Anda di halaman 1dari 23

TAFSIR AL-MISHBAH KARYA QURAISH SHIHAB

Mata Kuliah:

KAJIAN TAFSIR INDONESIA

Dosen Pengampu

Dr. Saifuddin, M. Ag

Oleh

Ahmad Rizki Maulana (180103020117)


Aida Harliyati (180103020010)
Lilis Kurniawati (180103020227)
Muhammad Shabirin (180103020110)
Rahmadi (180103020312)
UNIVERSITAS ISLAM NEGERRI ANTASARI

FAKULTAS USHULUDDIN DAN HUMANIORA

ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

BANJARMASIN

2020
1

PENDAHULUAN

Umat Islam menjadikan Al-Qur’an sebagai landasan dasar tujuan hidup dan
pedoman hidup. Di dalam Al-Qur’an memuat banyak sekali hukum-hukum yang menjadi
pemecahan bagi permasalahan umat. Tidak hanya menjadi pedoman bagi umat yang
menyaksikan proses penurunan ayat-ayat Al-Qur’an itu sendiri, tetapi ia menjadi pedoman
hingga masa kini. Al-Qur’an dapat dipahami isi kandungannya dengan menggunakan tafsir.

Kedudukan Al-Qur’an sebagai pedoman atau panduan umat Islam memunculkan


pembaharu-pembaharu dalam Islam, termasuk melahirkan penafsir Al-Qur’an yang
menghasilkan karya-karya tasfir yang dapat menjadi rujukan umat masa kini. Dalam
bentangan sejarah telah memunculkan banyak sarjana Muslim yang konsep dalam bidang
tafsir, kemudian muncul gagasan, metode, corak tafsir, yang kesemuanya didasari atas
kegelisahan mufassir dengan problematika tafsir dan sosial lingkungan yang dihadapi oleh
mufasir.

Di Nusantara ini banyak terlahir mufasir-mufasir yang masyhur hingga karyanya


menjadi rujukan bagi umat dan kalangan akademisi. Salah satu yang menarik dalam kajian
tafsir kontemporer di Nusantara adalah tafsir al-Mishbah karya M. Quraish Shihab. Seperti
apa konsep dalam Kitab Tafsir al-Mishbah tesebut? Dalam makalah ini kami akan
membahas sekelumit tentang tafsir al-Mishbah, dimulai dari biografi penulis, karya-karya
penulis, dan bagaimana tafsir al-Mishbah itu dari segi latar belakang penulisan, sistematika
penulisan, sumber penafsiran, metode penafsiran, corak penafsiran, contoh ayat yang
ditafsirkan, serta kelebihan dan kekurangan dari tafsir al-Mishbah.
2

PEMBAHASAN

A. Biografi Penulis

Muhammad Quraish Shihab merupakan seorang ulama dan cendikiawan muslim


yang dilahirkan di Kabupaten Rappang, Sulawesi Selatan, pada 16 Februari 1994. 1 Nama
Shihab merupakan nama kelurga besarnya, yang mana nama tersebut juga terdapat pada
nama ayahya, yakni Abdurrahman Shihab. Ayahnya juga seorang ulama besar sekaligus
pakar tafsir.2

Benih-benih kecintaan dan motivasi awal terhadap al-Qur’an dan bidang studi tafsir
didapatkan oleh Quraish Shihab dari petuah-petuah keagamaan yang bersumber dari al-
Qur’an, disertai hadis dan perkataan sahabat maupun pakar ilmu al-Qur’an yang
disampaikan oleh ayah beliau (Abdurrahman Shihab).3 Dan hal ini menjadi dorongan bagi
beliau ketika belajar di Universitas Al-Azhar, Mesir, beliau rela mengulang studinya
selama satu tahun agar dapat mendalami keilmuan bidang tafsir.4

Adapun riwayat pendidikan formal Quraish Shihab bermula di sekolah dasar yang
dikenal dengan Sekolah Rakyat.5 Kemudian melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah
Pertama di Ujung Pandang Makassar.6 Dan ketika ayahnya meminta beliau untuk menimba
ilmu agama ke salah satu pondok pesantren mashur di kota Malang, yakni pondok
pesantren Darul Hadis al-Faqihiyyah yang di asuh oleh Habib Abdul Qadir Bilfaqih. Maka
beliau pun menuruti permintaan tersebut sebagai bentuk penghormatan terhadap ayahnya.7
Setelah itu, beliau melanjutkan pendidikan di sekolah I’dadiyyah Madrasah Aliyah al-

1
Saiful Amin Ghafur, Profil Para Mufassir al-Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka Insan Madani, 2008),
236.
2
M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan
Masyarakat, (Bandung: Mizan, 2007), 19.
3
Badiatul Raziqin, dkk, 101 Jejak Tokoh Islam Indonesia, (Yogyakarta: E-Nusantara, 2009), 269.
4
Mahfudz Masduki, Tafsir al-Misbah:M. Quraish Shihab, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), 9-
11.
5
M. Mahbub Junaidi, Rasionalitas Kalam M. Quraish Shihab, (Solo: CV. Angkasa Solo, 2011), 29.
6
Abuddin Nata, Tokoh-Tokoh Pembaharuan Islam di Indonesia, (Jakarta: PT RajaGrafindo, 2005),
363.
7
M. Mahbub Junaidi, Rasionalitas Kalam M. Quraish Shihab, 31-33.
3

Azhar, setingkat dengan kelas dua tsanawiyah. Dan di tempat tersebut beliau merajut
pendidikannya sampai tamat tingkat menengah atas. Dengan keseriusan dan semangat, ia
menempuh pendidikan di Universitas Al-Azhar pada fakultas Ushuluddin dengan program
studi Tafsir Hadis. Bahkan setelah lulus dan memperoleh gelar ‘Lc’, beliau melanjutkan
lagi pendidikannya pada tingkat S-2 ditempat dan program studi yang sama sehingga
memperoleh gelar ‘MA’.8

Perjalanan pendidikan Quraish Shihab di al-Azhar memberikan banyak pengetahuan


mengenai berbagai ilmu keIslaman, yang membawa dampak besar terhadap logika
berpikirnya, terlebih pada bidang tafsir. Dan keilmuan tersebut beliau dapatkan tidak hanya
pada bangku kuliah, akan tetapi juga di luar bangku kuliah yang diajarkan oleh para syaikh,
terutama Syaikh Abd Halim Mahmud.9

