Fazlur Rahman
By
Tongkrongan Islami
461
Share
Advertisement
PENDAHULUAN
Satu hal yang dapat dicermati dari perjalanan intelektual Rahman adalah
bahwa hampir sepanjang karir intelektualnya baik ketika menjadi direktur
lembaga riset islam maupun professor kajian – kajian keislaman di Universitas
Chicago, Rahman berusaha memahami tantangan modernitas serta
merumuskan methodologi yang sistematis dan konperehensif untuk menjawab
tantangan tersebut sekaligus menumbuhkan ajaran al qur’an kedalam realitas
praktis kehidupan umat islam.[13] Oleh karena itu tidak mengherankan jika
tulisan-tulisan Rahman selalu menekankan pentingnya metodologi penafsiran
Al qur’an. upaya yang dilakukan ini menurut Nur cholis Majid dtitunjang oleh
pengetahuannya yang luas dan mendalam tentang sejarah islam, baik dalam
bidang pemikiran, perkembangan sosial, politik dan kebudayaan pada
umumnya serta kemampuannyya dalam membaca secara cermat khasanah
intelektual klasik yang baginya merupakan refleksi berbagai nuansa kitab
suci.[14]
Pada kesempatan berbeda Wan Mohd. Nor Wan Daud[15]mengungkapkan
bahwa Fazlur Rahman adalah seorang penulis yang agresif lebih-lebih ketika
mengevaluasi perjalanan sejarah umat islam. Keagresifan dan keuletannya
tergambar dari perpustakaannya di basement (lantai dasar bawah tanah)
disitulah ia menghabiskan waktunya untuk membaca, menulis, berpikir,
menulis, dan mengajar.
C. Karya-karya Fazlur Rahman
Agresifitas dan produktivittas intelektual fazlurrahman bisa dilihat dari karya-
karyanya dalam bentuk buku, artkel, entri untuk ensiklopedi, kata pengantar.
dan bentuk lainnya, karya-karya Rahman yang berbentuk buku setidaknya
berjumlah sekitar Sembilan buah, diantaranya: 1. Avicenna Psychology
(Oxford: Oxford University Press,1952); 2. Propesy in Islam, Philosophy and
Ortodoxcy ( G. Allen & Unwin, London, 1958 ); 3. Avicenna De Anima, Being
the Psysicological Part of Kitab al Syifa'( New York: Oxford University Press,
1959); 4. Islamic Metodology in History( Karachi: Central Institute of Islamic
Research, 1965), yang berisi tentang kajian Rahman tentang evolusi history
dari aplikasi keempat prinsip pokok pemikiran islam, yaitu al Qur’an, Sunnah,
Ijma’, dan Qiyas, serta peran aktual dari prinsip-prinsip tersebut bagi
perkembangan islam; 5. Islam (Hold Rineland & Winston: New York, 1966)
merupakan usaha Rahman dalam member definisi “Islam” bagi Pakistan: 6.
Phylosophy of Mulla Sadra Syirazi (Al Bany: State University of New York Press,
1976), merupakan kajian historis Rahman terhadap pemikiran Religio filosofis
Sadr al Din Al Syirazi (Mulla Sadra); 7. Major Themes of the
Qur’an(Minneapolis Bibliotheca Islamica, 1980) yang berisi delapan tema
pokok al Qur’an: Tuhan, manusia sebagai Individu, manusia sebagai anggota
masyarakat, alam semesta, kenabian dan wahyu, eskatologi, Syaitan dan
kejahatan, serta lahirnya masyarakat muslim; 8. Islam dan Modernity;
Transformation of an Intellectual Tradition( Chicago: University of Chicago,
1982), merupakan hasil riset dari Unversitas of Chicago tentang “Islam dan
Change” , yang menjelaskan tentang sejarah intelektual dan kehidupan Islam
sejak periode klasik sampai periode saat ini; 9. dan Healt and Medicine in
Islamic Tradition ( Cross Roads Book: New York, 1987).
