Anda di halaman 1dari 12

UJIAN AKHIR SEMMESTER MATA KULIAH AL QUR’AN

Dosen Pengampu : Murzal M.Ag.

PRODI TADRIS BAHASA IINGGRIS UNIVERSITAS ISLAM


NEGERI MATARAM TAHUN AJARAN 2021/2022

Di Susun Oleh :

Nama:Rauhil Jazully

NIM:210107022
TUGAS UAS

TEMA-TEMA MATERI

Definisi ulumul Qur’an dan cabang-cabangnya?

Perkembangan al-Qur’an pada saat nabi masih hidup.

Pengumpulan al-Qur’an dari masa Nabi sampai masa Khulafaurrasyidin

Nuzul Qur’an

Munasabah

Ayat-ayat Makkiyah dan Madaniyah.

Nasikh Mansukh.

Fawatihus Suwar.

Muhkam dan Mutasyabihat

Kemu’jizatan al-Qur’an.

Kisah-kisah dalam al-Qur’an.

Amstalul Qur’an.

Aqsamul Qur’an.

Qira’atul Qur’an.

Rasmul Qur’an.

Penjelasan:

Tugas dikirim melalui LMS dan diprint out kemudian diserahkan kepada dosen pengampu mata
kuliah.

Tugas yang diserahkan kedosen dijilid rapi mengguakan kertas A4

Ketika menyerahkan print out jangan lupa minta tanda tangan sebagai bukti telah mengikuti
UAS
Batas akhir mengumpulkan Print Out jam 14.30 WITA Hari Senin tanggal, 27 Desember 2021.

Petunjuk Cara Mengerjakan Tugas

Pilih 4 tema dari 15 tema yang tersedia, dengan catatan harus maksimal dalam mengerjakan
tugas dan sesuai pejelasan pada poin no 2,3,4,5.

Jelaskan pengertian dari masing-masing tema/judul

Datangkan dalil-dalilnya, jika yang dikutif ayat al-Qur’an maka jelaskan Asbabun Nuzul ayat
tersebut, tetapi jika yang dikutif hadis maka jelaskan Asbabul Wurud hadis tersebut.

Boleh mengutif pendapat para ulama/ pakar/ ilmuan dan para ahli lainnya

Berikan analisa ( Pandangan/pendapat saudara).

1.KEMU’JIZATAN AL-QUR’AN

A.Pengertian

Mukjizat Alquran adalah suatu hal atau peristiwa luar biasa pada Alquran yang terjadi melalui
nabi Muhammad SAW, sebagai bukti kenabiannya yang ditantangkan kepada orang yang ragu,
untuk melakukan atau mendatangkan hal yang serupa, namun mereka tidak mampu melayani
tantangan tersebut. Adapun ilmu yang mempelajari kemukjizatan Alquran dinamai “Ilmu I’jazil
Quran”.

B. Dalil dalil
Keindahan dan keunikan gaya bahasa beserta sastra al-Qur’an yang berbeda dengan keindahan
sastra dan gaya bahasa yang dimiliki oleh orang-orang Arab. Meskipun memiliki keindahan
sastra yang tinggi tetapi al-Qur’an mudah difahami. Selain itu, kefasihan bahasa di dalamnya
yang tidak mungkin dapat ditandingi dan diciptakan oleh semua makhluk termasuk jenis
manusia. Ini tertera dalam QS. Al-Isra’: 88

‫ْض ظَ ِه ْيرًا‬ ُ ‫ت ااْل ِ ْنسُ َو ْال ِج ُّن ع َٰلٓى اَ ْن يَّْأتُوْ ا بِ ِم ْث ِل ٰه َذا ْالقُرْ ٰا ِن اَل يَْأتُوْ نَ بِ ِم ْثلِ ٖه َولَوْ َكانَ بَ ْع‬
ٍ ‫ضهُ ْم لِبَع‬ ِ ‫قُلْ لَّ ِٕى ِن اجْ تَ َم َع‬
Terjemahan
Katakanlah, “Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa
(dengan) Al-Qur'an ini, mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengannya, sekalipun
mereka saling membantu satu sama lain
C.Asbabul Nuzul
Sebab Turunnya Ayat
ibnu ishaq dan Ibnu Jarir meriwayatkan dari said atau ikrimah dari ibnu abbas bahwa nabi saw
didatangi oleh Sallam bin misykam dan sejumlah yahudi lainnya. Mereka mengatakan,
‘bagaimana mungkin kami mnegikutimu, padahal kamu telah meninggalkan kiblat kami? Dan
apa yang kamu bawa ini kami lihat tidak harmonis seperti keharmonisan taurat. Mak dari itu,
turunkan kepada kami kitab yang kami kenal. Kalau tidak, kami kana mendatangkan kepadamu
seperti kitab yang kamu bawa itu.” Maka Allah menurunkan ayat ini.