Setelah memperoleh gelar ‘MA’, Quraish Shihab diminta ayahnya untuk kembali ke
tanah air tepatnya kota Ujung Pandang, Makassar. Beliau diminta untuk mengisi aktifitas
intelektual dan akademis di IAIN Alauddin sebagai pembantu Rektor bidang Akademik.
Sebab pada masa tersebut, ayahnya menjabat sebagai Rektor di IAIN Alauddin.10 Selain
itu, beliau juga diamanahi dalam menjalankan tugas pokok lain, yang menduduki jabatan
pembantu pimpinan Kepolisian Indonesia Timur pada bidang pembinaan mental.11

Karena kehausan akan ilmu bagi Quraish Shihab, setelah beberapa tahun
mejalankan tugasnya ia pun kembali megenyam pendidikan di Universitas Al-Azhar,
Mesir. Beliau mengambil program studi Tafsir al-Qur’an pada fakultas yang sama seperti
sebelumnya. Dalam kurun waktu dua tahun, ia dapat menyelesaikan studinya dengan
predikat summa cumlaude.12

8
Badiatul Raziqin, dkk, 101 Jejak Tokoh Islam Indonesia, 269-270.
9
M. Mahbub Junaidi, Rasionalitas Kalam M. Quraish Shihab, 36-39.
10
M. Mahbub Junaidi, Rasionalitas Kalam M. Quraish Shihab, 40.
11
M. Mahbub Junaidi, Rasionalitas Kalam M. Quraish Shihab, 40.
12
Lufaefi, Tafsir al-Misbah: Tekstualis, Rasionalitas dan Lokalitas Tafsir Nusantara”, Jurnal
Substantia, Vol. 21, No. 1, April 2019, 3.
4

Sepulangnya dari Mesir dalam memperoleh gelar Doktor, Quraish Shihab kemudian
kembali mengisi tugas dalam hal akademik di tempat yang berbeda, yakni di IAIN
(sekarang UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta. Beliu menjadi dosen pada Fakultas
Ushuluddin bagian Pascasarjana, dengan fokus bidang tafsir dan ilmu-ilmu al-Qur’an
(‘ulum al-Qur’an). Bahkan ia mendapat kepercayaan menduduki jabatan sebagai Rektor
IAIN Syarif Hidayatullah. Sebagaimana sebelumnya, selain aktif sebagai pendidik, ia pun
aktif di berbagai bidang. Seperti di Majelis Ulama Indoesia (MUI) yang menjabat sebagai
ketua, anggota Lajnah Pentashih Mushaf al-Qur’an Departemen Agama, anggota Badan
Pertimbangan Pendidikan Nasional, asisten Ketua Umum Ikatan Cendikiawan Muslim se-
Indonesia (ICMI), dan banyak lagi tugas-tugas lainnya.13

B. Karya-Karya M. Quraish Shihab


Sebagai mufassir kontemporer dan penulis yang produktif, M. Quraish Shihab telah
menghasilkan berbagai karya yang telah banyak diterbitkan dan dipublikasikan. Diantara
karya-karyanya, khususnya yang berkenaan dengan studi Al-Qur’an adalah:

1. Tafsir Al-Manar: Keistimewan dan Kelemahannya (1984),


2. Filsafat Hukum Islam (1987),
3. Mahkota Tuntunan Illahi: Tafsir Surat Al- Fatihah (1988),
4. Membumikan Alquran: Fungsi dan Peranan Wahyu dalam Kehidupan Maysarakat
(1994),
5. Studi Kritik Tafsir al-Manar (1994),
6. Lentera Hati: Kisah dan Hikmah Kehidupan (1994),
7. Wawasan Alquran: Tafsir Maudhu’i atas Berbagai Persoalan Umat (1996),
8. Hidangan Ayat-Ayat Tahlil (1997),
9. Tafsir Alquran Al-Karim: Tafsir Surat-surat Pendek Berdasarkan Urutan Turunya
Wahyu (1997),

13
Abuddin Nata, Tokoh-Tokoh Pembaharuan Islam di Indonesia, 364.
5

10. Mukjizat Alquran Ditinjau dari Berbagai Aspek Kebahasaan, Isyarat Ilmiah dan
Pemberitaan Ghaib (1997),
11. Sahur Bersama M. Quraish Shihab di RCTI (1997),
12. Menyingkap Ta’bir Illahi: al-Asma’ al-Husna dalam Prespektif Alquran (1998),
13. Fatwa-Fatwa Seputar Alquran dan Hadist (1999), dan lain-lain.14

C. Tafsir al-Misbah
1. Latar Belakang Penulisan Tafsir al-Misbah

Kitab suci al-Qur’an memperkenalkan dirinya sebagai petunjuk kehidupan manusia


di dunia. Sebagai petunjuk Ilahi, ia diyakini akan dapat membawa manusia kepada
kebahagiaan lahir dan batin, duniawi dan ukhrawi. Selain itu, al-Qur’an juga disebut oleh
Nabi sebagai Ma’dubatullah (hidangan Ilahi). Namun, kenyataannya hingga saat ini masih
sangat banyak manusia dan bahkan orang-orang Islam sendiri yang belum memahami isi
petunjuk-petunjuknya dan belum bisa menikmati serta “menyantap” hidangan Ilahi itu.

Al-Qur’an semestinya dipahami, didalami, dan diamalkan, mengingat wahyu yang


pertama turun adalah perintah untuk membaca dan mengkaji (iqra’). Dalam wahyu yang
turun pertama itu, perintah iqra’ sampai diulangi dua kali oleh Allah swt. Ini mengandung
isyarat bahwa kitab suci ini semestinya diteliti dan didalami, karena dengan penelitian dan
pendalaman itu manusia akan dapat meraih kebahagiaan sebanyak mungkin.

Memang, hanya dengan demikian membaca al-Qur’an pun sudah merupakan amal
kebaikan yang dijanjikan pahala oleh Allah swt. Namun, sesungguhnya pembacaan ayat-
ayat al-Qur’an semestinya disertai dengan kesadaran akan keagungan al-Qur’an, disertai
dengan pemahaman dan penghayatan (tadabbur). Al-Qur’an, mengecam umat yang tidak
menggunakan akal dan kalbunya untuk berpikir dan menghayati pesan-pesan al-Qur’an,

14
Atik Wartini, “Corak Penafsiran M. Quraish Shihab Dalam Tafsir Al-Misbah”, Hunafa: Jurnal
Studia Islamika, Vol. 11, No. 1, Juni 2014, 117.
6

para umat itu dinilai telah terkunci hatinya. Allah berfirman, “Apakah mereka tidak
memikirkan al-Qur’an, ataukah hati mereka telah terkunci.” (QS. Muhammad : 20). Hingga
kini, hati mayoritas umat Islam masih dalam keadaan “terkunci” seperti disindirkan oleh
ayat di atas.

