Anda di halaman 1dari 11

Nasekh Wa Manskuh Hadis

“Diajukan untuk memenuhi tugas yang diberikan dosen pada mata kuliah Ulumul Hadis IV”

Dosen Pengampu:

Ustazah Dr. Juli Julaiha P, M.A

Di Susun Oleh: Kelompok 6

Dimas zairul aswan (0406192031)


Salwa zhafirah sinaga (0406192030)
Abdillah koto hakim

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA


FAKULTAS USHULUDDIN DAN STUDI ISLAM
MEDAN
2021
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ......................................................................................... i

BAB 1 PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ............................................................................. 1


B. Rumusan Masalah ........................................................................ 1
C. Tujuan ......................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN ...................................................................... 2

A. Pengertian nasekh wa manskuh hadits ......................................... 2


B. Latar belakang nasekh dan manskuh hadits ................................. 2
C. Mengetahui dan Penerapan beserta Contoh Nasikh wa al- Mansukh ......... 3
D. Perbedaan Pendapat Ulama Tentang Persetujuan Nasikh Wa Mansukh Hadits 6

E. Faidah/Manfaat Nasikh Mansukh................................................................ 6

BAB III PENUTUP ............................................................................. 8

A. Kesimpulan ......................................................................... 8
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................... 9

i
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kita sebagai umat Islam yang mempercayai adanya al-Qur’an dan al-Hadits diharapkan
tidak hanya mengetahui isinya saja tapi kita perlu mempelajari ilmu-ilmunya, mendalami dan
mengamalkannya yaitu al-Qur’an dan ilmu hadits Rasulullah melalui Ulumul Hadits, karena
Hadits Rasulullah merupakan penjelas daripada Al-Qur’an.
Sedangkan Ulumul Hadits mempunyai banyak cabang ilmu-ilmu yang tentu saja masih
berkaitan dengan ilmu hadits, seperti Ilmu Al-Jarh wa Ta’dil, Ilmu Tarikhur Ruwat, Ilmu
Thabaqatur Ruwat, Ilmu Gharibul Hadits,, Ilmu Mukhtalaful Hadits wa
Musykiluhu,, Ilmu Nasikhul Hadits wa Mansukhuhu, Ilmu ‘Ilaul Hadits. Perlu diketahui
bahwa hadits tidak berlaku selamanya melainkan adakalanya ada perubahan-perubahan sesuai
dengan perkembangan zaman. Dalam hal ini, cabang ilmu hadits yang membahas
permassalahan tersebut yaitu cabang Ilmu Nasikh wa al-Mansukh. Dengan demikian pada
pertemuan kali ini kita akan membahas sedikit mengenai Ilmu Nasikh wa al-Mansukh.

B. Rumusan Masalah
1.Apa pengertian Nasikh wa Al-Mansukh fi al-Hadits?
2.Apa yang melatar belakangi adanya Nasikh Mansukh ?
3.Bagaimana cara mengetahui dan penerapan beserta contoh Nasikh wa al-Mansukh?
4.Bagaimana perbedaan pendapat ulama’ mengenai nasikh dan mansukh?
5.Apa Faidah Nasikh Mansukh?

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Nasikh wa al-Mansukh


Nasakh secara etimologi berarti, ‫( أ إلزالة‬menghilangkan), dan ‫ال َّن ْقل‬, (mengutip,
menyalin).1Sedangkan Nasakh menurut istilah, sebagaimana pendapat Ulama ushul adalah:

ُ‫ارع ُح ْكماشرْ عي ُمتراخ ع ْنه‬


‫ر فع ال َّش إ‬
“ Syari’ mengatakan (membatalkan) sesuatu hukum syara’ dengan menggunakan dalil syar’i
yang datang kemudian”.

