Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tafsir adalah penjelasan Alquran. Bagi orang asing, Alquran perlu diperjelas supaya
dapat dicerna, apakah itu dari tejemahan, atau penjelasan. Terjemahan atau penjelasan sendiri
tergolong dalam tafsir. Di Indonesia khususnya, tidak semua masyarakat Islam dapat memahami
ayat Alquran secara langsung, perlu adanya terjemahan resmi dan standar, dalam hal ini, telah
dilakukan dan distandarkan oleh Departemen Agama. Jauh dari itu, banyak para pemikir ke-
Islaman di Indonesia, juga menafsirkan ayat-ayat Alquran, seperti HAMKA, Hasbi ash-
Shiddiqi, dll.
Quraish Shihab, adalah pemikir kontemporer, yang masih hidup dan eksis, yang
mengkidmatkan dirinya untuk Islam. Di antara usaha itu adalah dia ikut dalam tim penerjemah
Alquran Departemen Agama, selain memiliki Alquran terjemahan pribadi. Dia juga menafsirkan
Alquran secara lengkap, tiga puluh juz, dengan menggunakan bahasa Indonesia.
Tafsir Quraish Shihab ini sangat berpengaruh di Indonesia. Bukan hanya menggunakan
corak baru dalam penafsiran, yang berbeda dengan pendahulunya, beliau juga menyesuaikan
dengan konteks ke-Indonesiaan. Sesuai dengan namanya, al-Mishbah yang berarti penerang,
lampu, lentera, atau sumber cahaya, penulis tafsir, Quraish Shihab, berharap dengan tafsirnya ini,
masyarakat Indonesia akan tercerahkan, dan memiliki pandangan baru yang positif terhadap
Alquran dan Islam.
Dalam artikel yang sederhana ini, penulis berusaha membahas biografi singkat M.
Quraish Shiha, method penafsiran Tafsir Al-Mishbah, corak penafsiran yang digunakan,
kemudian dilanjutkan contoh penafsiran, komentar ulama, dan analisis kelebihan dan kelemahan.
B. Rumusan Masalah
Permasalahan dalam penulisana makalah ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
A. Jelaskan biografi singkat M. Quraish Shihab
B. Jelaskan corak penafsiran tafsir Al-Mishbah?
C. Bagaimana method penafsiran Tafsir Al-Mishbah?
D. Bagaimana contoh penafsiran M. Quraish Shihab,komentar ulama’ mengenai tafsir Al-
Mishbah dan analisakan kelebihan dan kekurangan Tafsir Al-Mishbah?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Biografi Singkat M.Quraish Shihab
            Penulis Tafsir al-Mishbah bernama Muhammad Quraish Shihab, lahir di Rampang,
Sulawesi Selatan, pada 16 Februari 1944.1 Ia berasal dari keluarga keturunan Arab yang
terpelajar. Ayahnya, Prof. Abdurrahman Shihab adalah seorang ulama dan guru besar dalam
bidang tafsir. Abdurrahman Shihab dipandang sebagai salah seorang ulama, pengusaha, dan
politikus yang memiliki reputasi baik di kalangan masyarakat Sulawesi Selatan. Kontribusinya
dalam bidang pendidikan terbukti dari usahanya membina dua perguruan tinggi di Ujung
Pandang, yaitu Universitas Muslim Indonesia (UMI), sebuah perguruan tinggi swasta terbesar di
kawasan Indonesia bagian timur, dan IAIN Alauddin Ujung Pandang. Ia juga tercatat sebagai
rektor pada kedua perguruan tinggi tersebut: UMI 1959-1965 dan IAIN 1972–1977.
Quraish Shihab sama seperti anak-anak yang lain, ia juga mengenyam pendidikan.
Pendidikan dasarnya, ia selesaikan di di Ujung Pandang, selanjutnya, Quraish Shihab belajar di
pendidikan menengahnya di Malang. Tidak hanya itu, dia juga ‘nyantri’ di Pondok Pesantren
Darul Hadits Al-Faqihiyyah. Pada 1958, dia berangkat ke Kairo, Mesir, dan diterima di kelas II
Tsanawiyyah al-Azhar. Pada 1967, dia meraih gelar Lc. (S-1) pada Fakultas Ushuluddin Jurusan
Tafsir dan Hadis Universitas al-Azhar. Kemudian dia melanjutkan pendidikannya di fakultas
yang sama, dan pada 1969 meraih gelar MA untuk spesialisasi bidang Tafsir Alquran dengan
tesis berjudul      al-I'jaz al-Tasyri'iy li al-Qur’an al-Karim.2
Sekembalinya ke Ujung Pandang, Quraish Shihab dipercayakan untuk menjabat Wakil
Rektor bidang Akademis dan Kemahasiswaan pada IAIN Alauddin, Ujung Pandang. Selain itu,
dia juga diserahi jabatan-jabatan lain, baik di dalam kampus seperti Koordinator Perguruan
Tinggi Swasta (Wilayah VII Indonesia Bagian Timur), maupun di luar kampus seperti Pembantu
Pimpinan Kepolisian Indonesia Timur dalam bidang pembinaan mental. Selama di Ujung
Pandang ini, dia juga sempat melakukan berbagai penelitian; antara lain, penelitian dengan tema
"Penerapan Kerukunan Hidup Beragama di Indonesia Timur" (1975) dan "Masalah Wakaf
Sulawesi Selatan" (1978)

