Anda di halaman 1dari 5

Naskh secara bahasa artinya: menghilangkan, menghapuskan, memindahkan, menulis.

Adapun secara istilah, maka ada dua macam: Pertama. Naskh menurut istilah para ulama
ushul fiqih Muta-akhirin. Mereka memiliki ta’rif yang berbeda-beda.

Al-Baidhowi rahimahullah (wafat 685 H) mendefinisikan dengan, “Naskh adalah penjelasan


berhentinya hukum syari’at dengan jalan syar’i yang datang setelahnya.”

Ibnu Qudamah rahimahullah (wafat 620 H) menyebutkan definisi naskh dengan


menyatakan, “Menghilangkan hukum yang ada dengan perkataan (dalil) yang dahulu,
dengan perkataan yang datang setelahnya.”

Di antara ta’rif yang ringkas dan mencakup adalah yang dikatakan oleh Syaikh Muhammad
bin Shalih Al-Utsaimin, yaitu, “Menghapuskan hukum dalil syar’i atau lafazhnya dengan dalil
dari Al-Kitab dan As-Sunnah.”

Kedua, Naskh menurut istilah Salafush Shalih Mutaqoddimin. Istilah naskh yang ada pada
mereka lebih luas daripada definisi para ulama ushul Mutaakhirin.

Hudzaifah ra berkata, “Yang memberi fatwa kepada manusia hanyalah tiga orang; Orang
yang mengetahui yang mansukh dari Al-Qur’an, atau amir (pemimpin) yang harus
(berfatwa), atau orang dungu yang memaksakan diri.”

Imam Ibnul Qayyim berkata mengomentari perkataan di atas: “Yang dimaksudkan oleh
beliau (Hudzaifah) dan yang dimaksudkan oleh kebanyakan Salaf dengan (istilah) nasikh
dan mansukh terkadang adalah menghapuskan hukum sekaligus. Dan ini merupakan istilah
mutaakhirin, dan terkadang adalah menghapus penunjukkan dalil ‘am, muthlaq, zhahir, dan
lainnya. Kemungkinan dengan takhshish (pengkhususan), taqyid (penentuan), atau
membawa yang muthlaq kepada muqayyad (yang ditentukan), dan tafsir (penjelasan) serta
tanbih (mengingatkan).

Nasikh artinya yang menghapuskan, yaitu dalil Al-Kitab atau As-Sunnah yang
menghapuskan hukum dalil syar’i atau lafazhnya. Pada hakikatnya nasikh (yang
menghapuskan) adalah Allah Azza wa Jalla.

Mansukh artinya yang dihapuskan, yaitu hukum dalil syar’i atau lafazhnya yang dihapuskan.

Penunjukkan Adanya Naskh dalam Syari’at


Perlu diketahui bahwa adanya naskh dalam syari’at atau adanya ayat Al-Qur’an yang
mansukh (dihapus hukumnya/lafazhnya) oleh ayat lain ditunjukkan oleh dalil naql
(ayat/hadits), dalil akal, dan ijma’.

Dalil Naql
Firman Allah SWT: "Apa saja ayat yang kami nasakhkan (hapuskan)..." (QS Al Baqarah:
106).

Makna kata “ayat” di dalam firman Allah ini adalah ayat Al-Qur’an, sebagaimana penafsiran
Salafush Shalih yang kami ketahui. Seperti riwayat dari Ibnu Abbas, Mujahid,
sahabat-sahabat Ibnu Mas’ud, Abul ‘Aliyah, Muhammad bin Ka’b Al-Qurodhi, Adh-Dhahhak,
‘Atho’, As-Suddi, Ibnu Abi Hatim, Ibnu Jarir, dan Ibnu Katsir.

Adapun manafsirkan kata “ayat” pada firman Allah di atas dengan “mukjizat”, sebagaimana
dalam Tafsir Qur’an Al-Furqan, karya A Hassan, maka kami khawatir itu merupakan tafsir
bid’ah. Walaupun secara bahasa dibenarkan, namun bertentangan dengan ijma’ ahli tafsir
sebagaimana di atas.

Firman Allah: "Dan apabila Kami mengganti suatu ayat di tempat ayat yang lain." (QS An
Nahl: 101).