Adapun yang dimaksud dengan ilmu Nasikh dan Mnsukh dalam hadits adalah:
ْ ‫ث ع إن االحاديثالمتعار ضة الَّتإى اليمكن التَّ ْوفإيق بيْنها‬
ُ ‫مإن حي‬
‫ْث‬ ُ ‫ْالع ْإلم الَّذإى يبْح‬
‫ت تقد‬ ‫ْال ُح ْك إم وعلى ب ْع إ‬
‫ضها االخرْ بانإهُ مسوخ فماث ْب إ‬
‫مإ إه كان م ْنسُوخا وماثبت تاخره كانا سخا‬
“ Ilmu yang membahas hadits-hadits yang berlawanan yang tidak memungkinkan untuk
dipertemukan, karena materi (yang berlawanan) yang pada akhirnya terjadilah saling
menghapus, dengan ketetapan bahwa yang datang terdahulu disebut Mansukh dan yang datang
kemudian dinamakan Nasikh”.
Jadi Nasikh wa al-Mansukh adalah ilmu pengetahuan yang membahas tentang hadits
yang datang terkemudian sebagai penghapus ketentuan hukum yang berlawanan dengan
kandungan hadits yang datang lebih dahulu. Ilmu yang membicarakan hadits Nasikh (yang
menghapuskan hukum), dan hadits Mansukh (yang hukumnya dihapuskan). 2

B. Latar Belakang Nasikh dan Mansukh Hadits

Diskusi telah berlangsung di kalangan ulama, bahkan di kalangan sahabat Nabi tentang
petunjuk hadits yang tampak bertentangan. Perlu ditegaskan bahwa hadits-hadits yang
didiskusikan itu adalah yang sanadnya sama-sama sahih, minimal hasan, hadits yang
sanadnya dha’if tidak dimasalahkan karena hadits yang bersangkutan ditolak sebagai hujah.

1 M. Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadits, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hlm. 119.
2 Munzier Suparto, Ilmu Hadits, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003), hlm. 37-38

2
Untuk menyelesaikan hadits-hadits yang tampak bertentangan tersebut, cara yang
ditempuh oleh ulama tidak sama, ada yang menempuh lebih dari satu cara dengan urutan yang
berbeda-beda. Istilah-istilah yang banyak dijumpai dalam hal ini antara lain:
· al-tarjib, yakni meneliti dan menentukan petunjuk hadits yang meniliki argumen yang
lebih kuat,
· al-jam’u (at-taufiq), yakni kedua hadits yang tampak bertentangan itu dikompromikan,
atau sama-sama diamalkan sesuai konteksnya,

· al-nasikh wa al-mansukh, yakni petunjuk dalam hadits yang satu dinyatakan sebagai
“penghapus”, sedang hadits yang satunya lagi sebagai “yang dihapus”,

· al-tauqif, yakni “menunggu” sampai ada petunjuk atau dalil lain yang dapat
menjernihkan dan menyelesaikan pertentangan
Walaupun cara-cara penyelesaian ulama berbeda-beda, namun tidaklah berarti bahwa
hasil penyelesaiannya harus berbeda juga. Dinyatakan demikian karena selain ulama pada
umumnya lebih mengutamakan cara al-jam’u (at-taufiq), sepanjang cara itu dapat diterapkan,
juga untuk cara penyelesaian yang diberi istilah yang berbeda, ternyata hasilnya banyak yang
menunjukkan kesamaan. 3

C. Cara Mengetahui dan Penerapan beserta Contoh Nasikh wa al- Mansukh

1.Dengan penjelasan dari nash atau syari’ sendiri, yang dalam hal ini ialah Rasulullah Saw.
seperti hadits tentang ziarah kubur yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah:

‫حدَّثنا يحْ يى بْنُ إإسْحاق أ ْخبرنا أبُو عوانة ع ْن عُمر ب إْن أبإي سلمة ع ْن أبإي إه ع ْن أبإي هُريْرة‬

‫ت ا ْلقُ ُب ه‬
َّ‫ور‬ َّ‫ارا ه‬ ََّ ‫سل ََّم لَ َع‬
َ ‫ن زَ و‬ َ ‫علَ ْي هَّه َو‬
َ ‫ّللا‬
َُّ ‫ّللا صَلى‬ ُ ‫أَنَّ َر‬
َّ‫سو ََّل ه‬

“Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Ishaq telah mengabarkan kepada kami Abu
'Awanah dari Umar bin Abu Salamah dari bapaknya dari Abu Hurairah, dia berkata; Bahwa
Rasulullah ‫ ﷺ‬melaknat para wanita peziarah kubur.” (al-shan’ani subulussalam, II hal.114).

