Anda di halaman 1dari 17

TASAWUF DI ERA MODEREN

SEBUAH TELAAH TERHADAP PEMIKIRAN

MUHAMMAD NAQUIB AL ATTAS

Disusun oleh:

Nama

: Muhammad Syakir

NIM

: 24121537-2

Mata Kuliah

: Tasawuf

Pembimbing

: Dr. T. Safir Iskandar Wijaya, MA

PROGRAM PASCA SARJANA (PPS)


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) AR RANIRY
BANDA ACEH 1435 H/2014 M

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah Yang Maha Kuasa, kesejahteraan dan keselamatan semoga
senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad saw, beserta keluarga dan para
sahabatnya.
Mata kuliah Tasawuf Islam merupakan salah satu objek mata kuliah yang
diajarkan di Pasca Sarjana dan wajib diambil oleh seluruh mahasiswa Pasca Sarjana
dengan konsentrasi Pemikiran Dalam Islam. Maka oleh karena itu penulis menyusun
makalah ini dengan tujuan memenuhi tugas mata kuliah tersebut.
Dengan berbagai keterbatasan akhirnya makalah ini dapat diselesaikan. Meskipun
demikian penulis sadar bahwa karya in masih sangat jauh dari harapan, maka sangat
diharapkan kritik dan masukan yang kiranya dapat melengkapi kekurangan dari makalah
ini.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. T. Safir Iskandar Wijaya, MA.,
sebagai Dosen pembimbing makalah ini. Tak lupa juga kepada teman-teman dan pihakpihak yang turut serta membantu mewujudkan makalah ini.
Akhirnya hanya Allah jualah yang menyempurnakan segala sesuatu.

Banda Aceh, 30 April 2014

Penulis

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

ii

A. BAB I
a. Pendahuluan

B. BAB II: TASAWUF ERA MODEREN SEBUAH TELAAH TERHADAP


PEMIKIRAN MUHAMMAD NAQUIB AL ATTAS
a. Biografi Muhammad Naquib Al Attas

b. Riwayat Pendidikan

c. Al Attas dan Tasawuf

d. Visi Tasawuf sebagai Ilmu Islam

C. BAB III: PENUTUP


a. Kesimpulan

12

DAFTAR PUSTAKA

13

ii

BAB I
a. Pendahuluan
Dalam pertumbuhannya, tasawuf berkembang bukan hanya sebagai zuhud dalam
artian yang sederhana tetapi berkembang menjadi tarekat-tarekat tertentu yang mempunyai
cara-cara sendiri dalam upaya pendekatan diri dan pensucian diri. Berawal dari tata cara
dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah dan digunakan oleh sekelompok yang
menjadi pengikut bagi seorang syekh, kelompok ini kemudian berkembang menjadi
lembaga-lembaga yang mengumpul dan mengikat sejumlah pengikut dengan aturan-aturan
yang ditentukan oleh syekh.
Banyak kritik yang ditujukan kepada aliran-aliran tasawuf pada era modern ini. Hal
ini disebabkan karena orang-orang ahli tasawuf yang ada di zaman sekarang mempunyai
prinsip dasar dan metode khusus dalam memahami dan menjalankan agama ini, Mereka
membangun keyakinan dan tata cara peribadatan mereka di atas simbol-simbol dan istilahistilah yang mereka ciptakan sendiri. Hal ini disinyalir dikarenakkan adanya berbagai
ajaran di luar Islam yang masuk ke dalam ajaran Tasawuf, akibat interaksi dan akulturasi
bahkan dampak dari penerjemahan buku asing ke dalam bahasa Arab, sehingga tidak
mustahil hal itu berdampak sangat negatif, baik dalam bidang pemikiran, perkataan maupun
perbuatan.
Tasawuf merupakan salah satu aspek esoteris (rahasia) Islam, sebagai perwujudan
dari ihsan yang berarti kesadaran adanya komunikasi dan dialog langsung seorang hamba
dengan Tuhan. Sebagai ilmu keislaman tasawuf adalah hasil kebudayaan Islam
sebagaimana ilmu-ilmu keislaman lainnya, seperti Fiqh dan Ilmu Tauhid. Pada masa
Rasulullah SAW belum dikenal istilah tasawuf, yang dikenal pada masa itu hanyalah
sebutan sahabat Nabi SAW.
Pada dasarnya tasawuf itu adalah suatu faham yang mengajarkan kepada kita
tentang etika, moral, tingkah laku atau perangai sehari-hari, dimana kita dituntut untuk
berintegrasi dan prihatin dengan kondisi sosial masyarakat di sekitar kita. Tetapi pada
pelaksanaannya ternyata faham tasawuf telah disalahartikan. Dalam pandangan mereka
(baca: sufisme) tasawuf itu adalah memisahkan diri dari dunia nyata dengan cara melulu
ibadah kepada Tuhan melalui zikir, sholat atau lain-lainnya karena terobsesi oleh janji
tentang surga yang ada di kehidupan akhirat nanti.