Sementara karya-karyanya yang berbentuk artikel yang tersebar
dari beberapa jurnal, terjemahan karya berjumlah 75 artikel, disamping 7
artikelnya yang dimuat dalam beberapa ensiklopedi dan yang berupa review
buku berjumlah 16 tulisan. Selain itu masih terdapat beberapa karya orisinal
Rahman yang sampai saat ini belum dipublikasikan.[16]
D. Kegelisahan Akademik Fazlur Rahman
Fazlur Rahman menyatakan, al-Qur’an sebagai firman Allah pada dasarnya
adalah suatu kitab mengenai prinsip-prinsip dan nasehat-nsehat keagamaan
dan moral bagi manusia; dan ia bukan sebuah dokumen hukum, meskipun ia
mengandung sejumlah hukum-hukum dasar seperti shalat, puasa, dan haji.
Dari awal hingga akhir, al-Qur’an selalu memberikan penekanan pada semua
aspek-aspek moral, yang diperlukan bagi tindakan kreatif manusia. Oleh
karena itu, kepentingan sentral al-Qur’an adalah manusia dan perbaikannya.
Agar Islam relevan dengan situasi dan kondisi sekarang, dia menyarankan
agar kaum muslim berani melampaui penafsiran literal dan tradisional atas al-
Qur’an untuk memahami spiritnya. Oleh karena itu, ia memandang bahwa
salah satu perkembangan paling menentukan dalam sejarah Islam adalah
sikap kaum muslimin yang kaku dan formal terhadap al-Qur’an dan hadits.
Pada periode awal keduanya dipahami secara historis dan dianggap sebagai
suatu keutuhan yang terpadu dimana bagian-bagiannya diperlakukan seperti
kaitan secara intim dan substantif, sehingga al-Qur’an dan hadits dipandang
sebagai sumber yang mampu menjawab semua persoalan.
Menurut Rahman, pemikiran modernis untuk melihat kenyataan yang ada dan
kemudian mencari jawabannya dalam al-Qur’an adalah suatu hal yang tepat.
Tetapi mereka tidak mampu menciptakan metode yang cocok dan tepat,
sehingga menyebabkan mereka tidak konsisten dalam menganalisis. Hal ini
dapat menyebabkan mereka tergelincir sebagai westernis yang
mengakibatkan timbulnya reaksi terhadap kaum modernis, baik dari kaum
tradisionalis maupun dari kaum neorevivalis.
Sementara kritik Rahman terhadap tradisionalisme dinyatakannya bahwa
“suatu masyarakat yang harus memulai hidup dalam kerangka masa lampau,
betapa pun manis kenangannya, dan gagal menghadapi realitas kekinian
secara jujur, ia pasti menjadi sebuah fosil; dan sudah merupakan hukum
Tuhan bahwa fosil tidak akan tahan lama:
“Bukanlah Kami berbuat lalim terhadap mereka, merekalah yang melalimi diri
mereka sendiri” (Q.S. Hud/11: 101; al-Nahl/16: 33).
Fazlur Rahman berpendapat perlunya pengembangan metodologi penafsiran
al-Qur’an yang memadai, mengingat selama ini umat Islam belum memiliki
suatu pedoman yang mendasar mengenai metode dan cara penafsiran al-
Qur’an. Terdapat kesalahan yang umum dalam memahami pokok-pokok
keterpaduan al-Qur’an, sehingga umat Islam sudah cukup puas dengan
berpegang pada arti ayat-ayat secara terpisah-pisah. Kegagalan memahami
al-Qur’an sebagai suatu kesatu-paduan yang saling berkaitan ini terjadi dalam
bidang hukum, teologi maupun sufisme. Kegagalan ini tetap berlanjut hingga
dewasa ini.
Bagi Rahman, tanpa suatu metode yang tepat dalam memahami Islam dan
seluruh pesannya, orang akan sulit menangkap secara jelas dan tajam kaitan
organis antara pondasi teologisnya dengan persoalan dan nilai praktis
kemanusiaan dalam kehidupan kolektif. Oleh sebab itu Rahman berkali-kali
menegaskan bahwa al-Qur’an harus dijadikan pedoman pertama dan utama
dalam memahami Islam.
