Anda di halaman 1dari 9

A.

Pengertian nasikh mansukh : kajian etimologi dan terminology

Naskh secara bahasa artinya: menghilangkan; menghapuskan; memindahkan; menulis. Adapun


secara istilah, maka ada dua macam:
Pertama. Naskh menurut istilah para ulama ushul fiqih Muta-akhirin. Mereka memiliki
ta’rif yang berbeda-beda.Al-Baidhowi rahimahullah (wafat th 685 H) mendefinisikan dengan :
“Naskh adalah penjelasan berhentinya hukum syari’at dengan jalan syar’i yang datang
setelahnya”. [1].Ibnu Qudamah rahimahullah (wafat 620 H) menyebutkan definisi naskh dengan
menyatakan: “Menghilangkan hukum yang ada dengan perkataan (dalil) yang dahulu, dengan
perkataan yang datang setelahnya”. [2]. Di antara ta’rif yang ringkas dan mencakup adalah yang
dikatakan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, yaitu: “menghapuskan hukum dalil
syar’i atau lafazhnya dengan dalil dari Al-Kitab dan As-Sunnah”. [3]
Kedua : Naskh menurut istilah Salafush Sholih Mutaqoddimin. Istilah naskh yang ada
pada mereka lebih luas daripada definisi para ulama ushul Mutaakhirin. Hudzaifah Radhiyallahu
‘anhu berkata: “Yang memberi fatwa kepada manusia hanyalah tiga orang: Orang yang
mengetahui yang mansukh dari Al-Qur’an; atau amir (pemimpin) yang harus (berfatwa); atau
orang dungu yang memaksakan diri”. [4]

B. Teori naskh dalam al qur’an dan Perkembangan pandangan ulama tentang nasikh
mansukh dan argumentasinya

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata mengomentari perkataan di atas: “Yang


dimaksudkan oleh beliau (Hudzaifah) dan yang dimaksudkan oleh kebanyakan Salaf dengan
(istilah) naasikh dan mansukh terkadang adalah: menghapuskan hukum sekaligus, dan ini
merupakan istilah muta-akhirin, dan terkadang adalah: menghapus penunjukkan dalil ‘am, [5]
mutlaq, [6] zhahir, [7] dan lainnya, kemungkinan dengan takhshish (pengkhususan), taqyiid
(penentuan), atau membawa yang muthlaq kepada muqayyad (yang ditentukan), dan tafsir
(penjelasan) serta tanbiih (mengingatkan). Sehingga mereka (Salaf) menamakan istitsna’
(pengecualian), syarath, dan sifat dengan naskh, karena hal itu menghapus penunjukkan zhahir
dan menjelaskan yang dimaksudkan. Maka naskh, menurut mereka (Salaf) dan bahasa mereka
adalah: menjelaskan yang dimaksudkan dengan bukan lafazh itu, tetapi dengan perkara yang di
luarnya. Barangsiapa memperhatikan perkataan mereka, akan melihat padanya dari hal itu apa-
apa yang tidak dapat dihitung, dan dengan sebab itu akan hilang darinya kesulitan-kesulitan yang
diakibatkan karena membawa perkataan mereka pada istilah baru yang akhir”. [8]
Nasikh artinya : yang menghapuskan, yaitu dalil Al-Kitab atau As-Sunnah yang
menghapuskan hukum dalil syar’i atau lafazhnya. Pada hakekatnya naasikh (yang
menghapuskan) adalah Allah Azza wa Jalla. Mansukh artinya : yang dihapuskan, yaitu hukum
dalil syar’i atau lafazhnya yang dihapuskan.
Penunjukkan Adanya Naskh Dalam Syari’at Perlu diketahui bahwa adanya naskh dalam
syari’at atau adanya ayat Al-Qur’an yang mansukh (dihapus hukumnya/lafazhnya) oleh ayat lain
ditunjukkan oleh dalil naql (ayat/hadits), dalil akal, dan ijma’. Dalil Naql Firman Allah Azza wa
Jalla.

‫َما نَن َس ْخ ِم ْن َءايَ ٍة‬


Apa saja ayat yang kami nasakhkan (hapuskan)… [Al Baqarah:106]
Makna kata “ayat” di dalam firman Allah ini adalah ayat Al-Qur’an, sebagaimana
penafsiran Salafush Sholih yang kami ketahui. Seperti riwayat dari Ibnu Abbas, Mujahid,
sahabat-sahabat Ibnu Mas’ud, Abul ‘Aliyah, Muhammad bin Ka’b Al-Qurodhi, Adh-Dhahhak,
‘Atho’, As-Suddi, Ibnu Abi Hatim, Ibnu Jarir, dan Ibnu Katsir [Lihat Taffsir Ibnu Katsir, surat
Al-Baqarah: 106]
Adapun manafsirkan kata “ayat” pada firman Allah di atas dengan “mu’jizat”,
sebagaimana dalam Tafsir Qur’an Al-Furqan, karya A.Hassan rahimahullah, maka kami
khawatir itu merupakan tafsir bid’ah. Walaupun secara bahasa dibenarkan, namun bertentangan
dengan ijma’ ahli tafsir sebagaimana di atas. Wallohu a’lam.Firman Allah Azza wa Jalla.