Pandangan Keistimewaan al-Qur`an sebagai kitab petunjuk bagi umat manusia semesta alam
menyatakan dirinya sebagai kitab yang tidak akan pernah tertandingi keagungan dan
keistimewaannya walaupun dibuat tandingannya oleh seluruh golongan manusia maupun jin

2.Nasikh Mansukh
A)Pengertian

Naskh secara bahasa artinya: menghilangkan, menghapuskan, memindahkan, menulis. Adapun secara
istilah, maka ada dua macam: Pertama. Naskh menurut istilah para ulama ushul fiqih Muta-akhirin.
Mereka memiliki ta’rif yang berbeda-beda.

Al-Baidhowi rahimahullah (wafat 685 H) mendefinisikan dengan, “Naskh adalah penjelasan


berhentinya hukum syari’at dengan jalan syar’i yang datang setelahnya.”

Ibnu Qudamah rahimahullah (wafat 620 H) menyebutkan definisi naskh dengan menyatakan,
“Menghilangkan hukum yang ada dengan perkataan (dalil) yang dahulu, dengan perkataan yang
datang setelahnya.”

Di antara ta’rif yang ringkas dan mencakup adalah yang dikatakan oleh Syaikh Muhammad bin
Shalih Al-Utsaimin, yaitu, “Menghapuskan hukum dalil syar’i atau lafazhnya dengan dalil dari
Al-Kitab dan As-Sunnah.”
Kedua, Naskh menurut istilah Salafush Shalih Mutaqoddimin. Istilah naskh yang ada pada
mereka lebih luas daripada definisi para ulama ushul Mutaakhirin.

Hudzaifah ra berkata, “Yang memberi fatwa kepada manusia hanyalah tiga orang; Orang yang
mengetahui yang mansukh dari Al-Qur’an, atau amir (pemimpin) yang harus (berfatwa), atau
orang dungu yang memaksakan diri.”

Imam Ibnul Qayyim berkata mengomentari perkataan di atas: “Yang dimaksudkan oleh beliau
(Hudzaifah) dan yang dimaksudkan oleh kebanyakan Salaf dengan (istilah) nasikh dan mansukh
terkadang adalah menghapuskan hukum sekaligus. Dan ini merupakan istilah mutaakhirin, dan
terkadang adalah menghapus penunjukkan dalil ‘am, muthlaq, zhahir, dan lainnya. Kemungkinan
dengan takhshish (pengkhususan), taqyid (penentuan), atau membawa yang muthlaq kepada
muqayyad (yang ditentukan), dan tafsir (penjelasan) serta tanbih (mengingatkan).

Nasikh artinya yang menghapuskan, yaitu dalil Al-Kitab atau As-Sunnah yang menghapuskan
hukum dalil syar’i atau lafazhnya. Pada hakikatnya nasikh (yang menghapuskan) adalah Allah
Azza wa Jalla.

Mansukh artinya yang dihapuskan, yaitu hukum dalil syar’i atau lafazhnya yang dihapuskan.

Penunjukkan Adanya Naskh dalam Syari’at

Perlu diketahui bahwa adanya naskh dalam syari’at atau adanya ayat Al-Qur’an yang mansukh
(dihapus hukumnya/lafazhnya) oleh ayat lain ditunjukkan oleh dalil naql (ayat/hadits), dalil akal,
dan ijma’.

Dalil Naql

Firman Allah SWT: "Apa saja ayat yang kami nasakhkan (hapuskan)..." (QS Al Baqarah: 106).

