Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Hukum mempelajari tauhid adalah hukumnya fardhu ‘ain, bagi orang mukallaf baik
laki-laki maupun perempuan walaupun dalam argument (dalil-dalil) secara mujmal (global).

Hukum syara’ mewajibkan dengan fadhu ‘ain kepada seluruh mukallaf untuk
mempelajari ilmu tauhid dan bertauhid. Oleh karena itu, sasaran kewajiban mempelajari ilmu
tauhid dan bertauhid adalah seluruh mukallaf yang bersifat individu, maka sekalipun orang
kafir (selama sehat akalnya), akan diminta pertanggung jawaban tentang kewajiban
mempelajari ilmu tauhid dan ketauhidan masing-masing.

Maka disini kami akan membahas tentang hukum syara’, akal, dan adat.

Rumusan Masalah

Apa itu hukum syara’, akal dan adat?

Tujuan Penulisan

Agar lebih mengetahui mengenai hukum syara’, akal, dan adat

1
BAB II
PEMBAHASAN
1. HUKUM SYARA’

Hukum syara’ adalah seperangkat peraturan berdasarkan ketentuan Allah tentang


tingkah laku manusia yang di akui dan diyakini serta mengikat untuk semua umat yang
Bergama islam .

Mayoritas ulama’ mendefinikan hukum ialah :

‫خطاب اهلل املتعلق بأفعا ل املكلفني اقتضاءاوختيريا اووضعا‬

Artinya : “ kalam Allah yang menyangkup perbuatan orang dewasa dan berakal sehat, baik bersifat
imperative, fakultatif atau menempatkan sesuatu sebagai sebab, syarat , dan penghalang.”

Ali Hasaballah dan Abd Wahabkhalaf berpendapat bahwa yang di maksud dengan dalil di sini
hanya AL-Quran dan As-Sunnah.Adapun ijma dan qiyas hanya sebagai metode penyingkapan hukum
dari Al-Quran dan As-Sunnah tersebut.dengan demikian,sesuatu yang di sandarkan pada kedua dalil
tersebut tidak semestinya di sebut sebagai sumber hukum. 1

2. Macam-Macam Hukum
Menurut ulama ushul fiqh, hukum syara’ ada dua macam :
Pertama, Hukum Takhlifi hukum ini disebut karena didalamnya ada beban bagi
manusia. Secara pengertian hukum takhilifi adalah firman Allah yang menuntut
manusia untuk melakukan atau meninggalkan sesuatu dan takhir (mubah), dimasukkan
dalam hukum takhlifi karena dimutlakkan dan digolongkan secara istilah, bukan
hakikatnya, atau bisa juga dikatakan bahwa maksudnya adalah hukum takhir/ mubah
hanya berlaku bagi mukallaf, artinya kebolehan memilih Antara mengerjakan dan
meninggalkan hanya berlaku bagi orang telah dibebani tuntutan, baik tuntutan untuk
mengerjakan atau meninggalkan.

a. Contoh firman Allah yang bersifat menuntut untuk melakukan perbuatan:

1
Rachmat syafe’I. ilmu ushul fiqih. (Bandung: pustaka setia, 2018), hlm. 295

2
َ ‫الز َكا َة َوأَطِ يعُوا الرَّ سُو َل َل َعلَّ ُك ْم ُترْ َحم‬
‫ُون‬ َّ ‫َوأَقِيمُوا ال‬
َّ ‫صاَل َة َوآ ُتوا‬

Artinya : “ Dan dirikanlah sholat, tunaikan zakat, dan taatilah rasul, supaya kamu
diberi rahmat.”2

b. Contoh firman Allah yang bersifat menuntutu meninggalkan perbuatan :

َ َ‫َواَل َتأْ ُكلُوا أ‬


‫مْوا َل ُك ْم َب ْي َن ُك ْم ِب ْالبَاطِ ِل‬
Artinya: “janganlah kamu memakan harta diantara kamu dengan jalan yang
bathil.”3

c. Contoh firman Allah SWT yang bersifat memilih atau fakultatif :