Di antara muslimin masih sangat banyak golongan ummiyun yang tidak mengetahui
al-Kitab kecuali hanya amani (QS. Al-Baqarah : 78). Para ummiyun itu tidak mengetahui
makna pesan-pesan kitab suci, wahai boleh jadi hanya lancar membacanya dan bahkan
menghafalnya. Para umat hanya berangan-angan atau sekadar “amani”. Yang diibaratkan
oleh umat adalah al-Qur’an seperti “keledai yang memikul buku-buku” (QS. Al-Jumu’ah :
5), atau seperti “Pengembala yang memanggil binatang yang tak mendengar selain
panggilan dan seruan saja. Mereka tuli, bisu dan buta, (maka sebab itu) mereka tidak
mengerti” (QS. al-Baqarah : 171)

Faktanya masih sangat banyak di antara muslimin yang menjadi ummiyun, atau
“keledai pemikul buku”, atau “Pengembala yang tuli, bisu, dan buta” sebagaimana disindir
oleh ayat-ayat diatas.

Al-Qur’an menjelaskan bahwa di hari kiamat nanti Rasulullah akan mengadu


kepada Allah swt. Beliau akan berkata: “Wahai Tuhanku, sesungguhnya kaumku atau
umatku telah menjadikan al-Qur’an ini sebagai sesuatu yang mahjura”. (QS. al-Furqan :
30). Menurut Ibnu al-Qayyim, kata mahjura mencakup makna-makna antara lain: 1). Tidak
tekun mendengarkannya, 2) Tidak mengindahkan halal dan haramnya walau dipercaya dan
dibaca, 3) Tidak menjadikannya rujukan dalam menetapkan hukum menyangkut
ushuluddin, yakni prinsip-prinsip agama dan rinciannya, 4) Tidak berupaya memikirkannya
dan memahami apa yang dikehendaki Allah yang menurunkannya, 5) Tidak menjadikannya
sebagai obat bagi semua penyakit kejiwaan.

Tidak ada orang Islam yang suka atau ingin dimasukkan dalam golongan mahjura’,
namun kenyataan menunjukkan bahwa banyak orang yang tidak memahami al-Qur’an
dengan baik dan benar. Kendati demikian, harus diakui bahwa tidak jarang orang yang
7

berminat mengenalnya menghadapi kendala yang tidak mudah diatasi, seperti keterbatasan
dan kelangkaan buku rujukan yang sesuai.

Menghadapi kenyataan yang demikian, Quraish Shihab merasa terpanggil untuk


memperkenalkan al-Qur’an dan menyuguhkan pesan-pesannya sesuai dengan kebutuhan
dan keinginan masyarakat itu. Memang tidak sedikit kitab tafsir yang ditulis oleh para ahli,
yang berusaha menghidangkan oleh pesan-pesan al-Qur’an. Namun karena dunia selalu
berkembang dan berubah, maka penggalian akan makna dan pesan-pesan al-Qur’an itu
tetap harus selalu dilakukan, agar al-Qur’an sebagai kitab petunjuk yang selalu sesuai
dengan setiap tempat dan masa, dapat dibuktikan.

Kitab Tafsir al-Misbah adalah salah satu karya Muhammad Quraish Shihab dari
sekian banyak karya-karyanya. Tafsir al-Misbah ini lahir dari keinginan Quraish Shihab
untuk menjelaskan al-Qur’an, karena banyak kaum muslimin yang membaca surah-surah
tertentu dari al-Qur’an seperti surah Yasin, al-Waqiah, ar-Rahman dan lain-lain. Berat dan
sulit bagi mereka apa yang dibacanya walau telah mengkaji terjemahannya secara berulang-
ulang. Kesalahpahaman tentang kandungan atau pesan surah akan semakin menjadi-jadi
bila membaca hanya beberapa buku yang menjelaskan keutamaan surah-surah al-Qur’an
atas dasar hadis-hadis lemah, misalnya membaca surah al-Waqiah, mengundang kehadiran
rezeki.

Kitab ini juga membantu kalangan pelajar yang masih timbul dugaan keracuan
sistematika penyusunan ayat-ayat dan surah-surah al-Qur’an. Apalagi jika mereka mem
bandingkannya dengan karya-karya ilmiah, banyak yang tidak mengetahui bahwa
sistematika penyusunan ayat-ayat dan surah-surah yang sangat unik mengandung unsur
pendidikan yang amat menyentuh serta keinginannya untuk memperjelas makna-makna
yang dikandung oleh sesuatu ayat, dan menunjukkan betapa serasi hubungan antara kata
dan kalimat-kalimat yang satu dengan yang lainnya dalam al-Qur’an.

Disisi lain, buku tafsir ini juga sebagai tanggapan terhadap kritikan masyarakat yang
menilai karya Muhammad Quraish Shihab sebelumnya “Tafsir al-Qur’an al-Karim”
8

dianggap bertele-tele dalam uraian tentang pengertian kosa kata atau kaedah-kaedah yang
disajikan. Maka, Tafsir al-Misbah ini tidak lagi menguraikan pengertian penekanannya dari
kitab tafsir sebelumnya.15

2. Sistematika Penulisan

Tafsir al-Misbah yang ditulis oleh Muhammad Quraish Shihab berjumlah XV


volume, mencakup keseluruhan isi al-Qur’an sebanyak 30 juz. Kitab ini pertama kali
diterbitkan oleh Penerbit Lentera Hati, Jakarta, Pada tahun 2000. Kemudian dicetak lagi
untuk yang kedua kalinya pada tahun 2004. Dari kelima belas volume kitab masing-masing
memiliki ketebalan halaman yang berbeda-beda, dan jumlah surat yang dikandung pun juga
berbeda. Agar lebih jelas, berikut ditampilkan tabel yang berisi nama-nama surat pada
masing-masing surat pada masing-masing volume serta jumlahnya.

