menambah pada sisi Allah. dan apa yang
kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan
Allah, Maka (yang berbuat demikian) Itulah orang-orang yang melipat
gandakan (pahalanya)” (al-Rum:39).

Rahman mengatakan bahwa pernyataan-pernyataan al-Qur’an bahwa harta


kekayaan yang kita keluarkan untuk kepentingan masyarakat akan dibayar
Allah dengan berlipat ganda, tertuju kepada praktek riba karena riba membuat
modal yang semula menjadi berlipat ganda (ad’āfan mudā’afan) (3:130).
Kemudian dalam ayat-ayat (2:275-278) riba dilarang keras bahwa Allah dan
Rasul-Nya akan memerangi orang yang melanggar batas.

Larangan riba ini sangat penting artinya bagi kesejahteraan masyarakat.


Tetapi dari larangan ini, ahli-ahli hukum Islam di zaman pertengahan
mengambil kesimpulan bahwa setiap jenis bunga adalah terlarang. Hingga
saat ini pun kebanyakan kaum muslim masih berpendapat demikian, walaupun
di zaman modern ini peranan bank didalam konteks “ekonomi pembangunan”
sudah sangat berbeda. Karena kesimpangsiuran pemikiran ini banyak muslim-
muslim terpelajar masa kini yang mempergunakan argumentasi-argumentasi
kynesian dan Marxis untuk mendukung pendapat mereka.

Selanjutnya, Rahman mengungkapkan bahwa sehubungan dengan keadilan


merata, al-Qur’an menerapkan prinsip bahwa “kekayaan tidak boleh berputar
dikalangan orang-orang kaya saja” (59:7):
“apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada RasulNya (dari
harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota Maka adalah untuk Allah,
untuk rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-
orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara
orang-orang Kaya saja di antara kamu. apa yang diberikan Rasul kepadamu,
Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan
bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Amat keras hukumannya.”
Menurut Rahman, meskipun ayat ini berbicara mengenai pembagian harta
rampasan perang, namun secara garis besar ayat ini menunjukkan sebuah
tema penting di dalam kebijaksanaan ekonomi. Dengan demikian, setelah di
Makkah mencela orang-orang yang menumpuk kekayaan dan memeras orang-
orang miskin, maka di Madinah al-Qur’an menetapkan zakat. Tujuan-tujuan
zakat ini diterangkan secara mendetail didalam surat al-Taubah ayat 60.
“Sesungguhnya zakat-zakat itu (bukan untuk orang-orang kaya) hanyalah
untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, Para
mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang
yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam
perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha
mengetahui lagi Maha Bijaksana.”

Dalam pandangan Rahman kategori-kategori ini –termasuk kesejahteraan


sosial di dalam pengertiannya yang luas dan terdiri dari membantu orang-
orang yang terjerat hutang, gaji pegawai-pegawai administratif (pengumpul
pajak), pengeluaran diplomasi (untuk menarik hati orang-orang ke dalam
Islam), pertahanan, pendidikan, kesehatan, dan komunikasi– sedemikian
luasnya sehingga mencakup seluruh aktifitas negara. Tetapi kaum muslim
memahami fungsi-fungsi zakat ini berdasarkan tradisi yang picik sehingga
lambat laun institusi zakat ini menjadi hampa.[32]
G. Komentar Para Ulama Terhadap Pribadi Fazlur Rahman

