Anda di halaman 1dari 4

Kharisma Zulfa

1908304073

Pemikiran Metode Tafsir Jalaluddin Rahmat dengan Kerangka Analisis Metodologis Menurut
Islah Gusmian

Riwayat Hidup

Jalaluddin Rakhmat, lebih dikenal dengan sebutan Kang Jalal, lahir di Bojongsalam, Rancaekek,
Bandung pada tanggal 29 Agustus 1949 dari pasangan H. Rakhmat dan Syaja’ah. Ia berasal dari
keluarga terdidik terutama dalam bidang agama Islam. Kakeknya merupakan seorang pengasuh
pesantren di daerah Cicalengka. Sementara ayahnya adalah seorang kiai atau ajengan sekaligus
lurah kampung yang pernah ikut serta dalam perjuangan gerakan keagamaan untuk mendirikan
negara Islam.

Pendidikan formal Rakhmat dimulai dari SD di kampungnya, kemudian melanjutkan jenjang


pendidikan menengahnya di SMP Muslimin III, Bandung. Selesai SMP, ia melanjutkan
pendidikannya di SMA 2 Bandung. Dengan bekal ijazah SMA, ia melanjutkan studinya di
Fakultas Publisistik Universitas Padjadjaran yang sekarang bernama Fakultas Ilmu Komunikasi.
Bersamaan dengan kuliah di Fakultas Publisistik, ia juga belajar di Pendidikan Guru Sekolah
Lanjutan Pertama (PGSLP). Terkait pendidikan agama, sejak SD ibunya telah menitipkannya
kepada kiai Sidik, seorang kiai NU. Dari kiai inilah, Rakhmat mengenal ilmu nah}w dan s}arf.
Menurut pengakuan Rakhmat sebagaimana dikutip Rosyidi, guru ini memiliki banyak kelebihan
terutama penguasaan literatur dan kemampuan bahasa Arabnya yang fasih. Dalam posisinya
sebagai dosen, ia memperoleh beasiswa Fulbright dan masuk Iowa State University. Ia
mengambil kuliah Komunikasi dan Psikologi. Tetapi ia lebih banyak memperoleh pengetahuan
dari perpustakaan universitasnya. Berkat kecerdasannya, ia lulus dengan predikat magna cum
laude. Karena memperoleh 4.0 grade point average, ia terpilih menjadi anggota Phi Kappa Phi
dan Sigma Delta Chi.

Pada tahun 1981, ia kembali ke Indonesia dan menulis buku Psikologi Komunikasi. Ia
merancang kurikulum di fakultasnya, memberikan kuliah dalam berbagai disiplin, termasuk
Sistem Politik Indonesia. Kuliah-kuliahnya terkenal menarik perhatian para mahasiswa yang
diajarnya. Ia pun aktif membina para mahasiswa di berbagai kampus di Bandung. Ia juga
memberikan kuliah Etika dan Agama Islam di ITB dan IAIN Bandung, serta mencoba
menggabungkan sains dan agama.

Sebagai ilmuwan ia menjadi anggota berbagai organisasi profesional, nasional dan internasional,
serta aktif sebagai narasumber dalam berbagai seminar dan konferensi. Sebagai aktivis, ia
membidani sekaligus menjadi Ketua Dewan Syura Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia (IJABI)
sejak awal lahirnya pada tanggal 1 Juli 2000. Aktivitasnya sebagai intelektual dibuktikan dengan
terbitnya puluhan buku dalam berbagai disiplin keilmuan dan tema. Lebih dari 45 buku sudah
ditulis olehnya dan diterbitkan oleh beberapa penerbit terkemuka.

Rakhmat adalah nama yang identik dengan perkembangan tasawuf kota (urban sufism). Hal ini
bisa dilihat ketika ia mendirikan Pusat Kajian Tasawuf (PKT): Tazkia Sejati, OASE-Bayt Aqila,
Islamic College for Advanced Studies (ICAS-Paramadina), Islamic Cultural Center (ICC) di
Jakarta, juga PKT Misykat di Bandung. Di lembaga-lembaga inilah, secara intensif ia
menyampaikan pengajian atau kuliah-kuliah tasawufnya. Ia juga aktif membina Badan
Perjuangan Kebebasan Beragama dan Berkepercayaan (BPKBB), sebuah forum dialog
silaturahmi dan kerjasama antar tokoh pemimpin agama-agama dan aliran kepercayaan di
Indonesia Mulai Agustus 2006, ia membina The Jalal-Center for Enlightenment (JCE) di Jakarta.

