Dosen Pengampu :
Achsanul Fikri, M. Ag
Disusun Oleh :
Rina Nurrohmah
Rahmawati Nursyeha
FAKULTAS TARBIYAH
Alhamdulillah puji syukur atas kehadirat Allah SWT atas segala limpahan Rahmat dan
Hidayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul “Tafsir Ayat-Ayat
Tentang Sejarah”. Shalawat dan salam semoga dilimpahkan atas junjungan kita Nabi besar
Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat dan sekalian umatnya yang bertaqwa.
Ucapan terima kasih pula kami tujukan kepada semua pihak yang telah membantu kami
dalam proses penyusunan makalah ini, baik bantuan materil maupun nonmateril.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan
saran yang sifatnya membangun sangat kami harapkan guna penyempurnaan penyusunan
makalah selanjutnya. Akhirnya penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita
semua, amin.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kisah-kisah dalam Al-Qur'an menjadi bagian tak terpisahkan dari isi Al-Qur'an yang
menjadi referensi utama bagi orang-orang umat Islam. Al-Qur’an menganjurkan untuk
mempelajari dan memahami sejarah karena sejarah yang dilakukan manusia di masa lalu dinilai
sebagai bahan berharga yang patut dipelajari dan ditelaah secara seksama untuk diambil
pelajaran dan hikmah yang terkandung di dalamnya. Dengan demikian sejarah tidak bisa
dipisahkan dalam kehidupan manusia karena manusia membuat sejarah dan manusiapun butuh
pada sejarah.
Al-Qur’an dengan fungisi utamanya memberikan petunjuk bagi kehidupan manusia agar
berjalan di atas ketentuan yang benar telah pula memanfaatkan sejarah. Al-Qur’an telah banyak
mendorong manusia agar memperhatikan perjalanan umat masa lalu agar diambil pelajaran dan
hikmahnya untuk kehidupan selanjutnya. Muhammad Fu’ad Abd al-Baqi misalnya
menginformasikan, bahwa di dalam al-Qur’an tidak kurang sebanyak 7 kali. Allah SWT
menyuruh manusia untuk mempelajari kehidupan umat masa lampau.
Keterangan tentang sejarah dan kisah umat terdahulu didalam kitab Al-Qur’an tentunya
memiliki tujuan yaitu sebagai petunjuk dan pelajaran bagi umat islam yang selanjutnya supaya
dapat diambil hikmah dari peristiwa yang sudah terjadi dimasa lalu. Sehingga dimasa sekarang
umat manusia khususnya umat islam tidak terjerumus kedalam hal-hal yang menyesatkan,
terlebih lagi dapat mendatangkan azdab Allah SWT.
Oleh karena itu, pemakalah akan memaparkan tafsir ayat-ayat tentang sejarah dan kisah
agar dapat kita ambil hikmahnya.
B. RUMUSAN MASALAH
A. Apa pengertian sejarah dan kisah dalam Al-Qur’an?
B. Bagaiman Konsep sejarah dalam Al-Qur’an?
C. Bagaimana Hukum-hukum sejarah dalam Al-Qur’an?
D. Bagaimana tafsir ayat-ayat tentang sejarah dan kisah?
E. Apa fungsi sejarah dalam Al-Qur’an bagi kehidupan manusia
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Kisah
Secara leksikal al-qishah diambil dari kata “qashsha-yaqushshu” yang berarti
menceritakan. Al-Qishshah sama dengan al-hadis yang artinya cerita, sedangkan al-qishsah
sebagai salah satu bentuk sastra yang dalam bahasa Indonesia disebut cerpen atau novel,
didefinisikan sebagai media untuk mengungkapkan kehidupanatau fragmen-fragmennya yang
menyangkut suatu peristiwa atau sejumlah peristiwa yang terkait satu sama lainnya.
Yang dimaksud al-Qishshah dalam Al-Qur’an adalah sejarah umat terdahulu serta para
nabi dan orang-orang saleh yang berjuang menegakkan kebenaran. Dengan kata lain , kisah
dalam Al-Qur’an secara umum memiliki dua kategori :
1. Cerita para nabi atau orang-orang saleh
2. Cerita para penentang kebenaran yang di bawa nabi.
B. Konsep sejarah dalam Al-Qur’an
Konsep sejarah dalam Al-Qur’an adalah untuk mempelajari sunnah, yakni kebiasaan-
kebiasaan atau ketetapan ilahi dalam masyarakat, sehingga tidak mengalami perubahan bagi
umat manusia. Pada konsep ini manusia diharapkan dapat memperhatikan bagaimana kesudahan
orang-orang terdahulu, sehingga mereka dapat mengambil pelajaran dari tingkah laku dan
perbuatan orang-orang terdahulu melalui pengamatan langsung, penelitian peninggalan sejarah,
atau media-media yang lain. Dari perjalanan ini dapat diketahui berbagai peninggalan umat
terdahulu. Diantara mereka itu ada yang memperoleh kejayaan dan ada pula yang mengalami
kerugian, penderitaan, kesengsaraan akibat kerusakan atau bencana yang menimpa mereka. Ada
juga yang beriman dan taat beribadah kepada Allah, tetapi ada pula yang kafir, munafik, dan
fasik. Orang-orang yang ditimpa bencana itu kebanyakan orang-orang yang musyrik.
