Anda di halaman 1dari 22

TELAAH KRITIS BUKU “TAFSIR SUFI AL-FATIHAH”

KARYA JALALUDDIN RAKHMAT

Tafsi>r merupakan istilah yang sering digunakan dalam


menerjemahkan dan menjelaskan sesuatu, terlebih lagi makna Alquran.
Menurut salah satu pendapat, istilah tafsi>r merupakan bentuk turunan dari
kata fasr yang mengandung arti ‘menjelaskan secara rinci, mengungkapkan
dan membuat sesuatu menjadi mudah dipahami.1 Al-Zarkasyi>,
sebagaimana dikutip al-Ma>liki,> menyebutkan bahwa tafsir merupakan
alat untuk memahami kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad, menjelaskan makna-maknanya, dan mengambil hukum dan
hikmahnya.2 Sementara itu, al-Zarqa>ni> mendefinisikan ilmu tafsir
sebagai ilmu yang yang membahas Alquran dari segi maksud-maksudnya
sebagaimana yang dikehendaki Allah sejauh kemampuan manusia.3
Dalam lintasan sejarah peradaban Islam, tafsir telah mengalami
perkembangan yang cukup pesat. Dari mulai periode Nabi, sahabat,
ta>bi‘i>n, ta>bi‘ al-ta>bi‘i>n, dan seterusnya sampai ke para mufasir
periode berikutnya. Pada setiap kurun waktu dan berbagai tempat itulah,
muncul para mufasir dengan kitab tafsirnya masing-masing.4 Tidak
terkecuali di Indonesia, khazanah tafsir Alquran juga mengalami
pertumbuhan dan perkembangan seiring zaman. Baidan menjelaskan
bahwa perkembangan tafsir di Indonesia berbeda dengan yang terjadi di
Timur Tengah dikarenakan faktor latar belakang budaya dan bahasa.
Perkembangan tafsir Alquran di Indonesia melalui proses yang lebih lama
dibandingkan dengan proses yang terjadi di tempat asalnya.5

1
Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’a>n: Towards a Contemporary Approach
(London and New York: Routledge, 2006), 57.
2
Muh}ammad ibn ‘Alawi> al-Ma>liki>, Samudra Ilmu-ilmu Al-Quran:
Ringkasan Kitab al-Itqa>n fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n Karya al-Ima>m Jala>l al-Di>n al-
Suyu>thi (terj. Zubdah al-Itqa>n fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n) (Bandung: Arasy Mizan,
2003), 277.
3
Muh}ammad ‘Abd al-‘Az}im al-Zarqa>ni>, Mana>hil al-‘Irfa>n fi> ‘Ulu>m
al-Qur’a>n: al-Juz’ ath-Tha>ni> (Beirut: Da>r al-Kita>b al-‘Arabi>, 1995), 6.
4
Achlami HS, MA. “Kontroversi di Sekitar Tafsir Sufi.” 17 Maret 2012. Blog
LSQ Fakultas Ushuluddin IAIN Raden Intan Lampung. http://laboratoriumstudial-
quran.blogspot.com/2012/03/kontroversi-di-sekitar-tafsir-sufi.html. Diakses pada 17 April
2014.
5
Nashruddin Baidan, Perkembangan Tafsir al-Quran di Indonesia (Yogyakarta:
Tiga Serangkai, 2003), 31.

1
Lebih lanjut Baidan memaparkan bahwa periode penafsiran
Alquran di Indonesia dapat dibagi menjadi empat periode, yaitu periode
klasik, periode pertengahan, periode pramodern dan periode modern
sampai sekarang. Penetapan periode ini didasarkan pada ciri-ciri tafsir
yang terdapat di Indonesia. Dalam konteks pembahasan periode tafsir
Quran di Indonesia, Baidan membatasi pengertian tafsir sebagai upaya
menjelaskan kandungan Alquran kepada bangsa Indonesia melalui bahasa
yang digunakan bangsa tersebut, baik dalam bahasa nasional (bahasa
Indonesia) maupun bahasa daerah, seperti bahasa Melayu, Jawa, dan
Sunda.6
Salah satu karya tafsir yang berkembang pada periode modern
hingga sekarang adalah Tafsir Sufi al-Fatihah: Mukadimah karya
Jalaluddin Rakhmat. Karya yang telah diterbitkan oleh dua penerbit
ternama di Bandung7 ini merupakan salah satu karya tafsir yang
membicarakan penafsiran Alquran dari perspektif sufistik. Karya ini juga
sempat menghebohkan negeri jiran karena termasuk buku yang dilarang
peredarannya.8 Tulisan ini akan mencoba membahas karya tersebut dengan
memaparkan biografi penulis, motivasi dan latar belakang penulisan,
sumber dan metode penafsiran, corak tafsir dan kekhasan atau karakteristik
tafsir ini dibanding tafsir Indonesia kontemporer lainnya.

A. Sekilas Biografi Penulis


Jalaluddin Rakhmat, lebih dikenal dengan sebutan Kang Jalal, lahir
di Bojongsalam, Rancaekek, Bandung pada tanggal 29 Agustus 1949 dari
pasangan H. Rakhmat dan Syaja’ah. Ia berasal dari keluarga terdidik
terutama dalam bidang agama Islam. Kakeknya merupakan seorang
pengasuh pesantren di daerah Cicalengka. Sementara ayahnya adalah

6
Baidan, Perkembangan Tafsir al-Quran di Indonesia, 31-32.
7
Buku Tafsir Sufi Al-Fatihah: Mukadimah ini diterbitkan pertama kali oleh PT.
Remaja Rosdakarya Bandung pada tahun 1999. Kemudian pada tahun 2012, PT. Mizan
Pustaka menerbitkan kembali dengan sampul dan kemasan baru tanpa perubahan konten.
8
Kementerian Dalam Negeri Malaysia melarang peredaran tiga buku terbitan
Indonesia dikarenakan buku-buku tersebut dinilai mengandung materi yang bertentangan
dengan ajaran Islam di Malaysia. Sekretaris bidang teks Alquran dan Penerbitan, Abdul
Aziz Mohamed Nor menyebutkan ketiga buku yang dilarang tersebut berjudul “Pengantar
Ilmu-ilmu Islam”, “Dialog Sunnah-Syiah”, dan “Tafsir Sufi Al-Fatihah Mukadimah.”
(Lihat “Tiga Buku Indonesia Dilarang Beredar di Malaysia,” 20 Maret 2012, Republika
Online, http://www.republika.co.id/berita/ nasional/umum/12/03/20/m15yuj-tiga-buku-
indonesia-dilarang-beredar-di-malaysia, diakses pada 18 April 2014).