Makna kata “ayat” di dalam firman Allah ini adalah ayat Al-Qur’an, sebagaimana penafsiran
Salafush Shalih yang kami ketahui. Seperti riwayat dari Ibnu Abbas, Mujahid, sahabat-sahabat
Ibnu Mas’ud, Abul ‘Aliyah, Muhammad bin Ka’b Al-Qurodhi, Adh-Dhahhak, ‘Atho’, As-Suddi,
Ibnu Abi Hatim, Ibnu Jarir, dan Ibnu Katsir.

Adapun manafsirkan kata “ayat” pada firman Allah di atas dengan “mukjizat”, sebagaimana
dalam Tafsir Qur’an Al-Furqan, karya A Hassan, maka kami khawatir itu merupakan tafsir
bid’ah. Walaupun secara bahasa dibenarkan, namun bertentangan dengan ijma’ ahli tafsir
sebagaimana di atas.

Firman Allah: "Dan apabila Kami mengganti suatu ayat di tempat ayat yang lain." (QS An
Nahl: 101).

Demikian juga ayat ini juga nyata menunjukkan adanya ayat Al-Qur’an yang nasikh dan
mansukh, bukan hanya nasikh saja! Ayat yang Allah jadikan pengganti adalah nasikh, ayat yang
digantikan adalah ayat mansukh. Dan ini sangat jelas, sebagaimana kita lihat. Adapun sebagian
dari contoh-contoh ayat mansukh akan kami sampaikan di bawah insya Allah. Lebih luas dapat
dilihat dalam kitab-kitab ushul fiqih.

Dalil Aql

Syeikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin berkata, “Naskh boleh terjadi menurut akal dan
nyata terjadi menurut syari’at. Adapun bolehnya terjadi menurut akal, karena segala perkara di
tangan Allah, segala hukum (keputusan) milik-Nya, karena Dia adalah Ar-Rabb (Sang Penguasa)
Al-Malik (Sang Pemilik). Maka Dia berhak mensyari’atkan bagi hamba-hamba-Nya apa yang
dituntut oleh hikmah-Nya dan rahmat-Nya. Apakah akal menolak jika Sang Pemilik
memerintahkan kepada apa yang Dia miliki dengan apa yang Dia kehendaki?"

Dalil Ijma’

Banyak ulama telah menyatakan adanya ijma’ tentang adanya naskh dalam Al-Qur’an dan As-
Sunnah.

Al-Baji berkata, “Seluruh umat Islam berpendapat bolehnya/ mungkinnya naskh syari’at menurut
akal dan syara’.”

Al-Kamal Ibnul Humam berkata, “Pengikut syari’at-syari’at telah sepakat atas bolehnya (naskh,
secara akal) dan terjadinya (secara syari’at).”

Macam-Macam Naskh

Pertama, macam-macam naskh, dilihat dari nash yang mansukh (dihapus) ada tiga bagian:

1. Nash Yang Mansukh Hukumnya, Namun Lafazhnya Tetap

Inilah jenis nash mansukh yang paling banyak. Yaitu hukum syar’i dihapuskan, tidak diamalkan,
namun lafazhnya tetap.

Hikmah naskh jenis ini adalah tetapnya pahala membaca ayat tersebut dan mengingatkan umat
tentang hikmah naskh, terlebih dalam hukum yang diringankan dan dimudahkan.

Contohnya firman Allah: "Hai Nabi, kobarkanlah semangat para mukmin itu untuk berperang.
Jika ada dua puluh orang yang sabar diantara kamu niscaya mereka dapat mengalahkan dua
ratus orang musuh. Dan jika ada seratus orang (yang sabar) diantaramu, maka mereka dapat
mengalahkan seribu daripada orang-orang kafir, disebabkan orang-orang kafir itu kaum yang
tidak mengerti." (QS Al Anfal: 65).

Ayat ini menunjukkan kewajiban bersabarnya 20 umat Islam berperang menghadapi 200 orang-
orang kafir. Dan bersabarnya 100 umat Islam berperang menghadapi 1.000 orang-orang kafir.