C. Hukum-Hukum Sejarah Dalam Al-Qur’an
Hukum-hukum sejarah dalam Al-Qur’an ini terdapat pada Sunnatullah/ hukum-hukum
kemasyarakatan, tidak ubahnya hukum-hukum alam atau hukum yang berkaitan dengan materi.
Apa yang ditegaskan Al-Qur’an ini dikonfirmasikan oleh ilmuwan: “Hukum-hukum alam,
sebagaimana hukum-hukum kemasyarakatan bersifat umum dan pasti, tidak satu pun, di negeri
manapun yang dapat terbebaskan dari sanksi bila melanggarnya. Hukum-hukum itu, tidak
memperingatkan siapa yang melanggarnya, dan saksinya pun membisu sebagaimana
membisunya hukum itu sendiri. Masyarakat dan manusia yang tidak dapat membedakan antara
yang haram dan yang halal akan terbentur malapetaka, ketercabikan, dan kematian. Ini semata-
mata adalah sanksi otomatis, karena kepunahan adalah akhir dari semua mereka yang melanggar
hukum-hukum alam/kemasyarakatan”.
Demikian juga terlihat bahwa kitab suci adalah kitab pertama yang mengungkap adanya
hukum-hukum yang mengatur kehidupan masyarakat. Tidak heran hal tersebut diungkap Al-
Qur’an, karena kitab suci itu berfungsi untuk mengubah masyarakat dan mengeluarkan
anggotanya atau sekelompok orang, dari kegelapan menuju ke jalan yang terang benderang (ke
jalan Allah) dari kehidupan negatif menuju kehidupan positif. Dan memang Al-Qur’anlah yang
menerangkan bagi seluruh manusia, dan petunjuk serta peringatan bagi orang-orang yang
bertakwa.
D. Surat Hud ayat 120
َو ُك اًّل َّنُقُّص َع َلْيَك ِم ْن َاْۢن َبۤا ِء الُّر ُس ِل َم ا ُنَثِّبُت ِبٖه ُفَؤ اَدَك َو َج ۤا َء َك ِفْي ٰه ِذِه اْلَح ُّق َو َم ْو ِع َظٌة َّو ِذ ْك ٰر ى ِلْلُم ْؤ ِمِنْيَن
"Dan semua kisah rasul-rasul, Kami ceritakan kepadamu (Muhammad), agar dengan
kisah itu Kami teguhkan hatimu; dan di dalamnya telah diberikan kepadamu (segala) kebenaran,
nasihat dan peringatan bagi orang yang beriman". (Q.S Hud: 120)
1. TafsirsuratHudayat120menurutJalalayn
(Dan setiap) lafal kullan ini dinashabkan dengan alamat naqsh sedangkan tanwinnya
merupakan pergantian dari mudhaf ilaih, artinya semua kisah rasul-rasul yang diperlukan
(Kami ceritakan kepadamu, yaitu kisah-kisah para rasul) lafal maa di sini menjadi badal
daripada lafal kullan (yang dengannya Kami teguhkan) Kami tenangkan (hatimu) kalbumu
(dan dalam surah ini telah datang kepadamu kebenaran) yang dimaksud adalah kisah-kisah
para rasul ini atau ayat-ayat ini (serta pengajaran dan peringatan bagi orang-orang yang
beriman) orang-orang yang beriman disebutkan di sini secara khusus, mengingat hanya
merekalah yang dapat memanfaatkan adanya kisah-kisah atau ayat-ayat ini untuk
mempertebal keimanan mereka, berbeda dengan orang-orang kafir.
2. Tafsir Surat Hud ayat 129 menurut Ibnu Katsir
Allah Swt. menyebutkan bahwa semua kisah para rasul terdahulu bersama umatnya
masing-masing sebelum engkau (Muhammad) Kami ceritakan kepadamu perihal mereka. Juga
perihal pertentangan dan permusuhan yang dilancarkan oleh mereka terhadap nabinya masing-
masing, dan pendustaan serta gangguan mereka yang dilancarkan terhadap para nabinya. Lalu
Allah menolong golongan orang-orang yang beriman dan menghinakan musuh-musuh-Nya yang
kafir. Semuanya itu diceritakan untuk meneguhkan hatimu, hai Muhammad. Dan agar engkau
mempunyai suri teladan dari kalangan saudara-saudaramu para rasul yang terdahulu.
“dan dalam surat ini telah datang kepadamu kebenaran”. (Hud: 120)
Yakni di dalam surat ini. Demikianlah menurut Ibnu Abbas, Mujahid, dan sejumlah
ulama Salaf.
