Anda di halaman 1dari 10

ILMU NASKH WA MANSUKH AL-HADTS

Mata Kuliah:
Ulumul Hadis B
Dosen Pengampu:
Dr. Dzikri Nirwana, S.Th.I, M.Ag

Disusun oleh:

Muhammad Shabirin 180103020110

Mujtahidun Nashir 180103020112

Ahmad Junaidi 180103020292

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ANTASARI

FAKULTAS USHULUDDIN DAN HUMANIORA

ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

BANJARMASIN

2020
PENDAHULUAN

Pada zaman sekarang ini, telah banyak orang-orang yang berani untuk
mengeluarkan fatwa-fatwa atau tafsir-tafir dari kitab Allah Swt (Al-Qur’an) dan
hadits-hadits Nabi Saw tanpa memiliki ilmu dan pengetuhuan yang mendasari
mereka untuk melakukan hal tersebut. Padahal, para sahabat nabi Saw, para tabi’in
dan para-para ulama telah mewasiatkan untuk mempelajari segala aspek dari ilmu-
ilmu syariat sebelum memutuskan dan mengemukakan suatu hukum. Sebagaimana
yang telah kita ketahui bahwa para sahabat Nabi Saw adalah orang-orang yang
sangat mengenal dan memahami Al-Qur’an hingga proses-proses diturunkannya,
tetapi tidak ada seorangpun dari mereka yang berani mengemukakan sesuatu yang
mengenai tentang hukum dan mengatakan bahwa ini halal dan ini haram,
disebabkan mereka takut akan terjatuhnya kedalam perbuatan dosa, dan mereka
takut akan menghasilkan perubahan pada sebagian hukum yang belum mereka
ketahui dan belum mereka dengar sebelumnya.1

Maka dari itu, seseorang tidak boleh berpatwa sebelum ia mengusai


berbgai bidang ilmu di bidang Al-Qur’an dan Hadits. Di dalam ilmu hadits
misalnya, ada banyak ilmu-ilmu yang harus di kuasi, seperti; ilmu gharib al-hadits,
ilmu asbab wurud al-hadits, I’lal al-hadits, ilmu mukhtalif al-hadits, ilmu nasikh
wa Mansukh al-hadits, dan masih banyak lagi ilmu-ilmu yang sangat penting dan
harus di kuasi oleh orang yang ingin berpatwa dalam agama ini.

Semua ilmu-ilmu hadits diatas adalah sangat penting untuk dipelajari dan
dipahami, dan salah yang terpenting diantaranya adalah ilmu nasikh wa Mansukh
al-hadits, maka didalam tulisan ini kami akan membahas dan memaparkan satu
persatu mengenai ilmu nasikh wa Mansukh al-hadits tersebut.

1
Abu Ishaq Burhanuddin Ibrahim, Rusyukh Al-Ahbar Fi Mansukh Al-Akhbar, (Beirut: Maktabah
Al-Jail Al-jadid, 1988), 73.

1
A. Pengertian Nasakh

An-Naskh secara bahasa memiliki beragam makna, yaitu al-izalah (‫)اإلزالة‬


yang artinya menghilangkan, kemudian an-naql (‫ )النقل‬yang artinya menyalin, at-
tabdil (‫ )التبديل‬yang artinya mengganti, dan at-tahwil (‫ )التحويل‬yang artinya
merubah.2Atau juga an-naskh bisa diartikan dangan makna, membatalkan sesuatu
dangan mendirikan yang lain ditempatnya. 3

Adapun secara istilah an-naskh adalah:

‫رفع الشارع حكما منه متقدما حبكم منه متأخرا‬

Artinya: “Mengangkat (membatalkan) suatu hukum dengan mendatangkan hukum


yang baru.”4

Abu hafsh ibn ahmad ibn Shahih nasakh mempunyai dua defenisi. (1).
Nasakh yang barati penjelasan tentang berakahirnya hukum syara’ melalui jalan
hukum syara’ karena adanya rentang waktu. Maka dalam hal ini hukum pertama
menjadi mansukh karena batas waktunya telah tiba dan bersmaan dengan itu datang
hukum lain sebagai pengganti. (2). Menurut sebagian ahl al-Ushul, nasakh adalah
penghapus suatu hukum syara’ dangan dalil syara’ karena adanya rentang waktu.
Dengan demikian nasakh adalah dalil atau hukum syara’ yang datang kemudian
sebagai pengganti hukum yang telah ada sebelumnya. Adapun mansukh secara
bahasa berarti suatu yang dihapus, dihilangkan, dipindahkan, atau disalin. Menurut
terminologi ulama mansukh adalah suatu hukum syara’ yang berasal dari dalil
syara’yang pertama diubah atau dibatalkan oleh hukum dari dalil hukum syara’ yang
baru.5