Padahal di dalam al-Quran telah diperintahkan kepada kita untuk tidak


meninggalkan dunia, bahkan kita diwajibkan untuk menjaga keseimbangan antara
kebutuhan dunia dan kebutuhan akhirat. Bahkan Nabi SAW sendiri telah wanti-wanti
kepada umatnya untuk tidak mengesampingkan kehidupan dunia, sebab dunia merupakan
perantara menuju akhirat nanti.
Oleh karena, untuk menginterpretasikan kembali makna tasawuf yang sebenarnya
itu, yaitu suatu bentuk tasawuf yang sesuai dengan tatanan masyarakat Islam, seperti yang
dicontohkan oleh Rasulullah SAW dengan tanpa meninggalkan kehidupan dunia atau
mengesampingkannya. Seiring dengan kebutuhan terhadap tasawuf semakin kuat, maka
muncullah apa yang dinamakan dengan Tasawuf Modern.
Makalah ini akan menelaah pemikiran Muhammad Naquib Al Attas dan
pendangannya tentang esensi sebenarnya dari tasawuf.

BAB II
TASAWUF ERA MODEREN
SEBUAH TELAAH TERHADAP
PEMIKIRAN MUHAMMAD NAQUIB AL ATTAS

a. Biografi Muhammad Naquib Al Attas


Nama lengkap tokoh ini adalah Prof. Dr. Syed Naquib Al-Attas, lahir di Bogor,
Jawa Barat. Pada tanggal 5 September 1931. Beliau adik kandung dari Prof. Dr. Husain AlAttas, seorang ilmuan dan pakar sosiologi di Universitas Malaya Kuala Lumpur Malaysia.
Ayahnya bernama Syed Ali bin Abdullah Al-Attas sedangkan ibunya bernama Syarifah
Raguan al-Idrus, keturunan kerabat raja-raja Sunda Sukapura Jawa Barat. Ayahnya dari
Arab yang silsilahnya merupakan keturunan ulama dan ahli tasawuf yang terkenal dari
kalangan sayid.
Dari pihak ibu ayahnya, bersepupu dengan orang-orang ternama di Johor Malaysia,
seperti Teungku Aziz bin Abdul Majid (mantan menteri besar Johor), Engku Abdul Hamid
bin Abdul Majid (ayah dari Prof. Diraja Aziz), mantan rektor Universitas Malaya sebelum
Husein Al-Attas), Datuk Oan Jafar (ayah Oun Husein Onn, mantan perdana menteri
Malaysia ketiga), ibu Azizah (ibu Puan Azah, istri Engku Aziz). Tengku Abdul Majid
adalah adik Sultan Abu Bakar dan Datuk Jafar (mantan menteri besar zaman Sultan Abu
Bakar almarhum dan Sultan Ibrahim almarhum dan sultan Ibrahim almarhum yang juga
Sultan Muhammad Iskandar). Syed M. Naquib Al-Attas adalah anak kedua dari ketiga
bersaudara, yang sulung bernama Syeid Hussein seorang ahli sosiologi dan mantan wakil
rektor Universitas Malaya, sedangkan yang bungsu bernama Syed Zaid, seorang insinyur
kimia dan mantan dosen Institut Teknologi Mara1
b. Riwayat Pendidikan
Riwayat pendidikan Al-Attas, dimulai sejak ia masih berusia 5 tahun. Ketika itu ia
berada di Johor Baru, tinggal bersama dan di bawah pendidikan saudara ayahnya Encik
Ahmad, kemudian dengan Ibu Azizah hingga perang dunia kedua meletus. Pada tahun
1936-1941, ia berlajar di Ngee Neng English Premary School di Johor Baru. Pada jaman

Wan Mohd Norwan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib Al-Attas, Terj.
Hamid Fahmy, dkk, (Bandung : Mizan, 2003), Cet. I, hlm. 46
1