‫َوإِ َذا بَ َّد ْلنَآ َءايَةً َّم َكانَ َءايَ ٍة‬

Dan apabila Kami mengganti suatu ayat di tempat ayat yang lain. [An Nahl:101]

Demikian juga ayat ini juga nyata menunjukkan adanya ayat Al-Qur’an yang nasikh dan
mansukh, bukan hanya nasikh saja! Ayat yang Alloh jadikan pengganti adalah naasikh, ayat
yangdigantikan adalah ayat mansukh. Dan ini sangat jelas, sebagaimana kita lihat. Adapun
sebagian dari contoh-contoh ayat mansukh akan kami sampaikan di bawah insya Alloh. Lebih
luas dapat dilihat dalam kitab-kitab ushul fiqih.
Dalil Akal.Syeikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata: “Naskh
boleh terjadi menurut akal dan nyata terjadi menurut syari’at. Adapun bolehnya terjadi menurut
akal, karena segala perkara di tangan Allah, segala hukum (keputusan) miliknya, karena Dia
adalah Ar-Rabb (Sang Penguasa) Al-Maalik (Sang Pemilik). Maka Dia berhak mensyari’atkan
bagi hamba-hambanya apa yang dituntut oleh hikmahNya dan rahmatNya. Apakah akal menolak
jika Sang Pemilik memerintahkan kepada apa yang Dia miliki dengan apa yang Dia kehendaki?
Kemudian bahwa kandungan hikmah Allah dan rahmatNya terhadap hamba-hambaNya adalah
Dia mensyari’atkan untuk mereka apa-apa yang Allah mengetahui bahwa padanya terdapat
mashlahat-mashlahat agama dan dunia mereka. Sedangkan mashlahat-mashlahat berbeda-beda
sesuai dengan keadaan dan zaman. Terkadang suatu hukum lebih mashlahat bagi para hamba
pada satu waktu atau satu keadaan. Dan terkadang hukum lainnya pada waktu dan keadaan yang
lain lebih mashlahat. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”. [Ushul Fiqih, hal: 45,
karya Syeikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin]. Dalil Ijma’. Banyak ulama telah
menyatakan adanya ijma’ tentang adanya naskh dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Al-Baji
rahimahullah berkata: “Seluruh umat Islam berpendapat bolehnya/ mungkinnya naskh syari’at
menurut akal dan syara’”. [9]
Al-Kamal Ibnul Humam rahimahullah berkata: “Pengikut syari’at-syari’at telah sepakat
atas bolehnya (naskh, secara akal) dan terjadinya (secara syari’at)”. [10]. Syaikh Muhammad Al-
Amin Asy-Syinqithi rahimahullah berkata: “Ketahuilah bahwa tiga bentuk ini (yaitu naskh Al-
Qur’an dengan Al-Qur’an; naskh Sunnah Mutawatir dengan Sunnah Mutawatir; dan naskh
Sunnah Ahad dengan Ahad) tidak ada perselisihan padanya di antara ulama yang dipercaya,
sebagaimana banyak ulama telah menukilkan adanya ijma’ padanya. Maka penyelisihan orang
yang menyelisihi dalam hal ini tidak dihitung dan tidak ada dalil untuknya”. [hal: 148]
Dr. Ali berkata: “Mereka (para ulama) mengatakan: Sesungguhnya para sahabat
Radhiyallahu ‘anhum dan seluruh Salaf telah ijma’ (sepakat) bahwa syari’at Muhammad
Shallallahu ‘alaihi wa sallam menghapus seluruh syari’at yang telah lalu. Sebagaimana mereka
juga telah ijma’ bahwa naskh telah terjadi pada banyak hukum-hukum syari’at Islam. Dan
terjadinya hal itu cukup sebagai dalil untuk menetapkan bolehnya/mungkinnya (naskh menurut
akal-red)”. [Araul Mu’tazilah Al-Ushuliyyah, hal: 425, Syeikh Dr. Ali bin Sa’id bin Shalih Adh-
Dhuweihi]
Syaikh Tsanaulloh Az-Zahidi berkata: “Ahli fiqih dan ushul telah sepakat atas
kebolehan/kemungkinan adanya naskh menurut akal, dan atas terjadinya menurut syara’. Kecuali
apa yang dinukilkan dari Abu Muslim Muhammad bin Bahr Al-Ashfahani seorang Mu’tazilah
yang mati tahun 322 H”. [11]

Ada beberapa pendapat ulama tentang Naskh al-Qur`an dengan al-Qur`an ada yang
mengatakan tidak ada Nāsikh dan Mansūkh dalam ayat-ayat al-Qur`an karena tidak ada yang
batil dari al-Qur`an, diantaranya adalah Abu Muslim al-Isfahani, berdasarkan firman Allah Swt:

‫اَل يَأْتِي ِه ْالبَا ِط ُل ِم ْن بَ ْي ِن يَ َد ْي ِه َواَل ِم ْن َخ ْلفِ ِه ۖ تَ ْن ِزي ٌل ِم ْن َح ِك ٍيم َح ِمي ٍد‬

Artinya: "yang tidak datang kepadanya (al-Qur`an) kebatilan baik dari depan maupun dari
belakangnya, yang diturunkan dari Rabb yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji." (QS.
Fuṣṣilat : 42 )
Pendapat kedua mengatakan bahwa ada Nasikh Mansukh dalam ayat-ayat al-Qur`an
tetapi bukan menghapus atau membatalkan hukum, yang berarti hanya merubah atau mengganti
dan keduanya masih berlaku. Contoh QS. al-Anfal ayat 65 yang menjelaskan satu orang muslim
harus bisa menghadapi 10 orang kafir, di-naskh dengan ayat 66 yang menjelaskan bahwa satu
orang muslim harus dapat menghadapi dua orang kafir. Ayat 66 me-naskh ayat sebelumnya akan
tetapi bukan menghapus kandungan ayat 65. Kedua ayat ini masih berlaku menyesuaikan dengan
kondisi dan situasi. Demikian menurut beberapa ulama.

C. Jenis jenis naskh

Pertama : Macam-macam naskh, dilihat dari nash yang mansukh (dihapus) ada tiga
bagian: [12]. Nash Yang Mansukh Hukumnya, Namun Lafazhnya Tetap. Inilah jenis nash
mansukh yang paling banyak. Yaitu hukum syar’i dihapuskan, tidak diamalkan, namun
lafazhnya tetap. Hikmah naskh jenis ini adalah: tetapnya pahala membaca ayat tersebut dan
mengingatkan umat tentang hikmah naskh, terlebih dalam hukum yang diringankan dan
dimudahkan.
Contohnya firman Allah Azza wa Jalla.

َ‫صابِرُونَ يَ ْغلِبُ{{وا ِم{{ائَتَي ِْن َوإِن يَّ ُكن ِّم ْن ُك ْم ِمائَ{ةٌ يَ ْغلِبُ{{وا أَ ْلفً{{ا ِّمنَ الَّ ِذين‬
َ َ‫ِّض ْال ُم ْؤ ِمنِينَ َعلَى ْالقِتَا ِل إِن يَ ُكن ِّمن ُك ْم ِع ْشرُون‬
ِ ‫يَآأَيُّهَا النَّبِ ُّي َحر‬
ْ َ
َ‫َكفَرُوا بِأنَّهُ ْم قَوْ ٌم الَ يَفقَهُون‬

Hai Nabi, kobarkanlah semangat para mu’min itu untuk berperang. Jika ada dua puluh orang
yang sabar diantara kamu niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang musuh. Dan jika
ada seratus orang (yang sabar) diantaramu, maka mereka dapat mengalahkan seribu daripada
orang-orang kafir, disebabkan orang-orang kafir itu kaum yang tidak mengerti. [Al Anfal :65]
Ayat ini menunjukkan kewajiban bersabarnya 20 umat Islam berperang menghadapi 200
orang-orang kafir. Dan bersabarnya 100 umat Islam berperang menghadapi 1000 orang-orang
kafir. Kemudian hukum ini dihapus dengan firman Allah selanjutnya.

ُ‫{ف يَ ْغلِبُ{وا أَ ْلفَي ِْن بِ{إ ِ ْذ ِن هللاِ َوهللا‬


ٌ ‫صابِ َرةٌ يَ ْغلِبُوا ِم{ائَتَ ْي ِن َوإِن يَ ُك ْن ِّم ْن ُك ْم أَ ْل‬ َ ‫ْالئَانَ خَ فَّفَ هللاُ عَن ُك ْم َو َعلِ َم أَ َّن فِي ُك ْم‬
َ ٌ‫ض ْعفًا فَإِن يَ ُكن ِّمن ُكم ِّمائَة‬
َ‫َم َع الصَّابِ ِرين‬

Sekarang Allah telah meringankan kepadamu dan Dia telah mengetahui padamu bahwa ada
kelemahan. Maka jika ada diantaramu seratus orang yang sabar, niscaya mereka dapat
mengalahkan dua ratus orang; dan jika diantaramu ada seribu orang (yang sabar), niscaya
mereka dapat mengalahkan dua ribu orang. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar. [Al
Anfal :66]

Abdullah bin Abbas berkata:

‫َش { َر ٍة‬َ ‫اح ٌد ِم ْن ع‬ ِ ‫ض َعلَ ْي ِه ْم أَ ْن اَل يَفِ َّر َو‬َ ‫ك َعلَى ْال ُم ْسلِ ِمينَ ِحينَ فُ ِر‬ َ ِ‫ق َذل‬ َ َ‫ت ( إِ ْن يَ ُك ْن ِم ْن ُك ْم ِع ْشرُون‬
َّ ‫صابِرُونَ يَ ْغلِبُوا ِمائَتَي ِْن ) َش‬ ْ َ‫لَ َّما نَ َزل‬
ْ ‫هَّللا‬ َّ َ َ َ َ ْ َ َ
‫صابِ َرة يَغلِبُوا ِمائتي ِن ) ق{{ا َل فل َّما خففَ ُ َعنهُ ْم‬ ْ ٌ ٌ َ ُ ْ ْ ُ ْ َ
َ ‫ضعفا فإِن يَكن ِمنك ْم ِمائة‬ ً ْ َّ َ ْ ‫هَّللا‬ َّ َ‫خ‬ ‫آْل‬
ُ ‫فَ َجا َء التَّخفِ فقا َل ( ا نَ ففَ ُ َعنك ْم َو َعلِ َم أن فِيك ْم‬
ُ ُ َ َ ُ‫يف‬ ْ
‫صب ِْر بِقَ ْد ِر َما ُخفِّفَ َع ْنهُ ْم‬َّ ‫ص ِمنَ ال‬ ْ
َ َ‫ِمنَ ال ِع َّد ِة نَق‬

Ketika turun (firman Allah): “Jika ada dua puluh orang yang sabar diantara kamu niscaya
mereka dapat mengalahkan dua ratus orang musuh” (Al-Anfal: 65), hal itu berat atas umat
Islam, yaitu ketika diwajibkan atas mereka, bahwa satu orang tidak boleh lari menghadapi 10
(musuh). Kemudian datanglah keringanan, Allah berfirman: “Sekarang Allah telah
meringankan kepadamu dan Dia telah mengetahui padamu bahwa ada kelemahan. Maka jika
ada diantaramu seratus orang yang sabar, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus
orang.” (Al-Anfal: 66) Ketika Allah telah meringankan dari mereka jumlah (musuh yang wajib
dihadapi-red), kesabaranpun berkurang seukuran apa yang Allah telah meringankan dari
mereka”. [HR. Bukhari, no: 4653]

Inilah contoh hukum yang mansukh di dalam Al-Qur’an. Penjelasan mansukhnya hukum
dalam ayat 65 surat Al-Anfal di atas, selain dari Ibnu Abbas, juga diriwayatkan dari Mujahid,
Atho’, ‘Ikrimah, Al-Hasan Al-Bashri, Zaid bin Aslam, ‘Atho Al-Khurosani, Adh-Dhohhak, dan
lainnya. [13] Orang yang menolak adanya mansukh dalam Al-Qur’an telah menyelisihi
penafsiran mereka.

kedua Nash Yang Mansukh Lafazhnya, Namun Hukumnya Tetap.


Al-Aamidi rahimahullah menyatakan bahwa ulama telah bersepakat atas terjadinya naskh
(penghapusan) tulisan/lafazh, tanpa naskh hukumnya, berbeda dengan anggapan kelompok yang
menyendiri dari kalangan Mu’tazilah. [14]. Hikmah naskh jenis ini adalah: agar kadar ketaatan
umat kepada Allah menjadi nampak, yaitu di dalam bersegera melakukan ketaatan dari sumber
yang zhanni rojih (persangkaan kuat), yaitu sebagian dari As-Sunnah, bukan dari sumber yang
seluruhnya yaqin, yaitu Al-Qur’an. Sebagaimana Nabi Ibrahim Alaihissallam bersegera akan
melaksanakan penyembelihan terhadap anaknya, Nabi Isma’il, dengan sumber mimpi, sedangkan
mimpi adalah tingkatan terendah jalan wahyu kepada para nabi. Wallahu a’lam. [15]
Selain itu, di antara hikmahnya adalah apa yang dikatakan oleh Syaikh Muhammad bin
Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah. Beliau berkata: “Hikmah naskh lafazh tanpa (naskh)
hukumnya adalah untuk menguji umat terhadap amalan yang tidak mereka dapati di dalam Al-
Qur’an, dan mewujudkan keimanan mereka dengan apa yang Allah turunkan. Berbeda dengan
orang-orang Yahudi yang berusaha menutupi nash rajm di dalam Taurat”. [16]
Contoh jenis naskh ini adalah ayat rajm [17] Umar bin Al-Khathab berkata:

‫ق‬ ٌّ {‫ض ٍة أَ ْنزَ لَهَا هَّللا ُ أَاَل َوإِ َّن الرَّجْ َم َح‬
َ ‫ك فَ ِري‬ ِ ْ‫ضلُّوا بِتَر‬
ِ َ‫ب هَّللا ِ فَي‬ َ ُ‫ان َحتَّى يَق‬
ِ ‫ول قَائِ ٌل اَل نَ ِج ُد الرَّجْ َم فِي ِكتَا‬ ٌ ‫اس زَ َم‬ ِ َّ‫يت أَ ْن يَطُو َل بِالن‬
ُ ‫لَقَ ْد خَ ِش‬
‫هَّللا‬
ُ ‫ص{لى‬ َّ ‫هَّللا‬
َ ِ ‫ت أاَل َوقَ{ ْد َر َج َم َر ُس{و ُل‬ َ ْ ْ َ ْ َ
ُ ‫ت البَيِّنَةُ أوْ َكانَ ال َحبَ ُل أ ِو ااِل ْعتِ َرافُ قَ{{ا َل ُس{فيَانُ َك{ َذا َحفِظ‬ْ ِ ‫صنَ إِ َذا قَا َم‬ َ
َ ْ‫َعلَى َم ْن زَ نَى َوقَ ْد أح‬
‫َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َو َر َج ْمنَا بَ ْع َد ُه‬