Di samping itu, pendekatan historis dalam memahami kandungan al-Qur’an
perlu dilakukan, sehingga memahami kondisi aktual masyarakat Arab ketika
al-Qur’an diturunkan pada saat memahami kandungan ayat-ayat adalah
sangat penting. Dalam memahami al-Qur’an, yang utama harus lebih
ditekankan pada tujuan “ideal moral” dari pada “legal spesifik”. Tujuan ideal
moral yang terkandung dalam ayat-ayat harus lebih diutamakan dari
ketentuan legal spesifiknya. Selain itu, sasaran al-Qur’an harus juga dipahami
dan ditetapkan dengan memperhatikan latar belakang sosiologis, yang
merupakan kondisi lingkungan di mana Nabi bergerak dan bekerja.
E. Perkembangan Pemikiran Fazlur Rahman
Rahman dalam pemikirannya tentang keagamaan, melalui tahapan-tahapan
hingga akhirnya ia berhasil mengemukakan suatu penafsiran Islam yang –
menurutnya– dapat memberi solusi bagi krisis pemikiran Islam dewasa ini dan
problem-problem yang dihadapi umat. Perkembangan pemikiran Rahman
menurut taufik Adnan Amal dibagi kedalam tiga periode: (i) periode awal
(dekade 50-an); (ii) periode Pakistan (dekade 60-an); dan (iii) periode
Chicago (1970 dan seterusnya). [17]
Dalam periode pertama, Rahman belum memperhatikan perhatian serius
terhadap kajian-kajian Islam normatif, karya-karya intelektualnya yang
dihasilkan dalam periode ini meskipun amat kritis, lebih merupakan kajian-
kajian Islam historis. Baru pada periode kedua, ia mulai menekuni kajian-
kajian Islam normatif dan terlibat dalam arus pemikiran Islam. Akan tetapi,
keterlibatannya tidaklah dilandasi dengan basis metodologi yang sistematis,
dan pemikiran-pemukiran keagamaannya pada periode ini lebih merupakan
upaya untuk memberi definisi “Islam” bagi Pakistan. Pada tahun 1970, baru
terlihat keterlibatannya dalam kajian Islam normatif yang didukung dengan
suatu metodologi tafsir yang sistematis, ketika ia di Chicago.[18]
Dalam sebuah artikel yang ditulis pada penghujung dekade 70-an, Rahman
membagi dialektika perkembangan pembaruan yang muncul didunia Islam
selama dua abad terakhir kedalam empat gerakan[19]. Gerakan pertama
adalah Revivalisme (Pra-Modernis), mulai muncul pada akhir abad ke-18 dan
awal abad ke-19 yang dipelopori oleh gerakan Wahabiyah di Arab, Sanusiyah
di Afrika Utara, dan Fulaniyah di Afrika Barat. Gerakan ini tidak terkena
sentuhan Barat. Gerakan ini secara sederhana mempunyai ciri-ciri umum: (a)
keprihatinan yang mendalam terhadap degenarasi sosio-moral umat Islam;
(b) imbauan untuk kembali kepada Islam yang sebenarnya, dengan
memberantas takhayul-takhayul dan dengan membuka dan melaksanakan
ijtihad; (c) imbauan untuk membuang sikap fatalisme; dan (d) imbauan untuk
melaksanakan pembaruan ini lewat jihad jika diperlukan.
Dasar pembaruan revivalisme kemudian diambil oleh gerakan kedua,
modernisme klasik, yang dipelopori oleh Jamaluddin Al-Afghani (w. 1897) di
seluruh Timur Tengah, Sayyid Ahmad Khan (w. 1898) di India, dan Muhammad
Abduh (w.1905) di Mesir. Gerakan ini muncul pada pertengahan abad 19 dan
awal abad 20 dibawah pengaruh ide-ide Barat. Yang baru pada gerakan ini
adalah perluasannya terhadap “isi” ijtihad –seperti hubungan antara akal dan
wahyu, pembaruan sosial terutama dalam bidang pendidikan dan status
wanita, serta pembaruan politik dan bentuk-bentuk pemerintahan yang
representatif dan konstitusional– lantaran kontaknya dengan pemikiran Barat.
