Anda di halaman 1dari 12

Bab II

PEMBAHASAN
A. Pengertian Naskh
Secara lughawi, ada empat makna naskh yang sering diungkapkan
ulama, yaitu sebagai berikut:1
1. IZALAH (menghilangkan), seperti dalam ayat berikut:

Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang rasulpun dan


tidak (pula) seorang nabi, melainkan apabila ia mempunyai sesuatu
keinginan,

syaitanpun

memasukkan

godaan-godaan

terhadap

keinginan itu, Allah menghilangkan apa yang dimasukkan oleh


syaitan itu, dan Allah menguatkan ayat-ayat-Nya. Dan Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Bijaksana, (QS: Al-Hajj Ayat: 52)
2. TABDIL (penggantian), seperti dalam ayat berikut:

Dan apabila Kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai
penggantinya padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya,
mereka berkata: "Sesungguhnya kamu adalah orang yang mengadaadakan saja". Bahkan kebanyakan mereka tiada mengetahui. (QS: An-Nahl
Ayat: 101)

3. TAHWIL

(memalingkan),

seperti

tanasukh

Al-mawarist,

artikan

memalingkan pusaka dari seseorang kepada orang lain.


4. NAQL (memindahkan dari satu tempat ke tempat lain), seperti
nasakhtu Al-kitaaba, yakni mengutip atau memindahkan isi kitab
tersebut berikut lafadz dan tulisannya. Sebagian ulama menolak
makna ke empat ini, dengan alasan bahwa si nasikh tidak dapat
mendatangkan lafazh lain.
1
UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Adapun bagi terminologi, para ulama mendefinisikan naskh, dengan


redaksi yang sedikit berbeda, tetapi dengan pengertian yang sama,
dengan: rafu Al-hukm Al-Syari bi alkhithab Asyri ( menghapus
hukum stara dengan khitab syara pula) atau rafu Al-hukm Al-Syari bi
Al-dalil Asyri (menghapuskan hukum syara dengan dalil syara yang
lain). Terminologi menghapuskan dalam definisi tersebut adalah
terputusnya hubungan hukum yang dihapus dari seorang mukallaf, dan
bukan terhapusnya substansi hukum itu sendiri.2
Sementara itu, Quraish Shihab menyatakan bahwa antara ulamaulama mutaqaddimin dan mutaakhirin tidak sepakat dalam memberikan
pengertian naskh secara terminologi. Hal itu terlihat dari kontroversi
yang muncul diantara mereka dalam menetapkan adanya naskh dalam
Al-Quran. Ulama-ulama mutaqaddimin bahkan memperluas arti naskh
hingga mencakup:
1. Pembatalan hukum yang ditetapkan oleh hukum yang ditetapkan
kemudian;
2. Pengecualian hukum yang bersifat umum oleh hukum yang
spesifik yang datang kemudian;
3. Penjelasan susulan terhadap hukum yang bersifat ambigius; dan
4. Penetapan syarat bagi hukum yang datang kemudian guna
membatalkan atau merebut atau menyatakn berakhirnya masa
berlakunya hukum yang terdahulu.3
Dari definisi-definisi yang ada, para ahli ushul fiqih menyatakan bahwa
naskh bisa dibenarkan bila memenuhi kriteria berikut:
1. Pembatalan

harus

dilakukan

melalui

tuntutan

syara

yang

mengandung hukum dari Allah dan Rasul-Nya yang disebut Nasikh


(yang menghapus). Dengan demikian, habisnya masa berlaku
hukum yang disebabkan wafatnya seseorang tidak dinamakan
naskh.
2. Yang dibatalkan adalah syara yang disebut mansukh (yang
dihapus).
2
3
UIN Sunan Gunung Djati Bandung

3. Nasikh harus datang kemudian (terakhir) dari mansukh. Dengan


demikian, istisna (pengecualian) tidak disebut naskh.
B. Dalil adanya Nasikh dan Mansukh
Imam Ibnul Jauzi dalam kitabnya menyebutkan dalil secara akal
terjadinya nasikh-mansukh, kata beliau rohimahulloh :
Adapun dalil diperbolehkannya nasikh secara akal adalah bahwa
pembebanan syariat tidak terlepas dari kehendak yang Membebani
(dalam hal ini Allah ) atau kepada

kemaslahatan yang dibebani

(dalam hal ini hamba-Nya). Maka berdasarkan kepada yang pertama


yaitu kehendak Allah , maka tidak ada halangan bagi-Nya untuk
menetapkan

pembebanan

pada

hukum

tertentu

kemudian

menghapuskannya dan memerintahkan hukum lainnya.