Demikian juga ayat ini juga nyata menunjukkan adanya ayat Al-Qur’an yang nasikh dan
mansukh, bukan hanya nasikh saja! Ayat yang Allah jadikan pengganti adalah nasikh, ayat
yang digantikan adalah ayat mansukh. Dan ini sangat jelas, sebagaimana kita lihat. Adapun
sebagian dari contoh-contoh ayat mansukh akan kami sampaikan di bawah insya Allah.
Lebih luas dapat dilihat dalam kitab-kitab ushul fiqih.

Dalil Aql
Syeikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin berkata, “Naskh boleh terjadi menurut akal dan
nyata terjadi menurut syari’at. Adapun bolehnya terjadi menurut akal, karena segala perkara
di tangan Allah, segala hukum (keputusan) milik-Nya, karena Dia adalah Ar-Rabb (Sang
Penguasa) Al-Malik (Sang Pemilik). Maka Dia berhak mensyari’atkan bagi
hamba-hamba-Nya apa yang dituntut oleh hikmah-Nya dan rahmat-Nya. Apakah akal
menolak jika Sang Pemilik memerintahkan kepada apa yang Dia miliki dengan apa yang Dia
kehendaki?"

Dalil Ijma’
Banyak ulama telah menyatakan adanya ijma’ tentang adanya naskh dalam Al-Qur’an dan
As-Sunnah.

Al-Baji berkata, “Seluruh umat Islam berpendapat bolehnya/ mungkinnya naskh syari’at
menurut akal dan syara’.”

Al-Kamal Ibnul Humam berkata, “Pengikut syari’at-syari’at telah sepakat atas bolehnya
(naskh, secara akal) dan terjadinya (secara syari’at).”

Macam-Macam Naskh
Pertama, macam-macam naskh, dilihat dari nash yang mansukh (dihapus) ada tiga bagian:

1. Nash Yang Mansukh Hukumnya, Namun Lafazhnya Tetap


Inilah jenis nash mansukh yang paling banyak. Yaitu hukum syar’i dihapuskan, tidak
diamalkan, namun lafazhnya tetap.

Hikmah naskh jenis ini adalah tetapnya pahala membaca ayat tersebut dan mengingatkan
umat tentang hikmah naskh, terlebih dalam hukum yang diringankan dan dimudahkan.

Contohnya firman Allah: "Hai Nabi, kobarkanlah semangat para mukmin itu untuk berperang.
Jika ada dua puluh orang yang sabar diantara kamu niscaya mereka dapat mengalahkan
dua ratus orang musuh. Dan jika ada seratus orang (yang sabar) diantaramu, maka mereka
dapat mengalahkan seribu daripada orang-orang kafir, disebabkan orang-orang kafir itu
kaum yang tidak mengerti." (QS Al Anfal: 65).

Ayat ini menunjukkan kewajiban bersabarnya 20 umat Islam berperang menghadapi 200
orang-orang kafir. Dan bersabarnya 100 umat Islam berperang menghadapi 1.000
orang-orang kafir.

Kemudian hukum ini dihapus dengan firman Allah selanjutnya: "Sekarang Allah telah
meringankan kepadamu dan Dia telah mengetahui padamu bahwa ada kelemahan. Maka
jika ada diantaramu seratus orang yang sabar, niscaya mereka dapat mengalahkan dua
ratus orang; dan jika diantaramu ada seribu orang (yang sabar), niscaya mereka dapat
mengalahkan dua ribu orang. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar." (QS Al Anfal: 66).

Abdullah bin Abbas berkata, "Ketika turun (firman Allah): “Jika ada dua puluh orang yang
sabar diantara kamu niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang musuh.” (QS
Al-Anfal: 65), hal itu berat atas umat Islam, yaitu ketika diwajibkan atas mereka, bahwa satu
orang tidak boleh lari menghadapi 10 (musuh). Kemudian datanglah keringanan, Allah
berfirman: “Sekarang Allah telah meringankan kepadamu dan Dia telah mengetahui padamu
bahwa ada kelemahan. Maka jika ada diantaramu seratus orang yang sabar, niscaya
mereka dapat mengalahkan dua ratus orang.” (QS Al-Anfal: 66). Ketika Allah telah
meringankan dari mereka jumlah (musuh yang wajib dihadapi), kesabaran pun berkurang
seukuran apa yang Allah telah meringankan dari mereka.” (HR Bukhari).