2
seorang kiai atau ajengan sekaligus lurah kampung yang pernah ikut serta
dalam perjuangan gerakan keagamaan untuk mendirikan negara Islam.9
Pendidikan formal Rakhmat dimulai dari SD di kampungnya,
kemudian melanjutkan jenjang pendidikan menengahnya di SMP
Muslimin III, Bandung. Selesai SMP, ia melanjutkan pendidikannya di
SMA 2 Bandung. Dengan bekal ijazah SMA, ia melanjutkan studinya di
Fakultas Publisistik Universitas Padjadjaran yang sekarang bernama
Fakultas Ilmu Komunikasi. Bersamaan dengan kuliah di Fakultas
Publisistik, ia juga belajar di Pendidikan Guru Sekolah Lanjutan Pertama
(PGSLP).
Terkait pendidikan agama, sejak SD ibunya telah menitipkannya
kepada kiai Sidik, seorang kiai NU. Dari kiai inilah, Rakhmat mengenal
ilmu nah}w dan s}arf. Menurut pengakuan Rakhmat sebagaimana dikutip
Rosyidi, guru ini memiliki banyak kelebihan terutama penguasaan literatur
dan kemampuan bahasa Arabnya yang fasih.10
Dalam posisinya sebagai dosen, ia memperoleh beasiswa Fulbright
dan masuk Iowa State University. Ia mengambil kuliah Komunikasi dan
Psikologi. Tetapi ia lebih banyak memperoleh pengetahuan dari
perpustakaan universitasnya. Berkat kecerdasannya, ia lulus dengan
predikat magna cum laude. Karena memperoleh 4.0 grade point average,
ia terpilih menjadi anggota Phi Kappa Phi dan Sigma Delta Chi.
Pada tahun 1981, ia kembali ke Indonesia dan menulis buku
Psikologi Komunikasi. Ia merancang kurikulum di fakultasnya,
memberikan kuliah dalam berbagai disiplin, termasuk Sistem Politik
Indonesia. Kuliah-kuliahnya terkenal menarik perhatian para mahasiswa
yang diajarnya. Ia pun aktif membina para mahasiswa di berbagai kampus
di Bandung. Ia juga memberikan kuliah Etika dan Agama Islam di ITB dan
IAIN Bandung, serta mencoba menggabungkan sains dan agama.
Kegiatan ekstrakurikulernya dihabiskan untuk berdakwah dan
berkhidmat kepada kaum mus}tad}áfi>n. Ia membina jemaat di masjid-
masjid dan tempat-tempat kumuh gelandangan. Ia terkenal sangat vokal
mengeritik kezaliman, baik yang dilakukan oleh elit politik maupun elit
agama. Akibatnya ia sering harus berurusan dengan aparat militer, dan
akhirnya dipecat sebagai pegawai negeri.

9
Rosyidi, Dakwah Sufistik Kang Jalal: Menentramkan Jiwa, Mencerahkan
Pikiran (Jakarta: Paramadina, 2004), 29.
10
Rosyidi, Dakwah Sufistik Kang Jalal, 30.

3
Ia meninggalkan kampusnya dan melanjutkan pengembaraan
intelektualnya ke kota Qum, Iran, untuk belajar ‘irfa>n dan filsafat Islam
dari para mullah tradisional. Sepulang dari Iran, ia ke Australia untuk
mengambil studi tentang perubahan politik dan hubungan internasional
dari para akademisi moderen di Australian National University (ANU).
Dari ANU inilah ia meraih gelar Doktor.
Ia mengajar di beberapa perguruan tinggi lainnya dalam Ilmu
Komunikasi, Filsafat Ilmu, Metode Penelitian, dan lain-lain. Secara khusus
ia pun membina kuliah Mysticism (‘Irfa>n/Tasawuf) di Islamic College for
Advanced Studies (ICAS), Universitas Paramadina yang ia dirikan
bersama almarhum Nurcholish Madjid, Haidar Bagir, dan Muwahidi sejak
tahun 2002.
Di tengah kesibukannya mengajar dan berdakwah di berbagai kota
di Indonesia, ia tetap menjalankan tugas sebagai Kepala SMU Plus
Muthahhari Bandung, sekolah yang yang didirikannya 1 Juli 1992 dan kini
menjadi sekolah model (Depdiknas) untuk pembinaan akhlak. Ia juga
mendirikan Sekolah Cerdas Muthahhari untuk jenjang sekolah dasar pada
tanggal 11 Februari 2007 dan SMP Bahtera pada tanggal 12 Februari 2010
di Bandung, sekaligus melengkapi jenjang sekolah SMU yang sudah
didirikan sebelumnya.
Sebagai ilmuwan ia menjadi anggota berbagai organisasi
profesional, nasional dan internasional, serta aktif sebagai narasumber
dalam berbagai seminar dan konferensi. Sebagai aktivis, ia membidani
sekaligus menjadi Ketua Dewan Syura Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia
(IJABI) sejak awal lahirnya pada tanggal 1 Juli 2000. Aktivitasnya sebagai
intelektual dibuktikan dengan terbitnya puluhan buku dalam berbagai
disiplin keilmuan dan tema. Lebih dari 45 buku sudah ditulis olehnya dan
diterbitkan oleh beberapa penerbit terkemuka.
Rakhmat adalah nama yang identik dengan perkembangan tasawuf
kota (urban sufism). Hal ini bisa dilihat ketika ia mendirikan Pusat Kajian
Tasawuf (PKT): Tazkia Sejati, OASE-Bayt Aqila, Islamic College for
Advanced Studies (ICAS-Paramadina), Islamic Cultural Center (ICC) di
Jakarta, juga PKT Misykat di Bandung. Di lembaga-lembaga inilah, secara
intensif ia menyampaikan pengajian atau kuliah-kuliah tasawufnya. Ia juga
aktif membina Badan Perjuangan Kebebasan Beragama dan
Berkepercayaan (BPKBB), sebuah forum dialog silaturahmi dan kerjasama
antar tokoh pemimpin agama-agama dan aliran kepercayaan di Indonesia.

4
Mulai Agustus 2006, ia membina The Jalal-Center for Enlightenment
(JCE) di Jakarta.
Refleksi dan perjalanan hidup Rakhmat mengilhaminya untuk
membangun jembatan ukhuwah sesama Muslim apapun mazhabnya.
Puncak dari ikhtiar Rakhmat dalam menjembatani ukhuwah tersebut
adalah ketika menjadi pengusung dan pencetus Majelis Ukhuwwah Sunni
Syiah Indonesia (MUHSIN). Bersama pengurus pusat Dewan Masjid
Indonesia, H. Daud Poliradja, Rakhmat mendeklarasikan MUHSIN pada
tanggal 20 Mei 2011 di masjid Akbar Kemayoran Jakarta.11
Dengan latar belakang keluarga, pendidikan, sekaligus sosial
budaya yang disebutkan di atas, secara umum pemikiran Jalaluddin
Rakhmat meliputi aspek pendidikan, fikih, tafsir, psikologi, komunikasi,
sosial, sampai tasawuf. Di antara karya Rakhmat yang berkaitan dengan
diskursus keagamaan antara lain: Islam Alternatif (1986), Islam Aktual
(1991), Renungan-Renungan Sufistik (1991), Reformasi Sufistik (1998),
Meraih Cinta Ilahi: Pencerahan Sufistik (1999), Tafsir Sufi Al-Fâtihah
(1999, 2012), Rindu Rasul (2001), Dahulukan Akhlak di Atas Fikih (2002),
Psikologi Agama (2003), Madrasah Ruhaniah (2005), Islam dan
Pluralisme: Akhlak Al-Quran dalam Menyikapi Perbedaan (2006), Al-
Mushthafa: Manusia Pilihan yang Disucikan (2008), The Road to Allah
(2008), The Road to Muhammad (2009), Tafsir Kebahagiaan: Pesan Al-
Quran Menyikapi Kesulitan Hidup (2010), Jalan Rahmat (2011), dan
Sunnah Nabawiyah: Kajian 14 Hadis (2012).12

B. Latar Belakang dan Motivasi Penulisan


Pada kata pengantar, Rakhmat memaparkan posisi tafsir sufi dalam
lintasan sejarah Islam. Ia memulai pembahasan dengan kondisi tafsir sufi
pada masa Abu ‘Abd al-Rah}ma>n as-Sulami> dan Ibn ‘Arabi> yang
tafsirnya kurang diterima atau mendapat respon negatif dari para ulama