1
Shihab, M. Quraish. Membumikan Al-Quran: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat. Bandung:
Al-Mizan, 1999.
2
Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an…., h. 14
Pada 1980, Quraish Shihab kembali ke Kairo dan melanjutkan pendidikannya di
almamaternya yang lama, Universitas Al-Azhar. Pada 1982, dengan disertasi berjudul Nazhm al-
Durar li al-Biqa'iy, Tahqiq wa Dirasah, dia berhasil meraih gelar doktor dalam ilmu-ilmu
Alquran dengan yudisium Summa Cum Laude disertai penghargaan tingkat I (mumtat ma'a
martabat al-syaraf al-'ula).
Sekembalinya ke Indonesia, sejak 1984, Quraish Shihab ditugaskan di Fakultas
Ushuluddin dan Fakultas Pasca-Sarjana IAIN Syarif Hidayatullah, 3 Jakarta. Selain itu, di luar
kampus, dia juga dipercayakan untuk menduduki berbagai jabatan. Antara lain: Ketua Majelis
Ulama Indonesia (MUI) Pusat (sejak 1984); Anggota Lajnah Pentashih Al-Quran Departemen
Agama (sejak 1989); Anggota Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional (sejak 1989), dan
Ketua Lembaga Pengembangan. Dia juga banyak terlibat dalam beberapa organisasi profesional;
antara lain: Pengurus Perhimpunan Ilmu-ilmu Syari'ah; Pengurus Konsorsium Ilmu-ilmu Agama
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan; dan Asisten Ketua Umum Ikatan Cendekiawan
Muslim Indonesia (ICMI).
Di sela-sela segala kesibukannya itu, dia juga terlibat dalam berbagai kegiatan ilmiah di
dalam maupun luar negeri. Yang tidak kalah pentingnya, Quraish Shihab juga aktif dalam
kegiatan tulis-menulis. Di surat kabar Pelita, pada setiap hari Rabu dia menulis dalam rubrik
"Pelita Hati." Dia juga mengasuh rubrik "Tafsir Al-Amanah" dalam majalah dua mingguan yang
terbit di Jakarta, Amanah. Selain itu, dia juga tercatat sebagai anggota Dewan Redaksi majalah
Ulumul Qur'an dan Mimbar Ulama, keduanya terbit di Jakarta.
            Quraish Shihab memang bukan satu-satunya pakar Alquran dan tafsir  di Indonesia, tetapi
kemampuannya menerjemahkan dan meyampaikan pesan-pesan Alquran dalam konteks kekinian
dan masa post modern membuatnya lebih dikenal dan lebih unggul daripada pakar Alquran dan
tafsir lainnya. Dalam hal penafsiran, ia cenderung menekankan pentingnya penggunaan metode
tafsir maudu’i(tematik), yaitu penafsiran dengan cara menghimpun sejumlah ayat Alquran yang
tersebar dalam berbagai surah yang membahas masalah yang sama, kemudian menjelaskan
pengertian menyeluruh dari ayat-ayat tersebut dan selanjutnya menarik kesimpulan sebagai
jawaban terhadap masalah yang menjadi pokok bahasan. Menurutnya, dengan metode ini dapat
diungkapkan pendapat-pendapat Alquran tentang berbagai masalah kehidupan, sekaligus dapat