Menurut suatu riwayat yang bersumber dari Al-Hasan dan Qatadah disebutkan di dalam
dunia ini. Tetapi pendapat yang benar ialah yang mengatakan di dalam surat ini yang
mengandung kisah-kisah para nabi. Bagaimana Allah menyelamatkan mereka bersama orang-
orang yang beriman kepada mereka, lalu Allah membinasakan orang-orang yang kafir. Surat ini
disampaikan kepadamu yang di dalamnya terkandung kisah-kisah yang benar dan berita yang
benar serta sebagai pelajaran untuk membuat jera orang-orang kafir, juga sebagai peringatan buat
orang-orang yang beriman.
٣٨ َم ا َك اَن َع َلى الَّنِبِّي ِم ْن َح َر ٍج ِفْيَم ا َفَرَض ُهّٰللا َلۗٗه ُس َّنَة ِهّٰللا ِفى اَّلِذ ْيَن َخ َلْو ا ِم ْن َقْبُۗل َو َك اَن َاْم ُر ِهّٰللا َقَدًرا َّم ْقُد ْو ًر ۙا
"Tidak ada keberatan apa pun pada Nabi tentang apa yang telah ditetapkan Allah
baginya. (Allah telah menetapkan yang demikian) sebagai sunah Allah pada (nabi-nabi)
yang telah terdahulu. Ketetapan Allah itu merupakan ketetapan yang pasti berlaku." (Q.S Al-
Ahzab:38)
ࣙ٣٩ اَّلِذ ْيَن ُيَبِّلُغ ْو َن ِر ٰس ٰل ِت ِهّٰللا َو َيْخ َش ْو َنٗه َو اَل َيْخ َش ْو َن َاَح ًدا ِااَّل َۗهّٰللا َو َك ٰف ى ِباِهّٰلل َح ِس ْيًبا
Tidak ada suatu keberatan pun atas Nabi tentang apa yang telah ditetapkan Allah baginya.
(Allah telah menetapkan yang demikian) sebagai sunnah-Nya pada nabi-nabi yang telah
berlalu dahulu. Dan adalah ketetapan Allah itu suatu ketetapan yang pasti berlaku. Firman
Allah ﷻ: Tidak ada suatu keberatan pun atas Nabi tentang apa yang telah ditetapkan
Allah baginya. (Al-Ahzab: 38) Yakni tentang apa yang dihalalkan baginya dan apa yang
diperintahkanNya, yaitu mengawini Zainab r.a. yang telah diceraikan oleh anak angkat
beliau sendiri (Zaid ibnu Harisah r.a.) Firman Allah ﷻ: (Allah telah menetapkan yang
demikian itu) sebagai sunnah-Nya pada nabi-nabi yang telah berlalu dahulu. (Al-Ahzab: 38)
Hal ini merupakan hukum Allah pada nabi-nabi sebelumnya.
Allah tidak sekali-kali memerintahkan kepada mereka untuk melakukan sesuatu yang
menyebabkan mereka berdosa karenanya. Ayat ini merupakan sanggahan terhadap sebagian
orang dari kalangan orang-orang munafik yarig menduga bahwa martabat Nabi ﷺ
menjadi berkurang karena mengawini bekas istri anak angkatnya. Dan adalah ketetapan
Allah itu suatu ketetapan yang pasti berlaku. (Al-Ahzab: 38) Maksudnya, itu urusan yang
telah ditetapkan oleh Allah ﷻitu pasti terjadi dan tidak akan bisa dielakkan lagi; karena
apa yang dikehendakiNya pasti terjadi dan apa yang tidak dikehendaki-Nya pasti tidak akan
terjadi.
Tidak ada suatu keberatan pun atas Nabi tentang apa yang telah ditetapkan) yang telah
dihalalkan (Allah baginya, sebagai sunah Allah) lafal Sunatallah dinashabkan setelah huruf
Jarnya dicabut (pada orang-orang yang telah berlalu dahulu) dari kalangan para nabi, yaitu
bahwasanya tidak ada dosa bagi mereka dalam hal tersebut sebagai kemurahan bagi mereka
dalam masalah nikah. (Dan adalah ketetapan Allah itu) yakni keputusan-Nya (suatu
ketetapan yang pasti berlaku) pasti terlaksana.
Pada ayat ini, Allah menguatkan hukum yang telah ditetapkan sebelumnya yaitu bahwa
tidak ada suatu keberatan apa pun atas Nabi ﷺapa yang telah menjadi ketetapan Allah
baginya untuk mengawini perempuan bekas istri anak angkatnya setelah dijatuhi talak oleh
suaminya dan habis masa idahnya. Orang-orang Yahudi sering mencela Nabi Muhammad
ﷺkarena mempunyai istri yang banyak, padahal mereka mengetahui bahwa nabi-nabi
sebelumnya ada yang lebih banyak istrinya seperti Nabi Daud dan Nabi Sulaiman.