11
Untuk biografi lebih lengkap, silakan lihat Gaus, F. Ahmad Ahmad Y.
Samantho dan Mustamin al-Mandary. Biografi Singkat. 2012. Website Majulah IJABI.
http://www.majulah-ijabi.org/biografi-singkat.html. Diakses pada tanggal 19 April 2014.
12
Senarai selengkapnya mengenai karya kang Jalal dapat diakses melalui tautan
berikut ini, http://www.majulah-ijabi.org/buku.html, diakses pada tanggal 18 April 2014
(Lihat juga Rosyidi, Dakwah Sufistik Kang Jalal, 36-41 dan Ahmad Sahidin, “Jalaluddin
Rakhmat, Buku dan PDIP,” 23 Februari 2014, Website Kompasiana,
http://m.kompasiana.com/post/read/ 637089/2/jalaluddin-rakhmat-buku-dan-pdip.html,
diakses pada tanggal 20 April 2014, juga http://ijabi-balikpapan.weebly.com/buku-buku-
kang-jalal.html, diakses pada tanggal 20 April 2014)

5
pada masanya, karena tafsirnya dianggap menyimpang dari Islam dan
Alquran.13
Dari beberapa pernyataan Rakhmat dalam kata pengantar buku,
dapat disebutkan bahwa salah satu latar belakang penulisan karya ini
adalah untuk memberikan suasana yang baru dalam tafsir yang bercorak
sufistik, serta menjelaskan takwil esoteris yang acap kali menyebabkan
tafsir sufi dianggap sesat dan menyesatkan. Buku ini dimaksudkan agar
para pembaca tidak asal menuduh bahwa tafsir yang bercorak sufistik
adalah sesat atau berbicara terlalu jauh dari batas Islam dan Alquran. Hal
ini diungkapkan Rakhmat melalui pernyataannya bahwa membatasi
Alquran hanya pada makna lahirnya saja akan mendangkalkan samudera
ilahiah yang dalam dan luasnya tak terhingga.14
Pada saat memulai penulisan, Rakhmat mengakui bahwa ia menulis
karya ini dengan penuh ketakutan. Masalahnya, term sufi pada saat itu
diidentikkan dengan kesesatan. Saat menulis tafsir ini, Rakhmat
kedatangan tamu, Shaykh Muh}ammad Taqi> Ba>qir, sekretaris umum
majalah al-Muslim al-H{urr. Rakhmat menceritakan bahwa dirinya sedang
menyusun tafsir sufi. Mendengar hal ini, Shaykh tersebut menasehati
Rakhmat bahwa menulis tafsir sufi itu ibarat sedang melakukan tugas berat
dan berbahaya.
Bahaya pertama datang dari penulis itu sendiri, karena jika
perjalanan penulis memang tanggung dan tidak selesai, maka penulisnya
akan seperti sopir yang menarik banyak orang ke dalam jurang. Sedangkan
bahaya kedua datang dari pembaca. Mereka tidak mengerti apa yang
penulis sampaikan, lalu berusaha membentuk pengertian sendiri, atau
mereka memahaminya dengan keliru. Kekeliruan pemahaman awam ini
akan dinisbatkan kepada sang penulis.15
Rakhmat menerima nasehat tersebut, namun sambil berusaha untuk
lebih hati-hati ia tetap melanjutkan penulisan tafsir ini seraya memohon
doa dari shaykh tersebut, meski ia sadar betul bahwa bahaya besar
mengancam di hadapan.16 Ia menegaskan bahwa dirinya bukan sedang
‘menulis tafsir’, tapi berniat hanya ‘menuliskan tafsir.’17
13
Jalaluddin Rakhmat, Tafsir Sufi Al-Fatihah Mukadimah (Bandung: Mizan,
2012), 8-10.
14
Rakhmat, Tafsir Sufi Al-Fatihah, 19.
15
Rakhmat, Tafsir Sufi Al-Fatihah, 15.
16
Rakhmat, Tafsir Sufi Al-Fatihah, 16-17.
17
Rakhmat, Tafsir Sufi Al-Fatihah, 14. Lihat juga Islah Gusmian, Khazanah
Tafsir Indonesia: Dari Hermeneutika Hingga Ideologi (Jakarta: Teraju, 2003), 89-90.

6
Selanjutnya, Rakhmat mengemukakan beberapa penyebab
keberatan kebanyakan orang terhadap tafsir sufi yang menekankan pada
tafsir esoterik dari ayat-ayat Alquran. Pertama, mereka khawatir dengan
hanya mengambil makna batiniah maka tafsir sufi mengabaikan makna
lahiriah. Akibatnya, syariat bisa dilecehkan atau ditinggalkan sama sekali.
Kedua, pengambilan makna batiniah sering kali mengabaikan hukum-
hukum bahasa Arab. Makna denotatif dari berbagai kata ditundukkan pada
makna konotatif, yang diperoleh seseorang dari pengalaman rohaniahnya.
Pengalaman rohaniah pada gilirannya sangat subyektif dan irasional atau
suprarasional yang sulit untuk diverifikasi. Ketiga, tafsir sufi dicurigai
karena tasawuf dianggap sebagai ajaran yang menyimpang dari Alquran
dan Sunnah, atau lebih buruk lagi, sebagai ajaran kaum musyrikin yang
dimasukkan ke dalam ajaran Islam.18
Sejumlah pertanyaan muncul ketika menilai karya Rakhmat ini.
Pertanyaan ini lebih ditujukan pada kategorisasi karya itu sendiri, apakah
termasuk karya tafsir atau karya tentang tafsir. Gusmian mengkategorikan
karya ini ke dalam buku tafsir dengan penyajian tematik klasik.19 Dalam
membahas karya tafsir Indonesia kontemporer, Gusmian menawarkan dua
variabel sebagai pijakan awal kategorisasi sebuah literatur bisa disebut
sebagai karya tafsir. Pertama, literatur tersebut ditulis dalam kerangka
dasar memahami teks Alquran dan bukan menjadikannya sebatas alat
legitimasi. Kedua, literatur itu bisa disusun dengan mengikuti susunan
tekstual Alquran sesuai standar mus}h}af Uthma>ni> atau secara
20
tematik.
Menurut hemat penulis, buku Tafsir Sufi Al-Fatihah karya
Jalaluddin Rakhmat ini dapat dikategorikan sebagai salah satu bentuk
tafsir Indonesia kontemporer yang disajikan dalam bentuk tematik klasik
meskipun baru bersifat pengantar. Hal ini dapat dicermati dari pemilihan
judul yang cenderung menggambarkan tema khusus tentang surat Al-
Fa>tih}ah. Meskipun sampai penulisan makalah ini, buku ini masih belum
masuk ke dalam penafsiran surat al-Fa>tih}ah. Karena itu, penambahan
kata Mukadimah di belakang judul Tafsir Sufi al-Fatihah mungkin sedikit
mengklarifikasi judul besarnya.