‫ْط اأْل َ ْب َيضُ م َِن ْال َخ ْيطِ اأْل َسْ َو ِد م َِن ْال َفجْ ِر‬
ُ ‫َو ُكلُوا َوا ْش َربُوا َح َّت ٰى َي َت َبي ََّن َل ُك ُم ْال َخي‬
Artinya: “Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang
hitam yaitu fajar.”
1. Bentuk- bentuk hukum takhilifi-

Ada dua golongan ulama yang menjelaskan bentuk-bentuk hukum takhlifi :

Pertama, menurut jumhur ulama ushul fiqh/ mutakallimin. menurut mereka bentuk-
bentuk hukum tersebut ada lima macam, yaitu ijab, nadb, ibahah, karahan, dan tahrim.

Kedua, bentuk-bentuk hukum takhilifi, seperti iftirat, ijab, nadb. Ibahah, arahah
tanziliyah, karahah tahrimiyah, dan tahrim.

Bentuk pertama

A. IJAB
Yaitu tuntutan syar’I yang bersifat untuk melaksanakan sesuatu dan tidak boleh
ditinggalkan. Orang yang meninggalkannya dikenai sanksi. Dalam surah Annur ayat
56 :

َ ‫الز َكا َة َوأَطِ يعُوا الرَّ سُو َل َل َعلَّ ُك ْم ُترْ َحم‬


‫ُون‬ َّ ‫َوأَقِيمُوا ال‬
َّ ‫صاَل َة َوآ ُتوا‬
Artinya : Dan dirikan lah shalat dan tunaikanlah zakat.”
2
QS. An-Nur 56
3
QS. Al-baqarah 188

3
Dalam ayat ini Allah menggunakan lafaz amr , yang menurut para ahli ushul fiqh
melahirkan ijab, yaitu kewajiban mendirikan sholat dan membayar zakat. Apabila
kewajiban ini dikaitkan dengan orang mukallaf, maka disebut ujub, sedangkan perbuatan
yang dituntut (mendirikan sholat dan membayarkan zakat), disebut dengan wajib, Maka
menurut ulama ushul fiqh terkait ayat diatas bahwa ujub merupakan akibat dari khithab
(tuntutan) Allah dan wajib adalah perbuatan yang dituntut oleh khithab Allah SWT.

B. NABD

Yaitu tuntutan untuk melaksanakan yang tidak bersifat memaksa, melainkan sebagai
anjuran sehingga seseorang tidak dilarang untuk meninggalkannya, dan orng yang
meninggalkannya tidak dikenai sanksi. Yang dituntut untuk dikerjakan disebut mandub,
sedangkan akibat dari tuntutan itu disebut nabd. Misalnya, dalam surah Al-baqarah ayat
282. Allah SWT berfirman:

ْ ‫ْن إِ َل ٰى أَ َج ٍل ُم َس ًّمى َف‬


ُ‫اك ُتبُوه‬ َ ‫َيا أَ ُّي َها الَّذ‬
ٍ ‫ِين آ َم ُنوا إِ َذا َتدَا َي ْن ُت ْم ِبدَ ي‬
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman apabila kamu bermuamalah tidak secara
tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.”

Akibat dari tuntutan Allah seperti itu disebut nabd sedangkan perbuatan yang dituntut
untuk dkerjakan, seperti menuliskan utang piutang disebut mandub.

C. IBAHAH
Yaitu khithab Allah yang bersifat fakultatitf, mengandung pilihan Antara berbuat
atau tidak berbuat secara sama. Akibat dari khitbah Allah disebut juga dengan
ibahah, dan perbuatan yang boleh dipilih itu disebut mubah. Misalnya, firmah
Allah dalam surah Al-Maidah ayat 2 :
‫َوإِ َذا َح َل ْل ُت ْم َفاصْ َطا ُدوا‬
Artinya: “apabila kamu telah selesai melaksanakan ibadah haji, maka bolelah
kamu berburu.”