NO VOLUME SURAH
1 Volume 1 Surah al-Fatihah dan al-Baqarah
2 Volume 2 Surah Ali-Imran dan an-Nisa
3 Volume 3 Surah al-Maidah
4 Volume 4 Surah al-An’am
5 Volume 5 Surah al-‘Araf, al-Anfal dan at-Taubah
6 Volume 6 Surah Yunus, Hud dan ar-Ra’d
7 Volume 7 Surah Ibrahim, al-Hijr, an-Nahl dan al-Isra’
8 Volume 8 Surah al-Kahfi, Maryam, Thahaa dan al-Anbiya
9 Volume 9 Surah al-Hajj, al-Mu’minun, an-Nuur dan al-
Furqan
10 Volume 10 Surah asy-Syu’ara, an-Naml, al-Qashash, dan
al-Ankabut
11 Volume 11 Surah ar-Rum, Luqman, as-Sajadah, al-Ahzab,

15
Mahfudz Masduki, Tafsir al-Misbah M. Quraish Shihab, 15-20.
9

Saba’, Fathir dan Yasin


12 Volume 12 Surah Ash-Shaffat, Shaad, Az-Zumar, al-
Mu’min, Fushilat, asy-Syu’ara dan az-Zukhruf
13 Volume 13 Surah ad-Dukhan, al-Jatsiyah, al-Ahqaf,
Muhammad, al-Fath, al-Hujurat, Qaaf, adz-
Dzaariyaat, ath-Thuur, an-Najm, al-Qamar, ar-
Rahman dan al-Waqi’ah
14 Volume 14 Surah al-Hadid, al-Mujadilah, al-Hasyr, al-
Mumtahanah, al-Shaff, al-Jumu’ah, al-
Munafiqun, at-Taghabun, ath-Thalaq, al-
Tahrim, al-Mulk, al-Qalam, al-Haqqah, al-
Ma’arij, Nuh, al-Jin, al-Muzzammil, al-
Muddatsir, al-Qiyamah, al-Insan dan al-
Mursalat
15 Volume 15 Juz ‘Amma

Quraish Shihab dalam menyampaikan uraian tafsirnya menggunakan tartib mushafi.


Maksudnya, di dalam menafsirkan al-Qur’an, ia mengikuti urut-urutan sesuai dengan
susunan ayat-ayat dalam mushaf, ayat demi ayat, surat demi surat, yang dimulai dari surat
al-Fatihah dan diakhiri dengan surat an-Nas16.

Di awal setiap surat, sebelum menafsirkan ayat-ayatnya, Quraish Shihab terlebih


dahulu memberikan penjelasan yang berfungsi sebagai pengantar untuk memasuki surat
yang akan ditafsirkan. Cara ini ia lakukan ketika hendak mengawali penafsiran pada tiap-
tiap surat.

Pengantar tersebut memuat penjelasan-penjelasan antara lain sebagai berikut:

16
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2004), 524.
10

a) Keterangan jumlah ayat pada surat tersebut dan tempat turunnya, apakah ia
termasuk surat Makkiyah atau Madaniyyah
b) Penjelasan yang berhubungan dengan penamaan surat, nama lain dari surat
tersebut jika ada, serta alasan mengapa diberi nama demikian, juga keterangan
ayat yang dipakai untuk memberi nama surat itu, jika nama suratnya diambil
dari salah satu ayat dalam surat itu
c) Penjelasan tentang tema sentral atau tujuan surat
d) Keserasian atau Munasabah antara surat sebelum dan sesudahnya
e) Keterangan nomor urut surat berdasarkan urutan mushaf dan turunnya,
disertai keterangan nama-nama surat yang turun sebelum ataupun sesudahnya,
serta munasabah antara surat-surat itu.
f) Keterangan tentang asbab an-Nuzul surat, jika surat itu memiliki asbab an-
Nuzul.

Kegunaan dari penjelasan yang diberikan oleh Quraish Shihab pada pengantar
setiap surat ialah memberikan kemudahan bagi para pembacanya untuk memahami tema
pokok surat dan poin-poin penting yang terkandung dalam surat tersebut, sebelum pembaca
meneliti lebih lanjut dengan membaca urutan tafsirnya.

Tahap berikutnya yang dilakukan oleh Quraish Shihab adalah membagi atau
mengelompokkan ayat-ayat dalam suatu surat ke dalam kelompok kecil terdiri atau
beberapa ayat yang dianggap memiliki keterkaitan erat. Dengan membentuk kelompok ayat
tersebut akhirnya akan kelihatan dan terbentuk tema-tema kecil di mana antar tema kecil
yang berbentuk dari kelompok ayat tersebut terlihat adanya saling keterkaitan.

Dalam kelompok ayat tersebut, selanjutnya Quraish Shihab mulai menuliskan satu,
dua ayat, atau lebih yang dipandang masih ada kaitannya. Selanjutnya dicantumkan
terjemahan harfiah dalam bahasa Indonesia dengan tulisan cetak miring.

Selanjutnya memberikan penjelasan tentang arti kosakata (tafsir al-Mufradat) dari


kata pokok atau kata-kata kunci yang terdapat dalam ayat tersebut. Penjelasan tentang
11

makna kata-kata kunci ini sangat penting karena akan sangat membantu kepada
pemahaman kandungan ayat. Tidak ketinggalan, keterangan mengenai munasabah atau
keserasian antar ayat pun juga ditampilkan.

Akhirnya, Quraish Shihab mencamtumkan kata Wa Allah A’lam sebagai penutup


uraiannya di setiap surat. Kata itu menyiratkan makna bahwa hanya Allah-lah yang paling
mengetahui secara pasti maksud dan kandungan dari firman-firman-Nya, sedangkan
manusia yang berusaha memahami dan menafsirkannya, Quraish Shihab sendiri, bisa saja
melakukan kesalahan yakni memahami ayat-ayat al-Qur’an tidak seperti yang dikehendaki
oleh yang memfirmankannya, yaitu Allah swt.

Dari uraian tentang sistematika di atas terlihat bahwa pada dasarnya sistematika
yang digunakan oleh Quraish Shihab dalam menyusun kitab tafsirnya, tidaklah jauh
berbeda dengan sistematika dari kitab-kitab tafsir yang lain.17

3. Sumber penafsiran

Untuk menyusun kitab Tafsir al-Misbah, Quraish Shihab mengemukakan sejumlah


kitab tafsir yang ia jadikan sebagai rujukan atau sumber pengambilan. Kitab-kitab rujukan
itu secara umum telah ia sebutkan dalam "Sekapur Sirih" dan "Pengantar" kitab tafsirnya
yang terdapat pada volume I, kitab Tafsir al- Misbah. Selanjutnya kitab-kitab rujukan itu
dapat dijumpai bertebaran di berbagai tempat ketika ia menafsirkan ayat-ayat al-Qur'an.