Modernisme klasik telah memberikan pengaruh kepada gerakan ketiga, neo-
revivalisme atau revivalisme pascamodernis, gerakan ketiga ini mendasari
dirinya pada basis pemikiran modernisme klasik bahwa Islam itu mencakup
segala aspek kehidupan manusia, baik individual maupun kolektif. Namun
karena usahanya untuk membedakan diri dari Barat, maka neorevivalisme
merupakan reaksi terhadap modernisme klasik. Mereka tidak menerima
metode atau semangat modernisme klasik, tetapi sayangnya mereka tidak
mampu mengembangkan metodologi apapun untuk menegaskan posisinya.
gerakan ini cenderung menutup diri, apologetis dan tidak otentik.
Terakhir, gerakan Neo-Modernisme. Gerakan ini muncul dibawah pengaruh
neorevivalisme, tetapi juga merupakan tantangan terhadapnya. Rahman
mengkategorikan dirinya termasuk dalam barisan gerakan ini. Menurutnya,
neo-modernisme harus mengembangkan sikap kritis terhadap Barat maupun
terhadap warisan kesejarahannya sendiri. Kaum muslimin harus mengkaji
dunia Barat beserta gagasan-gagasannya secara obyektif, demikian pula
halnya dengan gagasan-gagasan dan ajaran-ajaran dalam sejarah
kegamaannya sendiri. Bila kedua hal ini tidak dikaji secara obyektif, maka
kenerhasilannya dalam menghadapi dunia modern merupakan suatu hal yang
mustahil, bahkan kelangsungan hidupnya sebagai muslim pun akan sangat
meragukan. Kaum muslim harus bisa mengembangkan prasyarat keyakinan
diri, tanpa mengalah kepada Barat secara membabi-buta atau menafikannya.
Tugas utama orang muslim yang paling mendasar adalah mengembangkan
suatu metodologi yang tepat dan logis untuk mempelajari al-Qur’an guna
mendapatkan petunjuk bagi masa depannya. Metodologi inilah yang
membedakan antara neomodernisme dan modernisme klasik.
Rahman secara blak-blakan menolak doktrin tertutupnya pintu ijtihad,
ataupun pemilahannya ke dalam ijtihad muthlaq, ijtihad fil masail, dan ijtihad
fil madzhab. Rahman mendobrak doktrin ini dengan beberapa langkah:
Pertama (1), menegaskan bahwa ijtihad bukanlah hak privilise eksklusif
golongan tertentu dalam masyarakat muslim; Kedua (2), menolak kualifikasi
ganjil mengenai ilmu gaib misterius sebagai syarat ijtihad; dan Ketiga (3),
memperluas cakupan ranah ijtihad klasik. Hasilnya adalah satu kesimpulan
Rahman: ijtihad baik secara teoritis maupun secara praktis senantiasa terbuka
dan tidak pernah tertutup/Tetapi, Rahman pun tampaknya tidak ingin daerah
teritorial kebebasan ijtihad yang telah dibukanya”sebagai hasil dari
liberalisasinya terhadap konsep ijtihad menjadi tempat persemaian dan
pertumbuhan ijtihad yang liar, sewenang-wenang, serampangan dan tidak
bertanggung jawab. Ijtihad yang diinginkan Rahman adalah upaya sistematis,
komprehensif dan berjangka panjang. Untuk mencegah ijtihad yang sewenag-
wenang dan merealisasikan ijtihad yang bertanggung jawab itulah, Rahman
mengajukan metodologi tafsirnya, yang disusun belakangan pada periode
Chicago. Dan dalam konteks inilah metodologi tafsir Rahman yang
dipandangnya sebagai “the correct prosedure for understanding the Qurân•
atau the correct methode of Interpreteting The Qurân”.[20]
F. Metodologi Penafsiran Fazlur Rahman
Seperti orang-orang Islam pada umumnya, Rahman mengakui bahwa al-
Qur’an adalah wahyu yang secara literal diwahyukan kepada Nabi Muhammad
SAW, ia juga mengakui bahwa al-Qur’an adalah kalam ilahi. Namun,
menurutnya al-Qur’an juga merupakan perkataan Muhammad.[21]
Pernyataan inilah yang membuatnya dianggap munkir al-Qur’an oleh kaum
tradisionalis dan fundamentalis.[22]