3
Shihab, M. Quraish. Secercah cahaya ilahi hidup bersama Al-quran. Bandung: Mizan, 2007.
dijadikan bukti bahwa ayat Alquran sejalan dengan perkembangan iptek dan kemajuan
peradaban masyarakat.
Ketertarikannya terhadap tafsir Alquran sangat beralasan. Semenjak kecil ia didik dengan
Alquran, karena Ayahnya adalah pakar Alquran dan tafsir. Quraish kecil telah menjalani
pergumulan dan kecintaan terhadap Alquran sejak umur 6-7 tahun. Ia harus mengikuti pengajian
Alquran yang diadakan oleh ayahnya sendiri. Selain menyuruh membaca Alquran, ayahnya juga
menguraikan secara sepintas kisah-kisah dalam Alquran. Di sinilah, benih-benih kecintaannya
kepada Alquran mulai tumbuh.
            Sebagai ulama yang produktif, Quraish Shihab memiliki banyak karya, sebagai berikut:
1. Tafsir al-Manar, Keistimewaan dan Kelemahannya (Ujung Pandang, IAIN A
lauddin, 1984);
2. Untaian Permata Buat Anakku (Bandung: Mizan 1998);
3. Pengantin al-Qur'an (Jakarta: Lentera Hati, 1999);
4. Haji Bersama Quraish Shihab (Bandung: Mizan, 1999)
5. Sahur Bersama Quraish Shihab (Bandung: Mizan 1999)
6. Shalat Bersama Quraish Shihab (Jakarta: Abdi Bangsa)
7. Puasa Bersama Quraish Shihab (Jakarta: Abdi Bangsa)
8. Fatwa-fatwa (4 Jilid, Bandung: Mizan, 1999)
9. Satu Islam, Sebuah Dilema (Bandung: Mizan, 1987)
10. Filsafat Hukum Islam (Jakarta: Departemen Agama, 1987)
11. Pandangan Islam Tentang Perkawinan Usia Muda (MUI & Unesco, 1990)
12. Kedudukan Wanita Dalam Islam (Departeman Agama)
13. Membumikan al-Qur'an (Bandung: Mizan, 1994)
14. Lentera Hati (Bandung: Mizan, 1994)
15. Studi Kritis Tafsir al-Manar (Bandung: Pustaka Hidayah, 1996)
16. Wawasan al-Qur'an (Bandung: Mizan, 1996)
17. Tafsir al-Qur'an (Bandung: Pustaka Hidayah, 1997)
18. Hidangan Ilahi, Tafsir Ayat-ayat Tahlili (Jakarta: Lentara Hati, 1999)
19. Jalan Menuju Keabadian (Jakarta: Lentera Hati, 2000)4
Dengan tidak bermaksud menempatkan Quraish Shihab sebagai ulama yang suci, melihat
dari kapabelitasnya sebagai seorang ulama kontemporer, tidak diragukan lagi keahliannya dalam
menafsirkan Alquran.
B. CORAK TAFSIR AL-MISBAH
Memahami Kitab suci dan kenyataan objektif akan berbagi kendala baik bahsa maupun
sumber rujukan telah memberikan motivasi bagi Quraish untuk menghadirkan sebuah karya
tafsir yang sanggup menghidangkan dengan baik pesan-pesan Alquran. Motivasi tersebut
diwujudkan Quraish denga terus mengkaji berbagi metode penafsiran dan Alquran,
menerapkannya dan mengvaluasinya, dari berbagai kritik dan respon pembaca5
Dalam penyusunan tafsirnya M. Quraish Shihab, ia menggunakan urutan Mushaf Usmani
yaitu dimulai dari Surah alFatihah sampai dengan surah an-Nass, pembahasan dimulai dengan
memberikan pengantar dalam ayat-ayat yang akan ditafsirkannya.
Dalam uraian tersebut meliputi:
 Penyebutan nama-nama surat (jika ada) serta alasan-alasan penamaanya, juga disertai
dengan keterangan tentang ayatayat diambil untuk dijadiakan nama surat.6
 Jumlah ayat dan tempat turunnya, misalnya, apakah ini dalam katagori sūrah makkiyyah
atau dalam katagori sūrah Madaniyyah, dan ada pengecualian ayat-ayat tertentu jika ada.
 Penomoran surat berdasarkan penurunan dan penulisan mushaf, kadang juga disertai
dengan nama surat sebelum atau sesudahnya surat tersebut.
 Menyebutkan tema pokok dan tujuan serta menyertakan pendapat para ulama-ulama
tentang tema yang dibahas.
 Menjelaskan hubungan antara ayat sebelum dan sesudahnya.
 Menjelaskan tentang sebab-sebab turunya surat atau ayat, jika ada.
Cara demikian yang telah dijelaskan diatas adalah upaya M. Quraish Shihab dalam
memberikan kemudahan pembaca Tafsir alMisbah yang pada akhirnya pembaca dapat diberikan