18
Rakhmat, Tafsir Sufi Al-Fatihah, 17-18.
19
Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, 144.
20
Rakhmat, Tafsir Sufi Al-Fatihah, 35-36

7
C. Sumber Penafsiran
Secara garis besar, sumber penafsiran tafsir terbagi menjadi tiga,
yaitu bi al-ma‘thu>r, bi al-ra’yi dan isha>ri>. Tafsir bi al-ma’thu>r
merujuk pada riwayat, sedangkan tafsir bi al-ra’yi menggunakan nalar
sebagai sumber penafsirannya dan tafsir isha>ri> mengandalkan kesan
yang diperoleh dari teks.21
Berkenaan dengan tafsir isha>ri>, Shihab menjelaskan bahwa
tafsir isha>ri> merupakan beberapa makna yang ditarik dari ayat-ayat
Alquran yang tidak didapatkan melalui bunyi lafaz ayat, melainkan dari
kesan yang muncul oleh lafaz itu sendiri dalam benak mufasir yang
mempunyai kecerahan hati dan pikiran tanpa membatalkan makna
lafaznya.22 Tafsir isha>ri> bisa diterima jika maknaya lurus dan tidak
bertentangan dengan esensi keagamaan dan juga dengan lafaz ayat, tidak
menyatakan bahwa tafsir itu satu-satunya makna untuk ayat yang ditafsir,
dan adanya korelasi antara makna yang ditarik dengan ayat.23
Sementara itu, Ibn Ashu>r sebagaimana dikutip Shihab
menjelaskan bahwa isyarat yang dikemukakan tidak boleh keluar dari tiga
macam isyarat, yaitu: (1) merupakan sesuatu yang serupa keadaannya
dengan apa yang digambarkan ayat; (2) lahir dari motivasi yang baik
sangka dan optimis; dan (3) merupakan hikmah dan pelajaran yang dipetik
oleh orang-orang yang selalu ingat dan sadar.
Secara tegas Ibn Ashu>r membatasi jika isyarat tersebut melampaui
ketiga makna di atas, maka isyarat itu mengarah sedikit demi sedikit ke
arah penafsiran kebatinan.24 Ditinjau dari aspek metodologis, tafsir
isha>ri> yang mengacu pada pengalaman spiritual penafsir atau teori
tasawuf sebenarnya termasuk salah satu representasi praktik takwil.25
Pada buku ini, Rakhmat memulai penulisannya dengan
menjelaskan pengertian tafsir dan takwil. Ia membedakan pengertian tafsir
dan takwil. Tafsir didefinisikan sebagai penjelasan tentang Alquran dengan
merujuk pada keterangan dalam Alquran atau penjelasan dalam hadis, atau
pernyataan para sahabat dan ta>bi‘i>n (tafsi>r bil ma‘thu>r) atau dengan

21
Muhammad Quraish Shihab, Kaidah Tafsir (Tangerang: Lentera Hati, 2013),
349.
22
Shihab, Kaidah Tafsir, 369.
23
Shihab, Kaidah Tafsir, 370.
24
Shihab, Kaidah Tafsir, 371-373.
25
Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, 19.

8
berusaha menemukan makna yang tepat melalui penelitian yang benar
(tafsi>r bir ra’yi).26 Sementara itu, ia menjelaskan bahwa takwil memiliki
dua makna yang membedakannya dengan tafsir. Pertama, takwil adalah
mengalihkan makna yang meragukan pada makna yang meyakinkan dan
menentramkan. Kedua, takwil adalah makna batin disamping makna utama
atau lahir.27
Lebih lanjut Rakhmat menyebutkan bahwa takwil juga diperlukan
ketika menjelaskan ayat-ayat mutasha>biha>t yang mengandung banyak
makna.28 Misalnya, makna kata sa>q pada ayat berikut ini:

“Pada hari betis disingkapkan dan mereka dipanggil untuk


bersujud; maka mereka tidak kuasa” (QS. Al-Qalam/68:42)

Kata sa>q pada ayat ini diterjemahkan sebagai betis. Kita akan
kebingungan dalam menerima makna ayat ini. Apa yang dimaksud dengan
betis di sini dan mengapa Tuhan menyingkapkan betis-Nya. Rakhmat
menambahkan hadis tentang betis Tuhan ini pada catatan kakinya. Jika
menerima makna ini, kita harus percaya bahwa Tuhan memiliki betis dan
menyingkapkan betis-Nya untuk memanggil manusia agar bersujud
kepada-Nya. Keyakinan ini jelas bertentangan dengan akidah Islam yang
tidak boleh menyerupakan Tuhan dengan apa pun. Namun, jika kita tidak
menerima adanya betis Tuhan, maka kita dianggap menolak ayat
Alquran.29
Oleh karena itu, untuk mengatasi keraguan seperti itu, kita
membutuhkan makna lain dari kata sa>q. Dalam bahasa Arab, sa>q berarti
juga kesulitan atau situasi krisis yang membuat orang panik seperti dalam
kalimat, “qa>mat al-harbu bina> ‘ala> sa>q”, “peperangan telah
mencapai tingkat yang kritis”. Merujuk pada makna terakhir ini, “betis
disingkapkan” mengandung arti bahwa kondisi hari Kiamat itu dipenuhi
kesulitan dan ketakutan sehingga membuat orang panik. Dengan takwil
seperti inilah, keraguan tadi bisa dihilangkan. Tanpa takwil, kita akan

26
Rakhmat, Tafsir Sufi Al-Fatihah, 35.
27
Rakhmat, Tafsir Sufi Al-Fatihah, 40.
28
Rakhmat, Tafsir Sufi Al-Fatihah, 41.
29
Rakhmat, Tafsir Sufi Al-Fatihah, 42.

9
terjerumus pada akidah sesat seperti akidah tajsi>m (menganggap Tuhan
berjasad) dan tashbi>h (menyerupakan Tuhan dengan sesuatu).30
Berkenaan dengan takwil sebagai makna batiniah, Rakhmat
mengemukakan takwil batiniah atas beberapa ayat yang dikritik oleh al-
Ghaza>li>. Salah satunya adalah surat T{a> Ha> ayat 24 yang artinya,
“Pergilah kamu kepada Firaun, sesungguhnya ia melampaui batas”.
Makna batiniah dari Firaun adalah hati dan apa saja yang melampaui batas
pada setiap manusia. Ketika menakwilkan tongkat pada ayat “Wa an alqi
as}ak”, kaum batiniah memaknainya sebagai apa pun yang dijadikan
sandaran atau andalan selain Allah harus dilemparkan. Al-Ghaza>li>
menegaskan bahwa takwil seperti ini adalah sesuatu yang menyesatkan.31
Mengomentari hal ini, Rakhmat justru menyatakan bahwa takwil-
takwil yang dianggap sesat di atas memenuhi kriteria sebagai takwil yang
dapat diterima. Mengartikan Firaun sebagai hati yang melampaui batas,
setelah memahami Firaun sebagai tokoh sejarah bukanlah sesuatu yang
salah. Juga ketika memaknai tongkat sebagai simbol sandaran manusia
selain Allah setelah mengakui kisah tongkat dalam arti yang sebenarnya.
Hal serupa juga dapat dikorelasikan dengan tokoh-tokoh yang ada di
samping Firaun, seperti Qa>ru>n, Ha>ma>n dan Bal‘am. Membatasi
Firaun, Qa>ru>n, Ha>ma>n dan Bal‘am hanya sebagai tokoh sejarah akan
membatasi pelajaran yang diperoleh. Agar Alquran melintas ruang dan
waktu, kita harus memaknai tokoh-tokoh itu sebagai simbol dan di sinilah
diperlukan takwil.32
Dari penjelasan di atas, nampak bahwa Rakhmat berusaha
meyakinkan pembaca bahwa takwil dan makna batiniah merupakan salah
satu hal yang diperlukan dalam menafsirkan suatu ayat. Belum lagi,
menurut Rakhmat, Alquran memang mengandung makna lahiriah dan
batiniah dan hal ini disebutkan dalam hadis-hadis yang diriwayatkan oleh
semua mazhab dalam Islam.33
Dalam penulisan buku ini, Rakhmat banyak mengutip pendapat dari
ulama lain. Melihat daftar rujukan yang ada di bagian akhir buku ini,
nampak jelas sekali bahwa karya tafsir ini dominan menggunakan sumber-
sumber relevan, terutama referensi tafsir, hadis dan tasawuf. Oleh karena
itu, meski karya ini mengambil judul “tafsir sufi” yang secara teoretis lebih

30
Rakhmat, Tafsir Sufi Al-Fatihah, 43.
31
Rakhmat, Tafsir Sufi Al-Fatihah, 48-49.
32
Rakhmat, Tafsir Sufi Al-Fatihah, 49-50.
33
Rakhmat, Tafsir Sufi Al-Fatihah, 51.