Kemudian di nasakh dengan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairoh:

‫حدَّثنا أبُو ب ْك إر بْنُ أبإي شيْبة و ُزهي ُْر بْنُ حرْ ب قاال حدَّثنا ُمح َّمدُ بْنُ عُبيْد ع ْن ي إزيد ب إْن كيْسان ع ْن أبإي ح إ‬
‫ازم ع ْن أبإي هُريْرة قال‬

3M. Syuhudi Ismail,, Hadis Nabi Menurut Pembela Pengingkar Dan Pemalsunya,( Jakarta, Gema Insani
Press,1995) halm. 153

3
‫ّللا عل ْي إه وسلَّم قبْر أ ُ إم إه فبكى وأبْكى م ْن ح ْولهُ فقال اسْتأْذ ْنتُ ر إبي فإي أ ْن أسْت ْغفإر لها فل ْم يُؤْ ذ ْن لإي‬
ُ َّ ‫زار النَّ إبي صلَّى‬
ُ ‫واسْتأْذ ْنتُهُ فإي أ ْن أ ُزور قبْرها فأُذإن لإي ف ُز‬
‫وروا ْالقُبُور فإإنَّها تُذك ُإر ْالم ْوت‬

"Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abu Syaibah dan Zuhair bin Harb keduanya
berkata, telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ubaid dari Yazid bin Kaisan dari
Abu Hazim dari Abu Hurairah ia berkata; Nabi ‫ ﷺ‬menziarahi kubur ibunya, lalu beliau
menangis sehingga orang yang berada di sekelilingnya pun ikut menangis. Kemudian beliau
bersabda, "Saya memohon izin kepada Rabb-ku untuk memintakan ampunan baginya, namun
tidak diperkenankan oleh-Nya, dan saya meminta izin untuk menziarahi kuburnya lalu
diperkenankan oleh-Nya. Karena itu, berziarahlah kubur karena ia akan mengingatkan kalian
akan kematian.", (HR., Muslim no.1622)

Ulama ahli hadits berpendapat bahwa larangan ziarah bagi perempuan itu sebelum
adanya rukhshah (kemurahan/kebolehan) untuk melakukan ziarah kubur. Setelah Rasulullah
memperbolehkan untuk melakukan ziarah kubur, maka kebolehan itu berlaku secara umum
bagi laki-laki dan perempuan. Sebagaian ulama ada yang memandang makruh ziarah kubur
bagi perempuan, dan mereka berkata bahwa kebolehan itu bagi kaum laki-laki, bukan bagi
kaum perempuan. Sebagian mereka berkata bahwa kemakruhan ziarah kubur bagi perempuan
itu disebabkan karena mereka kurang sabar dan banyak kegelisahannya. 4

2.Dengan melalui pemberitahuan seorang sahabat, seperti hadis yang diriwayatkan oleh Imam
Muslim dari Abdullah Ibn Ibrahim Ibn Qurizh, yang memberitahukan:
ُ ‫ارظ أ ْخبر ُه أنَّهُ وجد أبا هُريْرة يتوضَّأ ُ على ْالمس إْج إد فقال إإنَّما أتوضَّأ‬ ‫عن عُمر ب إْن ع ْب إد ْالع إز إ‬
‫يز أنَّ عبْد َّ إ‬
‫ّللا بْن إإبْراهإيم ب إْن ق إ‬
َّ ‫ّللا عل ْي إه وسلَّم يقُو ُل تو‬
ُ َّ‫ضئُوا مإ َّما م َّستْ الن‬
‫ار‬ ‫مإن أثْو إار أقإط أك ْلتُها إِلنإي سمإ ْعتُ رسُول َّ إ‬
ُ َّ ‫ّللا صلَّى‬ ْ

“Dari Umar bin Abdul Aziz, bahwasanya Abdullah bin Ibrahim bin Qarizh
memberitahukannya, sesungguhnya dia pernah mendapati Abu Hurairah berwudhu di masjid,
lalu Abu Hurairah berkata, "Sesungguhnya saya berwudhu karena telah makan beberapa
potong keju, dan saya pernah mendengar Rasulullah bersabda, "Berwudhulah setelah makan
sesuatu yang di masak dengan api." {Muslim 1/187}.