َّم ا َك اَن َع َلى ٱلَّنِبِّى ِم ۡن َحَر ٍج ِفيَم ا َفَرَض ٱُهَّلل َلُهۥۖ ُس َّنَة ٱِهَّلل ِفى ٱَّلِذ يَن َخ َلۡو ْا ِم ن َقۡب ُلۚ َو َك اَن َأۡم ُر ٱِهَّلل َقَدًرا َّم ۡق ُدوًرا
"Tidak ada keberatan apa pun pada Nabi tentang apa yang telah ditetapkan Allah
baginya. (Allah telah menetapkan yang demikian) sebagai sunah Allah pada (nabi-nabi)
yang telah terdahulu. Ketetapan Allah itu merupakan ketetapan yang pasti berlaku" ( Q.S Al-
Ahzab: 62)
1) Tafsir Ibnu Katsir surat Al-Ahzab ayat 59-62
Di mana saja mereka dijumpai, mereka ditangkap dan dibunuh dengan sehebat-
hebatnya. Sebagai sunnah Allah yang berlaku atas orang-orang yang telah terdahulu
sebelum(mu) dan kamu sekali-kali tiada akan mendapati perubahan pada sunnah Allah.
Allah ﷻmemerintahkan kepada Rasul-Nya agar memerintahkan kepada kaum wanita
yang beriman, khususnya istri-istri beliau dan anak-anak perempuannya mengingat
kemuliaan yang mereka miliki sebagai ahli bait Rasulullah ﷺhendaknyalah mereka
menjulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka agar mereka berbeda dengan kaum
wanita Jahiliah dan budak-budak wanita. Jilbab artinya kain yang dipakai di atas
kerudung, menurut apa yang dikatakan oleh Ibnu Mas'ud, Ubaidah, Qatadah, Al-Hasan
Al-Basri, Ibrahim An-Nakha'i, dan Ata Al-Khurrasani serta lain-lainnya yang bukan
hanya seorang.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah
menceritakan kepada kami Abu Saleh, telah menceritakan kepadaku Al-Lais, telah
menceritakan kepada kami Yunus ibnu Yazid yang mengatakan bahwa ia pernah bertanya
kepada Az-Zuhri, "Apakah budak perempuan diharuskan memakai kerudung, baik dia
telah bersuami atau pun belum?" Az-Zuhri menjawab, "Jika ia telah kawin diharuskan
memakai kerudung, dan dilarang baginya memakai jilbab, karena makruh baginya
menyerupakan diri dengan wanita-wanita merdeka yang memelihara kehormatannya."
Allah ﷻtelah berfirman: Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak
perempuanmu dan istri-istri orang mukmin, "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya
ke seluruh tubuh mereka. (Al-Ahzab: 59) Telah diriwayatkan dari Sufyan As-Sauri.
Ia pernah mengatakan bahwa tidak mengapa melihat perhiasan kaum wanita kafir
zimmi. Dan sesungguhnya hal tersebut dilarang hanyalah karena dikhawatirkan
menimbulkan fitnah, bukan karena mereka wanita yang terhormat. Sufyan mengatakan
demikian dengan berdalilkan firman Allah ﷻ: dan istri-istri orang mukmin. (Al-
Ahzab: 59) Firman Allah ﷻ: Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk
dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. (Al-Ahzab: 59) Yakni apabila mereka
melakukan hal tersebut, maka mereka dapat dikenal sebagai wanita-wanita yang merdeka,
bukan budak, bukan pula wanita tuna susila.
Mujahid mengatakan bahwa makna ayat ialah hendaklah mereka memakai jilbab
agar dikenal bahwa mereka adalah wanita-wanita merdeka, sehingga tidak ada seorang
fasik pun yang mengganggunya atau melakukan perbuatan yang tidak senonoh
terhadapnya. Firman Allah ﷻ: Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang. (Al-Ahzab: 59) Yakni terhadap dosa-dosa yang telah lalu di masa Jahiliah,
mengingat mereka tidak mempunyai pengetahuan tentang etika ini.
Yakni masa tinggal mereka di Madinah sebentar lagi karena dalam waktu yang
dekat mereka akan diusir darinya dalam keadaan terlaknat, yaitu dijauhkan dari rahmat
Allah. Di mana saja mereka dijumpai, mereka ditangkap. (Al-Ahzab-61) Maksudnya,
dimanapun mereka ditemukan, mereka ditangkap karena hina dan jumlah mereka sedikit.
dan dibunuh dengan sehebat-hebatnya. (Al-Ahzab: 61) Kemudian Allah ﷻberfirman:
Sebagai sunnah Allah yang berlaku atas orang-orang yang telah terdahulu sebelum(mu).
(Al-Ahzab: 62) Demikianlah ketetapan Allah terhadap orang-orang munafik. Apabila
mereka tetap bersikeras dengan kemunafikan dan kekafirannya serta tidak mau
menghentikan perbuatannya, lalu kembali ke jalan yang benar, orang-orang yang beriman
akan menguasai mereka dan mengalahkan mereka.