Sumber-sumber pengambilan dimaksud di antaranya: Şohih al-Bukhari karya


Muhammad bin Ismail al-Bukhari; Şohih Muslim karya Muslim bin Hajjaj; Nazm al-Durar
karya Ibrahim bin Umar al-Biqa'I; Fi Zilāl al-Qur'an karya Sayyid Qutb; Tafsir al-Mizan
karya Muhammad Husain al- Thabathaba'I; Tafsir Asma" al-Husna karya al-Zajjaj; Tafsir
al-Qur'an al- Azīm karya Ibnu Kathir; Tafsir Jalailain karya Jalaluddin al-Mahalli dan
Jalaluddin al-Suyuthi; Tafsir al-Kabir karya Fakh al-din ar-Razi; al-Kashaf karya az-
Zamakshari; Nahwa Tafsir al-Maudhu'I karya Muhammad al- Ghazali; al-Dur al-Manshür,

17
Mahfudz Masduki, Tafsir al-Misbah M. Quraish Shihab, 22-25.
12

karya al-Suyuți; at- Tabrir wa at-Tanwir karya Muhammad Tharir Ibnu Asyur; Ihya"
Ulumuddin, Jawahir al-Qur 'an karya Abu Hamid al-Ghazali; Bayan I'jaz al-Qur'an karya
al-Khottobi; Mafātih al- Ghaib karya Fakh al-din ar-Razi; al-Burhan karya al-Zarkashi;
Asrar Tartībal- Qur'an, dan AlI-Itqan karya as-Suyuți; al-Naba' al-Azim dan al-Madkhal
ila al-Qur 'an al-Karim karya Abdullah Darraz; al-Mannar karya Muhammad Abduh dan
Muhammad Rasyid Rido; dan lain-lain."18

4. Metode Penafsiran Tafsir al-Misbah

Quraish Shihab, dalam menuliskan karya tafsirnya, ia cenderung menggunakan


metode tafsir analitik atau yang disebut dengan metode tahliliy. Metode ini bermaksud
menjelaskan kandungan ayat al-Qur’an yang ditinjau dari berbagai aspek dan mengikuti
urutan ayat maupun surah yang tersusun dalam mushaf Usmani.19

Pendekatan dalam metode tahlili lebih menggunakan nalar, maksudnya melakukan


penalaran atau penelusuran segala sesuatu yang berkenaan dengan ayat al-Qur’an secara
rinci, satu persatu. Dengan demikian, pembahasan kandungan ayat tersebut menjadi sangat
luas.20 Dengan metode ini al-Qur’an dapat dipahami secara menyeluruh sebab penafsiran
dilakukan dari awal (surah al-Fatihah) hingga akhir (surah an-Nas) dan dapat mengetahui
berbagai aspek kandungan ayat al-Qur’an.21

Adapun langkah penafsiran yang dilakukan oleh Quraish Shihab, pada setiap awal
surah ia memberikan penjelasan yang berfugsi pengantar surah, sebelum menafsirkan ayat-
ayatnya. Di dalamnya memuat keterangan jumlah ayat, golongan surah (makkiyah atau
madaniyah), penamaan surah disertai nama lainnya, tema surah, munasabah surah sebelum
dan sesudahnya, nomor urut surah, serta sebab turun (asbab an-nuzul) surah apabila ada.

18
Mahfudz Masduki, Tafsir Al-Misbah M. Quraisy Shihab, 37-38.
19
Abd Hayy al-Farmawi, Pengantar Ilmu Tafsir Maudh’i, Terj.Sufyan A. Jamrah, (Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 1994), 12.
20
Hemlan Elhany, “Metode Tafsir Tahlili dan Maudhu’i”, Jurnal Metro Univ, 3.
21
Ahmad Izzan, Metodologi Ilmu Tafsir, (Bandung: Tafakur, T.T), 104-105.
13

Hal ini dimaksudkan agar pembaca lebih mudah dalam memahami tema pokok dan poin-
poin penting dari surah.22

Quraish Shihab juga melakukan analisis pada setiap kosa kata dalam al-Qur’an
dengan aspek bahasa dan makna. Analisis dari aspek bahasa meliputi pada keindahan
susunan kalimat, i’jaz, badi’, ma’ani, haqiqat, majaz, dan lain sebagainya. Sedangkan
analisis dari aspek makna meliputi sasaran yang dituju oleh ayat, seperti hukum, akidah,
moral, perintah, larangan, hikmah serta munasabah ayat sebelum dan sesudahnya.23

Pembahasan latar belakang turunnya (asbab an-nuzul) ayat pun disajikan dalam
tafsiran ini. Yang mana hal tersebut diambil dari berbagai sumber, seperti sabda Nabi,
perkataan para sahabat dan tabi’in, serta pendapat dari para mufassir.24

Untuk menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an, Quraish Shihab menjelaskannya dengan


ketelitian dan menyusun kandungannya menggunakan redaksi yang indah serta
menghubungkan pengertian ayat-ayatnya dengan hukum alam yang terjadi dalam
masyarakat. Penjelasannya ia paparkan dengan memerhatikan kosa kata yang terdapat pada
ayat tersebut, kemudian melengkapinya dengan pernyataan dari pakar-pakar bahasa.
Sehingga dapat menonjolkan petunjuk al-Qur’an bagi kehidupan manusia.25

5. Corak Penafsiran Tafsir al-Mishbah

Corak tafsir al-Mishbah adalah adabi ijtima’i, yaitu corak penafsiran yang
menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an berdasarkan ketelitian ungkapan-ungkapan yang disusun
dengan bahasa yang lugas dan menekankan tujuan pokok Al-Qur’an, lalu
mengorelasikannya dengan kehidupan sehari-hari, seperti pemecahan masalah umat dan