Sesungguhnya aku khawatir, zaman akan panjang terhadap manusia sehingga seseorang akan
berkata: “Kita tidak mendapati rajm di dalam kitab Allah”, sehingga mereka menjadi sesat
dengan sebab meninggalkan satu kewajiban yang telah diturunkan oleh Allah. Ingatlah,
sesungguhnya rajm adalah haq atas orang yang berzina dan dia telah menikah, jika bukti telah
tegak, atau ada kehamilan, atau ada pengakuan”. Sufyan berkata: “Demikianalh yang aku
ingat”. “Ingatlah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melakukan rajm, dan kita
telah melakukan rajm setelah beliau”. [HR. Bukhari, no: 6829; Muslim, no: 1691; dan lainnya]

Adapun lafazh ayat rajm, disebutkan oleh sebagian riwayat dengan bunyi:

ِ ‫ال َّش ْي ُخ َوال َّش ْي َخةُ إِ َذا َزنَيَا فَارْ ُج ُموهُ َما ْالبَتَّةَ نَ َكاالً ِمنَ هللاِ َو هللاُ ع‬
‫َز ْي ٌز َح ِك ْي ٌم‬

Laki-laki yang tua (maksudnya : yang sudah menikah) dan wanita yang tua (maksudnya : yang
sudah menikah) jika berzina, maka rajamlah keduanya sungguh-sungguh, sebagai hukuman
yang mengandung pelajaran dari Allah, dan Allah Maha Perkasa, Maha Bijaksana. [Lihat
Fathul Bari, 12/169, Darul Hadits, Kairo, cet: 1, th: 1419 H / 1998 M, syarh hadits no: 6829]

Tiga,. Nash Yang Mansukh Hukumnya Dan Lafazhnya.


Contoh : ayat yang menyatakan 10 kali penyusuan mengharamkan pernikahan. Aisyah berkata:

‫ص{لَّى هَّللا ُ َعلَ ْي{ ِه َو َس{لَّ َم‬


َ ِ ‫ت فَتُ{ ُوفِّ َي َر ُس{و ُل هَّللا‬
ٍ ‫س َم ْعلُو َم{{ا‬
ٍ ‫ت يُ َح ِّر ْمنَ ثُ َّم نُ ِس{ ْخنَ بِ َخ ْم‬
ٍ ‫ت َم ْعلُو َما‬ َ ‫َكانَ فِي َما أُ ْن ِز َل ِمنَ ْالقُرْ آ ِن َع ْش ُر َر‬
ٍ ‫ض َعا‬
‫آن‬ ُ ْ ُ ْ
ِ ْ‫َوه َُّن فِي َما يُق َرأ ِمنَ القر‬

Dahulu di dalam apa yang telah diturunkan di antara Al-Qur’an adalah: “Sepuluh kali
penyusuan yang diketahui, mengharamkan”, kemudian itu dinaskh (dihapuskan) dengan: “Lima
kali penyusuan yang diketahui”. Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat dan
itu termasuk yang dibaca di antara Al-Qur’an. [HR. Muslim, no: 1452]
Makna perkataan ‘Aisyah “dan itu termasuk yang dibaca di antara Al-Qur’an” adalah:
Yaitu : Dibaca hukumnya, namun lafazhnya tidak. Atau : Orang yang belum kesampaian naskh
bacaannya, masih tetap membacanya. [18]

Kedua : Macam-macam naskh dilihat dari nash yang naasikh (menghapus) –secara
ringkas- ada empat bagian:

 Al-Qur’an Dimansukh Dengan Al-Qur’an. Jenis naskh ini disepakati adanya oleh para
ulama’, adapun orang yang beranggapan tidak ada ayat mansukh di dalam Al-Qur’an,
maka perkataannya tidak dianggap. [19] Contohnya adalah ayat 65, yang mansukh oleh
ayat 66 dari surat Al-Anfal, sebagaimana telah kami sampaikan di atas. Contoh lain:
firman Allah Azza wa Jalla.