“dan kamu sekali-kali tiada akan mendapati perubahan pada sunnah Allah. (Al-Ahzab:
62) Yakni ketetapan Allah dalam hal ini tidak dapat diganti dan tidak pula dapat diubah."
2) Tafsir Jalalain surat Al-Ahzab ayat 62 (Sebagai sunah Allah) yakni Allah telah
menetapkan hal tersebut sebagai sunah-Nya (yang berlaku atas orang-orang yang telah
terdahulu) atas umat-umat yang dahulu, yaitu atas orang-orang munafik yang selalu
menyebarkan rasa takut ke dalam hati orang-orang yang beriman (dan kamu sekali-kali
tiada akan mendapati perubahan pada sunah Allah) sebagai pengganti dari-Nya.
َأَو َلۡم َيِس يُروْا ِفى ٱَأۡلۡر ِض َفَينُظُروْا َك ۡي َف َك اَن َٰع ِقَبُة ٱَّلِذ يَن ِم ن َقۡب ِلِهۡم َو َك اُنٓو ْا َأَشَّد ِم ۡن ُهۡم ُقَّو ًةۚ َو َم ا َك اَن ٱُهَّلل ِلُيۡع ِج َز ۥُه ِم ن َش ۡى ٍء ِفى ٱلَّس َٰم َٰو ِت
َو اَل ِفى ٱَأۡلۡر ِضۚ ِإَّن ۥُه َك اَن َع ِليًم ا َقِد يًرا
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Sinan, telah
menceritakan kepada kami Abdur Rahman, telah menceritakan kepada kami Sufyan As-Saurr,
dari Abu Ishaq, dari Abul Ahwas, dari Abdullah yang mengatakan bahwa hampir saja
serangga tanah disiksa di dalam liangnya karena dosa yang dilakukan oleh anak manusia.
Kemudian Abdullah (Ibnu Mas'ud r.a.) membaca firman-Nya: Dan kalau sekiranya Allah
menyiksa manusia disebabkan usahanya, niscaya Dia tidak akan meninggalkan di atas
permukaan bumi suatu makhluk yang melata pun. (Fathir: 45) Sa'id ibnu Jubair dan As-Saddi
telah mengatakan sehubungan dengan makna firman Allah ﷻ: niscaya Dia tidak akan
meninggalkan di atas permukaan bumi suatu makhluk yang melata pun. (Fathir: 45) Yakni
niscaya Allah tidak memberi mereka air hujan, akhirnya semua hewan melata pun binasa
semuanya.
Akan tetapi Allah menangguhkan (penyiksaan) mereka, sampai waktu yang tertentu.
(Fathir: 45) Maksudnya, Allah menangguhkan mereka sampai hari kiamat, lalu Dia akan
menghisab mereka di hari itu dan setiap orang akan mendapat balasan dari amal
perbuatannya. Orang yang taat akan mendapat pahala, sedangkan orang yang durhaka akan
mendapat azab dan siksaan. Karena itulah disebutkan oleh firman-Nya: maka apabila datang
ajal mereka, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Melihat (keadaan) hamba-hamba-Nya.
(Fathir: 45) Demikianlah akhir tafsir surat Fathir, segala puji dan karunia adalah milik Allah
semata.
Ayat ini masih menjelaskan sikap orang musyrik Mekah terhadap dakwah Nabi saw.
Dengan segala daya dan pikiran, dengan harta dan kekayaan yang dimiliki, mereka menentang
dakwah Nabi Muhammad, bahkan beliau diboikot dan dihalangi. Tetapi, segala rencana jahat
guna mematahkan dakwah Islam itu pada akhirnya menjadi bumerang bagi mereka.
َنۡح ُن َنُقُّص َع َلۡي َك َأۡح َس َن ٱۡل َقَص ِص ِبَم ٓا َأۡو َح ۡي َنٓا ِإَلۡي َك َٰه َذ ا ٱۡل ُقۡر َء اَن َو ِإن ُك نَت ِم ن َقۡب ِلِهۦ َلِم َن ٱۡل َٰغ ِفِليَن
"Kami menceritakan kepadamu (Nabi Muhammad) kisah yang paling baik dengan
mewahyukan Al-Qur’an ini kepadamu. Sesungguhnya engkau sebelum itu termasuk orang-orang
yang tidak mengetahui."
Pada ayat ini, Allah mengkhususkan firman-Nya kepada Nabi Muhammad ﷺdan
tentu saja untuk diperhatikan oleh orang Arab dan umat manusia seluruhnya. Para mufasir
mengatakan bahwa surah Yusuf ini adalah salah satu surah dalam Al-Qur'an yang
diturunkan untuk menghibur dan menggembirakan hati Nabi Muhammad ﷺdi kala
beliau menderita tekanan-tekanan yang berat dari kaum Quraisy berupa cemoohan, hinaan,
pembangkangan, dan tindakan kekerasan sehingga beliau terpaksa hijrah bersama Abu
Bakar ke Medinah. Memang demikianlah halnya karena kisah Nabi Yusuf ini adalah suatu
kisah yang menarik sekali, dikisahkan dengan cara terperinci, tiap babak mengandung
hikmah yang dalam dan pelajaran yang besar manfaatnya bagi orang yang
memperhatikannya, apalagi bila dilihat dari segi keindahan susunan bahasa dan isi ceritanya
yang belum dikenal seluruhnya baik oleh Nabi Muhammad ﷺsendiri maupun oleh
kaum Quraisy dan orang Arab pada umumnya.