Pilihan metodologi Rahman, utamanya dalam menginterpretasi al-Qur’an,


tidak saja menuai pujian, tapi juga kritik yang serius. Ebrahim Moosa
menganggap metodologi yang dipakai Rahman berakibat pada pengabaian
aspek-aspek partikular dari al-Qur’an. Aspek-aspek tersebut tergerus oleh
generalisasi dan koherensi logis yang dipraktikkan Rahman untuk menggali
makna universal Al-Qur’an. Misalnya ketika Rahman menolak konsep syafaat
karena dalam pandangannya bertentangan dengan ide sentral al-Qur’an,
yakni: keadilan dan ketakwaan. Farid Esack menilai penafsiran Rahman yang
seperti itu, terlalu memaksakan wahyu agar sesuai dengan keadilan dan
ketakwaan yang merupakan tema sentralnya. [33]
Komentar selanjutnya datang dari Taufik Adnan Amal bahwa, kritik Rahman
terhadap warisan-warisan kesejarahan Islam, sebenarnya telah terlihat dalam
aplikasi gerakan ganda dari rumusan metodologi tafsirnya. Aplikasi gerakan
ganda ini – yakni dari situasi sekarangke masa al-Qur’an diturunkan, dan
kembali lagi ke masa kini – pada faktanya telah memandulkan peran warisan
sejarah keagamaan Islam. Dan penerimaan Rahman terhadap Islam-sejarah,
setelah periode generasi pertama Muslim, sebagai objek penilaian al-Qur’an –
yakni al-Qur’an sebagaimana yang difahami lewat metode yang ditawarkannya
– membuat metodologi tafsirnya sulit diterima, kecuali dengan ketajaman
rasional yang semestinya.
Menurut Taufik Adnan Amal menyeutkan bahwa “walaupun metode tafsir yang
diusulkan Rahman memiliki bentuk baru, namun semua unsurnya adalah
tradisional. Materi-materi kesejarahan – seperti latar belakang sosio-historis
al-Qur’an perilaku Nabi, dan khususnya asbab al-Nuzul al-Qur’an – yang
sangat urgen dalam penerapan metode tersebut, semuanya telah dilestarikan
oleh para penulis sejarah hidup Nabi, para pengumpul hadis, para sejarawan,
serta para mufassir.” [34]
Kritik yang juga layak diarahkan pada pandangannya mengenai ayat-ayat
teologi. Rahman di satu sisi sangat konsisten (baca: kaku) dalam
menggunakan kekuatan logika untuk menganalisis ayat-ayat teologi. Namun
pada saat yang bersamaan, ia dengan sengaja mengabaikan aspek kronologi
dan latar belakang turunnya ayat tersebut. Sebab dalam pandangannya ayat-
ayat teologis dan metafisik tidak banyak mengalami evolusi dan
perkembangan jika dibandingkan dengan ayat-ayat hukum. Oleh karena itu,
dalam hal ayat-ayat teologis latar belakang dan kronologi ayat tersebut tidak
diperlukan. Nah, pandangan semacam ini hemat saya malah menorpedo
keinginannya sendiri untuk mendapatkan makna yang obyektif dari al-Qur’an.
Meski demikian, keberatan-keberatan terhadap Rahman seperti ini tidak
mengecilkan kontribusi Rahman dalam studi al-Qur’an yang memang sangat
signifikan. Dia pun menyadari bahwa subyektifitas dan kekurangan dalam
suatu penafsiran dan pendekatan tidak dapat dihilangkan sama sekali.
Demikian halnya dengan penafsiran beserta metode yang ditawarkannya.
Sifatnya adalah dinamis sehingga sangat terbuka untuk diberi sudut pandang
lain, bahkan untuk dikritik dan dikoreksi. Selama sudut pandang lain dan kritik
itu dapat dipertanggungjawabkan secara intelektual dan keagamaan, selama
itu pula suatu perbedaan dapat diapresiasi. Pada sisi ini nilai-nilai liberal dari
neo-modernisme, menurut Abd A`la (2003), tampak terungkap nyata pada
diri Rahman
H. Kesimpulan Dan Penutup
Setelah mengetahui sedikit tentang Fazlur Rahman, penulis mencoba
menyimpulkan bahwasannya :
Rahman adalah seorang intelektual Muslim yang dikenal dengan watak
liberalisme yang pemikiran ini sangat dipengaruhi oleh pendidikan
orangtuanya yang sangat rasional serta didukung oleh ketajaman intelektual
Rahman yang luar biasa. Sedangkan dari ayahnya Rahman memperoleh nilai
kebebasan dan kemodernan dalam berpikir, berbeda dengan mayoritas ulama
tradisional waktu itu, Ayahnya adalah seorang yang sangat yakin bahwa islam
harus menghadapi kemodernan baik sebagai tantangan maupun peluang.
Agar Islam relevan dengan situasi dan kondisi sekarang, dia menyarankan
agar kaum muslim berani melampaui penafsiran literal dan tradisional atas al-