Imam Bukhari meriwayatkan dari Ibn Abbas:

‫ّللا بْنُ يُوسُف قال أ ْخبرنا مالإك ع ْن ز ْي إد ب إْن أسْلم ع ْن عطاءإ ب إْن يسار ع ْن ع ْب إد َّ إ‬
‫ّللا ب إْن عبَّاس‬ ‫حدَّثنا ع ْبدُ َّ إ‬
ْ‫ّللا عل ْي إه وسلَّم أكل كتإف شاة ث ُ َّم صلَّى ول ْم يتوضأ‬
ُ َّ ‫ّللا صلَّى‬
‫أنَّ رسُول َّ إ‬

4Zuhad, Metode Pemahaman Hadits Mukhtalif Asbab al-Wurud, (Semarang: Rasail Media Group, 2011), hlm.
131-132

4
“Telah menceritakan kepada kami 'Abdullah bin Yusuf berkata, telah mengabarkan kepada
kami Malik dari Zaid bin Aslam dari 'Atha bin Yasar dari 'Abdullah bin 'Abbas, bahwa
Rasulullah ‫ ﷺ‬makan paha kambing kemudian shalat dan tidak berwudhu lagi." Telah
menceritakan kepada kami 'Abdullah bin Yusuf berkata, telah mengabarkan kepada kami
Malik dari Zaid bin Aslam dari 'Atha bin Yasar dari 'Abdullah bin 'Abbas, bahwa Rasulullah
‫ ﷺ‬makan paha kambing kemudian shalat dan tidak berwudhu lagi."(HR.Bukhori no .200)
Al-Hazimi meriwayatkan dari Muhammad Ibn Maslamah yang berkata bahwasanya
Nabi memakan daging pada masa yang akhir dari kehidupannya, kemudian shalat tanpa
wudlu’. Bisa juga dikatakan bahwa wudlu’ karena menyantap makanan yang dimasak
diperselisihkan dan riwayat-riwayat dari Nabi mempunyai kekuatan dan kepopuleran yang
sederajat, serta Ulama’ pada generasi awal dan akhir telah membahas dan membicarakannya,
antara nasakh dan mansukh, yang mayoritas berpendapat telah di nasakh, sebgaimana riwayat
Ibn Abbas.5

3.Dengan melalui fakta sejarah, seperti hadits riwayat Syadad bin Aus dan Tsauban tentang
sabda Nabi Saw. berupa:
‫ث ع ْن شدَّا إد ب إْن أ ْوس‬ ‫ش ْعبةُ ع ْن ع إ‬
‫اصم ْاِلحْ و إل ع ْن أبإي قإَلبة ع ْن أبإي ْاِل ْشع إ‬ ُ ‫قال حدَّثنا ُمح َّمدُ بْنُ ج ْعفر قال حدَّثنا‬
‫اج ُم و ْالمحْ جُو ُم‬
‫ّللا عل ْي إه وسلَّم م َّر إبرجُل يحْ ت إج ُم فإي رمضان فقال أ ْفطر ْالح إ‬
ُ َّ ‫ّللا صلَّى‬
‫أنَّ رسُول َّ إ‬

“Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ja'far berkata; telah menceritakan kepada
kami Syu'bah dari 'Ashim Al Ahwal dari Abu Qilabah dari Abu Al Asy'ats dari Syaddad bin
Aus sesungguhnya Rasulullah ‫ ﷺ‬melewati seorang laki-laki yang sedang berbekam pada bukan
Ramadan, lalu beliau bersabda, "Orang yang membekam dan dibekam telah batal
puasanya."(HR.Ahmad no.16504)
Imam Syafi’i menuturkan bahwa hadits ini di nasakh oleh hadits riwayah Ibn Abbas r.a berupa:
‫ّللا ع ْن ُهما‬ ‫حدَّثنا ُمعلَّى بْنُ أسد حدَّثنا ُوهيْب ع ْن أيوب ع ْن إع ْك إرمة ع ْن اب إْن عبَّاس ر إ‬
ُ َّ ‫ضي‬
‫ّللا عل ْي إه وسلَّم احْ تجم وهُو ُمحْ إرم واحْ تجم وهُو صائإم‬
ُ َّ ‫ي صلَّى‬
َّ ‫أنَّ النَّبإ‬