Kisah ini selain menceritakan keadaan Nabi Yakub a.s. beserta anak-anaknya yang masih
hidup dengan cara kehidupan orang-orang Badui, menceritakan pula bagaimana kehidupan
dalam masyarakat yang telah maju dan berkebudayaan tinggi, bagaimana kehidupan para
penguasa yang penuh dengan kemewahan serta kesenangan dan bagaimana pula cara mereka
mengendalikan pemerintahan dan mengatur perekonomian negara. Benarlah firman Allah
yang mengatakan bahwa kisah Nabi Yusuf a.s. yang akan dikisahkan berikut ini adalah
kisah yang paling baik, menarik, dan yang paling indah penggambarannya.
َنۡح ُن َنُقُّص َع َلۡي َك َأۡح َس َن ٱۡل َقَص ِص ِبَم ٓا َأۡو َح ۡي َنٓا ِإَلۡي َك َٰه َذ ا ٱۡل ُقۡر َء اَن َو ِإن ُك نَت ِم ن َقۡب ِلِهۦ َلِم َن ٱۡل َٰغ ِفِليَن
"Kami menceritakan kepadamu (Nabi Muhammad) kisah yang paling baik dengan
mewahyukan Al-Qur’an ini kepadamu. Sesungguhnya engkau sebelum itu termasuk orang-orang
yang tidak mengetahui”
Pada ayat ini, Allah mengkhususkan firman-Nya kepada Nabi Muhammad ﷺdan
tentu saja untuk diperhatikan oleh orang Arab dan umat manusia seluruhnya. Para mufasir
mengatakan bahwa surah Yusuf ini adalah salah satu surah dalam Al-Qur'an yang
diturunkan untuk menghibur dan menggembirakan hati Nabi Muhammad ﷺdi kala
beliau menderita tekanan-tekanan yang berat dari kaum Quraisy berupa cemoohan, hinaan,
pembangkangan, dan tindakan kekerasan sehingga beliau terpaksa hijrah bersama Abu
Bakar ke Medinah. Memang demikianlah halnya karena kisah Nabi Yusuf ini adalah suatu
kisah yang menarik sekali, dikisahkan dengan cara terperinci, tiap babak mengandung
hikmah yang dalam dan pelajaran yang besar manfaatnya bagi orang yang
memperhatikannya, apalagi bila dilihat dari segi keindahan susunan bahasa dan isi ceritanya
yang belum dikenal seluruhnya baik oleh Nabi Muhammad ﷺsendiri maupun oleh
kaum Quraisy dan orang Arab pada umumnya.
Kisah ini selain menceritakan keadaan Nabi Yakub a.s. beserta anak-anaknya yang masih
hidup dengan cara kehidupan orang-orang Badui, menceritakan pula bagaimana kehidupan
dalam masyarakat yang telah maju dan berkebudayaan tinggi, bagaimana kehidupan para
penguasa yang penuh dengan kemewahan serta kesenangan dan bagaimana pula cara mereka
mengendalikan pemerintahan dan mengatur perekonomian negara. Benarlah firman Allah
yang mengatakan bahwa kisah Nabi Yusuf a.s. yang akan dikisahkan berikut ini adalah
kisah yang paling baik, menarik, dan yang paling indah penggambarannya.
(Dan) ingatlah (ketika Ibrahim mendapat ujian) menurut satu qiraat Ibraham (dari
Tuhannya dengan beberapa kalimat) maksudnya dengan perintah dan larangan yang
dibebankan kepadanya. Ada yang mengatakan manasik atau pekerjaan haji, ada pula
berkumur-kumur, menghirup air ke hidung, menggosok gigi, memotong kumis, membelah
rambut, memotong kuku, mencabut bulu ketiak, mencukur bulu kemaluan, berkhitan dan
istinja (lalu disempurnakannya) maksudnya dikerjakannya secara sempurna.
Dan ketika Kami menjadikan Baitullah itu) yakni Kakbah (sebagai tempat kembali bagi
manusia) maksudnya tempat berkumpul dari segenap pelosok (dan tempat yang aman)
maksudnya aman dari penganiayaan dan serangan yang sering terjadi di tempat lain.
(Dan ketika Ibrahim berdoa, “Ya Tuhanku! Jadikanlah ini) maksudnya tempat ini
(sebagai suatu negeri yang aman). Doanya dikabulkan Allah sehingga negeri Mekah
dijadikan sebagai suatu negeri yang suci, darah manusia tidak boleh ditumpahkan, seorang
pun tidak boleh dianiaya, tidak boleh pula diburu binatang buruannya dan dicabut
rumputnya.