Kemudian hukum ini dihapus dengan firman Allah selanjutnya: "Sekarang Allah telah
meringankan kepadamu dan Dia telah mengetahui padamu bahwa ada kelemahan. Maka jika
ada diantaramu seratus orang yang sabar, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang;
dan jika diantaramu ada seribu orang (yang sabar), niscaya mereka dapat mengalahkan dua
ribu orang. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar." (QS Al Anfal: 66).

Abdullah bin Abbas berkata, "Ketika turun (firman Allah): “Jika ada dua puluh orang yang
sabar diantara kamu niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang musuh.” (QS Al-
Anfal: 65), hal itu berat atas umat Islam, yaitu ketika diwajibkan atas mereka, bahwa satu orang
tidak boleh lari menghadapi 10 (musuh). Kemudian datanglah keringanan, Allah berfirman:
“Sekarang Allah telah meringankan kepadamu dan Dia telah mengetahui padamu bahwa ada
kelemahan. Maka jika ada diantaramu seratus orang yang sabar, niscaya mereka dapat
mengalahkan dua ratus orang.” (QS Al-Anfal: 66). Ketika Allah telah meringankan dari mereka
jumlah (musuh yang wajib dihadapi), kesabaran pun berkurang seukuran apa yang Allah telah
meringankan dari mereka.” (HR Bukhari).

Inilah contoh hukum yang mansukh di dalam Al-Qur’an. Penjelasan mansukhnya hukum dalam
ayat 65 surat Al-Anfal di atas, selain dari Ibnu Abbas, juga diriwayatkan dari Mujahid, Atho’,
‘Ikrimah, Hasan Al-Bashri, Zaid bin Aslam, ‘Atho Al-Khurosani, Adh-Dhohhak, dan lainnya.
Orang yang menolak adanya mansukh dalam Al-Qur’an telah menyelisihi penafsiran mereka.

2. Nash Yang Mansukh Lafazhnya, Namun Hukumnya Tetap

Al-Aamidi menyatakan bahwa ulama telah bersepakat atas terjadinya naskh (penghapusan)
tulisan/lafazh, tanpa naskh hukumnya, berbeda dengan anggapan kelompok yang menyendiri
dari kalangan Muktazilah.

Hikmah naskh jenis ini adalah agar kadar ketaatan umat kepada Allah menjadi nampak, yaitu di
dalam bersegera melakukan ketaatan dari sumber yang zhanni rojih (persangkaan kuat), yaitu
sebagian dari As-Sunnah, bukan dari sumber yang seluruhnya yaqin, yaitu Al-Qur’an.
Sebagaimana Nabi Ibrahim AS bersegera akan melaksanakan penyembelihan terhadap anaknya,
Nabi Ismail, dengan sumber mimpi. Sedangkan mimpi adalah tingkatan terendah jalan wahyu
kepada para nabi.

Selain itu, di antara hikmahnya adalah apa yang dikatakan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih
Al-Utsaimin. Ia berkata, “Hikmah naskh lafazh tanpa (naskh) hukumnya adalah untuk menguji
umat terhadap amalan yang tidak mereka dapati di dalam Al-Qur’an, dan mewujudkan keimanan
mereka dengan apa yang Allah turunkan. Berbeda dengan orang-orang Yahudi yang berusaha
menutupi nash rajam di dalam Taurat.”

Contoh jenis naskh ini adalah ayat rajam. Umar bin Al-Khathab berkata, "Sesungguhnya aku
khawatir, zaman akan panjang terhadap manusia sehingga seseorang akan berkata: “Kita tidak
mendapati rajm di dalam kitab Allah”, sehingga mereka menjadi sesat dengan sebab
meninggalkan satu kewajiban yang telah diturunkan oleh Allah. Ingatlah, sesungguhnya rajam
adalah haq atas orang yang berzina dan dia telah menikah, jika bukti telah tegak, atau ada
kehamilan, atau ada pengakuan.” Sufyan berkata, “Demikianlah yang aku ingat. Ingatlah,
Rasulullah SAW telah melakukan rajam, dan kita telah melakukan rajam setelah beliau.” (HR
Bukhari)
Adapun lafazh ayat rajam, disebutkan oleh sebagian riwayat dengan bunyi; "Laki-laki yang tua
(maksudnya yang sudah menikah) dan wanita yang tua (maksudnya yang sudah menikah) jika
berzina, maka rajamlah keduanya sungguh-sungguh, sebagai hukuman yang mengandung
pelajaran dari Allah, dan Allah Maha Perkasa, Maha Bijaksana."