Qur’an untuk memahami spiritnya.
Perkembangan pemikiran Rahman menurut taufik Adnan Amal dibagi kedalam
tiga periode: (i) periode awal (dekade 50-an); (ii) periode Pakistan (dekade
60-an); dan (iii) periode Chicago (1970 dan seterusnya).
Tentang gerakan Neo-Modernisme. Gerakan ini muncul dibawah pengaruh
neorevivalisme, tetapi juga merupakan tantangan terhadapnya. Rahman
mengkategorikan dirinya termasuk dalam barisan gerakan ini.
Proses penafsiran yang Rahman tawarkan salah satunya adalah merupakan
gerakan ganda (double movement), dari situasi sekarang ke masa al-Qur’an
diturunkan dan kembali lagi ke masa kini.
Demikianlah apresiasi terhadap tokoh pemikir Islam yang banyak mengilhami
pembaruan pemikiran Islam di tanah air. Gerakan pembaruan yang
belakangan tak terdengar lagi gemanya itu, harus diurai struktur penyangga,
akar-akar dan pondasinya agar kita mengetahui sisi-sisi mana saja yang sudah
rapuh dan harus diperbaiki atau diganti. Relevansi apresiasi pemikiran Rahman
adalah dalam konteks itu. Dengan demikian semoga kita bisa mendapat
inspirasi kembali untuk memberikan sentuhan atau bangunan baru bagi
gerakan pemikiran Islam di Indonesia! Amin. Wallahu a`lam bi al-shawab.
DAFTAR PUSTAKA
Supena, Ilyas, Desain Ilmu-ilmu keislaman dalam pemikiran hermneutika
Fazlur Rahman, Semarang: Walisongo Press, 2008
Adnan Amal, Taufik, Islam dan Tantang Modernitas, Bandung: Mizan, 1999.
Keceradasan Rahaman dibuktikannya ketika pada usia sepuluh tahun Ia
menghafal Al qur’an diluar kepala. Lihat Samsurrizal Panggabean
“fazlurrahman dan Neo modernisme Islam” hlm 34
Rahman, Fazlur, Islam dan Tantangan Modernitas: Tentang Transformatif
social, terj. Ahsin Muhammad, Bandung: Pustaka, 1985.
Rahman, Fazlur, Kontroversi Kenabian dalam Islam: antara Filsafat dan
Ortodoksi, Bandung: Mizan, 2003.
M Ihsan Ali Fauzi dan Taufik Adnan Amal, Bibliografi Karya-karya Intelektual
Fazlur Rahman, Jurnal Islamika, vol. 2, Oktober-Desember, 1993.
Adnan Amal, Taufik, Islam dan Tantangan Modernitas, Studi atas Pemikiran
Hukum Fazlur Rahman”, Bandung: Mizan, 1989.
Rahman, Fazlur, Metode dan Alternatif Neomodernisme Islam, Terj. Taufik
Adnan Amal, Bandung: Mizan, 1993.
Rahman, Fazlur, Islam dan Modernitas Tentang Transformasi intelektual, Terj.
Ahsin Mohammad, Bandung: Pustaka, 1985.
Rahman, Fazlur, Islam dan Modernitas Tentang Transformasi Intelektual,
Bandung:Pustaka,1985.
Abdul Mustaqim-Sahiron Syamsuddin (ed.), Studi al-Qur’an Kontemporer,
Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002.
Rahman, Fazlur, Tema Pokok al-Qur’an, Bandung: Pustaka, 1996.
http://icas-indonesia.org, Powered by ICAS-JAKARTAdiakses pada tanggal 24
April 2009.
[1] Ilyas supena, Desain Ilmu-ilmu keislaman dalam pemikiran hermneutika
Fadzlurrahman (semarang: Walisongo Press. 2008) hlm 43
[2] Biografi Rahman secara lengkap dapat dijumpai dalam banyak buku.
Misalnya Tufik Adnan Amal, Islam dan Tantang Modernitas, (Bandung: Mizan,
1999), hlm. 79-111; ini dapay dijumpai pula dalam Muqaddimah Islam karya
Fazlur Rahman.
[3] Keceradasan Rahaman dibuktikannya ketika pada usia sepuluh tahun Ia
menghafal Al qur’an diluar kepala. Lihat Samsurrizal Panggabean
“fazlurrahman dan Neo modernisme Islam” hlm 34
[4] Ilyas supena, Desain Ilmu-ilmu keislaman dalam pemikiran hermneutika
Fadzlurrahman (semarang: Walisongo Press. 2008) hlm 44
[5] Fazlur Rahman, Islam dan Tantangan Modernitas: Tentang Transformatif
social, terj. Ahsin Muhammad, (Bandung: Pustaka, 1985), hlm. 36-98.
[6] Keputusan Rahman untuk berangkat studi ke inggris ini merupakan
keputusan yang cukup berani untuk ukuran saat itu, umat islam saat itu pada
umumnya belajar tentang studi keislaman di Mesir, Arab Saudi dan negeri
timur tengah yang lain, sehingga dianggap tidak lazim manakala ada
seseorang muslim belajar islma di barat. Disamping itu penerapan methode
analisis kritis terhadap materi keislaman sebagaimana yang digunakan tradisi
keilmuan barat dipandang sebagai hal yang sangat membahayakan islam
karena mereka selalu mempertanyakan keutuhan dan otentisitas al-qur’an.