(Dan berilah penduduknya rezeki berupa buah-buahan) dan ini juga sudah menjadi
kenyataan dengan diangkutnya berbagai macam buah-buahan dari negeri Syam melalui
orang-orang yang hendak tawaf sekalipun tanahnya merupakan suatu tempat yang tandus
tanpa air dan tumbuh-tumbuhan (yakni yang beriman di antara mereka kepada Allah dan
hari akhir”) merupakan ‘badal’ atau kalimat pengganti bagi ‘penduduknya’ yang
dikhususkan dengan doa, sesuai dengan firman-Nya, “Dan janji-Ku ini tidaklah mencapai
orang-orang yang aniaya.”
(Firman Allah, “Dan) Aku beri mereka pula (orang-orang kafir lalu Aku beri kesenangan
sedikit) atau sementara, yakni selama hidup di dunia dengan rezeki, dibaca ‘fa-umatti`uhu’,
yakni dengan tasydid. (Kemudian Aku paksa ia) di akhirat kelak (menjalani siksa neraka)
sehingga tidak mendapatkan jalan keluar (dan itulah seburuk-buruk tempat kembali”).
(Dan tunjukkanlah kepada kami) ajarkanlah kepada kami (syariat ibadah haji kami)
maksudnya cara-cara dan tempat-tempatnya (dan terimalah tobat kami, sesungguhnya
Engkau Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang). Mereka bertobat kepada Allah padahal
mereka maksum atau terpelihara dari dosa, disebabkan kerendahan hati mereka dan sebagai
pelajaran bagi anak cucu mereka.
(Ya Tuhan kami! Utuslah untuk mereka) yakni Ahlulbait (seorang rasul dari kalangan
mereka) ini telah dikabulkan Allah dengan dibangkitkannya kepada mereka Nabi
Muhammad saw.
(yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat-Mu) Alquran (dan mengajari mereka
Alkitab) yakni Alquran (dan hikmah) maksudnya hukum-hukum yang terdapat di dalamnya
(serta menyucikan mereka) dari kemusyrikan (sesungguhnya Engkau Maha Kuasa) sehingga
mengungguli siapa pun (lagi Maha Bijaksana”) dalam segala tindakan dan perbuatan.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Al-A'masy, dari
Ibrahim At-Taimi, dari ayahnya, dari Abu Zar r.a. yang telah menceritakan: Aku bertanya,
"Wahai Rasulullah, masjid manakah yang mula-mula dibangun?" Nabi Saw. menjawab,
"Masjidil Haram." Aku bertanya, "Sesudah itu mana lagi?" Nabi Saw. menjawab, "Masjidil
Aqsa." Aku bertanya, "Berapa lama jarak di antara keduanya?" Nabi Saw. menjawab.”Empat
puluh tahun." Aku bertanya, "Kemudian masjid apa lagi?" Nabi Saw. bersabda, "Kemudian
tempat di mana kamu mengalami waklu salat, maka salatlah padanya, karena semuanya
adalah masjid."
Imam Bukhari dan Imam Muslim mengetengahkannya melalui hadis Al-A'masy dengan
lafaz yang sama.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu
Muhammad ibnus Sabah, telah menceritakan kepada kami Sa'id ibnu Sulaiman, dari Syarik,
dari Mujahid, dari Asy-Sya'bi, dari Ali r.a. sehubungan dengan firman-Nya: Sesungguhnya
rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat ibadah) manusia ialah Baitullah yang di
Bakkah (Mekah) yang diberkahi. (Ali Imran: 96) Memang banyak rumah yang dibangun
sebelum Masjidil Haram, tetapi Baitullah adalah rumah yang mula-mula dibangun untuk
tempat beribadah.
(Ibnu Abu Hatim mengatakan pula) dan telah menceritakan kepada kami ayahku, telah
menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnur Rabi', telah menceritakan kepada kami Abul
Ahwas, dari Sammak, dari Khalid ibnu Ur'urah yang menceritakan bahwa ada seorang lelaki
berdiri, lalu menuju kepada sahabat Ali r.a. dan bertanya, "Sudikah engkau menceritakan
kepadaku tentang Baitullah, apakah ia merupakan rumah yang mula-mula dibangun di bumi
ini?" Sahabat Ali menjawab, "Tidak, tetapi Baitullah merupakan rumah yang mula-mula
dibangun mengandung berkah, yaitu maqam Ibrahim; dan barang siapa memasukinya,
menjadi amanlah dia."
Kemudian Ibnu Abu Hatim menuturkan asar ini hingga selesai, yaitu menyangkut perihal
pembangunan Baitullah yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim. Kami mengetengahkan asar ini
secara rinci di dalam permulaan tafsir surat Al-Baqarah, hingga tidak perlu diulangi lagi
dalam bab ini.
As-Saddi menduga bahwa Baitullah merupakan rumah yang mula-mula dibangun di bumi
ini secara mutlak. Akan tetapi, pendapat Ali r.a.-lah yang benar.