ِ ‫طهَ ُر فَإِن لَّ ْم تَ ِجدُوا فَإ ِ َّن هللاَ َغفُو ُُر ر‬


‫َّحي ٌم‬ ْ َ‫ك َخ ْي ُُر لَّ ُك ْم َوأ‬ َ ‫يَاأَيُّهَا الَّ ِذينَ َءا َمنُوا إِ َذا نَا َج ْيتُ ُم ال َّرسُو َل فَقَ ِّد ُموا بَ ْينَ يَ َديْ نَجْ َوا ُك ْم‬
َ ِ‫ص َدقَةً َذل‬

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu mengadakan pembicaraan khusus


dengan Rasul hendaklah kamu mengeluarkan sedekah (kepada orang miskin) sebelum
pembicaraan itu.Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu dan lebih bersih; jika kamu
tiada memperoleh (yang akan disedekahkan) maka sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang. [Al Mujadilah :12]

Ayat ini menunjukkan kewajiban shadaqah bagi yang mampu sebelum berbisik-
bisik dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian ayat ini dimansukh ayat
berikutnya yang menghapuskan kewajiban tersebut. Lihat hal ini dalam Tafsir Ibnu
Katsir. Allah Azza wa Jalla firmanNya:
َّ ‫{اب هللاُ َعلَ ْي ُك ْم فَ{{أَقِي ُموا‬
َ‫الص{الَةَ َو َءاتُ{{وا ال َّز َك{{اة‬ َ {َ‫ت فَ{إ ِ ْذ لَ ْم تَ ْف َعلُ{{وا َوت‬ َ ‫َءأَ ْشفَ ْقتُ ْم أَن تُقَ ِّد ُموا بَ ْينَ يَ{ َديْ نَجْ{ َوا ُك ْم‬
ٍ ‫ص{ َدقَا‬
َ‫َوأَ ِطيعُوا هللاَ َو َرسُولَهُ َوهللاُ َخبِي ٌر بِ َما تَ ْع َملُون‬

Apakah kamu takut akan (menjadi miskin) karena kamu memberikan sedekah
sebelum pembicaraan dengan Rasul Maka jika kamu tiada memperbuatnya dan Allah
telah memberi taubat kepadamu maka dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatlah
kepada Allah dan Rasul-Nya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. [Al
Mujadilah:13]

 Al-Qur’an Dimansukh Dengan As-Sunnah.


Pada jenis ini ada dua bagian:
1. Al-Qur’an dimansukh dengan Sunnah (hadits) Mutawatir.
Pada bagian ini ulama berselisih. Diriwayatkan dari Imam Ahmad rahimahullah
bahwa beliau menyatakan: “Al-Qur’an tidak dinaskh (dihapus) kecuali oleh Al-
Qur’an yang datang setelahnya…”. Namun Syaikh Muhammad Al-Amin Asy-
Syinqithi rahimahullah berkata: “(Berdasarkan) penelitian, boleh dan terjadi
naskh Al-Qur’an dengan Sunnah Mutawatir, contohnya: dihapusnya ayat 5 kali
penyusuan dengan Sunnah Mutawatir, dihapusnya surat Al-Khulu’ dan Al-Hafd
dengan Sunnah Mutawatir. Dan banyak contoh lainnya”. [20]
2. Al-Qur’an dimansukh dengan Sunnah (hadits) Ahad.
Pada bagian ini ulama juga berselisih. Yang rajih –wallohu a’lam- hal ini ada dan
terjadi. Contohnya:

Firman Allah Azza wa Jalla.

‫ير فَإِنَّهُ ِرجْ سٌ أَوْ فِ ْس{قًا أُ ِه{ َّل‬ ْ َ‫ي ُم َح َّر ًما َعلَى طَا ِع ٍم ي‬
ِ {‫ط َع ُمهُ ِإالَّ أَن يَّ ُكونَ َم ْيتَةً أَوْ َد ًم{ا َم ْس{فُوحًا أَوْ لَحْ َم ِخ‬
ٍ ‫{نز‬ ِ ُ‫قُل آل أَ ِج ُد فِي َمآ أ‬
َّ َ‫وح َي إِل‬
‫لِ َغي ِْر هللاِ بِ ِه‬

Katakanlah:”Aku tidak mendapati dalam wahyu yang telah diwahyukan kepadaku, sesuatu yang
diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau
darah yang mengalir atau daging babi – karena sesungguhnya semua itu kotor – atau binatang
disembelih atas nama selain Allah. [Al An’am :145]
Ayat ini menunjukkan bahwa makanan yang diharamkan -di saat ayat ini diturunkan-
hanyalah empat jenis di atas. Ini berarti, di saat itu, daging keledai jinak boleh dimakan,
berdasarkan ayat ini. Kemudian kebolehan ini dihapuskan hukumnya oleh hadits-hadits shahih
yang datang kemudian yang mengharamkan daging keledai jinak. Karena ayat di atas termasuk
surat Al-An’am, yang merupakan surat Makiyyah, yang turun sebelum hijroh, dengan
kesepakatan ulama. Adapun pengharaman daging keledai jinak dengan Sunnah terjadi setelah itu
di Khoibar.