10
cenderung ke tafsir isha>ri>, namun tafsir ini dapat dikategorikan ke
dalam tafsi>r bil-ma‘thu>r, karena lebih sering mengutip tafsir dan hadis
yang relevan dengan konteks.
Ketika menjelaskan tentang nama-nama surat al-Fa>tih}ah
misalnya, Rakhmat sering mengutip pernyataan dari tafsir lain, semisal
tafsir Ja>mi‘ al-Ah}ka>m, al-Kashsha>f, al-Muh}it} al-A‘z}am, ad-Durr
al-Manthu>r, Mafa>tih} al-Ghayb, al-Mi>za>n, al-Amtha>l, dan al-
Furq>an.34 Begitu juga ketika ia menerangkan isti>‘a>dhah dan
keutamaannya, ia mengutip dari Tafsi>r al-Qur’a>n al-Kari>m, Ru>h}
al-Baya>n, Mafa>tih} al-Ghayb, Nahj al-Bala>ghah, Ih}ya> ‘Ulu>m al-
Di>n dan Khazi>nat al-Asra>r.35

D. Metode Penafsiran
Seperti diketahui, ada beberapa metode yang berkembang dalam
penafsiran Alquran. Secara garis besar penafsiran Alquran dilakukan
melalui empat cara atau metode, yaitu: (1) metode ijma>li> (global), (2)
metode tah}li>li> (analitis), (3) metode muqa>ran (perbandingan), dan
(4) metode mawd}u>‘i> (tematik). Metode ijma>li> digunakan untuk
menguraikan makna-makna umum yang dikandung oleh ayat yang
ditafsirkan. Dengan kata lain, metode ini berupaya menafsirkan ayat
dengan mengemukakan makna ayat secara global.36
Sementara itu, metode tahlili merupakan metode yang menjelaskan
makna-makna yang dikandung ayat Alquran dengan urutan sesuai tertib
ayat dalam mus}h}af.37 Metode berikutnya adalah metode muqa>ran yang
merupakan metode perbandingan tafsir antar ayat, ayat Alquran dengan
hadis atau antar tafsiran para mufasir.38 Metode tafsir terakhir yang tengah
populer adalah metode mawd}u>’i> yaitu metode penafsiran secara
tematis.
Shihab menyebutkan dua pengertian tentang metode tematik ini.
Pertama, metode ini menafsirkan satu surat dalam Alquran dengan
menjelaskan tujuan-tujuannya secara umum dan yang menjadi tema
sentralnya, kemudian menghubungkan persoalan yang beraneka ragam

34
Lihat bab tentang Nama-nama Al-Fatihah dalam Rakhmat, Tafsir Sufi Al-
Fatihah, 67-120.
35
Rakhmat, Tafsir Sufi Al-Fatihah, 137-156.
36
Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, 114.
37
Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, 113.
38
Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, 115.

11
dalam surat tersebut antara satu dengan yang lainnya dan juga dengan tema
tersebut, sehingga satu surat tersebut merupakan satu kesatuan tak
terpisahkan dengan berbagai masalahnya. Kedua, metode penafsiran ini
berawal dari menghimpun ayat-ayat Alquran yang membahas satu masalah
tertentu dari berbagai ayat atau surat Alquran dan sedapat mungkin diurut
sesuai kronologis turunnya, kemudian menjelaskan pengertian menyeluruh
dari ayat-ayat tersebut, untuk menarik petunjuk Alquran secara utuh
tentang masalah yang dibahas itu.39
Shihab juga menyebutkan keistimewaan metode tematik
(mawd}u>‘i>) ini antara lain, (a) menghindari problem atau kelemahan
metode lain yang digambarkan dalam uraian di atas, (b) menafsirkan ayat
dengan ayat atau dengan hadis Nabi, (c) kesimpulan yang dihasilkan
mudah dipahami, dan (d) metode ini memungkinkan seseorang untuk
menolak anggapan adanya ayat-ayat yang bertentangan dalam Alquran.40
Melihat sistematika penyajian buku Tafsir Sufi Al-Fatihah ini,
Gusmian mengkategorikannya ke dalam salah satu tafsir dengan model
penyajian tematik klasik.41 Model tematik klasik ini menyajikan tafsir
dengan mengambil salah satu surat tertentu dengan topik sebagaimana
tercantum dalam surat yang dikaji itu. Istilah klasik dipakai dalam hal ini
untuk menggambarkan bahwa model penyajiannya umum dipakai pada
tafsir klasik.42
Kesulitan yang muncul ketika mencoba untuk menyimpulkan
metode penafsiran yang dipakai buku ini adalah karena belum adanya ayat
dari al-Fa>tih}ah yang dibahas. Karena buku tafsir ini masih berupa
mukadimah dari Al-Fa>tih}ah saja, sehingga pembahasan yang dominan
masih sekitar pengantar menuju tafsir al-Fa>tih}ah.
Meski demikian, setelah membaca buku tafsir ini, dapat
disimpulkan bahwa buku tafsir ini menggunakan metode tematik
(mawd}u>‘i>). Hal ini terlihat dari proporsi buku yang membahas tema-
tema pokok seperti tafsir dan takwil, nama-nama lain al-Fa>tih}ah,
keutamaan al-Fa>tih}ah dan tafsir isti>‘adhah. Sebagai contoh, ketika
membahas tentang tafsir dan takwil, Rakhmat menghadirkan beberapa ayat
yang dianggap mutasha>biha>t dan membutuhkan takwil.

39
M. Quraish Shihab, “Membumikan” Al-Quran: Fungsi dan Peran Wahyu
dalam Kehidupan Masyarakat (Bandung: Mizan, 2001), 74.
40
Shihab, “Membumikan” Al-Quran, 117.
41
Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, 144.
42
Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, 129.

12
Begitu juga ketika menyebut tentang nama-nama al-Fatihah, ia
mengutip beberapa ayat yang mengandung nama-nama lain surat tersebut.
Salah satu contohnya adalah nama lain dari surat al-Fatihah yaitu al-
h}amd. Ia mengutip beberapa ayat Alquran yang memuat ucapan syukur
para Nabi a.s. yang menggunakan kalimat al-h}amdu lilla>h seperti
berikut ini:43

Apabila kamu dan orang-orang yang bersamamu telah berada di


atas bahtera itu, maka ucapkanlah, “Segala puji bagi Allah yang
telah menyelamatkan kami dari orang-orang yang zalim” (QS. al-
Mu’minu>n/23: 28)

Segala puji bagi Allah yang telah menganugerahkan kepadaku di


hari tua(ku) Ismail dan Ishaq. Sesungguhnya Tuhanku, benar-
benar Maha Mendengar (memperkenankan) doa (QS.
Ibra>hi>m/14:39)

Dan sesungguhnya Kami telah memberi ilmu kepada Daud dan


Sulaiman; dan keduanya mengucapkan, “Segala puji bagi Allah
yang melebihkan kami dari kebanyakan hamba-hambanya yang
beriman” (QS. al-Naml/27:15)

E. Corak Tafsir
Dalam perkembangannya, tafsir Alquran mengalami kategorisasi
corak yang beragam. Shihab mengatakan bahwa corak penafsiran yang
dikenal selama ini, antara lain: (a) corak sastra bahasa, (b) corak filsafat