Inilah contoh hukum yang mansukh di dalam Al-Qur’an. Penjelasan mansukhnya hukum
dalam ayat 65 surat Al-Anfal di atas, selain dari Ibnu Abbas, juga diriwayatkan dari Mujahid,
Atho’, ‘Ikrimah, Hasan Al-Bashri, Zaid bin Aslam, ‘Atho Al-Khurosani, Adh-Dhohhak, dan
lainnya. Orang yang menolak adanya mansukh dalam Al-Qur’an telah menyelisihi
penafsiran mereka.

2. Nash Yang Mansukh Lafazhnya, Namun Hukumnya Tetap


Al-Aamidi menyatakan bahwa ulama telah bersepakat atas terjadinya naskh (penghapusan)
tulisan/lafazh, tanpa naskh hukumnya, berbeda dengan anggapan kelompok yang
menyendiri dari kalangan Muktazilah.

Hikmah naskh jenis ini adalah agar kadar ketaatan umat kepada Allah menjadi nampak,
yaitu di dalam bersegera melakukan ketaatan dari sumber yang zhanni rojih (persangkaan
kuat), yaitu sebagian dari As-Sunnah, bukan dari sumber yang seluruhnya yaqin, yaitu
Al-Qur’an. Sebagaimana Nabi Ibrahim AS bersegera akan melaksanakan penyembelihan
terhadap anaknya, Nabi Ismail, dengan sumber mimpi. Sedangkan mimpi adalah tingkatan
terendah jalan wahyu kepada para nabi.

Selain itu, di antara hikmahnya adalah apa yang dikatakan oleh Syaikh Muhammad bin
Shalih Al-Utsaimin. Ia berkata, “Hikmah naskh lafazh tanpa (naskh) hukumnya adalah untuk
menguji umat terhadap amalan yang tidak mereka dapati di dalam Al-Qur’an, dan
mewujudkan keimanan mereka dengan apa yang Allah turunkan. Berbeda dengan
orang-orang Yahudi yang berusaha menutupi nash rajam di dalam Taurat.”
Contoh jenis naskh ini adalah ayat rajam. Umar bin Al-Khathab berkata, "Sesungguhnya aku
khawatir, zaman akan panjang terhadap manusia sehingga seseorang akan berkata: “Kita
tidak mendapati rajm di dalam kitab Allah”, sehingga mereka menjadi sesat dengan sebab
meninggalkan satu kewajiban yang telah diturunkan oleh Allah. Ingatlah, sesungguhnya
rajam adalah haq atas orang yang berzina dan dia telah menikah, jika bukti telah tegak, atau
ada kehamilan, atau ada pengakuan.” Sufyan berkata, “Demikianlah yang aku ingat.
Ingatlah, Rasulullah SAW telah melakukan rajam, dan kita telah melakukan rajam setelah
beliau.” (HR Bukhari)

Adapun lafazh ayat rajam, disebutkan oleh sebagian riwayat dengan bunyi; "Laki-laki yang
tua (maksudnya yang sudah menikah) dan wanita yang tua (maksudnya yang sudah
menikah) jika berzina, maka rajamlah keduanya sungguh-sungguh, sebagai hukuman yang
mengandung pelajaran dari Allah, dan Allah Maha Perkasa, Maha Bijaksana."

3. Nash Yang Mansukh Hukumnya dan Lafazhnya


Contoh, ayat yang menyatakan 10 kali penyusuan mengharamkan pernikahan. Aisyah
berkata, "Dahulu di dalam apa yang telah diturunkan di antara Al-Qur’an adalah: “Sepuluh
kali penyusuan yang diketahui, mengharamkan,” kemudian itu dinaskh (dihapuskan) dengan
“Lima kali penyusuan yang diketahui.” Kemudian Rasulullah SAW wafat dan itu termasuk
yang dibaca di antara Al-Qur’an." (HR Muslim).

Makna perkataan ‘Aisyah “dan itu termasuk yang dibaca di antara Al-Qur’an” adalah:
• Yaitu: Dibaca hukumnya, namun lafazhnya tidak.
• Atau: Orang yang belum kesampaian naskh bacaannya, masih tetap membacanya.