Adapun mengenai hadis yang diriwayatkan oleh Imam Baihaqi di dalam kitabnya yang
berjudul Dalailun Nubuwwah mengenai pembangunan Ka'bah yang ia ketengahkan melalui
jalur Ibnu Luhai'ah, dari Yazid ibnu Habib, dari Abul Khair, dari Abdullah ibnu Amr ibnul As
secara marfu’ yaitu: Allah mengutus Jibril kepada Adam dan Hawa, membawa perintah
kepada keduanya agar keduanya membangun Ka'bah. Maka Adam membangunnya, kemudian
Allah memerintahkan kepadanya untuk melakukan tawaf di sekeliling Ka'bah. Dikatakan
kepadanya, "Engkau adalah manusia pertama (yang beribadah di Baitullah), dan ini
merupakan Baitullah yang mula-mula dibangun untuk tempat beribadah manusia."
Maka sesungguhnya hadis ini merupakan salah satu dari mufradat (hadis yang hanya
diriwayatkan oleh satu orang) Ibnu Luhai'ah, sedangkan Ibnu Luhai'ah orangnya dinilai daif.
Hal yang mirip kepada kebenaran —hanya Allah Yang Maha Mengetahui—bila hadis ini
dikatakan mauquf hanya sampai kepada Abdullah ibnu Amr. Dengan demikian, berarti kisah
ini termasuk ke dalam kategori kedua hadis daif lainnya yang keduanya diperoleh oleh
Abdullah ibnu Amr pada saat Perang Yarmuk, yaitu diambil dari kisah Ahli Kitab.
Yaitu tanda-tanda yang jelas menunjukkan bahwa bangunan tersebut dibangun oleh Nabi
Ibrahim, dan Allah memuliakan serta menghormatinya.
Yaitu sarana yang dipakai oleh Nabi Ibrahim ketika bangunan Ka'bah mulai meninggi
untuk meninggikan fondasi dan temboknya. Sarana ini dipakai untuk tangga tempat berdiri,
sedangkan anaknya (yaitu Nabi Ismail) menyuplai bebatuan.
Pada mulanya maqam Ibrahim ini menempel pada dinding Ka'bah, kemudian pada masa
pemerintahan Khalifah Umar ibnul Khattab r.a. maqam tersebut dipindahkan ke sebelah timur
Ka'bah hingga memudahkan bagi orang-orang yang bertawaf dan tidak berdesak-desakan
dengan orang-orang yang salat di dekatnya sesudah melakukan tawaf. Karena Allah Swt.
telah memerintahkan kepada kita agar melakukan salat di dekat maqam Ibrahim, yaitu melalui
firman-Nya:
{}َو اَّتِخ ُذ وا ِم ْن َّم َقاِم ِإْبَر اِهيَم ُمَص ًّلى
Dalam pembahasan terdahulu telah kami kemukakan hadis-hadis mengenai hal ini, maka
tidak perlu diulangi lagi dalam bab ini.
Menurut Mujahid, bekas kedua telapak kaki Nabi Ibrahim di maqamnya mempakan tanda
yang nyata. Hal yang sama dikatakan pula dalam riwayat lain dari Umar ibnu Abdul Aziz, Al-
Hasan, Qatadah, As-Saddi, Muqatil ibnu Hayyan, dan lain-lainnya.
Abu Talib mengatakan dalam salah satu bait syair dari qasidah Lamiyah yang terkenal, yaitu:
َع َلى َقَد َم ْيِه َح اِفًيا َغْيَر َناِع ِل... َو َم ْو ِط ُئ ِإْبَر اِهيَم ِفي الَّص ْخ ِر َر ْطَبٌة
Pijakan kaki Nabi Ibrahim pada batu itu tampak nyata bekas kedua telapak kakinya yang
telanjang tanpa memakai terompah.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id dan Amr Al-
Audi; keduanya mengatakan, telah menceritakan kepada kami Waki', telah menceritakan
kepada kami Sufyan, dari Ibnu Juraij, dari Ata, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-
Nya: maqam Ibrahim. (Ali Imran: 97) Bahwa yang dimaksud dengan maqam Ibrahim ialah
tanah suci seluruhnya. Sedangkan menurut lafaz Amr disebutkan bahwa Al-Hijir seluruhnya
adalah maqam Ibrahim.
Telah diriwayatkan dari Sa'id ibnu Jubair bahwa dia pernah mengatakan, "Haji itu maqam
Ibrahim." Demikianlah yang aku lihat di dalam kitab salinannya, barangkali yang dimaksud
ialah Al-Hijir seluruhnya adalah maqam Ibrahim. Hal ini telah diterangkan pula oleh Mujahid.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Demikianlah makalah ini kami buat, semoga dapat memberi manfaat pada penyusun
khususnya dan pada pembaca yang budiman pada umumnya. Kami sadari bahwa pembuatan
makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan mengandung banyak kekurangan. Oleh karena
itu, kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan demi kesempurnaan makalah kami
selanjutnya.