Sejarah Penulisan Kitab Tafsir

Pada kata pengantar, Rakhmat memaparkan posisi tafsir sufi dalam lintasan sejarah Islam. Ia
memulai pembahasan dengan kondisi tafsir sufi pada masa Abu ‘Abd al-Rah}ma>n as-Sulami>
dan Ibn ‘Arabi> yang tafsirnya kurang diterima atau mendapat respon negatif dari para ulama
pada masanya, karena tafsirnya dianggap menyimpang dari Islam dan Alquran.

Pada saat memulai penulisan, Rakhmat mengakui bahwa ia menulis karya ini dengan penuh
ketakutan. Masalahnya, term sufi pada saat itu diidentikkan dengan kesesatan. Saat menulis tafsir
ini, Rakhmat kedatangan tamu, Shaykh Muh}ammad Taqi Baqir, sekretaris umum majalah al-
Muslim al-H{urr. Rakhmat menceritakan bahwa dirinya sedang menyusun tafsir sufi. Mendengar
hal ini, Shaykh tersebut menasehati Rakhmat bahwa menulis tafsir sufi itu ibarat sedang
melakukan tugas berat dan berbahaya.

Bahaya pertama datang dari penulis itu sendiri, karena jika perjalanan penulis memang tanggung
dan tidak selesai, maka penulisnya akan seperti sopir yang menarik banyak orang ke dalam
jurang. Sedangkan bahaya kedua datang dari pembaca. Mereka tidak mengerti apa yang penulis
sampaikan, lalu berusaha membentuk pengertian sendiri, atau mereka memahaminya dengan
keliru. Kekeliruan pemahaman awam ini akan dinisbatkan kepada sang penulis.

Makna batiniah maka tafsir sufi mengabaikan makna lahiriah. Akibatnya, syariat bisa dilecehkan
atau ditinggalkan sama sekali. Kedua, pengambilan makna batiniah sering kali mengabaikan
hukum-hukum bahasa Arab. Makna denotatif dari berbagai kata ditundukkan pada makna
konotatif, yang diperoleh seseorang dari pengalaman rohaniahnya. Pengalaman rohaniah pada
gilirannya sangat subyektif dan irasional atau suprarasional yang sulit untuk diverifikasi. Ketiga,
tafsir sufi dicurigai karena tasawuf dianggap sebagai ajaran yang menyimpang dari Alquran dan
Sunnah, atau lebih buruk lagi, sebagai ajaran kaum musyrikin yang dimasukkan ke dalam ajaran
Islam.

buku Tafsir Sufi Al-Fatihah karya Jalaluddin Rakhmat ini dapat dikategorikan sebagai salah satu
bentuk tafsir Indonesia kontemporer yang disajikan dalam bentuk tematik klasik meskipun baru
bersifat pengantar. Hal ini dapat dicermati dari pemilihan judul yang cenderung menggambarkan
tema khusus tentang surat Al-Fatihah. Meskipun sampai penulisan makalah ini, buku ini masih
belum masuk ke dalam penafsiran surat al-Fatihah. Karena itu, penambahan kata Mukadimah di
belakang judul Tafsir Sufi al-Fatihah mungkin sedikit mengklarifikasi judul besarnya.

Metode Penulisan dan Penafsirannya

Seperti diketahui, ada beberapa metode yang berkembang dalam penafsiran Alquran. Secara
garis besar penafsiran Alquran dilakukan melalui empat cara atau metode, yaitu: (1) metode
ijmali (global), (2) metode tah}lili (analitis), (3) metode muqaran (perbandingan), dan (4) metode
mawd}u‘i (tematik). Metode ijmali digunakan untuk menguraikan makna-makna umum yang
dikandung oleh ayat yang ditafsirkan. Dengan kata lain, metode ini berupaya menafsirkan ayat
dengan mengemukakan makna ayat secara global.

Kesulitan yang muncul ketika mencoba untuk menyimpulkan metode penafsiran yang dipakai
buku ini adalah karena belum adanya ayat dari al-Fatihah yang dibahas. Karena buku tafsir ini
masih berupa mukadimah dari Al-Fatihah saja, sehingga pembahasan yang dominan masih
sekitar pengantar menuju tafsir al-Fatihah. Begitu juga ketika menyebut tentang nama-nama al-
Fatihah, ia mengutip beberapa ayat yang mengandung nama-nama lain surat tersebut. Salah satu
contohnya adalah nama lain dari surat al-Fatihah yaitu al-h}amd. Ia mengutip beberapa ayat
Alquran yang memuat ucapan syukur para Nabi a.s. yang menggunakan kalimat al-hamdu lillah.