2
Badruddin Abi Abdillah, Al-Burhan Fi Ulum Al-Qur’an I-II, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-
Ilmiyah, 2007), 19.
3
Hasbi ash-Shiieqy, pokok-pokok ilmu dirayah hadits II, (Jakarta:Bulan bintang, 1976),284.
4
Mahmud Tahhan, Taisir Musthalah Al-Hadits, (Riyadh: Maktabah Al-Maa’rif li An-Nasyr wa
At-Tauzi’, 2010), 59.
5
Idri, Studi Hadits, (Jakarta: Kencana, 2010), 75.

2
Jadi, yang dimaksud dengan ilmu naskh wa al-mansukh dalam hadits adalah:

‫العلم الذي يبحث عن األحاديث املتعارضة اليت ال ميكن التوفيق بينها من حيث احلكم على بعضها أبنه‬

‫ فما ثبت تقدمه كان منسوخا ومال ثبت أتخره كان انسخا‬,‫انسخ وعلى بعضها اآلخر أبنه منسوخ‬

Artinya: “Ilmu yang membahas tentang hadis-hadis yang berlawanan yang tidak
dapat dipertemukan dengan ketetapan bahwa yang datang terdahulu disebut
mansukh dan yang datang kemudian disebeut nasikh.”6

Nasikh dan Mansukh dapat diketahui dari ada tidaknya hal-hal sebagai berikut:

1. Adanya penjelasan dari Nabi Saw sendiri dalam haditsnya, seperti hadits
tentang ziarah kubur, di mana pada awal masa islam dilarang, tapi di
kemudian hari nabi memperbolehkannya, berdasarkan kaidah:

‫األمر بعد النهي يفيد اإلابحة‬

Artinya: “suatu perintah setelah adanya larangan adalah menunjukkan


kebolehan.”7
Hadits tersebut adalah:

‫ رواه مسلم‬,‫ كنت هنيتكم عن زايرة القبور فزوروها‬:‫حديث بريدة قال رسول هللا ﷺ‬

Artinya: “Aku (Nabi Saw) dahulu pernah melarang kamu sekalian berziarah
kubur, (sekarang) berziarahlah kamu sekalian ke kubur itu (H.R Muslim)”8
2. Adanya penjelasan dari para sahabat, seperti:

6
Muhammad Ajjaj Al-Khathiby, Ushul Al-Hadits, (Beirut: Mathba’ah Dar al-Fikr, 1981), 288.
7
Abdullah bin Abdurrahman Al-Bassami, Taudih Al-ahkam min Bulugh Al-maram II, (Jeddah:
Al-Mamlakah Ar-Rabiyah As-Su’udiyah, 1992), 575.
8
HR. Muslim-3651.

3
‫ " كان آخر األمرين من رسول هللا صلّى هللا‬:‫قال‬- ‫ رضي هللا عنه‬-‫أنه حديث منسوخ حبديث جابر‬

‫عليه وسلّم ترك الوضوء مما مست النار " واحلديث رواه أبو داود والنسائي‬

Artinya: “Yang terakhir dari dua pernah Nabi Saw adalah meninggalkan
wudhu dari suatu yang terkena api.”9
3. Adanya keterangan sejarah, seperti hadits dari syaddad bin Aus, Nabi Saw
bersabda:

‫احلاجم واحملجوم))؛‬
ُ ‫ ((أفطََر‬:‫عن شدَّاد بن أوس رضي هللا عنه أن النيب صلى هللا عليه وسلم قال‬

‫رواه أمحد‬

Artinya: “Batal puasa orang yang berbekam dan yang dibekam.”(H.R.


Ahmad)
Dalam menanggapi hadits diatas, imam Syafi’i berpendapat bahwa hadits
tersebut di nasakh dengan hadits dari Ibnu Abbas yang diriwayat oleh
Muslim sebagai berikut:

‫ البخاري وأبو داود‬.} ‫حديث " { أنه صلى هللا عليه وسلم احتجم وهو صائم حمرم يف حجة الوداع‬

‫والنسائي والرتمذي من حديث ابن عباس‬

Artinya: “Sesungguhnya Nabi Saw berbekam, padahal beliau dalam


keadaan sedang ihram dan berpuasa.”(H.R Bukhari, Abu Dawud, An-
Nasa’i dan At-Turmudzi dari hadits ibnu Abbas)
Dengan alasan, hadits dari Syaddad diatasa disabdakan Nabi Saw pada
tahun 8 H, yaitu tahun pembebasan kota Makah. Sedangkan hadits dari Ibnu
Abbas disabdakan Nabi Saw pada Tahun 10 H, yaitu saat Nabi melakukan
haji wada’.10

9
Ridlwan Nashir, Ilmu Memahami Hadits Nabi Saw, (Bantul: Pustaka Pesantren, 2016), 94.
10
Hasbi ash-Shiieqy, pokok-pokok ilmu dirayah hadits II, 291.