4
http://www.pktafsirquran.com/2017/04/daftar-lengkap-karya-buku-quraish-shihab.html,
5
Anwar Mujahid, Konsep Kekuasaan dalam Tafsir al-Misbah Karya M. Quraish Shihab dan Relevansinya dengan
Tranformasi Masyarakat Indonesia di era Global.(tesis tidak diterbitkan, Yogyakarta: Program Pascasarjana UIN
Sunan Kalijaga), h. 76
6
Contoh: Quraish Shihab, memaparkan “Surat al-Hasyr adalah madaniyyah, secara redaksional, penamaan itu
karean kata al-Hasyr di ayat kedua “lihat Tafsir al-Misbah… , Vol. 14, h. 101.
gamabaran secara menyeluruh tentang surat yang akan dibaca, dan setelah itu M. Quraish Shihab
membuat kelompok-kelompok kecil untuk menjelaskan tafsirnya.
Adapun beberapa prinsip yang dapat diketahui dengan melihat corak Tafsir al-Misbah
adalah karena karyanya merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan. Dalam Tafsir al-Misbah,
beliau tidak pernah luput dari pembahasan ilmu munāsabah yang tercermin dalam enam hal,
pertama, keserasian kata demi kata dalam setiap surah, kedua, keserasian antara kandungan ayat
dengan penutup ayat, ketiga, keserasian hubungan ayat dengan ayat sebelumnya atau
sesudahnya. Kempat, keserasian uraian muqaddimah satu surat dengan penutupnya, kelima,
keseraian dalam penutup surah dengan muqaddimah surah sesudahnya dan keenam, keseraian
tema surah dengan nama surah.
Di samping itu, M. Quraish shihab tidak pernah lupa untuk menyertakan makna kosa-
kata, munāsabah antar ayat dan asbāb al-Nuzūl. Ia lebih mendahulukan riwayat, yang kemudian
menafsirkan ayat demi ayat setelah sampai pada kelompok akhir ayat tersebut dan memberikan
kesimpulan.
Quraish Shihab menyetujui pendapat minoritas ulama yang berpaham al-Ibrah bi Khuṣūṣ
al-Sabab yang menekankan perlunya analogi qiyas untuk menarik makna dari ayat-ayat yang
memiliki latar belakang asbāb al-Nuzūl, tetapi dengan catatan bahwa qiyas tersebut memenuhi
persyaratannya. Pandangan ini dapat diterapkan apabila melihat faktor waktu, karena kalau tidak
ia tidak menjadi relevan untuk dianologikan. Dengan demikian, menurut Quraish, pengertian
asbāb al-Nuzūl dapat diperluas mencakup kondisi sosial pada masa turunnya Alquran dan
pemahamannya pun dapat dikembangkan melalui yang pernah dicetuskan oleh ulama terdahulu,
dengan mengembangkan pengertian qiyas dengan prinsip al-Maṣḥah al-Mursalah dan yang
mengantar kepada kemudahan pemahaman agama, sebagaimana halnya pada masa rasul dan para
sahabat.
Proses ini adalah upaya Quraish Shihab untuk mengembangkan uraian penafsiran
sehingga pesan Alquran membumi dan dekat dengan masyarakat yang menjadi sasarannya

C. Metode Penafsiran dalam Tafsir Al-Mishbah


Quraish menyatakan bahwa dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an kita tidak boleh
memahami kosakata jauh dari maksud lahir kosakata tersebut, karena hal ini akan membuat
penafsiran yang keliru terhadap maksud ayat tersebut. Dalam bahasa Quraish sendiri ia
mengatakan, “kita jangan membebani suatu kosakata melebihi makna cakupannya, tetapi juga
jangan menguranginya.”7 Bagi Quraish, kaidah kebahasaan ini penting untuk mengurangi
subjektivitas penafsir terhadap ayat-ayat Al-Qur’an. Hal ini juga sangat membantu dalam
memperluas wawasan dan pemahaman kita terhadap penggunaan kata oleh AlQur’an
Setidaknya, menurut pakar tafsir al-Azhar University, Dr. Abdul Hay al-Farmawi, dalam
penafsiran Alquran dikenal empat macam metode tafsir, yakni metode tahlili, metode ijmali,
metode muqaran, dan metode maudhu’i.Tafsir Al-Mishbah secara khusus, agaknya dapat
dikategorikan dalam metode tafsir tahlili.
Metode tafsir tahlili merupakan cara menafsirkan ayat-ayat Alquran dengan
mendeskripsikan uraian-uraian makna yang terkandung dalam ayat-ayat Alquran dengan
mengikuti tertib susunan surat-surat dan ayat-ayat sebagaimana urutan mushaf Alquran, dan
sedikit banyak melakukan analisis di dalamnya: dari segi kebahasaan, sebab turun, hadis atau
komentar sahabat yang berkaitan, korerasi ayat dan surat, dll.
            Secara khusus, biasanya ketika Quraish Shihab menafsirkan Alquran, menjelaskan
terlebih dahulu tentang surat yang hendak ditafsirkan: dari mulai makna surat, tempat turun
surat, jumlah ayat dalam surat, sebab turun surat, keutamaan surat, sampai kandungan surat
secara umum. Kemudian Quraish Shihab menuliskan ayat secara berurut dan tematis, artinya,
menggabungkan beberapa ayat yang dianggap berbicara suatu tema tertentu. Selanjutnya,
Quraish Shihab menerjemahkan ayat satu persatu, dan menafsirkannya dengan menggunakan
analisis korelasi antar ayat atau surat, analisis kebahasaan, riyawat-riwayat yang bersangkutan,
dan pendapat-pendapat ulama telah terdahulu.
            Dalam hal pengutipan pendapat ulama lain, Quraish Shihab menyebutkan nama ulama
yang bersangkutan. Di anara ulama yang menjadi sumber pengutipan Quraish Shihab adalah
Muhammad Thahir Ibnu `Asyur dalam tafsirnya at-Tahrir wa at-Tanwir; Muhammad Husain
ath-Thabathaba’i dalam tafsirnya al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an; al-Biqa’i; asy-Sya`rawi; al-Alusi;
al-Ghazali; dll. Walau dalam menafsirkan Alquran, Quraish Shihab sedikit banyaknya mengutip
pendapat orang lain, namun sering kali dia mencantumkan pendapatnya, dan dikontektualisasi
pada keadaan Indonesia.
Ada beberapa catatan yang layak dikemukakan tentang penulisan Tafsir al-Mishbah ini:

7
M. Quraish Shihab, “Adab Mufassir”, disampaikan dalam Training of Trainer (ToT) Penulisan Tafsir Al-Qur’an
al-Karim untuk tim penulis tafsir Manhaj Ulama Tiga Serangkai di Pusat Studi Al-Qur’an, Ciputat, 30 Juni 2009.
Penulis sendiri merupakan salah seorang peserta pelatihan tersebut.
1. Penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an dilakukan dengan membuat pengelompokan ayat
yang masing-masing jumlah kelompok ayat dapat berbeda antara satu sama
lainnya. Selain itu, Quraish tidak menyusun tafsirnya berdasarkan juz per juz.
Karena itu, dari lima belas volume kitabnya, ketebalan halaman masing masing
volume berbeda-beda. Hanya volume 3 yang berisi seluruh surah al-Maidah dan
yang paling tipis, yakni 257 halaman. Volume yang lain rata-rata berisi 500
halaman lebih. Bahkan ada yang mencapai 765 halaman, yakni volume 5 yang
berisi surah-surah al-A‘râf, al-Anfâl dan al-Tawbah
2. Dalam menafsirkan ayat, Quraish mengikuti pola yang dilakukan para ulama
klasik pada umumnya. Quraish menyelipkan komentar-komentarnya di sela-sela
terjemahan ayat yang sedang ditafsirkan. Untuk membedakan antara terjemahan
ayat dan komentar, Quraish menggunakan cetak miring (italic) pada kalimat
terjemahan. Dalam komentar-komentarnya tersebutlah Quraish melakukan
elaborasi terhadap pemikiran ulama-ulama, di samping pemikiran dan ijtihadnya
sendiri. Hanya saja, cara ini memiliki kelemahan. Pembaca akan merasa kalimat-
kalimat Quraish terlalu panjang dan melelahkan, sehingga kadang-kadang sulit
dipahami, terutama bagi pembaca awam.8
3. Dalam tafsir ini jelas sekali nuansa kebahasaan penulis, sebagaimana terlihat pada
karya-karyanya sebelumnya. Elaborasi kosakata dan kebahasaan yang dilakukan
oleh Quraish dalam buku ini mengantarkan pembaca untuk memahami makna Al-
Qur’an dengan baik, sehingga kesulitan-kesulitan pemahaman terhadap Al-Qur’an
dapat diatasi.
D. Contoh penafsiran Tafsir Al-Mishbah M. Quraish Shihab,komentar ulama’ dan
analisakan kelebihan dan kekurangan.

8
Berikut di bawah ini dikutip salah satu contoh kalimat Quraish yang panjang dan melelahkan tersebut: Setelah
mengisyaratkan kepunahan dunia, dan akan adanya perubahan, maka ayat ini mengecam mereka yang tidak
mempersiapkan diri untuk menghadapinya, dengan menyatakan bahwa Sesungguhnya orang-orang yang tidak
mengharapkan yakni tidak percaya akan pertemuan dengan sanksi dan ganjaran Kami di hari Kemudian dan merasa
puas dengan kehidupan dunia sehingga tidak menghiraukan lagi adanya kehidupan akhirat, tidak juga berpikir dan
berupaya kecuali memenuhi kebutuhan jasmani dan meraih kenikmatan duniawi serta merasa tentram (sic: tenteram)
dengannya yakni dengan kehidupan dunia, ketenangan yang menjadikan mereka tidak mempersiapkan diri sama
sekali untuk kehidupan akhirat dan orang-orang yang senantiasa lalai terhadap ayat-ayat Kami yakni tidak
memikirkan dan mengambil pelajaran dari ayat-ayat al-Qur’an dan tanda-tanda keesaan dan kekuasaan Allah swt.
yang terbentang di alam raya, mereka itu yang sungguh jauh kebejatannya tempatnya ialah neraka, disebabkan apa
yakni kedurhakaan dan kelalaian yang selalu mereka kerjakan. (Lihat Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh Vol. 6
(Jakarta: Lentera Hati, 2004), h. 24.
1. Contoh Penafsiran
Dalam Tafsir al-Misbah, hal ini sangat jelas terlihat. Sebagai contoh, ketika Quraish
Shihab menafsirkan kata ‫هَوْ نًا‬ dalam surat al-Furqan ayat 63. Quraish Shihab menjelaskan: “Kata
(‫)هَوْ نًا‬ haunan berarti lemah lembut dan halus. Patron kata yang di sini adalah mashdar/indefinite
noun yang mengandung makna “kesempurnaan”. Dengan demikian, maknanya adalah penuh
dengan kelemahlembutan.