Adapun berdasarkan kepada yang kedua, maka diperbolehkan
nasikh-mansukh sebagai kemaslahatan kepada para hamba-Nya pada
perbuatan ibadah pada suatu masa dengan masa lainnya. Jelaslah hal ini
bahwa boleh secara akal pembebanan ibadah yang terlarang seperti
puasa pada hari tertentu, maka pembebanan ini digantikan seiring
pergantian zaman, kemudian telah tetap bahwa Allah _ terkadang
menjadikan seorang yang miskin menjadi kaya dan dari sehat menjadi
sakit, menggilirkan musim panas dengan musim dingin dan malam
dengan siang. Dialah Yang Maha Mengetahui Kemaslahatan dan Dialah
yang memiliki hukum. Kemudian dalil secara syara, Imam Ibnul Jauzi
masih dalam kitab
yang sama mengatakan :
Adapun dalil bolehnya nasikh secara syara adalah telah tetap
bahwa

termasuk

keturunannya,

dari

agamanya

diperbolehkan

Nabi
untuk

Adam

dan

beberapa

menikahi

saudara

perempuannya yang masih memiliki hubungan mahram, kemudian


bekerja pada hari Sabtu, lalu syariat ini dihapuskan pada syariat Nabi
Musa , demikian juga lemak pada asalnya mubah, kemudian
diharamkan pada agama Nabi Musa . Maka barangsiapa yang
UIN Sunan Gunung Djati Bandung

mengatakan

bahwa

ini

bukan

nasikh

maka

sebenarnya

perselisihannya adalah pada masalah lafadz (bahasa) bukan secara


makna.
Imam SyafiI dalam kitab Risalah telah menyebutkan dalil dalam Al
Quran tentang kebolehan terjadinya nasikh-mansukh, Firman-Nya _ :

Artinya : Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan


(apa yang Dia kehendaki), dan di sisi-Nya-lah terdapat Ummul-Kitab (Lauh
mahfuzh). (QS. Ar-Rad (13) : 39).
Kemudian Imam SyafiI menafsirkannya : mengenai maksud firman
Allah

Allah

menghapuskan

berpendapat bahwa Allah

apa

yang

Dia

kehendaki,

ada

yang

menghapus kewajiban yang dikehendaki-Nya

dan menetapkan kewajiban lain yang dikehendaki-Nya. Kemudian beliau


rohimahulloh juga membawakan dalil lain,

Artinya : Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan
(manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya
atau yang sebanding dengannya. Tidakkah kamu mengetahui bahwa
sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu? (QS. Al Baqoroh
(2) : 106).
Kata Imam SyafiI : disini Allah _ menjelaskan bahwa nasakh Al Quran
dan penundaan turunnya itu hanya dengan Al Quran.

C. Jenis-Jenis Nasikh-Mansukh
Imam Ibnul Jauzi menyebutkan bahwa nasikh-mansukh dalam AlQuran ada 3 jenis:
1. Nasikh dalam bacaan dan hukumnya
UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Jenis pertama, dicontohkan oleh Syaikh Manna dalam kitabnya


diatas yaitu riwayat Imam Muslim dan lainnya, dari Aisyah _, ia berkata
:
Diantara yang diturunkan kepada beliau adalah bahwa sepuluh
susuan yang diketahui itu menyebabkan pemahraman, kemudian
dinasakh oleh lima susuan yang diketahui. Ketika Rasulullah wafat,
lima susuan ini termasuk ayat Al Quran yang dibaca (berlaku). Syaikh
Manna

mengomentari

Secara

zhahir

menunjukkan

bahwa

bacaannya masih tetap (ada). Tetapi tidak demikian halnya, karena ia


tidak terdapat dalam mushaf Utsmani. Kesimpulan ini dijawab, bahwa
yang dimaksud dengan perkataan Aisyah _ tersebut ialah ketika
menjelang

Nabi

wafat.