4
4. Adanya Ijma’ ulama, seperti hadits yang berbunyi:

‫ عن انفع‬, ‫ عن محيد بن يزيد أب اخلطاب‬, ‫ أخربان محاد بن سلمة‬, ‫حدثنا عبيد هللا بن حممد التيمي‬

‫ (( من شرب اخلمر فاجلدوه(( رواه أمحد‬: ‫ عن النيب صلى هللا عليه و سلم أنه قال‬, ‫عن ابن عمر‬,

Arinya: “Barang siapa yang meminum minuman keras, maka deralah


(cambuklah). Jika ia berbuat untuk keempat kalinya, maka bunuhlah
ia.”(H.R Ahmad).11
Dalam menanggapi hadits diatas, Imam Nawawi berkomentar dalam kitab
syarah Muslim bahwa ijma’ menunjukkan adanya naskh pada hadits ini,
tidak menasakh tapi hanya menunjukkan adanya nasakh.12

B. Syarat-Syarat Nasakh
1. Nasikh harus terpisah dari Mansukh.
Dari syarat diatas, hendaklah dilihat hukum yang kedua. Apakah
bersambung atau terpisah? Jika bersambung, maka tidaklah disebut
nasakh, namun yang demikian itu disebut penjelasan atau bayan dari
hadits tersebut. Seperti sabda Nabi Saw:

‫ال تلبس القميص وال السراويالت وال اخلفاف إال أن يكون رجل ليس له نعالن فيلبس اخلفني‬

Artinya: “janganlah engkau memakai baju kurung dan janganlah


memakai celana dan janganlah memakai muzza, kecuali tidak ada
sepatu pendek, maka dibolehkan memakai muzza.”
2. Nasikh harus lebih kuat atau sama kekuatannya dengan Mansukh.
3. Nasikh harus berupa dalil-dalil syara.
4. Mansukh harus berupa hukum-hukum syara.
5. Mansukh tidak dibataskan pada waktu atau masa.
Seperti sabda Nabi Saw:

11
HR. Tirmidzi No. 1364, didalam kitab hukum hudud dan pada bab peminum khamar.
12
Ridlwan Nashir, Ilmu Memahami Hadits Nabi Saw, 95.

5
‫((ال‬:‫(مسعت رسول هللا صلى هللا عليه وسلم يقول‬
ُ :‫عن أيب سعيد اخلدري رضي هللا عنه قال‬

‫ وال صالة بعد العصر حىت تغيب الشمس))؛ متفق عليه‬,‫صالة بعد الصبح حىت تطلع الشمس‬

Artinya: “tidak ada sembahyang sesudah sembahyang subuh, sehingga


terbit matahari dan tidak ada sembahyang sesudah ashar sehingga
terbenam matahari.”(Muttafaq ‘Alaih)13

C. Pentingnya Ilmu Nasikh dan Mansukh Hadits


Ilmu nasakh adalah dari ilmu-ilmu yang menyempurnakan jalannya
ijtihad. Diantara faidah-faidah mengetahui riwayat, ialah mengethui nasakh dan
mansukh. Sungguh suatu kemusykilan besar yang dihadapi para mujtahid ialah
mengistinbatkan hukum dari siratan-siratan nash dengan tidak mengetahui naskh
mansukh. Para Sahabat sangat memperhatikan masalah nasikh dan mansukh ini.
Diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib bahwa beliau melalui seorang qadhi yang
sedang memutuskan suatu hukum, dan bertanya kepadanya:

‫ ال‬:‫أتعرف الناسخ واملنسوخ ؟ قال‬

“Apakah engkau mengethui nasakh dan mansukh”, Qadhi itu menjawab


“tidak”.