Jepang ia kembali ke Jawa Barat selama 4 tahun ia belajar agama dan bahasa Arab di
Madrasah al-Urwatul Wustqa di Sukabumi Jawa Barat pada tahun 1942-1945. Tahun 1946
ia kembali ke Johor Baru dan tinggal bersama saudara ayahnya Engku Abdul Aziz (mentri
besar Johor kala itu), lalu dengan Datuk Oann yang kemudian juga menjadi menteri besar
Johor (ia adalah ketua umum UMNO pertama).
Pada tahun 1946, Al-Attas melanjutkan di bukit Zahrah School, kemudian di
English College Johor Baru pada tahun 1946-1949. Selanjutnya ia memasuki tentara, AlAttas merupakan perwira kadet dalam laskar Melayu Inggris. Karena kecemerlangannya ia
dipilih untuk melanjutkan training dan studi ilmu militer di Eaton Hall, Chester Inggris dan
kemudian di Royal Militery Academy Sandhurt Inggris pada tahun 1952-1955 dengan
pangkat terakhir letnan. Karena dunia ketentaraan tidak lagi menjadi minatnya, akhirnya ia
keluar dan melanjutkan studi di Universitas Malaya tahun 1957-1959. Kemudian
melanjutkan di Mc. Gill University Montreal Canada, di mana ia mendapatkan gelar MA
(Master of Arts) dengan nilai yang membanggakan (1962). Tidak lama kemudian, melalui
sponsor Sir Richard Winstert dan Sir Morimer Wheeler dari British Academy, ia
melanjutkan studinya pada program Pasca Sarjana di University of London tahun 19631964. Ia meraih gelar Phd (Doctor of Philosophy) dengan predikat Clumlaude di bidang
Filsafat Islam dan Sastra Melayu Islam pada tahun 1965.
Sekembali studi dari Inggris, Al-Attas berkhidmat di almamaternya Universitas
Malaya sebagai dosen pada tahun 1968-1970. Ia menjabat sebagaiketua Departemen
Kesusastraan dalam pengkajian Melayu. Ia merancang dasar bahasa Malaysia untuk
Fakultas Sastra, ia juga salah seorang pendidik universitas kebangsaan Malaysia padatahun
1970. Pada tahun 1970-1973 ia menjabat Dekan Fakultas Sastra di universitas tersebut.
Pada tanggal 24 anuari 1972 ia diangkat menjadi profesorbahasa dan kesusastraan Melayu,
di mana dalam pengukuhannya ia membacakan pidato ilmiah yang berjudul: Islam dalam
Sejarah dan Kebudayaan Melayu.
Kepakaran Al-Attas dalam berbagai bidang ilmu seperti sejarah, sastra sudah diakui
di kalangan internasional. Pada tahun 1970 ia dilantik oleh para filsuf Amerika sebagai
International Member American Philosophical Assosiation. Ia juga pernah diundang
ceramah di Temple University Philadephia Amerika Serikat dengan topik : Islam In
Southeast Asia: Rationality Versus Iconagraphy,

September 1971 dan di Institut

Vostokovedunia Moskow Rusia dengan topik The Role of Islam in History and Culture of
4

The Malays, (Oktober 1971). Ia juga menjadi pimpinan panel bagian Islam di Asia
Tenggara dalam XXIX Conggres International des Orientalistes sebagai panel pendidikan
mengenai Islam, filsafat dan kebudayaan (tamaddun), baik yang diadakan oleh UNESCO
maupun badan ilmiah dunia yang lainnya. Ia ikut menyumbangkan pikirannya untuk
pendirian universitas Islam kepada organisasi konferensi negara-negara Islam di Jeddah,
Saudi Arabia. Ia juga pernah ditawarkan untuk menjadi Profesor Program Pasca Sarjana
dalam bidang Islam di Temple University dan Profesor tamu di Berkely University
California Amerika Serikat.
Karena prestasi ilmiah Al-Attas yang luar biasa tersebut, pada tahun 1975 kerajaan
Iran memberikan anugerah tertinggi dalam bidang ilmiah sebagai sarjana akademi falsafah
maharaja Iran, Fellow of The Imperial Iranian Academy of Philosophy. Dalam surat
penganugerahannya disebutkan : sebagai pengakuan atas sumbangan besar tuan dalam
bidang filsafat, terutama filsafat perbandingan. Lima tahun kemudian ia ditunjuk sebagai
orang pertama yang menduduki kursi Ilmiah Tun Razaq di Ohio University AS berdasarkan
sumbangannya yang begitu besar dalam bidang bahasa dan kesusastraan serta kebudayaan
Melayu.
Di berbagai badan ilmiah internasional, Al-Attas juga diangkat sebagai anggota,
antara lain : Member of International Conggress of Medieval Philosophy, Member of
International Conggress of The VII Centenary of St. Thomas Aquinas, Member of
International ; Conggress Centenary of St. Bona Ventura da Bognoregio, Member
Malaysian Delegate International Conggress of On The Millinary of al Biruni juga
Principal Consultant World of Islam Festival Conggress, Seational Chairman for Education
World of Islam Festival Conggress. Al-Attas juga termasuk dalam daftar orang-orang
terkenal di dunia Alam Marguis Whos Who in The World 1974 / 1975 dan 1976-1977. Ia
dikenal juga sebagai penyair dan seniman dalam bidang seni kaligrafi dan pahat. Juga
sangat mahir dalam beberapa bahasa seperti : Inggris, Arab, Latin, Jerman, dan Spanyol
serta tentu saja bahasa Melayu. Beberapa hadiah yang telah diterima oleh Al-Attas antara
lain : Fellowship and Grants dari Canada Council 1960-1962, British Common Wealth
Fellowship 1962-1963, Asia Foundation 1963, British Council 1963-1964 University of
London 1964.
Otoritasnya dalam bidang pemikiran sastra dan kebudayaan khususnya dalam dunia
Melayu dan Islam, tidak saja diakui oleh pemikir dan ilmuan di kawasan AsiaTenggara,
5