3. Nash Yang Mansukh Hukumnya dan Lafazhnya

Contoh, ayat yang menyatakan 10 kali penyusuan mengharamkan pernikahan. Aisyah berkata,
"Dahulu di dalam apa yang telah diturunkan di antara Al-Qur’an adalah: “Sepuluh kali
penyusuan yang diketahui, mengharamkan,” kemudian itu dinaskh (dihapuskan) dengan “Lima
kali penyusuan yang diketahui.” Kemudian Rasulullah SAW wafat dan itu termasuk yang dibaca
di antara Al-Qur’an." (HR Muslim).

Makna perkataan ‘Aisyah “dan itu termasuk yang dibaca di antara Al-Qur’an” adalah:

• Yaitu: Dibaca hukumnya, namun lafazhnya tidak.

• Atau: Orang yang belum kesampaian naskh bacaannya, masih tetap membacanya.

Kedua, macam-macam naskh dilihat dari nash yang nasikh (menghapus)–secara ringkas—ada
empat bagian:

1. Al-Qur’an Dimansukh dengan Al-Qur’an

Jenis naskh ini disepakati adanya oleh para ulama, ada pun orang yang beranggapan tidak ada
ayat mansukh di dalam Al-Qur’an, maka perkataannya tidak dianggap. Contohnya adalah ayat
65, yang mansukh oleh ayat 66 dari surat Al-Anfal.

Contoh lain firman Allah SWT: "Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu mengadakan
pembicaraan khusus dengan Rasul hendaklah kamu mengeluarkan sedekah (kepada orang
miskin) sebelum pembicaraan itu.Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu dan lebih bersih;
jika kamu tiada memperoleh (yang akan disedekahkan) maka sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS Al-Mujadilah: 12)

Ayat ini menunjukkan kewajiban shadaqah bagi yang mampu sebelum berbisik-bisik dengan
Rasulullah. Kemudian ayat ini dimansukh ayat berikutnya yang menghapuskan kewajiban
tersebut. "Apakah kamu takut akan (menjadi miskin) karena kamu memberikan sedekah sebelum
pembicaraan dengan Rasul. Maka jika kamu tiada memperbuatnya dan Allah telah memberi
taubat kepadamu maka dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatlah kepada Allah dan
Rasul-Nya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan." (QS Al-Mujadilah: 13)

2. Al-Qur’an Dimansukh dengan As-Sunnah.

Pada jenis ini ada dua bagian:


a). Al-Qur’an dimansukh dengan Sunnah (hadits) Mutawatir

Pada bagian ini ulama berselisih. Diriwayatkan dari Imam Ahmad bahwa beliau menyatakan,
“Al-Qur’an tidak dinaskh (dihapus) kecuali oleh Al-Qur’an yang datang setelahnya…” Namun
Syaekh Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithi berkata, “(Berdasarkan) penelitian, boleh dan terjadi
naskh Al-Qur’an dengan Sunnah Mutawatir, contohnya: dihapusnya ayat 5 kali penyusuan
dengan Sunnah Mutawatir, dihapusnya surat Al-Khulu’ dan Al-Hafd dengan Sunnah Mutawatir.
Dan banyak contoh lainnya.”

b). Al-Qur’an dimansukh dengan Sunnah (hadits) Ahad

Pada bagian ini ulama juga berselisih. Yang rajih dan terjadi contohnya firman Allah:
"Katakanlah: 'Aku tidak mendapati dalam wahyu yang telah diwahyukan kepadaku, sesuatu
yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai,
atau darah yang mengalir atau daging babi—karena sesungguhnya semua itu kotor –atau
binatang disembelih atas nama selain Allah." (QS Al An’am: 145)

Ayat ini menunjukkan bahwa makanan yang diharamkan—pada saat ayat ini diturunkan—
hanyalah empat jenis di atas. Ini berarti, pada saat itu, daging keledai jinak boleh dimakan,
berdasarkan ayat ini. Kemudian kebolehan ini dihapuskan hukumnya oleh hadits-hadits shahih
yang datang kemudian yang mengharamkan daging keledai jinak. Karena ayat di atas termasuk
surat Al-An’am, yang merupakan surat Makiyyah, yang turun sebelum hijrah, dengan
kesepakatan ulama. Adapun pengharaman daging keledai jinak dengan Sunnah terjadi setelah itu
di Khaibar.