Telah menceritakan kepada kami Mu'alla bin Asad telah menceritakan kepada kami Wuhai
dari Ayyub dari 'Ikrimah dari Ibnu 'Abbas radliallahu 'anhuma bahwa Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam berbekam ketika sedang berihram dan juga berbekam ketika sedang
berpuasa.”(HR.Bukhori no 1802)”

Imam Syafi’i meengomentari hadis ibn Abbas bahwa pertama kali ia mendengar dari
Rasulullah adalah pada tahun penaklukan Makkah, dan pada saat itu beliau belum ihram dan
ia tidak menyertai beliau dalam keadaan ihram (untuk haji) sebelum pelaksanaan haji menurut

5 Ibid, 150-153.

5
syariat islam. Ibn Abbas menerangkan tentang berbekamnya Nabi adalah pada tahun
pelaksanaan ibadah haji pada tahun ke 10 H, sedangkan hadis yang diriwayatkan Syadad terjadi
pada tahun penakhlukan Makkah pada tahun ke 8 H. Imam Syafi’i menambahkan bahwa jika
seseorang menghindari melakukan bekam pada bulan puasa, maka lebih ia sukai sebagai
tindakan kehati-hatian agar tidak mengagnggu puasanya dengan adanya kelemahan pada
fisiknya. Dan yang ia ingat dari sebagian sahabat Nabi, para Tabi’in dan umumnya orang
Madinah bahwa bekam itu tidak membatalkan puasa seseorang.

Al-Hazimi menukil riwayat dari Abu Sa’id al-Khudri yang berkata bahwa Rasulullah
telah memberi rukhsah (kemurahan) kepada orang yang berpuasa untuk mencium dan
berbekam. Ia juga menukil riwayat dari Abu Hurairah yang ditanya tentang orang berpuasa
yang berbekam, yang katanya “orang-orang mengatakan batal puasa orang yang membekam
dan dibekam”, tetapi jika seseorang melakukannya sebenarnya tidak membahayakan.

Imam Syafi’i menyebutkan riwayah dari Karmalah, katanya sebagian orang yang
meriwayatkan hadits “sedang Afthara al-hajim wa al-mahjum” menjelaskan bahwa Nabi
melewati keduanya melakukan hibah (menggunjing) atas seseorang,lalu Nabi bersabda
demikian, karena keduanya melakukan hibah. 6

D. Pendapat Ulama mengenai Nasikh dan mansukh

Oleh kerana penentuan nasakh merupakan perkara yang diijtihadkan, tentu sekali ada
perbedaan pendapat ulama dalam menentukan sesuatu hadist itu dimansukhkan ataupun tidak.
Tidak semua hadist yang dikatakan sebagai telah mansukh dipersetujui oleh semua pihak.
Walau bagaimanapun terdapat juga, hadist yang disepakati oleh ulama sebagai mansukh.
Dalam hal ini, Dr Yusuf al-Qaradhawi menyebut: “Banyak hadist yang didakwa sebagai telah
dimansukhkan tetapi setelah dikaji ia tidaklah dinasakhkan. Ada hadist yang berbentuk `azimah
dan ada pula yang berbentuk rukhsah. Kedua bentuk ini mempunyai hukum masing-masing
pada tempatnya. Terdapat sesetengah hadist yang berkaitan dengan keadaan tertentu dan hadist
yang lain pula berkaitan dengan keadaan yang lain, maka perbedaan keadaan itu bukan
menunjukkan nasakh.7
Adapun kitab yang populer tentang nasikh dan mansukh di antaranya:
a. Al-I’tibar fi an-Nasikh wa al-Mansukh min al-Atsar, karya Abu Bakar Muhammad Ibnu
Musa al-Hazimi
b. An-Nasikh wa al-Mansukh, karya Imam Ahmad

6 Misbah, Mutiara Ilmu Hadits, (Jawa Timur: Mitra Pesantren, 2014), hlm. 336-338.
7 Fathurrahman,Ikhtisar Musthalahul Hadits (Jawa Timur : PT. Al-Ma’arif Bandung.) halm. 210-211

6
c. Tajrid al-Ahadits al-Mansukhakh, karya Ibnu JauziD. Perbedaan Pendapat Ulama
Tentang Persetujuan Nasikh Wa Mansukh Hadits