lebih jelas lihat Ilyas supena, Desain Ilmu-ilmu keislaman dalam pemikiran
hermneutika Fadzlurrahman (semarang: Walisongo Press. 2008) hlm 44
[7] Paling tidak ia menguasai bahasa Latin, Yunani, Inggris, Perancis, Jerman,
Turki, Persia, Arab dan Urdu. Lihat Fazlur Rahman, Kontroversi Kenabian
dalam Islam: antara Filsafat dan Ortodoksi, (Bandung: Mizan, 2003), hlm. 14.
[8] Rahman di undang pulang ke tanah air nya Pakistan oleh presiden ayub
khan untuk menjadi guru besar tamu (visiting professor) di lembaga riset islam
Pakistan dan selanjutnya Ia menjadi Direktur lembaga ini pada tahun 1962-
1969. Lhat Ilyas Supena, Desain Ilmu-ilmu keislaman…
[9] Taufik Adnan Amal, Fazlur Rahman dan Usaha-usaha Neomodernisme
Islam Dewasa Ini
dalam Fazlur Rahman, Metode dan Alternatif, hlm. 13-14.
[10] Ilyas supena Desain Ilmu-ilmu keislaman dalam pemikiran hermneutika
Fadzlurrahman
[11] Eposito, misalnya peristiwa demonstrasi massa tersebut bersifat politis
yang sebenarnya ditujukan kepada kepemimpinan Ayyub Khan.
[12] Akibat serangan jantung, ia pun wafat pada tanggal 26 Juli 1988 di
Chicago, Illinois
[13] Ilyas Supena, Desain Ilmu-ilmu keislaman dalam pemikiran hermneutika
Fadzlurrahman (semarang: Walisongo Press. 2008)
[14] Nur cholis majid “fazlurrahman dan Rekonstruksi Etika Al-Qur’an’
Islamika no 2, Oktober 1993, hlm 23 lebih jelasnya buka supena
[15] Beliau adalah salah seorang intelektual muslim kelahiran Malaysia yang
juga murid Rahman ketika di universitas Chicago.
[16] M Ihsan Ali Fauzi dan Taufik Adnan Amal,”Bibliografi Karya-karya
Intelektual Fazlur Rahman”, dalam Jurnal Islamika, vol. 2, Oktober-Desember,
1993, hlm. 81-84.
[17] Taufik Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas, Studi atas
Pemikiran Hukum Fazlur Rahman”, (Bandung: Mizan, 1989), hlm. 112.
[18] Taufik Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas,…hlm. 112
[19] Fazlur Rahman, Metode dan Alternatif Neomodernisme Islam, Terj. Taufik
Adnan Amal, (Bandung: Mizan, 1993), hlm. 18-20.
[20] Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas Tentang Transformasi intelektual,
Terj. Ahsin Mohammad, (Bandung: Pustaka, 1985), hlm. 1.
[21]Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas Tentang Transformasi Intelektual,
(Bandung:Pustaka,1985), hlm.2 dan 14.
[22] Taufik Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas…hlm.100. lihat juga
hlm 150-151. Ali Masrur, “Ahli Kitab dalam al-Qur’an (model Penafsiran Fazlur
Rahman)”, dalam Abdul Mustaqim-Sahiron Syamsuddin (ed.), Studi al-Qur’an
Kontemporer, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002), hlm. 47.
[23] Fazlur Rahman, Metode dan Alternatif …hlm. 54. Lihat juga Fazlur
Rahman, Islam dan Modernitas Tentang…hlm. 2-3.
[24] Fazlur Rahman, Metode dan Alternatif …hlm. 54-55.
[25] Fazlur Rahman, Metode dan Alternatif …hlm. 55.
[26] Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas Tentang…hlm. 1.
[27] Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas Tentang…hlm. 6. Lihat juga
[28] Fazlur Rahman, Metode dan Alternatif …hlm. 55-56.
[29] Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas Tentang…hlm. 7.
[30] Dari sini, metode penafsiran Rahman disebut dengan hermeneutika
obyektif yang berbasis double movement. Lihat M. Syifa Amin W.
Fazlurrahman: Rekonstruksi Pemikiran Islam Dan Neo-Modernisme.
[31] Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas Tentang…hlm. 8.
[32] Fazlur Rahman, Tema Pokok al-Qur’an, (Bandung: Pustaka, 1996), hlm.
55-61. Buku ini ia tulis pada periode Chicago setelah metodologi tafsirnya telah
menjadi metodologi yang sistematis.
[33] M. Syifa Amin. W. dalam makalahnya Fazlur Rahman:Rekonstruksi
pemikiriran Islam dan Neo-Modernisme. Dalam http://icas-indonesia.org,
Powered by ICAS-JAKARTA and Designed by Webmaster.(diakses pada tanggal
24 April 2009).
[34] Fazlur Rahman, Metode dan Alternatif …hlm. 27-28.
Sumber: Perpustakaan IAIAN Sunan Kalijaga.
Sumber: https://www.tongkronganislami.net/telaah-analisis-metodologi-penafsiran/

Anda mungkin juga menyukai