tetapi juga di kalangan internasional. Pada tahun 1988 ia ditunjuk oleh Menteri Pendidikan
Malaysia yang juga Presiden Universitas Islam International Malaysia sebagai Profesor dan
Direktur The International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC) yang
dibawah naungan Universitas Islam Internasional. Pemikiran Al-Attas banyak diperas
sebagai ikhtiar untuk memberikan pemahaman yang tepat tentang ajaran Islam, sebagai
agama (al-din) yang merupakan pandangan hidup universal yang lengap dan menyeluruh
dalam setiap aspek kehidupan yang selalu dipengaruhi dan dirusak oleh pikiran para sarjana
muslim yang sudah dipengaruhi paham-paham orientalis. Di sini ia begitu tegas melakukan
kritik.2

c. Al Attas dan Tasawuf


Al-Attas dan Tasawuf
Bagi al-Attas, tasawuf adalah bagian tak terpisahkan dari Islam. Tegasnya
sebagaimana seluruh realitas dan kebenaran memiliki dimensi zahir dan batin 3ia
merupakan dimensi internal Islam yang selaras dan tidak bertentangan dengan dimensi
eksternal Islam; ia merupakan penerapan syariah (baca: dimensi eksoteris Islam) secara
intensif pada martabat ihsan4.5 Lebih jauh, al-Attas menyimpulkan dari hadis ini bahwa ia
adalah ibadah yang diperkuat dan dikukuhkan dengan ketajaman intelektual yang
menghasilkan pemahaman spiritual tentang realitas berdasarkan atas keyakinan
berdasarkan hikmah dan ilm ladunniy (pengetahuan spiritual yang dianugerahkan Allah
swt kepada siapa saja yang Dia kehendaki); merupakan sumber adab yang sebenarnya
berdasarkan pengenalan tentang tingkatan realitas dan kebenaran; istilah-istilah kuncinya

Ismail S.M, Konsep Pendidikan Islam (Studi Pemikiran Pendidikan Syed M.N. Al-Attas), (Tesis
Pasca Sarjana Fakultas Tarbiyah IAIN WS, Semarang, 2002), hlm. 21-26
3
Secara hirarkis aspek eksterior dan interior biasanya diurutkan sebagai berikut: Syariah-ThariqahMarifah-Haqiqah, dimana yang pertama adalah aspek zahir dan tiga yang terakhir aspek batin dari Wahyu
yang sama. Baca Syed Muhammad Naquib al-Attas, A Commentary on the Hujjat al-Siddiq of Nur al-Din alRaniri, (Kuala Lumpur: Ministry of Culture, 1986), h. 183.
4
Ihsan disini merujuk pada sabda Nabi saw yang mendefinisikannya sebagai beribadah kepada
Allah seakan-akan melihat-Nya atau kesadaran bahwa Dia Maha Melihat. Baca misalnya Muhammad bin
Ismail al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, ed. Mushthafa Dib al-Bugha, (Beirut: Dar Ibn Katsir, 1987), I/27 dan
IV/1793 dan Muslim bin al-Hajjaj al-Nisaburi, Shahih Muslim, (Beirut: Dar al-Jil dan Dar al-Afaq al-Jadidah,
tt), I/28, 30
5
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Secularism, (Kuala Lumpur: ISTAC, 1993), h. 121.
2

diderivasi dari al-Quran sedangkan penjabaran dan praktiknya didasarkan pada Sunnah
Nabi saw; tokoh-tokohnya adalah mereka yang dekat dengan Allah swt (al-awliya).6
Tuduhan