ِ َ‫{ال أُ ِكل‬
‫ت ْال ُح ُم{ ُر‬ ِ َ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َجا َءهُ َجا ٍء فَقَا َل أُ ِكل‬
َ {َ‫ت ْال ُح ُم ُر ثُ َّم َجا َءهُ َج{ ا ٍء فَق‬ َ ِ ‫ضي هَّللا ُ َع ْنهُ أَ َّن َرسُو َل هَّللا‬ ِ ‫ك َر‬ ٍ ِ‫َس ْب ِن َمال‬ِ ‫ع َْن أَن‬
ُ
ِ َ‫ُوم ْال ُح ُم ِر اأْل َ ْهلِيَّ ِة فَإِنَّهَا ِرجْ سٌ فَ{{أ ْكفِئ‬ ُ
‫ت‬ ِ َّ‫ت ْال ُح ُم ُر فَأ َ َم َر ُمنَا ِديًا فَنَادَى فِي الن‬
ِ ‫اس ِإ َّن هَّللا َ َو َرسُولَهُ يَ ْنهَيَانِ ُك ْم ع َْن لُح‬ ِ َ‫ثُ َّم َجا َءهُ َجا ٍء فَقَا َل أ ْفنِي‬
َّ ُ َ َّ
‫القدُو ُر َوإِنهَا لتَفو ُر بِاللحْ ِم‬ ُ ْ

Dari Anas bin Malik, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam didatangi oleh seseorang
yang datang, lalu mengatakan: “Keledai-keledai telah dimakan”. Kemudian datang lagi kepada
beliau seseorang yang datang, lalu mengatakan: “Keledai-keledai telah dimakan”. Kemudian
datang lagi kepada beliau seseorang yang datang, lalu mengatakan: “Keledai-keledai telah
dimakan”. Kemudian beliau memerintahkan seorang penyeru, lalu dia menyeru di kalangan
orang banyak: “Sesungguhnya Alloh dan RasulNya melarang kamu dari daging keledai jinak,
sesungguhnya ia kotor/najis”. Maka periuk-periuk dibalikkan, sedangkan periuk-periuk itu
mendidih (berisi) daging (keledai jinak). [21]
Antara ayat di atas dengan hadits yang mengharamkan daging keledai jinak tidak
bertentangan, karena waktu keduanya berbeda. Di saat ayat di atas turun, daging keledai jinak
halal, karena yang diharamkan hanyalah empat jenis makanan. Kemudian setelah itu datang
pengharaman daging keledai jinak. [Mudzakiroh, hal: 153-155]

3. As-Sunnah Dimansukh Dengan Al-Qur’an. Contoh jenis ini adalah: syari’at shalat
menghadap Baitul Maqdis, yang ini berdasarkan Sunnah, dihapuskannya dengan
firman Allah Azza wa Jalla.

ْ ‫ْث َما ُكنتُ ْم فَ َولُّوا ُوجُوهَ ُك ْم َش‬


ُ‫ط َره‬ ْ ‫ك َش‬
ُ ‫ط َر ْال َم ْس ِج ِد ْال َح َر ِام َو َحي‬ َ َ‫ضاهَا فَ َو ِّل َوجْ ه‬ َ ُّ‫قَ ْد نَ َرى تَقَل‬
َ َّ‫ب َوجْ ِهكَ فِي ال َّس َمآ ِء فَلَنُ َولِّيَن‬
َ ْ‫ك قِ ْبلَةً تَر‬

Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan
memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram.
Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. [Al Baqarah :144]

4. As-Sunnah Dimansukh Dengan As-Sunnah.


Contoh: Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

ِ ‫ار ِة ْالقُب‬
‫ُور فَ ُزورُوهَا‬ َ َ‫نَهَ ْيتُ ُك ْم ع َْن ِزي‬

Dahulu aku melarang kamu dari berziarah kubur, maka sekarang hendaklah kamu berziarah
(kubur). [HR. Muslim, no: 977]
Dengan penjelasan di atas jelaslah bahwa di dalam Al-Qur’an ada nasikh (ayat yang
menghapus hukum yang sudah ada sebelumnya) dan mansukh (ayat yang dihapus) hukumnya
atau lafazhnya.

D. Syarat naṣ yang dapat di-Naskh.

Jika dilihat dari segi syarat-syarat naṣh-naṣh yang dapat di-naskh menurut Abu
Zahrah seperti yang dikutip Nasiruddin Baidan, ada beberapa kriteria, yaitu:
 Hukum yang mansūkh (dihapus) tidak menunjukkan berlaku abadi.
 Hukum yang mansūkh bukan suatu hukum yang disepakati oleh akal sehat
tentang baik dan buruknya.
 Ayat nāsikh (yang menghapus) datang setelah yang di-mansukh (dihapus) dan
keadaan kedua naṣ tersebut sangat bertentangan dan tidak dapat dikompromikan.