Yang

jelas

ialah

bahwa

tilawahnya

(bacaannya) telah dinaskh (dihapuskan), tetapi penghapusan ini tidak


sampai kepada semua orang kecuali sesudah Rasulullah _ wafat. Oleh
karena

itu,

ketika

beliau

wafat,

sebagian

orang

masih

tetap

membacanya (sebagai bagian dari Al Quran).


2. Nasikh dalam bacaan, tetapi hukumnya tetap berlaku
Misalnya adalah apa yang diriwayatkan oleh Shahihain dan ini
adalah lafadz Muslim, Shahabat Anas _ berkata :
Alllah Azza wa Jalla menurunkan ayat yang berkaitan dengan
orang-orang yang terbunuh di sumur Maunah sebuah ayat Al Quran
yang kami baca, sampai kemudian dihapus (bacaannya dalam Al
Quran) yaitu : Sampaikanlah dari kami kepada kaum kami bahwa
kami telah bertemu dengan Rabb kita, maka Dia ridho kepada kami
dan kami pun ridho kepada-Nya.
Ayat ini telah pasti tidak kita temukan dalam Al Quran yang
dibukukan

oleh para sahabat yang menunjukkan dari perkataan

Anas _ tadi bahwa ayat tersebut telah dihapus bacaannya. Adapun


hukumnya tetap berlaku, sebagaimana firman Allah _ :
Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk
Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang
UIN Sunan Gunung Djati Bandung

mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan


merekapun ridha kepada Allah (QS. At Taubah (9) : 100).
3. Nasikh dalam hukum, tetapi bacaannya masih berlaku
Imam SyafiI dalam Risalah menyebutkan contohnya, kata
beliau rohimahulloh :

Diantara hal yang disitir oleh perowi,

kudengar riwayatnya dari para ulama adalah bahwa Allah _ telah


menurunkan kewajiban sholat sebelum kewajiban sholat lima waktu.
Allah berfirman:
Artinya: Hai orang yang berselimut (Muhammad), bangunlah
(untuk sembahyang) di malam hari, kecuali sedikit (daripadanya),
(yaitu) seperduanya atau kurangilah dari seperdua itu sedikit. atau
lebih dari seperdua itu. Dan bacalah Al Quran itu dengan perlahanlahan (QS. Al Muzammil (73) : 1-4).
Kemudian Allah _ menasakh kewajiban ini didalam surat yang
sama, firman-nya _ :
Sesungguhnya Tuhanmu mengetahui bahwasanya kamu
berdiri

(sembahyang)

kurang

dari

dua

pertiga

malam,

atau

seperdua malam atau sepertiganya dan (demikian pula) segolongan


dari orang-orang yang bersama kamu. Dan Allah menetapkan
ukuran malam dan siang. Allah mengetahui bahwa kamu sekali-kali
tidak dapat menentukan batas-batas waktu-waktu itu, maka Dia
memberi keringanan kepadamu, karena itu bacalah apa yang
mudah (bagimu) dari Al Quran. Dia mengetahui bahwa akan ada di
antara kamu orangorang yang sakit dan orang-orang yang berjalan
di muka bumi mencari sebagian karunia Allah; dan orang-orang
yang lain lagi berperang di jalan Allah, maka bacalah apa yang
mudah (bagimu) dari Al Quran dan dirikanlah sembahyang,
tunaikanlah zakat (QS. Al-Muzammil (73) : 20).
Jadi, jelas didalam Kitab Allah bahwa sholat sepanjang m
alam, separuhnya, kurang dari separuh atau lebih dihapus dengan
firman Allah : maka bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al
Quran.
UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Kemudian timbul pikiran pada mereka setelah melihat tandatanda (kebenaran Yusuf) bahwa mereka harus memenjarakannya
sampai sesuatu waktu. ( yusuf.35)