D. KARAHAH

4
Yaitu tuntutan untuk meninggalkan suatu perbuatan, tetapi tuntutan itu
diungkapkan melalui redaksi yang tidak bersifat memaksa dan seseorang yang
mengerjakan perbuatan yang dituntut untuk ditinggalkan tidak dikenai hukuman.
Akibat dari tuntutan itu disebut karahah dan merupakan kebalikan dari nabd,
sedangkan perbuatan yang dikenai khitbah disebut makruh. Misalnya hadis nabil
Muhammad SAW :

‫ابغضالحالل عندهللا الطالق‬


Artinya; “perbuatan halal yang paing dibenci Allah adalah talak.”4
E. TAHRIM
Yaitu tuntutan untuk tidak mengerjakan suatu perbuatan dengan tuntutan yang
memaksa. Akibat dari tuntutan disebut hurmah dan perbuatan yang dituntut
disebut haram. Misalnya firman Allah dalam surah Al-An’am ayat 151 :

ُ ‫س الَّتِي َحرَّ َم هَّللا‬


َ ‫َواَل َت ْق ُتلُوا ال َّن ْف‬
Artinya: “ jangan kamu membunuh jiwa yang telah diharamkan Allah .”

Kedua, bentuk-bentuk hukum takhilifi menurut ulama Hanafiayah


a. IFTIRAT
Yaitu tuntutan Allah kepada mukallaf yang bersifat memaksa dan
berdasarkan dalil yang qhat’I.
b. IJAB
Tuntutan Allah yang bersifat memaksa kepada mukallaf untuk
melaksanakan suatu perbuatan, tetapi melalui dalil yang bersifat zhonni
(relative benar).
c. NABD
Tuntutan Allah yang bersifat tidak memaksa melainkan sebagai anjuran
sehingga tidak dilarang untuk meninggalkannya.
d. IBAHAH
Tuntutan Allah yang bersifat fakultatif, mengandung pilihan Antara
berbuat atau tidak berbuat secara sama.
e. KARAHAH TANZIHIYAH

4
HR Abu Dawud, Ibnu Majah, Al Baihaqi , Dan hakim.

5
Tuntutan Allah kepada mukallaf untuk meninggalkan suatu pekerjaan,
tetapi tuntutannya ttidak bersifat memaksa.
f. KARAHAH TAHRIMIYAH
Tuntutan Allah kepda mukallaf untuk meninggalkan sesuatu perbuatan
dengan cara memaksa, tetapi didasarkan dengan dalil zhonni.
g. TAHRIM
Tuntutan Allah kepada mukallaf untuk meninggalkan pekerjaan secara
memaksa dan berdasarkan dalil qath’I.

3. AKAL

Hukum akal, yaitu penentapan  suatu perkara atas perkara yang lainnya atau
penolakan suatu perkara kepada perkara lainnya, dan dalam menetapkan atau menolak
hukum(perkara) tersebut tidak membutuhkan uji coba yang berulang-ulang dan tidak
membutuhkan sandaran (wadla’). Seperti menetapkan 1+1 = 2,akal tidak perlu menunggu
uji coba yang berulang-ulang seperti halnya hukum ‘adat. Dan tidak membutuhkan sandaran
seperti halnya hokum syara’.