Al Hazimi berkata: mendengar hal itu Syaidina Ali menjawab. “engaku binasa
dan engkau membinasakan pula orang lain.”14
Sangatlah penting untuk mengetahui nasikh mansukh bagi mereka yang
membahas hukum-hukum syara’, karena tidaklah mungkin seorang qadhi yang
mengistinbatkan hukum dari dalil tanpa mengethui mana dalil-dalil yang nasakh
dan mana yang mansukh.15 Dan juga mengetahui Nasikh dan Mansukh
merupakan suatu keharusan bagi siapa saja yang ingin mengkaji hukum-hukum

13
Iawan Hermawan, Ushul Fiqh, (Kuningan: Hidaytul Quran, 2019), 148.
14
Abu Ishaq Burhanuddin Ibrahim, Rusyukh Al-Ahbar Fi Mansukh Al-Akhbar, 74.
15
Hasbi ash-Shiieqy, pokok-pokok ilmu dirayah hadits II, 287.

6
syariah, karena tidak mungkin dapat menyimpulkan suatu hukum tanpa
mengetahui dalil-dalil Nasikh dan Mansukh. Oleh sebab itu para ulama sangat
memperhatikan ilmu tersebut dan menganggapnya sebagi ilmu yang sangat
penting dalam bidang ilmu hadits.16

D. Kitab-Kitab Yang Terkenal Dalam Bidang Nasikh dan Mansukh


Diantara ulama yang mengarang kitab tentang Nasikh dan Mansukh Al-
Hadits ini adalah:
1. Qatadah ibn Di’amah al-sudusi (61-118 H) dengan kitabnya Al-
Nasikh wa Al-Mansukh.
2. Abu Bakar Ahmad ibn Muhammad al-Atsram (261 H) dengan
kitabnya Nasikh al-Hadits wa Mansukhuhu, yang ditulis antara
abad kedua dan ketiga Hijriah.
3. Abu Hafsh ‘Umar Ahmad Al-Baghdadi yang dikenal dengan Ibnu
Syahin (297-385 H) dengan kitabnya Nasikh al-Hadits wa
Mansukhuhu, yang ditulis pada abad ke empat.
4. Abu Bakar Muhammad ibn Musa Al-Hazimi Al-Hamdani (548-
584) dengan kitabnya Al-I’tibar fi Al-Nasikh Wa Al-Mansukh Min
Al-Atsar.17

16
Manna Al-Qaththan, pengantar studi ilmu hadits, Terj. Mifdhol Abdurrahman, (Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar, 2015), 128.
17
Idri, Studi Hadits, 76.

7
PENUTUP

Misi utama kedatangan syari’at ialah mereformasi atau memperbaiki


kondisi umat manusia dan mewujudka apa yang menjadi emaslahatan mereka.
Kemaslahatan initentusesuai dengan tuntutan sebab-sebab tertentu.

Ilmu Nasikh dan Mansukh sudah ada sejak periode hadits pada awal
abad pertama, akan tetapi belum mucul dalam bentuk ilmu yang bersiri sendiri.
Mengethaui ilmu nasikh dan mansukh adalah termasuk kewajiban yang penting
bagi orang-orang yang memperdalam ilmu syari’at. Karena seorang pembahas
ilmu syari’at tidak akan dapat memetik hukum dari dalil-dalil nash, dalam kaitan
adalah hadits, tanpa mengetahui dalil-dalil nash yang sdah dinasakh dan dalil-
dalil yang menasakhnya.

8
DAFTAR PUSTAKA

Abi Abdillah, Badruddin, Al-Burhan fi Ulum Al-Qur’an I-II, Beirut: Dar Al-
Kutub Al-Ilmiyah, 2007.

Az-zarqani, Al-Khathiby, Muhammad, Ushul Al-Hadits, Beirut: Mathba’ah Dar


al-Fikr, 1981.

Al-Bassami, Abdullah bin Abdurrahman, Tawudih Al-ahkam min Bulugh Al-


maram II, Jeddah: Al-Mamlakah Ar-Rabiyah As-Su’udiyah, 1992.

Hasbi ash-Shiieqy, Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadits II, Jakarta:Bulan bintang,


1976.

Hermawan, Iawan, Ushul Fiqh, Kuningan: Hidaytul Quran, 2019.

Ibrahim, Burhanuddin, Abu Ishaq, Rusyukh Al-Ahbar fi Mansukh Al-Akhbar,


Beirut: Maktabah Al-Jail Al-jadid, 1988.

Idri, Studi Hadits, Jakarta: Kencana, 2010.

Manna’ Al-Qaththan, pengantar studi ilmu hadits, Terj. Mifdhol Abdurrahman,


Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2015.

Nashir, Ridlwan, Ilmu Memahami Hadits Nabi Saw, Bantul: Pustaka Pesantren,
2016.

At-Thahhan, Mahmud, Taisir Musthalah Al-Hadits, Riyadh: Maktabah Al-


Maa’rif li An-Nasyr wa At-Tauzi’, 2010.

Anda mungkin juga menyukai