ِ ْ‫)يَ ْم ُشونَ َعلَى اأْل َر‬ yamsyuna


Sifat hamba-hamba Allah itu, yang dilukiskan dengan ( ً ‫ض هَوْ نا‬
`ala al-ardhi haunan/berjalan di atas bumi dengan lemah lembut, dipahami oleh banyak ulama
dalam arti cara jalan mereka tidak angkuh atau kasar. Dalam konteks cara jalan, Nabi Saw.
mengingatkan agar seseorang tidak berjalan dengan angkuh, membusungkan dada. Namun,
ketika beliau melihat seseorang berjalan menuju arena perang dengan penuh semangat dan
terkesan angkuh, beliau bersabda: “Sungguh cara jalan ini dibenci oleh Allah, kecuali dalam
situasi (perang) ini.” (HR. Muslim).
Kini, pada masa kesibukan dan kesemrawutan lalu lintas, kita dapat memasukkan dalam
pengertian kata (‫)هَوْ نًا‬ haunan, disiplin lalu lintas dan penghormatan terhadap rambu-rambunya.
Tidak ada yang melanggar dengan sengaja peraturan lalu lintas kecuali orang yang angkuh atau
ingin menang sendiri sehingga berjalan dengan cepat dengan melecehkan kiri dan kanannya.
Penggalan ayat ini bukan berarti anjuran untuk berjalan perlahan atau larangan tergesa-
gesa. Nabi Muhammad Saw. dilukiskan sebagai yang berjalan dengan gesit, penuh semangat,
bagaikan turun dari dataran tinggi.”
Dari sini jelas, usaha Quraish Shihab untuk memperbaiki tatanan kehidupan sosial
sungguh kuat, sehingga masalah disiplin lalu lintas pun disinggung dalam tafsirannya, walau pun
mungkin sebagai contoh. Jadi wajar dan sangat pantas sekali, kalau tafsirnya ini digolongkan
dalam corak al-Adabi al-Ijtima`i.
Untuk menjelaskan contoh tafsiran Quraish Shihab, penulis mengambil salah satu ayat,
yakni surat al-An`am ayat 2:
9
. َ‫ضى أَ َجالً َوأَ َج ٌل ُّمس ّمًى ِعن َدهُ ثُ َّم أَنتُ ْم تَ ْمتَرُون‬ ٍ ‫ه َُو الَّ ِذي َخلَقَ ُكم ِّمن ِط‬
َ َ‫ين ثُ َّم ق‬
            “Dialah yang menciptakan kamu dari tanah, sesudah itu ditentukan-Nya ajal dan ada
lagi suatu ajal yang ditentukan di sisi-Nya, kemudian kamu masih terus-menerus ragu-ragu.”