bahwa

tasawuf

mengandung

potensi

kemunduran

sebenarnya

mengisyaratkan bahwa Sumbernya juga menyimpan potensi yang sama. Al-Attas


menunjukkan bahwa kemunduran dan distorsi terletak bukan pada tasawuf dan Sumbernya,
melainkan pada orang bodoh yang salah paham, salah terap dan melakukan penyimpangan
yang menghasilkan berbagai macam penyelewengan dan tindakan berlebihan.7 Apa yang
selama ini dianggap sebagai penyimpangan, jika benar demikian, haruslah dibedakan dari
apa yang benar dan, karena itu, ia sebenarnya bukan tasawuf.
Penilaian atas tasawuf, menurut al-Attas, seharusnya tidak didasarkan atas
pandangan cendikiawan yang kurang otoritatif mengenai hal-hal sepele yang
menganggap bahwa pandangan mereka tentang tasawuf adalah keadaan sebenarnya,
berdasarkan pandangan keliru dari orang-orang tanpa otoritas, yang tidak memiliki
kesiapan spiritual, intelektual dan moral.8 Pandangan keliru ini kemudian mendorong
mereka untuk melakukan apa yang mereka anggap sebagai pemurnian Islam dari apa saja
yang mereka duga sebagai perusak kemurnian Islam.9
Alih-alih menjadi sesuatu yang asing dan berbeda dari Islam, bagi al-Attas, tasawuf
adalah bagian instrumental dalam Islam, yang penting bukan hanya dalam perolehan ilmu
pengetahuan,10 tapi, yang lebih fundamental, adalah fungsinya dalam memberikan
gambaran pandangan-hidup Islam yang utuh dan paripurna.11 Dalam konteks filsafat ilmu,
al-Attas menegaskan vitalnya peran tasawuf sebagai basis dalam pengembangan filsafat
ilmu dalam Islam.12

Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and., h. 121-2


Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and., h. 121-122
8
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and., h. 122, dan Syed Muhammad Naquib al-Attas,
Islam, Secularism and the Philosophy of the Future, (London, New York: Mansell Publishing Limited, 1985),
h. 208. Tentang pentingnya kesiapan (istidad) dalam memahami menghindari pengingkaran hal ini baca
pula, Abd al-Karim bin Ibrahim al-Jili, al-Insan al-Kamil fi Marifah al-Awail wa al-Awakhir, ed. Abu Abd alRahman Shalah bin Muhammad, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1997), h. 11-12
9
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam, Islam and Secularism, h. 122
10
Uraian tentang pandangan al-Attas mengenai hal ini yang dipengaruhi oleh pandangan para Sufi,
baca Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib Al-Attas, terj. Hamid
Fahmy, M. Arifin Ismail dan Iskandar Amel, (Bandung: Mizan, 2003), h. 255-316
11
Syed Muhammad Naquib al-Attas, A Commentary ..., h. 129-30, 183
12
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam, Secularism ..., h. 208, 219
6
7

d. Visi Tasawuf sebagai Ilmu Islam


Visi tasawuf yang dimaksud disini adalah visi metafisik mengenai realitas tertinggi
yang berasal dari Wahyu dan di tegaskan oleh pengalaman intuisi langsung para Sufi.13
Visi ini tidak didasarkan sekedar pada abstraksi spekulatif, tapi ia merupakan kebenaran
dan realitas (al-Haqq/al-Haqiqah) yang secara langsung dialami oleh para Sufi dalam
kondisi kesadaran trans-empirik.14 Pada kondisi demikianlah, yang merupakan martabat
ihsan, yang rasional dan yang empirik bergabung dan pengetahuan bermakna penyatuan
(tawhid), dimana pandangan mengenai struktur realitas and kesadaran manusia pada tingkat
pengalaman rasional-inderawi tidak ditolak dan tetap valid, hanya ia ditempatkan dalam
kerangka validitas yang lebih tinggi yang berasal dari pengalaman realitas secara intuitif
oleh para Sufi.15 Sekalipun realitas puncak dapat dicerap melalui penalaran diskursif dan
empirik, sebagaimana dalam tradisi kalam dan falsafah, namun kepastian dan keyakinan
tentangnya hanya dapat dicapai melalui pengalaman langsung para Sufi.16 Karena itu,
pengetahuan yang dihasilkan dari pengalaman demikian adalah pengetahuan yang paling
otentik dan akurat penggambarannya, serta paling otoritatif dan dapat dipercaya.17
Bagi al-Attas, ibadah yang disebut dalam hadis adalah ibadah yang dibarengi
keterjagaan spiritual yang lahir dari visi mengenai kebenaran dan realitas.18 Dari
pengetahuan