3. As-Sunnah Dimansukh dengan Al-Qur’an

Contoh jenis ini adalah syari’at shalat menghadap Baitul Maqdis, yang ini berdasarkan Sunnah,
dihapuskan dengan firman Allah SWT: "Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah
ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai.
Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah
mukamu ke arahnya." (QS Al-Baqarah: 144)

4. As-Sunnah Dimansukh dengan As-Sunnah

Contoh, sabda Nabi SAW, "Dahulu aku melarang kamu dari berziarah kubur, maka sekarang
hendaklah kamu berziarah (kubur)." (HR Muslim)

Dengan penjelasan di atas jelaslah bahwa di dalam Al-Qur’an ada nasikh (ayat yang menghapus
hukum yang sudah ada sebelumnya) dan mansukh (ayat yang dihapus) hukumnya atau
lafazhnya. Wallahua'lam. Demikian, semoga bermanfaat.
B)Dalil Dalil

‫هّٰللا‬
ِ ‫َما نَ ْن َس ْخ ِم ْن ٰايَ ٍة اَوْ نُ ْن ِسهَا نَْأ‬
ْ ‫ت بِخَ ي ٍْر ِّم ْنهَٓا اَوْ ِم ْثلِهَا ۗ اَلَ ْم تَ ْعلَ ْم اَ َّن َ ع َٰلى ُكلِّ َش‬
۞ ‫ي ٍء قَ ِد ْي ٌر‬

Terjemahan
Ayat yang Kami batalkan atau Kami hilangkan dari ingatan, pasti Kami ganti dengan yang lebih
baik atau yang sebanding dengannya. Tidakkah kamu tahu bahwa Allah Mahakuasa atas segala
sesuatu?

C)Surah Al-Baqarah Ayat 106 (Tafsir Ibnu Katsir dan Asbabun Nuzul)

Asbabun Nuzul ayat ini yaitu: “Bahwa turunnya wahyu kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
kadang-kadang pada malam hari, tapi beliau lupa pada siang harinya. Maka Allah Ta’ala
menurunkan ayat ini sebagai jaminan bahwa wahyu Allah Ta’ala tidak mungkin terlupakan.”
(Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dari Ikrimah, yang bersumber dari Ibnu Abbas)

3.MUNASABAH

A.Pengertian

Yang dimaksud dengan munasabah ialah sebuah konsep di dalam Ulum al-Qur'an yang


membahas tentang pemahaman makna ayat secara komprehensif dengan menghubungkan antara
ayat-ayat sebelum dan sesudahnya, antara pembuka ayat dan penutup ayatnya, dan antara ayat
dengan nama surah yang menjadi tema sentralnya.

2.      Macam- macam Munasabah

a)    Munasabah antar surat dengan surat sebelumnya


b)   Munasabah antar nama surat dan tujuan turunnya
c)    Munasabah antar bagian suatu ayat
d)   Munasabah antar ayat yang letaknya berdampingan
e)    Munasabah antar suatu kelompok ayat dan kelompok ayat disampingnya
f)    Munasabah antarfashilah (pemisah) dan isi ayat
g)   Munasabah antar awal surat dengan akhir surat yang sama
h)   Munasabah antar penutup satu surat dengan awal surat berikutnya
B.Dalil dalil

َ ْ‫صرُوْ هُْ”م َوا ْق ُع ُدوْ ا” لَهُ ْم ُك َّل َمر‬


‫صۚ” ٍد فَ ”اِ ْن‬ ُ ‫فَاِ َذا ا ْن َسلَ َخ ااْل َ ْشهُ ُر ْال ُح ُر ُم فَا ْقتُلُوا” ْال ُم ْش ِر ِك ْينَ َحي‬
ُ ْ‫ْث َو َج ْدتُّ ُموْ هُْ”م َو ُخ ُذوْ هُ ْم َواح‬