22
Kajian tentang Tafsir al-Misbah, dalam digilib.uinsby.ac.id, diakses pada 06 April 2020.
23
Kadar M. Yusuf, Studi Al-Qur’an, (Jakarta: T.P, 2009), 143-144.
24
Abd Hayy al-Farmawi, Pengantar Ilmu Tafsir Maudh’i, 12.
25
Ali Genio Berutu, “Tafsir al-Misbah: Muhammad Quraish Shihab”, Jurnal IAIN Salatiga, 01
Desember 2019, 9.
14

bangsa.26 Corak ini menampilkan pola penafsiran berdasarkan sosio-kultural masyarakat


sehingga bahasannya lebih mengacu pada sosiologi. Terdapat dua hal yang
melatarbelakangi Quraish Shihab cenderung memilih corak adabi ijtima’i dalam Tafsir al-
Mishbah, yaitu keahlian dan penguasaan bahasa Arab dan setting social masyarakat yang
melingkup pada dirinya. Kecenderungan ini melahirkan semboyan beliau: “Menjadi
kewajiban semua umat Islam untuk membumikan Al-Qur’an, menjadikannya menyentuh
realitas sosial.”27

Ada tiga karakter yang harus dimiliki oleh sebuah karya tafsir yang bercorak adabi
ijtima’i, yaitu: 1) menjelaskan petunjuk ayat Al-Qur’an yang berkaitan langsung dengan
kehidupan masyarakat dan menjelaskan bahwa Al-Qur’an itu kitab suci yang kekal
sepanjang zaman; 2) penjelasan-penjelasannya lebih tertuju pada penanggulangan penyakit
dan masalah-masalah yang sedang mengemuka dalam masyarakat; dan 3) disajikan dalam
bahasa Arab yang mudah dipahami dan indah didengar. Tafsir al-Mishbah memenuhi
ketiga persyaratan tersebut.28

Dalam kacamata hermeunetika Al-Qur’an, tafsir al-Mishbah karya Quraish Shihab


merupakan corak tafsir obyektik modernis, dimana tafsir Al-Qur’an di dalamnya tetap
mengedepankan teori-teori konvensional yang dijadikan sebagai dasar awal menafsirkan
Al-Qur’an, untuk kemudian menghasilkan sebuah penafsiran yang baru, kontekstual dan
dapat diaplikasikan kepada masa kapanpun.29

26
Atik Wartini, Tafsir Feminis M. Quraish Shihab, Jurnal Palastren Vol. 6 No. 2, Desember 2013,
484.
27
Muhaimin, dkk, Kawasan dan Wawasan Studi Islam, (Jakarta:Kencana, 2007), 120.
28
Ali Genio Berutu, “Tafsir al-Misbah: Muhammad Quraish Shihab”, Jurnal IAIN Salatiga, 01
Desember 2019, 17.
29
Lufaefi, Tafsir al-Misbah: Tekstualis, Rasionalitas dan Lokalitas Tafsir Nusantara”, Jurnal
Substantia, Vol. 21, No. 1, April 2019, 32.
15

6. Contoh Penafsiran Ayat dalam Tafsir al-Mishbah

a. Dalam surat al-An’am ayat 2

ُّ ‫ل‬ٞ ‫َضَأج اٗلَوأج‬


ُ ‫َمس ىًّمَعِند َهُۥََۖ ُث ذمَأ‬ ‫ُ ذ‬
ُ ‫نت ۡمَت ۡم‬
٢َ‫َتون‬ ۖ ٰٓ ‫ِنيَ ُث ذمَق‬ ُ
ٖ ‫هوََٱَّلِيَخلقكمَمِنَط‬
Artinya: “Dialah Yang menciptakan kamu dari tanah, sesudah itu ditentukannya
ajal (kematianmu), dan ada lagi suatu ajal yang ada pada sisi-Nya (yang Dia sendirilah
mengetahuinya), kemudian kamu masih ragu-ragu (tentang berbangkit itu).
Dalam hal ini, penulis terkonsentrasi pada “sesudah itu ditentukan-Nya ajal dan ada
lagi suatu ajal yang ditentukan di sisi-Nya”. Menurut Quraish Shihab, pendapat yang
terkuat tentang arti ajal adalah ajal kematian dan ajal kebangkitan karena biasanya al-
Qur’an menggunakan kata “ajal” bagi manusia dalam arti kematian. Ajal yang pertama
adalah kematian, yang paling tidak dapat diketahui oleh orang lain yang masih hidup
setelah kematian seseorang. Sedangkan ajal yang kedua adalah ajal kebangkitan, yang tidak
diketahui kecuali oleh Allah SWT.
Untuk memperkuat ini, kembali ditegaskan oleh Quraish bahwa pembentukan diri
manusia, dengan segala potensi yang dianugrahkan Allah, menjadikan dia dapat hidup
dengan normal, bisa jadi sampai seratus atau seratus dua puluh tahun; inilah yang tertulis
dalam lauh al-mahwu wa al-itsbat. Tetapi semua bagian dari alam raya memiliki hubungan
dan pengaruh dalam wujud atau kelangsungan hidup makhluk. Bisa jadi, faktor-faktor dan
penghalang yang tidak diketahui jumlahnya itu saling memengaruhi dalam bentuk yang
tidak kita ketahui sehingga tiba ajal sebelum berakhir waktu kehidupan normal yang
mungkin bisa sampai pada batas100 atau 120 tahun itu.
Quraish kembali menjelaskan, hal inilah yang dimaksud sementara ulama Ahlus
Sunnah dinamai dengan qadha’ muallaq dan qadha’ mubram. Ada ketetapan Allah yang
bergantung dengan berbagai syarat yang bisa jadi tidak terjadi karena berbagai faktor,
antara lain karena doa, dan ada juga ketetapan-Nya yang pasti dan tidak dapat berubah
sama sekali.
16