Menurutnya, kaum muslim dewasa ini tengah membutuhkan suatu teori yang
memadai untuk menafsirkan al-Qur’an bagi kebutuhan-kebutuhan mereka
yang secara khusus memberi ciri kepada ajaran sosial al-Qur’an. Rahman
memandang bahwa para mufasir klasik dan abad pertengahan telah
memperlakukan al-Qur’an secara atomistik (ayat per ayat) meski terkadang
mereka memberikan rujukan silang ketika menafsirkan suatu ayat, tapi hal ini
tidak dilakukan secara sistematis. Karena itu, tafsir-tafsir mereka tidak
menghasilkan suatu weltanschaung (pandangan-dunia) yang kohesif dan
bermakna bagi kehidupan secara keseluruhan. [23] metode-metode atau
prisip-prinsip penafsiran al-Qur’an (ushul al-tafsir) yang dibuat oleh para
Ulama merupakan jasa besar bagi pemahaman al-Qur’an dan hal ini
merupakan hal yang sangat penting bagi pemahaman al-Qur’an. Namun,
walaupun demikian, terdapat suatu kebutuhan mendesak terhadap teori
hermeneutik yang akan menolong kita untuk memahami makna al-Qur’an
secara utuh dan menyeluruh.[24]
Bagi Rahman, bagian dari tugas untuk memahami pesan al-Qur’an sebagai
suatu kesatuan adalah mempelajarinya dengan sebuah latar belakang . latar
belakang langsungnya adalah aktivitas Nabi sendiri dan perjuangannya selama
dua puluh tiga tahun dibawah bimbingan al-Qur’an.[25] Selanjutnya, ia
menawarkan metodologi penafsiran yang –menurutnya– tepat untuk
menafsirkan al-Qur’an.[26] Proses penafsiran yang Rahman tawarkan
merupakan gerakan ganda (double movement), dari situasi sekarang ke masa
al-Qur’an diturunkan dan kembali lagi ke masa kini. Berikut ungkapannya:
Proses penafsiran yang diusulkan disini terdiri dari suatu gerakan ganda, dari
situasi sekarang ke masa al-Qur’an diturunkan dan kembali lagi ke masa kini.
Al-Qur’an adalah respons ilahi, melalui ingatan dan pikiran Nabi, kepada situasi
moral sosial Arab pada masa Nabi, khususnya kepada masalah-masalah
masyarakat dagang masyarakat Makkah pada masanya.[27]
Jadi, menurutnya al-Qur’an turun untuk menjawab problem-problem yang
terjadi pada masyarakat Arab, sehingga untuk mengkontekstualisasikannya
pada masa kini diperlukan pengetahuan historis yang menjadi latar belakang
turunnya suatu ayat. Tidak hanya itu, situasi Makkah sebelum Islam datang
pun memerlukan pemahaman yang mendalam. Didalamnya juga mencakup
perihal pranata-pranata sosial, kehidupan ekonomis, dan hubungan-hubungan
politik. Peran penting suku Quraisy dan pengaruh kekuasaan relogio-
ekonomisnya dikalangan orang-orang Arab harus difahami.[28] Double
movement yang diusung Rahman sebagaimana pernyataannya:
Gerakan pertama yang terdiri dari dua langkah yaitu: pertama, orang harus
memahami arti atau makna dari suatu pernyataan dengan mengkaji situasi
atau problem historis dimana pernyataan al-Qur’an tersebut menjadi
jawabannya. Sehingga akan menghasilkan pemahaman makna al-Qur’an
sebagai suatu keseluruhan disamping dalam batas-batas ajaran-ajaran khusus
yang merupakan respons terhadap situasi-situasi khusus. Langkah kedua,
adalah menggeneralisasikan jawaban-jawaban spesifik tersebut dan
menyatakannya sebagai pernyataan-pernyataan yang memiliki tujuan-tujuan
moral-sosial umum yang dapat disaring dari ayat-ayat spesifik dalam sinaran
latar belakang sosio-historis dan rationes legis yang sering dinyatakan oleh
ayat sendiri. Yang harus diperhatikan selama langkah ini adalah ajaran Al-
Quran sebagai keseluruhan, sehingga setiap arti yang ditarik, setiap hukum
yang disimpulkan dan setiap tujuan yang dirumuskan koheren satu sama lain.