43
Rakhmat, Tafsir Sufi Al-Fatihah, 92-94.

13
dan teologi, (c) corak penafsiran ilmiah, (d) corak fiqih atau hukum, (e)
corak tasawuf, dan (f) corak sastra budaya kemasyarakatan yang mulai
mendapat perhatian serius pada masa Muhammad Abduh (1849-1905).
Corak yang disebutkan terakhir ini merupakan suatu corak tafsir yang
menjelaskan petunjuk-petunjuk ayat-ayat Alquran yang berkaitan langsung
dengan kehidupan masyarakat.44
Terkait dengan corak tafsir sufi, Süleyman Ates, seorang ulama
Turki yang menyusun beberapa karya tentang sejarah dan tipologi tafsir
sufi terhadap Alquran, mengkategorikan karya tafsir sufi ke dalam lima
periode, yaitu: (a) periode formatif; (b) periode sistematisasi; (c) periode
tumbuh dan berkembang; (d) periode dominasi Ibn ʿArabī dengan
konsepnya tentang ‘oneness of being’ (waḥdat al-wujūd); dan (e) periode
Turki Uthma>ni>.45
Corak tafsir sufi mulai berkembang di kalangan sufi pada sekitar
abad kedua Hijriyah. Para pendukung tafsir sufi lebih memprioritaskan
aspek spiritual Islam dibanding politik, hukum dan dimensi literal. Ulama
sufi sering memilih untuk mengeksplorasi pertanyaan mengenai
pengenalan terhadap Allah, alam, atau eksistensi manusia dan
hubungannya dengan Tuhan. Mereka percaya bahwa dimensi mistik dari
teks Alquran sangat terkait dengan kondisi spiritual manusia dan tidak
mungkin dimengerti melalui pembacaan literal atau argumen hukum dan
teologi saja. Karena itulah, dalam tafsir mistis (su>fi>), makna batiniah
dan spiritual Alquran dianggap sebagai sesuatu yang signifikan.46
Dalam Al-Quran memang terdapat ayat-ayat yang secara implisit
mengungkapkan konsep-konsep tasawuf. Diantara ayat-ayat tersebut ada
yang menyebutkan bahwa manusia dekat sekali dengan Tuhan seperti yang
tersirat dalam ayat berikut ini:47

44
Shihab, “Membumikan” Al-Quran, 72-73.
45
Elias, Jamal J., “Ṣūfī tafsīr Reconsidered: Exploring the Development of a
Genre,” Edinburgh University Press: Journal of Qur’anic Studies 12 (2010): 41–55.
46
Abdullah Saeed, The Qurʼan: An Introduction (London & New York:
Routledge, 2008), 205-206.
47
Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang,
1995), 59-60.

14
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku,
maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan
permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku,
maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan
hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada
dalam kebenaran” (QS. Al-Baqarah/2: 186)

Goldziher mengemukakan bahwa bagi para sufi, beberapa ayat


dalam Alquran tampak jelas dan pada saat yang sama dapat dipahami
sebagai teks yang menopang mazhab mereka yang spesifik. Sebagai contoh
ketika kata ‘ilm al-yaqi>n dan ‘ayn al-yaqi>n diletakkan sebagai lawan
dari perhiasan dunia dalam surat at-Taka>thur, maka menjadi mudah bagi
para pemikir sufi untuk menerangkan tanpa banyak kesukaran contoh-
contoh pendalaman mereka pada hal itu, karena mereka mengambil dua
pernyataan ini sebagai istilah yang berlaku untuk menunjukkan tujuan
kontemplasi.48
Terdapat dua jenis tafsir corak sufistik, yaitu tafsir corak sufistik
yang berdasarkan tasawuf naz}ari> (teoretis) dan yang berdasarkan
tasawuf ‘amali> (praktis). Jenis yang pertama cenderung menafsirkan ayat
Alquran berdasarkan teori atau paham tasawuf yang umumnya
bertentangan dengan makna lahir ayat dan menyimpang dari pengertian
bahasa. Sedangkan jenis yang kedua didasarkan pada tasawuf praktis yang
menakwilkan ayat-ayat Alquran berdasarkan isyarat-isyarat yang tampak
oleh sufi dalam suluknya.49
Setelah membaca dan mencermati konten buku Tafsir Sufi al-
Fatihah, dapat disimpulkan bahwa kecenderungan corak tafsirnya lebih
bernuansa sufistik. Ini dibuktikan dengan intensitas Rakhmat sebagai
penulis dalam mengutip referensi tasawuf ketika memaparkan
penafsirannya, baik itu tasawuf teoretis maupun praktis. Pada saat
menjelaskan tentang tafsir dan takwil misalnya, Rakhmat mengutip sajak
kerinduan seruling karya Jalaluddi>n Ru>mi>50 dan tamsil perjalanan
menuju Allah dari ‘Musyawarah Burung’ karya Fariduddi>n At}t}a>r.51 Ia

48
Ignaz Goldziher, Mazhab Tafsir: Dari Aliran Klasik Hingga Modern (terj.
Mazahib al-Tafsir al-Islami) (Yogyakarta: elSAQ Press, 2003), 221.
49
Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, 244.
50
Rakhmat, Tafsir Sufi al-Fatihah, 55-56.
51
Rakhmat, Tafsir Sufi al-Fatihah, 57-59.

15
juga mengutip as-Sula>mi> dan al-Alu>si>, dua orang mufasir yang
terkenal dengan interpretasi sufistiknya.52
Ketika menjelaskan urgensi isti>‘a>dhah, Rakhmat mengutip
Mulla Shadra yang menyatakan bahwa dalam perjalanan hidup menuju
kesempurnaan, kita melewati berbagai maqa>m. Pada setiap maqa>m, ada
setan khusus yang siap menggoda. Makin mulia kita, makin sempurna kita,
maka makin kuat juga setan yang menghadangnya dan makin canggih juga
strateginya. Ketika membaca Alquran, kita sudah masuk ke dalam salah
satu maqam yang tinggi. Kita akan menghadapi jebakan setan yang sangat
besar. Karena itu, di manapun maqa>m-nya, kita harus selalu
mengucapkan, “A‘u>dhu billa>hi min al-shayt}a>n al-raji>m.”53
Kemudian, dari sisi tasawuf praktis yang terkait dengan keutamaan
dan khasiat bacaan tertentu, Rakhmat banyak mengutip pernyataan dari
kitab Mada>rij as-Sa>likin> karya Ibn al-Qoyyim al-Jawziyya54 dan
Khazi>nat al-Asra>r karya Muh}ammad H{aqqi> an-Na>zili>.55 Hal ini
semakin menegaskan bahwa buku tafsir ini didominasi oleh nuansa
sufisme yang kental, baik dari sisi tasawuf teoretik maupun tasawuf
praktis. Meskipun pada beberapa tempat, Rakhmat juga memunculkan
nuansa sastra (adabi>) dengan mengutip tamsil sufi dalam bentuk sajak
dan untaian munajat beberapa imam ahlul bayt.