b. Dalam QS.Al-Baqarah ayat 185


Allah SubhanahuWaTa’ala berfirman:
ُ ۡ َٰ ُ ۡ ‫ذ‬ ‫ُۡ ۡ ُ ُا‬ ُ ‫ذ‬
َ‫ان َفمنَش ِهد‬ ۡ
َِ ‫ى َوَٱلفرق‬
َ ‫ت َمِن َٱلهد‬ َٰ ِ ‫ان َهدىَل ِلن‬
ٖ ‫اس َوبيِن‬ َ ‫نزل َفِيهَِٱلقرء‬
ِ ‫أ‬َ ‫ِي‬
َ ‫َّل‬ ‫ش ۡه َُر َرمضان َٱ‬
ۡ ُ ُ‫ ۡ ذ ُ ُ ُ ذ‬ٞ ‫ذ‬ ً ۡ ‫ذ‬ ُ
َ ۡ ‫ّللَبِك َُم ٱل ُي‬
َ‫س‬ َٰ ‫يضاَأ ۡو‬
َ ‫َلَعَسف َٖرَف ِعدةَمِنَأيا ٍمَأخرََۗي ِريدَٱ‬ ‫مِنك ُمَٱلش ۡهرََفلي ُص ۡم ُهَۖومنََكنَم ِر‬
ُ ۡ ُ ‫ذ‬ ُ ‫ُ ُ ْ ذ‬ ‫كملُواَْٱ ۡلع ذ‬ۡ ُ ۡ ‫ك ُمَٱ ۡل ُع‬
ُ ُ ُ
١٨٥َ‫لَعَماَهدىَٰك ۡمَولعلك ۡمَتشك ُرون‬
َٰ َ‫ّلل‬
َ ‫ّبواَٱ‬
ِ ‫ك‬‫ِل‬
ِ ‫و‬َ‫ة‬
َ ‫د‬ ِ ِ ‫ِل‬ِ ‫و‬ ََ
‫س‬ ِ ‫وَلَي ِريدَب‬
Artinya: “(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang
di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan
penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang
bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di
bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam
perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang
ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan
tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya
dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu,
supaya kamu bersyukur.”
Beberapa hari yang ditentukan yakni dua puluh Sembilan atau tiga puluh hari saja
selama bulan Ramadhan. Bulan tersebut dipilih karena ia bulan yang mulia.
Al-Qur’an merupakan petunjuk bagi manusia terkait akidah dan juga penjelasan-
penjelasan petunjuk itu dalam rincian hukum-hukum syariat. Banyak nilai universalnya,
namun nilai-nilai itu dilengkapi dengan penjelasan mengenai petunjuk, keterangan dan
rinciannya. Penegasan Al-Qur’an diturunkan pada bulan Ramadhan menisyaratkan sangat
dianjurkan untuk membaca dan mempelajari Al-Qur’an selama bulan Ramadhan.
Quraish Shihab kemudian menerangkan tentang kawasan-kawasan yang dapat
melihat bulan sabit. Ia juga menerangkan jarak waktu antara terlihatnya bulan diberbagai
benua dengan Indonesia. Ia menjelaskan kajian ilmiah tentang fenomena dan proses
17

perhitungan awal bulan ramadhan dan juga kajian selisihnya bulan Hijriah dan Masehi.
Terkait keringanan qadha puasa dihari lain, Quraish Shihab berpandangan bahwa tujuannya
agar puasa 29 Atau 30 hari tersebut dapat terpenuhi. Ia melanjutkan ayat di atas merupakan
penjelasan tentang hokum berpuasa Ramadhan,keistimewaan,manfaat, waktu dan
bilangannya. Kewajiban berpuasa sangat jelas, karena jika ada halangan yang menundanya
wajib baginya untuk menggantikan puasa ramadhan tersebut. Quraish Shihab menutup
penafsirannya dengan uraian Hadis qudsi; Puasa untuk-Ku dan Aku yang akan memberi
ganjarannya.30
7. Kelebihan dan Kekurangan Tafsir al-Mishbah
Sebagai sebuah karya manusia biasa, Tafsir Al-Mishbah tentu saja memiliki
kelebihan-kelebihan, sekaligus juga terdapat kekurangan-kekurangan di dalamnya.
Di antara kelebihan tafsir al-Mishbah adalah:
a. Tafsir Al-Mishbah kontekstual dengan kondisi ke-Indonesiaan. Di dalamnya
banyak merespon hal-hal yang aktual di dunia Islam Indonesia, bahkan dunia
internasional.
b. Tafsir Al-Mishbah kaya akan referensi dari berbagai latar belakang referensi,
yang disuguhkan dengan ringan dan dapat dimengerti oleh seluruh pembacanya.
c. Tafsir Al-Mishbah sangat kental dalam mengedepankan korelasi antar surat,
antar ayat, dan antar akhir ayat dan awal surat. Hal ini membantah anggapan tak
mendasar para orientalis, seperti W Mongontwery Watt, yang menyatakan bahwa
al-Quran antar satu ayat dengan ayat yang lainnya kacau balau, tidak
berkesinambungan.31
Sedangkan kekurangannya adalah:
a. Dalam berbagai riwayat dan kisah-kisah yang dituliskan Quraish Shihab dalam
tafsirnya, terkadang tidak menyebutkan perawinya. Hal ini membuat sulit bagi
pembaca, terutama para pengkaji ilmu, untuk merujuk dan berhujjah dengan

30
Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesandan Keserasian Al-Qur’an, Vol. 1, 403-40.
31
Mafri Amin dan Lilik Umi Katsum, Literatur Tafsir Indonesia, 254.
18

kisah-kisah tersebut. Sebagai contoh misalnya sebuah riwayat dan kisah Nabi
Saleh dalam menafsirkan QS. Al-A’raf: 78.
b. Beberapa penafsirannya yang tergolong berbeda dengan mayoritas mufasir,
seperti tentang ketidakwajiban berhijab, membuatnya dicap liberal.
c. Penjelasan penafsiran Quraish Shihab dalam Al-Mishbah tidak dibubuhi dengan
penjelasan dalam footnote. Sehingga, tafsiran-tafsirannya terkesan semuanya
merupakan pedapat pribadi. Hal ini tentu bisa saja menimbulkan kliam bahwa
tafsir Al-Mishbah tidak ilmiah.