9
Al-Qur’anul Karim
            Dalam hal ini, penulis terkonsentrasi pada “sesudah itu ditentukan-Nya ajal dan ada lagi
suatu ajal yang ditentukan di sisi-Nya”. Menurut Quraish Shihab, pendapat yang terkuat tentang
arti ajal adalah ajal kematian dan ajal kebangkitan karena biasanya Alquran menggunakan kata
ajal bagi manusia dalam arti kematian. Ajal yang pertama adalah kematian, yang paling tidak
dapat diketahui oleh orang lain yang masih hidup setelah kematian seseorang. Sedangkan ajal
yang kedua adalah ajal kebangkitan, yang tidak diketahui kecuali oleh Allah SWT.
            Untuk memperkuat ini, kembali ditegaskan oleh Quraish sihab bahwa pembentukan diri
manusia, dengan segala potensi yang dianugrahkan Allah, menjadikan dia dapat hidup dengan
normal, bisa jadi sampai seratus atau seratus dua puluh tahun; inilah yang tertulis dalam lauh al-
mahwu wa al-itsbat. Tetapi semua bagian dari alam raya memiliki hubungan dan pengaruh
dalam wujud atau kelangsungan hidup makhluk. Bisa jadi, faktor-faktor dan penghalang yang
tidak diketahui jumlahnya itu saling memengaruhi dalam bentuk yang tidak kita ketahui sehingga
tiba ajal sebelum berakhir waktu kehidupan normal yang mungkin bisa sampai pada batas100
atau 120 tahun itu.
            Quraish sihab kembali menjelaskan, hal inilah yang dimaksud sementara ulama Ahlus
Sunnah dinamai dengan qadha’ muallaq dan qadha’ mubram. Ada ketetapan Allah yang
bergantung dengan berbagai syarat yang bisa jadi tidak terjadi karena berbagai faktor, antara lain
karena doa, dan ada juga ketetapan-Nya yang pasti dan tidak dapat berubah sama sekali.
2. Komentar Ulama
            Jika dilihat berbagai situs, akan didapati banyak sekali pujian buat Tafsir al-Mishbah ini.
Dengan segala kelebihan dan kekurangan yang dimilikinya, satu kesepakatan, bahwa satu-
satunya buku tafsir Indonesia yang paling banyak diminati adalah Tafsir al-Mishbah: dari mulai
kalangan menengah sampai kalangan terdidik.
            Dari sini, wajar ketika pemerhati karya tafsir Nusantara, Howard M. Federspiel,
merekomendasikan bahwa karya-karya tafsir M. Quraish Shihab pantas dan wajib menjadi
bacaan setiap Muslim di Indonesia sekarang.
KH. Abdullah Gymnastiar – Aa Gym menjelaskan, “Setiap kata yang lahir dari rasa cinta,
pengetahuan yang luas dan dalam, serta lahir dari   sesuatu yang telah menjadi bagian dirinya
niscaya akan memiliki kekuatan daya sentuh, daya hunjam dan daya dorong bagi orang-orang
yang menyimaknya. Demikianlah yang saya rasakan ketika membaca tulisan dari guru yang
kami cintai, Prof. Dr. M. Quraish Shihab.” Hj. Khofifah Indar Parawansa, “Sistematika tafsir ini
sangat mudah dipahami dan tidak hanya oleh mereka yang mengambil studi Islam khususnya
tetapi juga sangat penting dibaca oleh seluruh kalangan, baik akademis, santri, kyai, bahkan
sampai kaum muallaf.”
Ir. Shahnaz Haque, “Membaca buku-buku M. Quraish Shihab, kita sangat beruntung
karena pakar ini berani dan mampu membuka kerang dan menunjukkan mutiara-mutiara yang
ada di dalamnya, hal yang memang dicari oleh umat yang sedang dahaga akan bantuan serta
keindahan.” Chrismansyah Rahadi – Chrisye, “Kebebasan untuk menafsirkan sesuai dengan
kemampuan pemikiran kita, tentunya dengan dasar-dasar Al-Quran dan Hadits, dan berpijak
pada ketentuan-ketentuan yang ditetapkan Allah SWT. Penulisannya sangat komunikatif dan
dapat dibayangkan visualisasinya.” Ala kulli hal, tafsir ini sangat bermanfaat dan penting untuk
dibaca dan dikaji.
3. Analisis Kelebihan dan Kelemahan
Sebagaimana telah dijelaskan di atas, bahwa Tafsir al-Mishbah adalah tafsir yang sangat
penting di Indonesia, yang tentunya memiliki banyak kelebihan. Di antaranya:
1. Tafsir ini sangat kontekstual dengan kondisi ke-Indonesiaan, dalamnya banyak merespon
beberapa hal yang aktual di dunia Islam Indonesia atau internasional.
2. Quraish Shihab meramu tafsir ini dengan sangat baik dari berbagai tafsir pendahulunya,
dan meraciknya dalam bahasa yang mudah dipahami dan dicerna, serta dengan
sistematika pembahasan yang enak diikuti oleh para penikmatnya.
3. Quraish Shihab orang yang jujur dalam menukil pendapat orang lain, ia sering
menyebutkan pendapat pada orang yang berpendapat.
4. Quraish Shihab juga menyebutkan riwayat dan orang yang meriwayatkannya. Dan masih
banyak keistimewaan yang lain.
5. Dalam menafsirkan ayat, Quraish tidak menghilangkan korelasi antar ayat dan antar
surat.
6. Dengan segala kelebihan yang dimiliki oleh Tafsir al-Mishbah, tafsir ini juga memiliki
berbagai kelemahan, diantaranya;
7. Dalam berbagai riwayat dan beberapa kisah yang dituliskan oleh Quraish dalam tafsirnya,
terkadang tidak menyebutkan perawinya, sehingga sulit bagi pembaca, terutama penuntut
ilmu, untuk merujuk dan berhujjah dengan kisah atau riwayat tersebut. Sebagai contoh
sebuah riwayat dan kisah Nabi Shaleh dalam tafsir surat al-A`raf ayat 78.[17]
8. Menurut sebagian sementara Islam di Indonesia, beberapa penafsiran Quraish dianggap
keluar batas Islam, sehingga tidak jarang Quraish Shihab digolongkan dalam pemikir
liberal Indonesia. Sebagai contoh penafsirannya mengenai jilbab, takdir, dan isu-isu
keagamaan lainnya. Namun, menurut penulis sendiri, tafsiran ini merupakan kekayaan
Islam, bukan sebagai pencorengan terhadap Islam itu sendiri.
BAB III
PENUTUP

            Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan beberapa hal: pertama, nama lengkap Tafsir


al-Mishbah adalah Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an,  terdiri dari 30
juz Alquran, dan lima belas volume.
            Kedua, nama pengarang tafsir ini adalah Muhammad Quraish Shihab bin Abdurrahman
Shihab, seorang ulama kontemporer Indonesia yang menuntut ilmu di Universitas tertua di dunia,
al-Azhar University, lahir di Sulawesi Selatan, dan sekarang masih akhtif menulis dan
memberikan kontribusi positif bagi umat Islam, khususnya Indonesia.
            Ketiga, metode yang digunakan dalam Tafsir al-Mishbah adalah metodetahlili,
sedangkan corak yang digunakan corak tafsir al-Adabi al-Ijtima`i.
            Keempat, kelebihan dalam Tafsir al-Mishbah sangat banyak sekali, kalau pun ada
kekurangannya tidak dapat menghilangkan kelebihannya yang sangat dominan. Oleh sebab itu,
tidak jarang ulama kontemporer memuji tafsir tersebut, atau bahkan menjadikannya rujukan studi
Islam secara ilmiah, dan dijadikanhujjah. 
Allahu a`lam.
BAB VI
DAFTAR PUSTAKA
1. Al-Qur’anul Karim

2. Shihab, M. Quraish. Membumikan Al-Quran: Fungsi dan Peran Wahyu dalam


Kehidupan Masyarakat. Bandung: Al-Mizan, 1999
3. Shihab, M. Quraish. Secercah cahaya ilahi hidup bersama Al-quran. Bandung: Mizan,
2007.
4. http://www.pktafsirquran.com/2017/04/daftar-lengkap-karya-buku-quraish-shihab.html,
5. Anwar Mujahid, Konsep Kekuasaan dalam Tafsir al-Misbah Karya M. Quraish Shihab
dan Relevansinya dengan Tranformasi Masyarakat Indonesia di era Global.(tesis tidak
diterbitkan, Yogyakarta: Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga), h. 76
6. Contoh: Quraish Shihab, memaparkan “Surat al-Hasyr adalah madaniyyah, secara
redaksional, penamaan itu karean kata al-Hasyr di ayat kedua “lihat Tafsir al-Misbah… ,
Vol. 14, h. 10
7. M. Quraish Shihab, “Adab Mufassir”, disampaikan dalam Training of Trainer (ToT)
Penulisan Tafsir Al-Qur’an al-Karim untuk tim penulis tafsir Manhaj Ulama Tiga
Serangkai di Pusat Studi Al-Qur’an, Ciputat, 30 Juni 2009. Penulis sendiri merupakan
salah seorang peserta pelatihan tersebut.
8. Berikut di bawah ini dikutip salah satu contoh kalimat Quraish yang panjang dan
melelahkan tersebut: Setelah mengisyaratkan kepunahan dunia, dan akan adanya
perubahan, maka ayat ini mengecam mereka yang tidak mempersiapkan diri untuk
menghadapinya, dengan menyatakan bahwa Sesungguhnya orang-orang yang tidak
mengharapkan yakni tidak percaya akan pertemuan dengan sanksi dan ganjaran Kami di
hari Kemudian dan merasa puas dengan kehidupan dunia sehingga tidak menghiraukan
lagi adanya kehidupan akhirat, tidak juga berpikir dan berupaya kecuali memenuhi
kebutuhan jasmani dan meraih kenikmatan duniawi serta merasa tentram (sic: tenteram)
dengannya yakni dengan kehidupan dunia, ketenangan yang menjadikan mereka tidak
mempersiapkan diri sama sekali untuk kehidupan akhirat dan orang-orang yang
senantiasa lalai terhadap ayat-ayat Kami yakni tidak memikirkan dan mengambil
pelajaran dari ayat-ayat al-Qur’an dan tanda-tanda keesaan dan kekuasaan Allah swt.
yang terbentang di alam raya, mereka itu yang sungguh jauh kebejatannya tempatnya
ialah neraka, disebabkan apa yakni kedurhakaan dan kelalaian yang selalu mereka
kerjakan. (Lihat Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh Vol. 6 (Jakarta: Lentera Hati, 2004),
h. 24.

Anda mungkin juga menyukai