E. Hikmah adanya Nasikh Mansukh. Diantara hikmah adanya nasikh mansukh


adalah:

1. Meneguhkan keyakinan bahwa Allah tidak akan terikat dengan ketentuan-ketentuan yang
sesuai dengan logika manusia. Sehingga jalan pikiran manusia takkan pernah bisa
mengikat Allah Swt. Allah mampu melakukan apa saja, sekalipun menurut manusia hal
tersebut tidak logis. Tetapi Allah Swt akan menunjukkan, bahwa kehendak-Nyalah yang
akan terjadi, bukan kehendak kita. Sehingga diharapkan dari keberadaan nāsikh dan
mansūkh ini akan mampu meningkatkan keimanan kita kepada Allah Swt, bahwa Dia-lah
yang Maha Menentukan.
2. Kita semakin yakin bahwa Allah Maha Bijak, Maha Kasih, Maha Sayang, karena
memang pada kenyataannya hukum-hukum naskh dan mansūkh tersebut semuanya untuk
kemaslahatan dan kebaikan manusia.
3. Mengetahui proses tasyri’ (penetapan dan penerapan hukum) Islam dan untuk menelusuri
tujuan ajaran, serta ‘illatul ḥukmi (alasan ditetapkannya suatu hukum).
Mengetahui perkembangan tasyri’ menuju tingkat sempurna sesuai dengan perkembangan
dakwah dan kondisi umat Islam. e. Cobaan dan ujian bagi seorang mukallaf untuk mengikutinya
atau tidak. f. Menghendaki kebaikan dan kemudahan bagi umat. Sebab jika naskh itu beralih ke
hal yang lebih berat maka di dalamnya terdapat tambahan pahala, dan jika beralih ke hal yang
lebih ringan maka ia mengandung kemudahan dan keringanan.

[1]. Lihat: Al-Minhaj Bi Syarhil Ibhaaj 2/247; dinukil dari Araul Mu’tazilah Al-Ushuliyyah, hal:
412-413, Syeikh Dr. Ali bin Sa’id bin Shalih Adh-Dhuweihi
[2]. Idem, hal: 413
[3]. Ushulul Fiqh, hal: 45, karya Syeikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin
[4]. [I’lamul Muwaqqi’in 1/36, Darul Hadits, Kairo, th: 1422 H / 2002 M
[5]. ‘Am adalah: lafazh yang meliputi seluruh apa yang pantas baginya sekaligus dan sesuai
dengan bentuknya dengan tanpa pembatasan”. Lihat: Taisirul Ushul, hal: 95, Syaikh Hafizh
Tsanaullah Az-Zahidi, cet: 1, th: 1410 H
[6]. Muthlaq adalah: lafazh yang mengenai satu yang tidak tertentu dalam kedudukan hakekat
yang mencakup terhadap jenisnya. Lihat: Taisirul Ushul, hal: 90
[7]. Zhahir adalah: lafazh yang mengandung dua makna atau lebih, namun lebih nampak pada
salah satunya, mungkin dari sisi syara’ atau bahasa atau ‘urf (kebiasaan). Lihat: Taisirul Ushul,
hal: 32
[8]. Idem
[9]. Ihkamul Fushul, hal: 391, dinukil dari 421
[10]. At-Tahrir bi Syarhit Taisir 3/181, dinukil dari Aroul Mu’tazilah Al-Ushuliyyah, hal: 421,
karya Syaikh Dr. Ali bin Sa’id bin Shalih Adh-Dhuweihi
[11]. Taisirul Ushul, hal: 216
[12]. Lihat: Mudzakirah Ushulul Fiqh ‘Ala Raudhatun Nazhir, hal: 127, karya Syeikh
Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithi, tahqiq: Abu Hafsh Sami Al-‘Arabi, Darul Yaqin,; Ushulul
Fiqh, hal: 47-48, karya Syeikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin; Syarh Al-Waraqat Fii
Ushulil Fiqh, hal: 170-173, karya Syaikh Abdullah bin Shalih Al-Fauzan; Taisirul Ushul, hal:
214-216, Syeikh Hafizh Tsanaullah Az-Zahidi, cet: 1, th: 1410 H
[13]. Lihat Tafsir Ibnu Katsir, surat Al-Anfal 65-66
[14]. Al-Ihkaam 3/154, karya Al-Amidi ; dinukil dari Syarh Al-Waraqat Fii Ushulil Fiqh, hal:
170, karya Syeikh Abdullah bin Shalih Al-Fauzan
[15]. Lihat: Syarh Al-Waraqat Fii Ushulil Fiqh, hal: 171, karya Syeikh Abdullah bin Shalih Al-
Fauzan
[16]. Ushul Fiqh, hal: 48, karya Syeikh Muhammad bin Sholih Al-‘Utsaimin
[17]. Yaitu had (hukuman) bagi pezina yang sudah menikah dengan dilempari batu sampai mati
[18]. Lihat: Syarh Al-Waraqat Fii Ushulil Fiqh, hal: 170, karya Syaikh Abdullah bin Shalih Al-
Fauzan
[19]. Lihat: Mudzakirah ‘Ala Ushul Fiqh, hal: 148, karya Syeikh Muhammad Al-Amin Syinqithi
[20]. Mudzakiroh Ushul Fiqih, hal: 150
[21]. HR. Bukhari, no: 5528; Muslim, no: 1940 (35)

Anda mungkin juga menyukai