F. Karakteristik Tafsir
Salah satu hal yang menarik dalam kajian tafsir adalah menemukan
karakteristik dari karya tafsir itu sendiri. Dalam kaitannya dengan
karakteristik tafsir, Gusmian mengutip Yunan menyebutkan beberapa hal
yang dapat dijadikan acuan dalam menentukan karakteristik suatu tafsir.
Hal tersebut bisa meliputi metode penafsiran, teknik penyajian (runtut atau
tematik) dan pendekatan yang digunakan.56
Dari aspek lain, Baidan mengajukan dua komponen utama dalam
mengkaji karakteristik suatu tafsir. Komponen tersebut berasal dari internal
dan eksternal tafsir itu sendiri. Unsur internal terdiri dari bentuk tafsir,

52
Rakhmat, Tafsir Sufi al-Fatihah, 62.
53
Rakhmat, Tafsir Sufi Al-Fatihah, 184.
54
Rakhmat, Tafsir Sufi al-Fatihah, 108-112 dan 184.
55
Rakhmat, Tafsir Sufi al-Fatihah, 131-136.
56
Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, 117.

16
metode penafsiran, dan corak tafsir. Sedangkan komponen eksternal
berasal dari jatidiri Alquran dan kepribadian penafsir.57
Dalam kaitannya dengan buku karya Rakhmat ini, secara umum
dapat dikategorikan sebagai literatur tentang Alquran yang menggunakan
bentuk ma’thur, menerapkan metode tematik dan memiliki corak sufistik.
Seperti diketahui, pada umumnya tafsir Alquran mengambil makna secara
langsung, sementara tafsir sufi mengungkap makna lain di balik itu. Saat
para ulama z}a>hir memahami ayat-ayat Alquran secara konvensional,
maka para sufi menafsirkannya sesuai arah dan karakter kebutuhan
spiritual mereka.58
Sebagaimana terefleksikan dalam judul, buku ini merupakan
mukadimah tafsir al-Fa>tih}ah. Karena itulah, pembahasan buku ini tidak
menafsirkan surat al-Fa>tih}ah secara keseluruhan. Rakhmat memulai
pembahasan tafsir al-Fa>tih}ah ini dengan merinci nama-nama lain surat
al-Fa>tih}ah yang populer, seperti Fa>tih}at al-Kita>b, Umm al-Kita>b,
Umm al-Qur’a>n, Sab‘ al-Matha>ni>, Su>rat al-H{amd, Su>rat ad-
Du‘a>, Su>rat ash-Shifa> dan A‘zam Su>rat fi> al-Qur’a>n. Setiap
penjelasan mengenai nama-nama lain surat ini dilengkapi dengan hadis-
hadis, tafsir, dan sajak maupun doa-doa yang dianggap relevan.59
Setelah memaparkan nama-nama lain surat al-Fa>tih}ah, Rakhmat
membahas fad}i>lah atau keutamaan surat al-Fa>tih}ah. Diantara
keutamaan surat al-Fa>tih}ah itu adalah: (a) lebih baik dari kesenangan
duniawi, (b) turun langsung dari ‘arsh Tuhan, (c) keistimewaan bagi umat
Muh}ammad, (d) pahala yang besar bagi pembacanya, (e) shalat tidak sah
tanpa membaca al-Fa>tih}ah, (f) memberikan pengampunan dan
perlindungan, dan (g) memberikan kesembuhan untuk berbagai penyakit.
Pada bab berikutnya, Rakhmat membahas tentang isti>‘adhah atau
yang sering disebut ta‘awwudh, meskipun tidak termasuk dalam surat al-
Fa>tih}ah dan bukan bagian dari Alquran, tetapi kita diperintahkan untuk
membacanya sebelum membaca Alquran. Pembahasan mengenai
isti>‘a>dhah ini merupakan bagian yang mendominasi buku ini. Dalam
membahas isti>‘a>dhah ini, Rakhmat mengutip Ibn Qoyyim untuk
menyebutkan delapan alasan seseorang harus ber-isti>‘adhah atau
berlindung dari setan sebelum membaca Alquran.

57
Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, 118.
58
Titus Burckhardt , “Sufi Interpretation of the Qurʾān” in Introduction to Sufi
Doctrine, World Wisdom, Inc. 2008, 32-33.
59
Selengkapnya silakan lihat Rakhmat, Tafsir Sufi Al-Fatihah, 67-120.

17
Dalam pembahasan selanjutnya, ia menyebutkan beberapa
keutamaan isti>‘a>dhah diantaranya: (a) menghindarkan pertengkaran, (b)
sebagai dzikir pagi dan petang, (c) menjauhkan diri dari setan, (d) doa
masuk rumah, (e) doa bangun dari mimpi buruk, (f) doa perlindungan bagi
anak-anak, (g) doa di atas mimbar, dan (h) mematahkan punggung setan.
Pemaparan keutamaan ini dilengkapi dengan hadis-hadis yang relevan.
Rakhmat melengkapi keutamaan isti>‘a>dhah ini dengan melampirkan
kasykul60 tentang isti>‘a>dhah ahlul bayt sebanyak 15 halaman.61 Penulis
juga mencantumkan bacaan isti>‘a>dhah yang populer berikut definisi
leksikalnya.62
Sebagai penutup kajian tentang isti>‘a>dhah, Rakhmat
menjelaskan lima rukun isti>‘a>dhah, yaitu: (a) isti>‘a>dhah (memohon
perlindungan), (b) al-mutta‘idh (orang-orang yang melakukan
isti>‘a>dhah), (c) al-musta‘i>dh bihi> (berlindung kepada Allah dengan
menggunakan kalimat Allah), (d) al-musta‘i>dh minhu, (memohon
perlindungan dari segala sesuatu yang mendatangkan kesengsaraan dan
kerusakan), dan (e) fi>ma> yusta‘a>dhu lahu> (mengumpulkan kebaikan
dari pemilik kebaikan dan menghindari keburukan yang berasal dari
sumber keburukan).63
Di sela-sela pembahasan mengenai tema-tema pokok buku ini,
Rakhmat menyelipkan kasykul yang berisi catatan tambahan seperti hadis
dan nasehat yang ditulis dalam bentuk sajak, khasiat surat al-Fa>tih}ah dan
bermacam-macam isti>‘a>dhah yang digunakan oleh ahlul bayt. Kasykul
ini dimaksudkan sebagai suplemen bacaan dari tema inti masing-masing
bab.64
Salah satu keunikan buku tafsir ini adalah menghadirkan pandangan
kaum sufi dalam menafsirkan Alquran. Meskipun dimensi sufi yang
dominan tergambar dalam tafsir ini lebih bernuansa praktis dan ‘klenik’.
Hal ini dapat dicermati dari beberapa kasykul yang memuat keutamaan dan
khasiat terkait dengan keutamaan Al-Fa>tih}ah maupun isti>‘a>dhah65.
Dari delapan kasykul yang ada di buku ini, terdapat tiga kasykul
yang membahas mengenai khasiat bacaan tertentu. Adapun sumber rujukan
60
Dalam bahasa Persia berarti mangkuk. Istilah ini sering digunakan untuk
menyebut catatan kecil (note).
61
Rakhmat, Tafsir Sufi Al-Fatihah, 156-170.
62
Rakhmat, Tafsir Sufi Al-Fatihah, 171-176.
63
Rakhmat, Tafsir Sufi Al-Fatihah, 176-209.
64
Rakhmat, Tafsir Sufi Al-Fatihah, 25.
65
Rakhmat, Tafsir Sufi Al-Fatihah, 131-136 dan 210-214.