Ini sesuai dengan klaim Al-Quran sendiri bahwa ajarannya tidak mengandung
kontradiksi-dalam dan koheren secara keseluruhan. Langkah ini juga bisa dan
selayaknya dibantu oleh pelacakan terhadap pandangan-pandangan kaum
muslim awal. Menurut Rahman, sampai sekarang sedikit sekali usaha yang
dilakukan untuk memahami Al-Quran secara keseluruhan.[29]
Gerakan pertama Rahman terdiri dari dua langkah, yakni memahami suatu
ayat sesuai dengan konteksnya pada masa al-Qur’an turun (asbab al-nuzul),
sehingga dengan hal ini akan dihasilkan penafsiran yang obyektif.[30] Dan
selanjutnya hasil pemahaman tersebut degeneralisasikan. Beliau
menggunakan konsep “al-‘ibrah bi’umūm al-lafz lā bi khusūs al-
sabab”.Selanjutnya mengenai gerakan kedua, Rahman menyatakan:
Sementara gerakan yang pertama mulai dari hal-hal yang spesifik lalu ditarik
menjadi prinsip-prinsip umum dan nilai-nilai moral jangka panjang, maka
gerakan kedua ditempuh dari prinsip umum ke pandangan spesifik yang harus
dirumuskan dan direalisasikan ke dalam kehidupan sekarang. Artinya, ajaran-
ajaran yang bersifat umum harus ditubuhkan (embodied) dalam konteks
sosio-historis yang kongkrit di masa sekarang. Ini sekali lagi memerlukan
adanya kajian yang cermat atas situasi sekarang sehingga situasi sekarang
bisa dinilai dan dirubah sesuai dengan prioritas-prioritas moral tersebut.
Apabila kedua momen gerakan ini ditempuh secara mulus, maka perintah Al-
Quran akan menjadi hidup dan efektif kembali. Momen gerakan kedua ini juga
berfungsi sebagai alat koreksi terhadap momen pertama, yakni terhadap hasil-
hasil dari penafsiran. Apabila hasil-hasil pemahaman gagal diaplikasikan
sekarang, maka tentunya telah terjadi kegagalan baik dalam memahami Al-
Quran maupun dalam memahami situasi sekarang. Sebab, tidak mungkin
bahwa sesuatu yang dulunya bisa dan sungguh-sungguh telah direalisasikan
ke dalam tatanan spesifik di masa lampau, dalam konteks sekarang tidak
bisa.[31]
Selanjutnya, gerakan kedua harus bisa membaca situasi masa kini dengan
cermat dan menerapkan apa yang dihasilkan dalam gerakan pertama kedalam
situasi masa kini. Jika hasil pemahaman gagal diterapkan, maka letak
kesalahan bisa jadi pada gerakan pertama dalam memahami al-Qur’an
maupun dalam memahami situasi masa sekarang.
Sebagai contoh aplikasi dari metodologi penafsirannya adalah mengenai riba
dan zakat. Menurut Rahman, untuk mengatasi orang-orang lalai karena
kekayaannya, al-Qur’an mengambil dua buah kebijaksanaan penting yakni
melarang riba dan menetapkan zakat.
Rahman mengungkapkan bahwa tujuan al-Quran adalah menegakkan tata
masyarakat yang ethis dan egalitarian. Hal ini terlihat dalam celaannya
terhadap disekuilibrium ekonomi dan ketidak adilan sosial di dalam
masyarakat Makkah pada waktu itu.