yang

muncul

darinya,

para

Sufi

mengkonseptualisasikan

dan

memformulasikan dimensi internal Islam, yang memancarkan visi metafisika tentang


13

Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam, Secularism ..., h. 215-216. Secara lebih rinci al-Attas
menjelaskan bahwa visi tentang kebenaran dan realitas disini merujuk pada kondisi pra-eksistensi manusia
sebagaimana disinggung dalam surah al-Araf:172. Kepada kondisi inilah, pada akhirnya, manusia akan
kembali jika dia mencapai martabat ihsan. Syed Muhammad Naquib al-Attas, A Commentary ..., h. 184
14
Bandingkan misalnya dengan hadis: :


. , Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, V/2384
15
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam, Secularism ..., h. 214, dan Syed Muhammad Naquib alAttas, Islam and Secularism, h. 162. Sebagai perbandingan, dalam konteks rasionalisasi pengalaman mistik
dan ketidakmemadaian pengalaman empirik-rasional saja dalam memahami realitas, Evelyn Underhill
menulis: ... there is no trustworthy standard by which we can separate the real from the unreal aspects
of phenomena. Such standards as exist are conventional: and correspond to the convenience, not to truth.
... most men see the world in much the same way, ant that this way is the true standard of reality: though
for practical purposes we have agreed that sanity consists in sharing the hallucinations of our neighbours.
Those who are honest with themselves know that this sharing is at best incomplete. Italik dari penulis
makalah Evelyn Underhill, Mysticism: the Nature and Development of Spiritual Consciousness, (Oxford:
Oneworld Publications, 2006), h. 10
16
Syed Muhammad Naquib al-Attas, A Commentary ..., h. 295-300
17
Adi Setia, Al-Attas Philosophy of Science An Extended Outline, didownload dari: http://www.
findarticles.com/ p/search?tb=art&qt="'Adi+Setia".
18
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam, Secularism ..., h. 207

realitas dan kebenaran, dimana konseptualisasi teologis merepresentasikan dimensi


eksternal Islam; yang terakhir adalah tauhid, sedang yang pertama wahdah al-wujud.19
Mengutip al-Mahaimi dan al-Qunyawi, al-Attas mendefinisikan wahdah al-wujud
sebagai sesuatu yang dengannya segala yang beragam menjadi diri mereka20 atau bahwa
... realitas segala sesuatu yang merupakan eksistensinya tidak lain merupakan moda
eksistensial dari realitas tunggal Wujud ...21, karena itu, sesuatu pada dirinya sendiri
yaitu, dipandang secara terpisah dari realitas yang dengannya ia mengadabukanlah
sesuatu dalam kondisi ber-ada, dan karenanya ia tiada; apa yang menjadi ada adalah
realitas yang mengaktualkan salah satu modanya dibalik sesuatu itu.22 Namun demikian,
al-Attas mengklarifikasi bahwa visi sejati tentang realitas wujud, yang menjadi dasar
metafisika wahdah al-wujud, tidak mungkin dicapai melalui semata proses intelektualrasional, ia hanya bisa dicapai dengan intuisi eksistensi secara langsung, dengan penyaksian
spiritual (syuhud), pengecapan spiritual (dzawq) dan penyingkapan spiritual (kasyf).23
Formulasi konseptual al-Attas tentang relasi Tuhan-makhluk mengikuti konseptualisasi Ibn
Arabi yang menyistematisasikan pengalaman intuitif para Sufi,24 yang harus dibedakan,
misalnya, dari konsep emanasi Plotinus.25
Hasil konseptualisasi tasawuf filosofis inilah yang kemudian oleh al-Attas
dipandang dapat dikembangkan dalam konseptualisasi dan formulasi tentang filsafat ilmu
Islami.26 Terkait beberapa aspek epistemologisseperti sumber dan metode pengetahuan;
perpaduan realisme, idealisme dan pragmatisme sebagai dasar kognitif bagi filsafat ilmu;
dan filsafat prosesal-Attas mengakui adanya kemiripan lahiriah antara pandangan Islam
dan tradisi filsafat dan sains Barat, dengan tetap mengingatkan adanya perbedaan
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam, Secularism ..., h. 207
that by which diverse things are what they are, italik dari penulis makalah, Syed Muhammad
Naquib al-Attas, A Commentary ..., h. 406
21
... realities of things which are their very existences, is no other than existential modes of the
single reality of Existence ..., Syed Muhammad Naquib al-Attas, A Commentary ..., h. 406
22
... the thing in itselfthat is, considered independently of the reality by whih it is itis not
something in a state of be-ing, and so it si nothing; what has come to be is the reality which actualizes
one of its modes in the guise of that thing ..., Syed Muhammad Naquib al-Attas, A Commentary ..., h. 406.
Pernyataan ini serupa dengan, misalnya, ungkapan al-Ghazali
..., alImam al-Ghazali, Misykah al-Anwar wa Mishfah al-Asrar, ed. Abd al-Aziz Izz al-Din al-Sayrawan, (Beirut:
Alam al-Kutub, 1986), h. 138
23
Syed Muhammad Naquib al-Attas, A Commentary ..., h. 244-245
24
Adi Setia, Al-Attas Philosophy of Science
25
Syed Muhammad Naquib al-Attas, the Mysticism of Hamzah Fansuri, (Kuala Lumpur: University
of Malaya Press, 1970), h. 72-74
26
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam, Secularism ..., h. 208
19
20