Tafsir Al-Misbah ini tentu saja tidak murni hasil penafsiran (ijtihad) Quraish Shihab
saja. Sebagaimana pengakuannya sendiri, banyak sekali ia mengutip dan menukil pendapat-
pendapat para ulama, baik klasik maupun kontemporer.32

Yang paling dominan tentu saja kitab Tafsîr Naz}m al-Durar karya ulama abad
pertengahan Ibrahim ibn ‘Umar al-Biqa‘i (w. 885/1480). Ini wajar, karena tokoh ini
merupakan objek penelitian Quraish ketika menyelesaikan program Doktornya di
Universitas Al-Azhar. Muhammad Husein Thabathab’i, ulama Syi‘ah modern yang menulis
kitab Tafsîr al-Mîzân lengkap 30 juz, juga banyak menjadi rujukan Quraish dalam tafsirnya
ini. Dua tokoh ini kelihatan sangat banyak mendapat perhatian Quraish Shihab dalam Tafsir
Al-Mis}ba>h-nya. Selain al-Biqa‘i dan Thabathaba’i, Quraish juga banyak mengutip
pemikiranpemikiran Muhammad at-Thantawi, Mutawalli as-Sya‘rawi, Sayyid Quthb dan
Muhammad Thahir ibn Asyur.33

32
Muhammad Iqbal, “Metode Penafsiran al-Qur’an M. Quraish Shihab”, Jurnal TSAQAFAH, Vol.
6, No. 2, Oktober 2010, 260.
33
Quraish Shihab, Lentera Al-Qur’an: Kisah dan Hikmah Kehidupan (Bandung: Mizan, 2008), 10.
19

PENUTUP

Quraish Shihab lahir di Sulawesi Selaran, 16 Februari 1994. Shihab merupakan


nama keluarga besarnya, yakni nama ayahnya Abdurrahman Shihab. Dengan keseriusan
dan semangat, ia menempuh pendidikan di Universitas Al-Azhar pada fakultas Ushuluddin
dengan program studi Tafsir Hadis. Bahkan setelah lulus dan memperoleh gelar ‘Lc’, beliau
melanjutkan lagi pendidikannya pada tingkat S-2 ditempat dan program studi yang sama
sehingga memperoleh gelar ‘MA’. Salah satu karya beliau yang msyhur adalah Tafsir al-
Mishbah.

Tafsir al-Misbah ini lahir dari keinginan Quraish Shihab untuk menjelaskan Al-
Qur’an, karena banyak kaum muslimin yang membaca surah-surah tertentu dari al-Qur’an.
Kitab ini juga membantu kalangan pelajar yang masih timbul dugaan keracuan sistematika
penyusunan ayat-ayat dan surah-surah Al-Qur’an, buku tafsir ini juga sebagai tanggapan
terhadap kritikan masyarakat yang menilai karya Muhammad Quraish Shihab sebelumnya
“Tafsir Al-Qur’an al-Karim” dianggap bertele-tele dalam uraian tentang pengertian kosa
kata atau kaedah-kaedah yang disajikan.

Tafsir ini berjumlah XV volume, mencakup keseluruhan isi Al-Qur’an sebanyak 30


juz. Tafsir al-Mishbah menggunakan tartib mushafi, maksudnya, di dalam menafsirkan Al-
Qur’an, ia mengikuti urut-urutan sesuai dengan susunan ayat-ayat dalam mushaf. Untuk
menyusun kitab Tafsir al-Misbah, Quraish Shihab mengemukakan sejumlah kitab tafsir
yang ia jadikan sebagai rujukan atau sumber pengambilan. Kitab-kitab rujukan itu secara
umum telah ia sebutkan dalam "Sekapur Sirih" dan "Pengantar" kitab tafsirnya yang
terdapat pada volume I, kitab Tafsir al- Misbah. Tafsir ini menggunakan metode tafsir
analitik atau yang disebut dengan metode tahliliy. Sedangkan corak tafsir al-Mishbah
adalah adabi ijtima’i.

Kelebihan dari tafsir ini yaitu, kontekstual dengan kondisi ke-Indonesiaan, kaya
akan referensi, sangat kental dalam mengedepankan korelasi antar surat, antar ayat, dan
antar akhir ayat dan awal surat. Sedangkan kekurangannya yaitu, dalam berbagai riwayat
20

terkadang tidak menyebutkan perawinya, beberapa penafsirannya yang tergolong berbeda


dengan mayoritas mufasir, serta penjelasan penafsiran Quraish Shihab dalam Al-Mishbah
tidak dibubuhi dengan penjelasan dalam footnote.
21

Daftar Pustaka

al-Farmawi, Abd Hayy, Pengantar Ilmu Tafsir Maudh’i, Terj.Sufyan A. Jamrah, Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 1994.

Amin, Mafri dan Lilik Umi Katsum, Literatur Tafsir Indonesia.

Berutu, Ali Genio, “Tafsir al-Misbah: Muhammad Quraish Shihab”, Jurnal IAIN Salatiga,
01 Desember 2019, 9.

Elhany, Hemlan, “Metode Tafsir Tahlili dan Maudhu’i”, Jurnal Metro Univ.

Ghafur, Saiful Amin, Profil Para Mufassir al-Qur’an, Yogyakarta: Pustaka Insan Madani,
2008.

Iqbal, Muhammad, “Metode Penafsiran al-Qur’an M. Quraish Shihab”, Jurnal TSAQAFAH,


Vol. 6, No. 2, Oktober 2010.

Izzan, Ahmad, Metodologi Ilmu Tafsir, Bandung: Tafakur, T.T.

Junaidi, M. Mahbub , Rasionalitas Kalam M. Quraish Shihab, Solo: CV. Angkasa Solo,
2011.

Kajian tentang Tafsir al-Misbah, dalam digilib.uinsby.ac.id, diakses pada 06 April 2020.

Lufaefi, Tafsir al-Misbah: Tekstualis, Rasionalitas dan Lokalitas Tafsir Nusantara”, Jurnal
Substantia, Vol. 21, No. 1, April 2019.

Masduki, Mahfudz, Tafsir al-Misbah:M. Quraish Shihab, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,


2012.

Muhaimin, dkk, Kawasan dan Wawasan Studi Islam, Jakarta:Kencana, 2007.

Nata, Abuddin, Tokoh-Tokoh Pembaharuan Islam di Indonesia, Jakarta: PT RajaGrafindo,


2005.
22

Raziqin, Badiatul, dkk, 101 Jejak Tokoh Islam Indonesia, Yogyakarta: E-Nusantara, 2009.

Shihab, M. Quraish, Membumikan al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan
Masyarakat, Bandung: Mizan, 2007.

Shihab, M. Quraish, Tafsir Al-Mishbah, Jakarta: Lentera Hati, 2004.

Shihab, Quraish, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesandan Keserasian Al-Qur’an, Vol. 1

Shihab, Quraish, Lentera Al-Qur’an: Kisah dan Hikmah Kehidupan, Bandung: Mizan,
2008.

Wartini, Atik, “Corak Penafsiran M. Quraish Shihab Dalam Tafsir Al-Misbah”, Hunafa:
Jurnal Studia Islamika, Vol. 11, No. 1, Juni 2014

Yusuf, Kadar M., Studi Al-Qur’an, Jakarta: T.P, 2009.

Anda mungkin juga menyukai