Metode Hermeneutik Dan Corak penafsiran

Dalam perkembangannya, tafsir Alquran mengalami kategorisasi corak yang beragam. Shihab
mengatakan bahwa corak penafsiran yang dikenal selama ini, antara lain: (a) corak sastra bahasa,
(b) corak filsafat dan teologi, (c) corak penafsiran ilmiah, (d) corak fiqih atau hukum, (e) corak
tasawuf, dan (f) corak sastra budaya kemasyarakatan yang mulai mendapat perhatian serius pada
masa Muhammad Abduh (1849-1905). Corak yang disebutkan terakhir ini merupakan suatu
corak tafsir yang menjelaskan petunjuk-petunjuk ayat-ayat Alquran yang berkaitan langsung
dengan kehidupan masyarakat.

Terkait dengan corak tafsir sufi, Süleyman Ates, seorang ulama Turki yang menyusun beberapa
karya tentang sejarah dan tipologi tafsir sufi terhadap Alquran, mengkategorikan karya tafsir sufi
ke dalam lima periode, yaitu: (a) periode formatif; (b) periode sistematisasi; (c) periode tumbuh
dan berkembang; (d) periode dominasi Ibn ʿArabī dengan konsepnya tentang ‘oneness of being’
(waḥdat al-wujūd); dan (e) periode Turki Uthmani

Corak tafsir sufi mulai berkembang di kalangan sufi pada sekitar abad kedua Hijriyah. Para
pendukung tafsir sufi lebih memprioritaskan aspek spiritual Islam dibanding politik, hukum dan
dimensi literal. Ulama sufi sering memilih untuk mengeksplorasi pertanyaan mengenai
pengenalan terhadap Allah, alam, atau eksistensi manusia dan hubungannya dengan Tuhan.
Mereka percaya bahwa dimensi mistik dari teks Alquran sangat terkait dengan kondisi spiritual
manusia dan tidak mungkin dimengerti.

Aspek lokalitas tafsir

Karya tafsir Al-Qur’an Indonesia lahir dari ruang sosial-budaya yang beragam. Sejak era ‘Abd
ar-Rauf As-Sinkili (1615-1693 M) pada abad 17 M hingga era M. Quraish Shihab pada era awal
abad 21 M.Pada rentang waktu lebih empat abad itu, karya-karyatafsir AlQur’an Indonesia lahir
dari tangan para intelektual Muslim dengan basis sosial yang beragam. Mereka ini juga yang
memainkan peran sosial yang beragam pula, seperti sebagai penasihat pemerintah (mufti), guru,
atau kiai di pesantren, surau, atau madrasah. Peranperan ini mencerminkan basis sosial di mana
mereka mendedikasikan hidupnya untuk agama dan masyarakat.

Tafsir Nusantara merupakan wujud dari pengkajian dan penulisan Al-Qur'an di Nusantara.
Hadirnya tafsir Al-Qur’an di Nusantara tidak lepas dari proses pengkajian dan penulisannya
sebagai bagian dari upaya Ulama’ dalam memahami dan menyebarkan ajaran Islam. Dalam
konteks ini, nuansa lokalitas turut mewarnai ragam tafsir Al-Qur'an, baik dalam pengkajian tafsir
Al-Qur'an di mushalla, masjid, dan pondok pesantren maupun penulisan tafsir dengan
menggunakan simbol-simbol lokal berupa pegon atau latin. Di sisi lain, kontribusi ulama Timur
Tengah banyak mempengaruhi ulama Nusantara yang membuat silsilah pemikiran yang
membentuk kecenderungan berbeda di setiap musimnya. Hal ini tampak pada sosok Jalaludin
As-Suyuti dengan Tafsir Al-Jalalain dalam bentuk tafsir Ijmaly, sangat berpengaruh terhadap
produk-produk tafsir nusantara pada masa klasik seperti karya Tarjuman Al-Mustafid karya
Abdur Rauf As-Sinkili.

Di zaman modern ini, sosok Muhammad Abduh melalui karyanya Tafsir Al-Manar, dengan
menggunakan metode tahlily dan pendekatan Adab al-Ijtima’i juga memberikan pengaruh yang
sangat kuat terhadap lahirnya produk-produk ulama lokal. Mulai dari Tafsir Al-Qur’an Al-Karim
oleh Muhammad Yunus, Tafsir Al-Azhar oleh Buya HAMKA dan Tafsir Al-Misbah oleh
Quraish Shihab juga menggunakan pendekatan sosial. Puncaknya, ketika pengaruh linguistik
modern pada periode kontemporer dengan pendekatan kontekstual seperti Major Times of
Qur’an oleh Fazlur rahman menginspirasi pemikiran ulama nusantara sebagai sosok Nurcholis
Majid yang mempengaruhi penelitian tafsir ayat-ayat tematik di universitas-universitas Islam.
Oleh karena itu, kajian ini akan fokus pada tafsir ulama lokal dalam dinamika kajian Al-Quran di
Indonesia yang berkembang saat ini, seperti halnya tema-tema sosial yang meliputi, terminologi
Kafir, Ahlul Kitab dan Non-Muslim.

Anda mungkin juga menyukai