‫والحكم العقلى هو إثبات امر او نفيه من غير توقف على تكرر وال وضع واضع‬

Menurut pendapat Muhammad Abduh, jalan yang di pakai untuk mengetahui Tuhan,
bukanlah wahyu saja tetapi juga akal. Akal, dengan kekuatan yang ada dalam dirinya,
berusaha memperoleh pengetahuan tentang Tuhan dan wahyu, turun untuk memperkuat
pengetahuan akal itu dan untuk menyampaikan kepada manusia apa yang tak dapat diketahui
akal.5

Hukum akal terbagi menjadi tiga;

a. Wajib Aqli : hukum ini menunjukkan bahwa sesuatu pati ada. Hukum wajib
dibagi menjadi dua; wajib dhohuri dan wajib nadhori. Wajib dhohuri adalah
segala hal yang diterima akal dan tanpa dipikir. Dan wajib dhohuri juga tidak
perlu dibuktikan karena sudah jelas logikanya. Contoh setiap benda mesti ada
gerak dan diam. Sedangakn wajib nadhori adalah segala yang diterima akal
setelah dipikirkan, dibahas, diuraikan dengan bukti-bukti. Dan hal tersebut dapat
diyakini kebenarannya. Contoh mempelajari sifat-sifat Allah adalah dengan

5
Syekh Muhammad Abduh, Risalah Tauhid, 1963. Hal 53

6
penerangan dan dalil yang kukuh. Allah bukan benda yang dapat dilihat dan
diterima oleh akal tanpa dibuktikan.
b. Mustahil Aqli: hukum ini menunujukkan bahwa sesuatu yang pasti
kemustahilannya. Hukum mustahil terbagi atas dua, yaitu : pertama, mustahil
dhohuri adalah segala hal yang tidak diterima akal tanpa perlu dipikirkan atau
dibuktikan. Contoh kejadian siang dan malam. Yang kedua, mustahil nadhori
adalah segala yang ditolak oleh akal setelah dipikir, dibahas, diuarikan, dengan
dalil yang kukuh. Kemudian hal tersebut dipahami dan diyakini bahwa ia tidak
boleh diterima akal. Contoh ada yang menyaingi kekuasaan Allah.
c. Jaiz Aqli : hukum ini menunjukkan bahwa sesuatu memiliki kemungkinan ada
atau tidak ada. Kumungkianan diantara keduanya pun sama. Hukum ini terbagi
atas dua jenis. Pertama, jaiz dhoruri adalah perkara yang tidak membutukan
pemikiran panjang. Contoh apakah tubuh kita bergerak atau tidak?. Yang kedua,
jaiz nadhori adalah perkara yang memerlukan pemikiran panjang. Contoh tongkat
nabi Musa yang dapat berubah menjadi ular ketia dilemparkan. Bagi manusia, hal
tersebut tentunya tidak mungkin. Namun, dengan kekuasaan Allah SWT hal
tersebut menjadi mungkin.

4. ADAT
Hukum adat adalah menetapkan yang berakitan suatu perkara atas suatu
perkara lainnya atau menafikannya Karena disebabkan kejadiannya berulang-ulang
(sudah biasa) seperti itu dengan sah berbeda dan tidak ada hubungan salah satu
dengan yang lainnya.

‫أثير‬j‫دم الت‬j‫ف وع‬j‫حة التخل‬j‫ع ص‬j‫رر م‬j‫طة التك‬j‫دما بواس‬j‫والحكم العادى هو اثبات الربط بين امر وامر وجودا وع‬
‫احدهما‬
Seperti api yang membakar, api (ada) membakat (ada), membakarini
disandarkan kepada adanya api, namun hukum adat api yang membakar ini bisa saja
bertentangan dengan kebiasaannya, seperti yangterjadi kepada Nabi Ibrahim AS, api
tidak mebakar beliau atas izin Allah SWT.6
Ketetapan hukum adat debagai landasan hukum syara’ maka ketentuan-
ketentuan wajib dihormati, seperti merokok dapat menimbulkan penyait kanker hati
maka sebaiknya tidak merokok, atau apabila terlalu banyak makan sambal akan
6
Syekh Ahmad Rifa’I, Kitab Ri’ayah al- himmah jilid I

7
menimbulkan sakit perut maka jagnlah terlalu sering makan sambal dan lain
sebagainya.
Firman Allah dalam QS. Ar- Rad ayat 11 :

Yang artinya : bagi manusia ada malaikat-malaikat yang mengikutinya bergiliran,


dimuka dan dibelakngnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya,
Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang
ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap
suatu kaum, maka tidak ada yang dapat menolaknya, dan sekali-kali tidak ada
pelindung bagi mereka selain Dia.