fundamental yang muncul dari perbedaan cara-pandang dan kepercayaan tentang hakikat
Realitas.27 Afirmasi terhadap Wahyu, sebagai sumber pengetahuan mengenai realitas dan
kebenaran tentang makhluk dan Tuhan, adalah pembeda pokok struktur bangunan
pemikiran Islam dari sistem-sistem pemikiran Barat.28
Mengenai sumber dan metode pengetahuan, berbeda dengan epistemologi Barat,
Islam menegaskan bahwa pengetahuan berasal dari Tuhan yang diperoleh melalui indera
yang sehat, berita yang benar berdasarkan otoritas (naql), nalar yang sehat dan intuisi.29
Yang dimaksud indera yang sehat adalah kemampuan mempersepsi dan mengobservasi
melalui lima panca indera lahir yang berhubungan dengan panca indera batin yang
berfungsi mencerap representasi gambaran inderawi yang dihasilkan oleh panca indera
lahir, memaknainya, menganalisisnya, dan mengkonspetualisasikannya.30 Sedangkan
cakupan makna nalar yang sehat adalah fakultas mental yang mensistematisasi dan
menafsirkan kumpulan fakta yang dihasilkan pengalaman inderawi secara logis; yang
mengekstrak sesuatu yang dapat dicerap (intelligible/maqulat) dari data empirik; dan yang
melakukan abstraksi atasnya; yang mana semua kemampuan ini dipahami sebagai salah
satu aspek dari intelek dan berfungsi bersesuaian dengannya; dimana intelek adalah
substansi spiritual yang ada di dalam organ kognisi spiritual yang disebut hati yang
merupakan tempat dari intuisi.31
Berita benar yang berdasarkan otoritas32 terbagi menjadi dua kategori; otoritas
absolut yang tidak boleh dipertanyakanyaitu al-Quran dan al-Sunnah33dan otoritas
relatifyaitu otoritas yang didasarkan atas kompetensi.34 Intuisi yang dimaksud disini

27
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam: an Exposition of
the Fundamental Elements of the Worldview of Islam, (Kuala Lumpur: ISTAC, 1995), h. 117-118
28
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics.,h. 117-118
29
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics., h. 118
30
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics., h. 118
31
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics., h. 119. Elaborasi detail
tentang hubungan antara nalar, intelek dan hati dapat ditemukan di Alparslan Acikgenc, Islamic Science
Towards a Definition, (Kuala Lumpur: ISTAC, 1996), misalnya h. 45-50
32
Otoritas berita yang benar ini berdasarkan pada pengalaman intuitif realitas inderawi dan
transendental. Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena ..., h. 121. Al-Attas juga menyatakan bahwa
penafsiran al-Quran yang benar, transmisi hadis yang valid dan kesepakatan (ijma) ulama semuanya terkait
dengan Nabi saw, dan, karena itu, mereka absolut. Syed Muhammad Naquib al-Attas, A Commentary ..., h.
292-293
33
Al-Attas menegaskan bahwa al-Qur'an dan al-Sunnah, termasuk didalamnya sosok Nabi saw,
merupakan otoritas bukan hanya karena mereka mengomunikasikan kebenaran, tapi juga karena mereka
adalah kebenaran itu sendiri. Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena ..., h. 121
34
Otoritas relatif adalah yang bisa dipertanyakan dengan nalar dan pengalaman, dalam pengertian
realitas inderawi dan transendental. Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena ..., h. 121. Yang