18
utama dalam membahas keutamaan dan khasiat ini adalah kitab Khazi>nat
al-Asra>r karya Muh}ammad H{aqqi> an-Na>zili>. Selebihnya, kasykul
tersebut berisi tentang pandangan sufistik mengenai ayat-ayat takdir dalam
perspektif Jabba>riyyah dan Qadariyyah,66 tamsil perjalanan menuju
Tuhan,67 strategi Iblis menjebak manusia,68 dan isti>‘a>dhah ahlul bayt.69
Dimensi unik lainnya yang dihadirkan dalam buku ini adalah
banyaknya referensi yang disusun oleh pengarang bermazhab Shi>‘ah.
Dari sembilan puluhan rujukan yang menjadi referensi buku ini, lebih dari
empat puluhan buku atau artikel ditulis oleh pengarang bermazhab Shi>‘ah
atau diterbitkan di wilayah dengan mayoritas penduduknya menganut
teologi Shi>‘ah.70 Hal ini dapat diamati dengan intensitas pengutipan
Rakhmat terhadap kitab-kitab yang populer di kalangan Shi>‘ah dan
pencinta ahlul bayt, misalnya tafsir al-Mi>za>n karya T{abat}aba‘i>, al-
Qur’an al-Karim (Mulla Sadra), Tafsi>r Su>rat al-Fa>tih}ah (Ja‘far
Murtad}a> ‘A<mili>), Bih}a>r al-Anwa>r (Muh}ammad Ba>qir
Majlisi>), S{ahi>fah Sajja>diyah (‘Ali> Zayn al-‘A<bidi>n), S{ahi>fah
Zahra> (As‘ad Abud) dan sejumlah referensi lainnya.
Dua dimensi dominan ini, sufi dan shi>‘i>, sekaligus menjadi
kekhasan tersendiri karya ini. Menarik untuk dikaji lebih lanjut, hubungan
antara teologi Shi>‘ah dengan tafsir esoterik Alquran dalam lintasan
sejarah peradaban Islam. Buku ini mencoba mengkolasekan pemikiran
sufistik beberapa mufasir (Sunni maupun Shi>‘ah) dengan tradisi-tradisi
ritual Shi>‘ah, seperti pembacaan doa-doa dan munajat ahlul bayt. Dengan
demikian, buku ini dapat dijadikan pengantar awal menuju elaborasi lebih
mendalam tentang relasi kedua dimensi tersebut.
Dengan mencermati secara utuh, menurut hemat penulis, buku ini
lebih tepat dikategorikan sebagai pengantar sebuah tafsir, karena memang
belum masuk pada surat Al-Fatihah. Lebih dari setengah isi buku ini
berbicara mengenai isti>‘a>dhah dan serba-serbinya. Kata ‘Mukadimah’
yang ditambahkan setelah judul besar buku ‘Tafsir Sufi Al-Fatihah’
mungkin dimaksudkan penulisnya untuk menegaskan sebagian besar
kontennya. Padahal jika dieksplisitkan penyebutan ‘isti>‘a>dhah’ di judul
pun tidak ada salahnya. Misalnya, Tafsir Isti>‘a>dhah: Pengantar Tafsir

66
Rakhmat, Tafsir Sufi Al-Fatihah, 44-46.
67
Rakhmat, Tafsir Sufi Al-Fatihah, 55-56 dan 57-59.
68
Rakhmat, Tafsir Sufi Al-Fatihah, 184-191.
69
Rakhmat, Tafsir Sufi Al-Fatihah, 156-170.
70
Rakhmat, Tafsir Sufi Al-Fatihah, 239-244.

19
Sufi al-Fa>tih}ah atau Isti>‘a>dhah: Mukadimah Tafsir Sufi Al-
Fa>tih}ah. Bisa jadi aspek marketabilitas lebih menjadi pertimbangan
ketika penulis bersama penerbit memilih titel untuk buku ini. Meskipun
demikian, dengan segala keterbatasan yang dimiliki, buku tafsir ini telah
mendapatkan ruang tersendiri dalam khazanah perkembangan tafsir
Indonesia kontemporer, terutama dengan nuansa sufistiknya yang khas.

20
Referensi

A. Buku dan Artikel Jurnal

Baidan, Nashruddin. Metodologi Penafsiran al-Qur`an. Yogyakarta:


Pustaka Pelajar, 1998.

----. Perkembangan Tafsir al-Quran di Indonesia. Yogyakarta: Tiga


Serangkai, 2003.

Burckhardt, Titus. “Sufi Interpretation of the Qurʾān” in Introduction to


Sufi Doctrine, World Wisdom, Inc. 2008, 32-33.

Elias, Jamal J. “Ṣūfī tafsīr Reconsidered: Exploring the Development of a


Genre,” Edinburgh University Press: Journal of Qur’anic Studies
12 (2010): 41–55.

Goldziher, Ignaz. Mazhab Tafsir: Dari Aliran Klasik Hingga Modern (terj.
Maza>hib al-Tafsi>r al-Isla>mi>). Yogyakarta: elSAQ Press,
2003.

Gusmian, Islah. Khazanah Tafsir Indonesia: dari Hermeneutika hingga


Ideologi. Jakarta: Teraju, 2003

Nasution, Harun. Falsafat dan Mistisisme dalam Islam. Jakarta: Bulan


Bintang, 1995.

Ma>liki>, Muh}ammad ibn ‘Alawi> al-. Samudra Ilmu-ilmu Al-Quran:


Ringkasan Kitab al-Itqa>n fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n Karya al-Ima>m
Jala>l al-Di>n al-Suyu>t}i (terj. Zubdat al-Itqa>n fi> ‘Ulu>m al-
Qur’a>n). Bandung: Arasy Mizan, 2003.

Rakhmat, Jalaluddin. Tafsir Sufi Al-Fatihah: Mukadimah. Bandung:


Penerbit Mizan, 2012.

Rosyidi. Dakwah Sufistik Rakhmat: Menentramkan Jiwa, Mencerahkan


Pikiran. Jakarta: Paramadina, 2004.

21
Saeed, Abdullah. Interpreting the Qur’a>n: Towards a Contemporary
Approach. London and New York: Routledge, 2006.

----. The Qurʼan: An Introduction. London & New York: Routledge, 2008.

Shihab, Muhammad Quraish. Kaidah Tafsir. Tangerang: Lentera Hati,


2013

----. “Membumikan” Al-Quran: Fungsi dan Peran Wahyu dalam


Kehidupan Masyarakat. Bandung: Mizan, 2001.

Zarqa>ni>, Muh}ammad ‘Abd al-‘Az}im al-. Mana>hil al-‘Irfa>n fi>


‘Ulu>m al-Qur’a>n: al-Juz’ al-Tha>ni>. Beirut: Da>r al-Kita>b
al-‘Arabi>, 1995.

B. Website

“Tiga Buku Indonesia Dilarang Beredar di Malaysia.” 20 Maret 2012,


Republika
Online.http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/12/03/20/
m15yuj-tiga-buku-indonesia-dilarang-beredar-di-malaysia. Diakses
pada 18 April 2014

Achlami HS, MA. “Kontroversi di Sekitar Tafsir Sufi.” 17 Maret 2012.


Blog LSQ Fakultas Ushuluddin IAIN Raden Intan Lampung.
http://laboratoriumstudial-quran.blogspot.com/2012/03/kontroversi-
di-sekitar-tafsir-sufi.html. Diakses pada tanggal 17 April 2014

Gaus, F. Ahmad Ahmad Y. Samantho dan Mustamin al-Mandary. Biografi


Jalaluddin Rakhmat. 2012. Website Majulah IJABI.
http://www.majulah-ijabi.org/biografi-singkat.html. Diakses pada
tanggal 19 April 2014

Umar, Nasaruddin. “Konstruksi Takwil Dalam Tafsir Sufi dan Syiah,” 1


Juni 2012, Blog Qiraati.
http://qiraati.wordpress.com/2012/06/01/konstruksi-takwil-dalam-
tafsir-sufi-dan-syiah/. Diakses pada tanggal 17 April 2014

22

Anda mungkin juga menyukai