Kedua, macam-macam naskh dilihat dari nash yang nasikh (menghapus)–secara


ringkas—ada empat bagian:

1. Al-Qur’an Dimansukh dengan Al-Qur’an


Jenis naskh ini disepakati adanya oleh para ulama, ada pun orang yang beranggapan tidak
ada ayat mansukh di dalam Al-Qur’an, maka perkataannya tidak dianggap. Contohnya
adalah ayat 65, yang mansukh oleh ayat 66 dari surat Al-Anfal.

Contoh lain firman Allah SWT: "Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu mengadakan
pembicaraan khusus dengan Rasul hendaklah kamu mengeluarkan sedekah (kepada orang
miskin) sebelum pembicaraan itu.Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu dan lebih
bersih; jika kamu tiada memperoleh (yang akan disedekahkan) maka sesungguhnya Allah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS Al-Mujadilah: 12)

Ayat ini menunjukkan kewajiban shadaqah bagi yang mampu sebelum berbisik-bisik dengan
Rasulullah. Kemudian ayat ini dimansukh ayat berikutnya yang menghapuskan kewajiban
tersebut. "Apakah kamu takut akan (menjadi miskin) karena kamu memberikan sedekah
sebelum pembicaraan dengan Rasul. Maka jika kamu tiada memperbuatnya dan Allah telah
memberi taubat kepadamu maka dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatlah kepada
Allah dan Rasul-Nya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan." (QS
Al-Mujadilah: 13)

2. Al-Qur’an Dimansukh dengan As-Sunnah.


Pada jenis ini ada dua bagian:

a). Al-Qur’an dimansukh dengan Sunnah (hadits) Mutawatir


Pada bagian ini ulama berselisih. Diriwayatkan dari Imam Ahmad bahwa beliau menyatakan,
“Al-Qur’an tidak dinaskh (dihapus) kecuali oleh Al-Qur’an yang datang setelahnya…” Namun
Syaekh Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithi berkata, “(Berdasarkan) penelitian, boleh dan
terjadi naskh Al-Qur’an dengan Sunnah Mutawatir, contohnya: dihapusnya ayat 5 kali
penyusuan dengan Sunnah Mutawatir, dihapusnya surat Al-Khulu’ dan Al-Hafd dengan
Sunnah Mutawatir. Dan banyak contoh lainnya.”

b). Al-Qur’an dimansukh dengan Sunnah (hadits) Ahad


Pada bagian ini ulama juga berselisih. Yang rajih dan terjadi contohnya firman Allah:
"Katakanlah: 'Aku tidak mendapati dalam wahyu yang telah diwahyukan kepadaku, sesuatu
yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu
bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi—karena sesungguhnya semua itu kotor
–atau binatang disembelih atas nama selain Allah." (QS Al An’am: 145)

Ayat ini menunjukkan bahwa makanan yang diharamkan—pada saat ayat ini
diturunkan—hanyalah empat jenis di atas. Ini berarti, pada saat itu, daging keledai jinak
boleh dimakan, berdasarkan ayat ini. Kemudian kebolehan ini dihapuskan hukumnya oleh
hadits-hadits shahih yang datang kemudian yang mengharamkan daging keledai jinak.
Karena ayat di atas termasuk surat Al-An’am, yang merupakan surat Makiyyah, yang turun
sebelum hijrah, dengan kesepakatan ulama. Adapun pengharaman daging keledai jinak
dengan Sunnah terjadi setelah itu di Khaibar.

3. As-Sunnah Dimansukh dengan Al-Qur’an


Contoh jenis ini adalah syari’at shalat menghadap Baitul Maqdis, yang ini berdasarkan
Sunnah, dihapuskan dengan firman Allah SWT: "Sungguh Kami (sering) melihat mukamu
menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu
sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu berada,
palingkanlah mukamu ke arahnya." (QS Al-Baqarah: 144)

4. As-Sunnah Dimansukh dengan As-Sunnah


Contoh, sabda Nabi SAW, "Dahulu aku melarang kamu dari berziarah kubur, maka sekarang
hendaklah kamu berziarah (kubur)." (HR Muslim)

Dengan penjelasan di atas jelaslah bahwa di dalam Al-Qur’an ada nasikh (ayat yang
menghapus hukum yang sudah ada sebelumnya) dan mansukh (ayat yang dihapus)
hukumnya atau lafazhnya. Wallahua'lam. Demikian, semoga bermanfaat.

Anda mungkin juga menyukai