10

mencakup intuisi pada tingkatan rasional-empiris, yang hanya mampu mencerap aspek
tertentu dari hakikat realitas, dan intuisi pada kesadaran transenden manusia yang dicapai
para nabi dan para wali yang mampu mengantarkan pada pemahaman langsung tentang
hakikat realitas sebagai sebuah keseluruhan.35
Karena itu, wilayah operasi nalar dan intuisi tidak terbatas pada penjelasan dan
pengalaman dunia inderawi, melainkan ia mencakup cerapan langsung, mengenai
kebenaran relijius, mengenai wujud dan realitas Tuhan, mengenai realitas eksistensieksistensi ... pada tingkat yang lebih tinggi intuisi adalah intuisi mengenai wujud itu
sendiri.36 Intuisi pada tingkat yang disebut terakhir ini tidak dapat terjadi pada setiap
orang, melainkan mereka yang menjalani kehidupan dengan ketaatan yang tulus pada
Tuhan; yang dengan capaian intelektual memahami hakikat ke-Esa-an Tuhan dan
implikasinya dalam sistem metafisika; yang secara terus-menerus merenung tentang
hakikat realitas; dan yangselama masa perenungan atas kehendak Tuhanlepas dari kediri-an dan subjektifitasnya dan memasuki kedirian yang lebih tinggi.37 Saat dia kembali
kepada kondisi subyektif manusiawinya, dia tidak lagi menemukan (baca: mengalami) apa
yang telah dia rasakan, namun pengetahuan tentang hal itu tetap tinggal bersamanya.38 Dari
sinilah kemudian dia mengkonseptualisasi dan memformulasikan sistem metafisika wujud
yang menjadi basis filsafat ilmu dalam Islam.

dimaksud kompeten disini adalah sebagai kontras dari supreme dalam penjelasan Michael Polanyi dalam
buku Personal Knowledge h. 164, sebagaimana dikutip dalam Adi Setia, Al-Attas Philosophy of Science.
35
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena ..., h. 120
36
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena ..., h. 119
37
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena ..., h. 191-120
38
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena ..., h. 120

11

BAB III
Penutup

Kesimpulan
Dari paparan diatas dapat disimpulkan bahwa, bukan hanya tasawuf merupakan
bagian integral dan, karena itu, tidak bertentangan dengan Islam, tapi juga ia merupakan
sesuatu yang niscaya untuk membangun sebuah konsep filsafat ilmu yang terpancar dari
pandangan-hidup Islam.

12

DAFTAR PUSTAKA

Abd al-Karim bin Ibrahim al-Jili, al-Insan al-Kamil fi Marifah al-Awail wa alAwakhir, ed. Abu Abd al-Rahman Shalah bin Muhammad, (Beirut: Dar al-Kutub alIlmiyah, 1997)
Adi Setia, Al-Attas Philosophy of Science An Extended Outline, di download dari:
http://www. findarticles.com/ p/search?tb=art&qt="'Adi+Setia".
Al-Imam al-Ghazali, Misykah al-Anwar wa Mishfah al-Asrar, ed. Abd al-Aziz Izz
al-Din al-Sayrawan, (Beirut: Alam al-Kutub, 1986)
Alparslan Acikgenc, Islamic Science Towards a Definition, (Kuala Lumpur:
ISTAC, 1996)
Evelyn Underhill, Mysticism: the Nature and Development of Spiritual
Consciousness, (Oxford: Oneworld Publications, 2006)
Ismail S.M, Konsep Pendidikan Islam (Studi Pemikiran Pendidikan Syed M.N. AlAttas), (Tesis Pasca Sarjana Fakultas Tarbiyah IAIN WS, Semarang, 2002)
Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, ed. Mushthafa Dib al-Bugha,
(Beirut: Dar Ibn Katsir, 1987)
Muslim bin al-Hajjaj al-Nisaburi, Shahih Muslim, (Beirut: Dar al-Jil dan Dar alAfaq al-Jadidah, tt)
Syed Muhammad Naquib al-Attas, A Commentary on the Hujjat al-Siddiq of Nur
al-Din al-Raniri, (Kuala Lumpur: Ministry of Culture, 1986)
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Secularism, (Kuala Lumpur: ISTAC,
1993)
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam, Secularism and the Philosophy of the
Future, (London, New York: Mansell Publishing Limited, 1985)

13

Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam: an


Exposition of the Fundamental Elements of the Worldview of Islam, (Kuala Lumpur:
ISTAC, 1995)
Syed Muhammad Naquib al-Attas, the Mysticism of Hamzah Fansuri, (Kuala
Lumpur: University of Malaya Press, 1970)
Wan Mohd Nor wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib
Al-Attas, Terj. Hamid Fahmy, dkk, (Bandung : Mizan, 2003)

14

Anda mungkin juga menyukai