E. Faidah/Manfaat Nasikh Mansukh

Mengetahui Ilmu Nasikh dan Mansukh termasuk kewajiban penting bagi orang-orang
yang memperdalam syari’at. Karena seorang pembahas Ilmu syari’at tidak akan dapat memetik
hukum dari dalil-dalil naskh. Dalam kaitan ini adalah hadits tanpa mengetahui dalil-dalil naskh
yang sudah dinasahkan dan dalil-dalil yang menasakhkannya. Atas dasar itulah al-Hazimy
berkata, “Ilmu ini termasuk sarana penyempurnaan ijtihad”. Sebab, sebagaimana diketahui
bahwa rukun ijtihad itu ialah adanya kesanggupan untuk memetik hukum dari dalil-dalil naqli
(nash) dan dari dalil-dalil naqli itu harus mengenal pula dalil yang sudah dinash atau dalil yang
menasahkannya.
Hadits menurut arti yang tersurat adalah mudah dan tidak menyebarkan waktu. Akan
tetapi yang menimbulkan kesukaran adalah mengistimbarkan hukum dari dalil-dalil nash yang
tidak jelas petunjuknya. Di antara jalan untuk mentahqiqkan (memastikan) ketersembunyian
arti yang tidak tersirat itu ialah mengetahui mana dalil yang terdahulu dan manapula dalil yang
kemudian dan lain sebagainya dari segi makna.

7
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

a. Nasikh wa al-Mansukh adalah ilmu pengetahuan yang membahas tentang hadits yang datang
terkemudian sebagai penghapus ketentuan hukum yang berlawanan dengan kandungan hadits
yang datang lebih dahulu. Ilmu yang membicarakan hadits Nasikh (yang menghapuskan
hukum), dan hadits Mansukh (yang hukumnya dihapuskan).
b. Cara-cara mengetahui Nasikh wa Mansukh
Dengan penjelasan dari nash
Dengan melalui pemberitahuan seorang sahabat
Dengan melalui fakta sejarah
c. Walaupun cara-cara penyelesaian ulama berbeda-beda, namun tidaklah berarti bahwa hasil
penyelesaiannya harus berbeda juga. Dinyatakan demikian karena selain ulama pada umumnya
lebih mengutamakan cara al-jam’u (at-taufiq), sepanjang cara itu dapat diterapkan, juga untuk
cara penyelesaian yang diberi istilah yang berbeda, ternyata hasilnya banyak yang
menunjukkan kesamaan

D. Dr Yusuf al-Qaradhawi menyebut: “Banyak hadist yang didakwa sebagai telah


dimansukhkan tetapi setelah dikaji ia tidaklah dinasakhkan. Ada hadist yang berbentuk `azimah
dan ada pula yang berbentuk rukhsah. Kedua bentuk ini mempunyai hukum masing-masing
pada tempatnya. Terdapat sesetengah hadist yang berkaitan dengan keadaan tertentu dan hadist
yang lain pula berkaitan dengan keadaan yang lain, maka perbedaan keadaan itu bukan
menunjukkan nasakh.

8
E. menurut al-Hazimy faidah dari ilmu nasikh mmansukh ialah “Ilmu ini termasuk sarana
penyempurnaan ijtihad”. Sebab, sebagaimana diketahui bahwa rukun ijtihad itu ialah adanya
kesanggupan untuk memetik hukum dari dalil-dalil naqli (nash) dan dari dalil-dalil naqli itu
harus mengenal pula dalil yang sudah dinash atau dalil yang menasahkannya.

Daftar Pustaka

Fathurrahman, 1987,Ikhtisar Musthalahul Hadits, Bandung, PT. Al-Ma’arif Bandung


Suoarto mundzir ,2003 , Ilmu Hadits ,Bandung , PT.Raja Grafindo Persada
Solahudin M.Agus & Suyadi Agus, 2008 Ulumul Hadits ,Bandung,Pustaka Setia
Prof. Dr. H. M. Syuhudi Ismail, 1995, Hadis Nabi Menurut Pembela Pengingkar Dan Pemalsunya,
Jakarta, Gema Insani Press

Zuhad ,2011,Pemahaman Hadits Mukhtalif Asbabul Wurud ,Semarang, Rasail Media Group

Misbah ,2014 ,Mutiara Ilmu Hadits,Jawa Timur, Mitra Pesantren

Anda mungkin juga menyukai