Firman Allah yang menunjukkan kepada syari’at dan hakikat, didalam


pengamalannya bagi kita sebagai umat islam adalah: firman Allah yang menunjukkan
kepada adat adalah untuk dijadikan landasan amal dan pembicaraan, sedangkan
firman Allah yang menunjukkan pada hakikat adalah untuk di I’tikadkan sebagai
landasan tawakkal, sabar dan syukur kepada Allah SWT.

Sepanjang Allah masih penyelenggarakan hukum adat maka ketentuan hukum


adat harus dihormati (dilakukan), namun apabila Allah tidak menyelenggarakan
hukum adat, Allah tidak mentaklif untu menjalankan ketetapan hukum adat,
melainkan untuk bertawakkal (berserah diri) secara penuh kepada Allah SWT diserati
dengan sabar dan syukur.

a. Pembagian Hukum Adat


1. Keterkaitan adanya suatu perkara dengan adanya suatu perkara (ada dengan
ada)
Contoh:
Terasa kenyang dengan adanya makanan dalam perut
2. Keterkaitan tidak adanya suatu perkara dengan tidak adanya suatu perkara
(tiada dengan tiada)
Contoh :
Tidak ada rasa kenyang karena tidak adanya makanan dalam perut.
3. Keterkaitan adanya suatu perkara dengan dengan tidak adanya suu perkata
(ada dengan tiada)
Contoh :
Ada mendung, tetapi tiada hujan.

8
4. Keterkaitan tidak adanya suatu perkara dengan adanya suatu perkara (tiada
dengan ada)
Contoh:
Tiada mendung, tetapi hujan turun.

Ini menjadi suatu ilmu serta bisa memudahkan untuk menelurusuri ilmu tauhid.
Sehingga menimbulkan rasa haqqul yaqin kepada Allah SWT. Dan perlu kita perhatikan,
karna seringnya kita lihat adat api adalah membakar, adat air adalah membasahi, adat
angin adalah bertiup dingin, adat bumi adalah memberi tempat tumbuh segala tumbuhan.
Namun nyatanya mmeberi bekas pada makhluk.

9
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Hukum artinya adalah sekumpulan peraturan yang menetapkan suatu perbuatan dan
melarang suatu perbuatan. Hukum yang dibicarakan disini terbagi atas tiga :
Hukum syar’i: hukum yang berkaitan dengan perintah dan larangan Allah.
Hukum adat : hukum yang berkaitan dengan adat atau kebiasaan manusia.
Hukum aqli : hukum yang berkaitan dengan akal manusia.
Jadi jika ada orang yang mengatakan wajib atas tiap-tiap mukallaf (akil dan baligh)
maksudnya adalah wajib menurut hukum syara’, dan jika orang mengatakan wajib bagi
Allah dan RasulNya adalah wajib menurut hukum akal. Dan jika orang mengatakan wajib
bagi makhlukNya, yang ia maksud ialah wajib menurut hukum adat.

10
DAFTAR PUSTAKA

Syafe’I, Rachmat. 2007. Ilmu ushul fiqih (Bandung: pustaka setia )


Abduh, Muhammad. Risalah Tauhid. 1963
Rifa’i, Ahmad. Ri’ayah al-himamah. Jilid I
Habib Utsman Bin Abdullah. Kitab sifat dua puluh, Banda Aceh: putra Aceh Sejati, 1906
M
Kamarul Shukri Mohd. Teh, Pengantar Ilmu Tauhid, Kuala Lumpur: Yeochprinco sdn.
Bhd, 2008 .

11

Anda mungkin juga menyukai