‫تَابُوْ ا َواَقَا ُموا” الص َّٰلوةَ َو ٰاتَ ُوا ال َّز ٰكوةَ فَ َخلُّوْ ا َسبِ ْيلَهُ ۗ ْم اِ َّن هّٰللا َ َغفُوْ ٌر َّر ِح ْي ٌم‬
Terjemahan
Apabila telah habis bulan-bulan haram, maka perangilah orang-orang musyrik di mana saja
kamu temui, tangkaplah dan kepunglah mereka, dan awasilah di tempat pengintaian. Jika mereka
bertobat dan melaksanakan salat serta menunaikan zakat, maka berilah kebebasan kepada
mereka. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.
C.Asbabun Nuzul
Turunnya surat at Taubah merupakan hikmah dari perang Tabuk yaitu perang terakhir Rasulullah
SAW sebelum beliau wafat. Dalm surat at Taubah terdapat kisah taubatnya tiga orang yang tidak
ikut dalam perang Tabuk. Dimana sebelumnya ketiganya selalu mengikuti perang melawan
musuh-musuh Allah. Mereka adalah Ka’b bin Malik, Hilal bin Umayyah, dan Murarah bin Ar-
Rabi.
PANDANGAN
sistematika perurutan Surat dan ayat-ayatnya sangat kacau. Ia berpindah dari satu uraian ke
uraian yang lain walaupun uraian yang pertama belum tuntas. Sedangkan uraian berikutnya
seringkali tidak mempunyai hubungan dengan uraian terdahulu.
4.AMSTALUL QURAN
A.Pengertian

Amtsal adalah bentuk jamak dari matsal. Kata matsal, mitsl, dan matsil serupa dengan syabah,


syibh dan syabih, baik lafadz maupun maknanya.

Secara etimologi, kata amtsal adalah bentuk jamak dari mitsl dan matsal yang berarti serupa atau


sama, dapat juga berarti contoh, teladan, peribahasa atau cerita perumpamaan.

Secara terminologi, matsal sebagai istilah dalam ilmu sastra yang berarti suatu ungkapan
perkataan yang dihikayatkan dengan maksud menyerupakan keadaan yang terdapat dalam
perkataan itu dengan keadaan sesuatu yang karenanya perkataan itu diucapkan. Maksudnya,
menyerupakan sesuatu, seseorang atau keadaan dengan apa yang terkandung dalam perkataan
itu.
B.DALIL-DALIL

1.

ٰ ‫َت َس ْب َع َس”نَابِ َل فِ ْي ُك””لِّ ُس” ۢ ْنبُلَ ٍة ِّماَئةُ َحبَّ ٍة ۗ َوهّٰللا ُ ي‬


”ُ ‫ُض” ِع‬
‫ف‬ ْ ‫َمثَ ُل الَّ ِذ ْينَ يُ ْنفِقُوْ نَ اَ ْم َوالَهُْ”م فِ ْي َسبِ ْي ِل هّٰللا ِ َك َمثَ ِل َحبَّ ٍة اَ ۢ ْنبَت‬
‫هّٰللا‬
‫اس ٌع َعلِ ْي ٌم‬ِ ‫لِ َم ْن يَّ َش ۤا ُء َۗو ُ َو‬

261. Perumpamaan orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah seperti sebutir biji yang

menumbuhkan tujuh tangkai, pada setiap tangkai ada seratus biji. Allah melipatgandakan

bagi siapa yang Dia kehendaki, dan Allah Mahaluas, Maha Mengetahui.

C.Asbabun Nuzul

Asbabun nuzul Surat al-Baqarah: 261 berkaitan dengan kedermawaan sahabat Nabi
Muhammad SAW, yakni Ustman bin Affan dan Abdurrahman bin Auf. Kedua sahabat nabi
tersebut menyumbangkan harta bendanya untuk biaya operasional  perang Tabuk.

PANDANGAN

Pada dasarnya amtsal Al-Qur'an bertujuan untuk mengeluarkan sesuatu yang masih samar


kepada sesuatu yang jelas. Sehingga manusia dapat menangkap apa yang dimaksut dariayat-
ayat tersebut.

Anda mungkin juga menyukai