Dan nyatalah bagi mereka keburukan-keburukan dari apa
yang mereka kerjakan dan mereka diliputi oleh (azab) yang mereka
selalu memperolok-olokkannya. (Al jatsiyah 33)
Berdasarkan kejelasan dan cakupannya, naskh dalam Al-Quran
dibagi menjadi empa tmacam,yaitu:
1. Naskh sharih, yaitu ayat yang secara jelas menghapus hukum yang
terdapat pada ayat terdahulu. Misalnya ayat tentang perang (qital)
pada ayat 65 surat Al-Anfal yang mengharuskan satu orang muslim
melawan sepuluh kafir.
2. Naskh dhimmy, yaitu jika terdapat dua naskh yang saling
bertentangan dan tidak dapat dikompromikan, dan keduanya turun
untuk sebuah masalah yang sama, serta keduanya diketahui waktu
turunnya,ayat yang datang kemudian menghapus ayat yang
terdahulu.
3. Naskh kully, yaitu menghapus hukum yang sebelumnya secara
keseluruhan.
4. Naskh juziy, yaitu menghapus hukum umum yang berlaku bagi
semua individu dengan hukum yang hanya berlaku bagi sebagian
individu, atau menghapus hukum yang bersifat muthlaq dengan
hukum yang muqayyad.
D. Perbedaan antara Naskh, Takhsish, dan Bada
Terdapat perbedaan diametral antara Ibnu Katsir, Al-Maraghi dan
Abu Muslim Al-Ashfahani dalam memandang persoalan naskh. Ibnu
Katsir dan Al-Maraghi menetapkan adanya pembatalan hukum dalam

UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Al-Quran. Namun, dengan tegas, Al-Ashfani menyatakan bahwa AlQuran tidak pernah disentuh pembatalan.
Meskipun demikian, pada umumnya, dia sepakat tentang :
1. Adanya pengecualian hukum yang bersifat umum oleh hukum yang
spesifik yang datang kemudian;
2. Adanya penjelasan susulan terhadap hukum terdahulu yang
ambigus;
3. Adanya penetapan syarat terhadap hukum yang terdahulu yang
belum bersyarat.
Ibnu Katsir dan Al-Maraghi memandang ke-3 hal diatas sebagai
naskh, sedangkan Al-Ashfani memandangnya sebagai takhsish.
Tampaknya Al-Ashfani menegaskan pendapatnya bahwa tidak ada
naskh dalam Al-Quran.
Adapun perbedaan prinsip antara Ibnu Katsir dan Al-Maraghi
dengan Al-Ashfani yaitu :
NASKH
1. Satuan yang terdapat dalam
naskh bukan merupakan bagian
satuan yang terdapat dalam
mansukh.
2. Naskh adalah menghapuskan
hukum dari seluruh satuan
yang tercangkup dalam dalil
mansukh.
3. Naskh hanya terjadi dengan
dalil yang datang kemudian.
4. Naskh adanya menghapuskan
hubungan mansukh dalam
rentang waktu yang tidak
berbatas.
5. Setelah terjadi naskh, seluruh
satuan yang terdapat dalam
nasikh tidak terikat dengan
hukum yang terdapat dalam
mansukh.

TAKHSHISH
1. Satuan yang terdapat dalam
takhshish merupakan sebagian
dari satuan yang terdapat
dalam lafazhamm.
2. Takhshish dapat merupakan
hukum dari sebagian satuan
yang tercakup dalam
dalilamm.
3. Takhshish dapat terjadi baik
dengan dalil yang kemudian
maupun menyertai dan
mendahuluinya.
4. Takhshish tidak menghapuskan
hukum amm sama sekali.
Hukum amm tetap berlaku
meskipun sudah di-khususkan.
5. Setelah terjadi takhshish, sisa
satuan yang terdapat pada
UIN Sunan Gunung Djati Bandung

10

amm tetap terikat oleh dalil


amm.

UIN Sunan Gunung Djati Bandung

11

Adapun bada, menurut sumber adalah, azh-zhuhur bada Al-khafa


(menapakan setelah bersembunyi). Definisi ini tersirat dalam firman Allah
surat Al-atsiyyah [45] ayat 33 :
Artinya : Dan nyatalah bagi mereka keburukan-keburukan apa yang
telah mereka kerakan. (QS.Al-Jatsyiah:33)
Arti bada yang lain adalah nasyahrayin jadid lam yaku
maujud (munculnya pemikiran baru setelah sebelumnya tidak
terlintas).
Dari kedua definisi tersebut, bisa dilihat perbedaan yang
sangat jelas antaranya dengan hakikat naskh. Dalam bada,
timbulnya hukum yang baru disebabkan oleh ketidaktahuan sang
pembuat hukum akan kemungkinan munculnya hukum baru itu. Ini
tentu berbeda dengan naskh, sebab dalam naskh, bagi ulama yang
mengakui keberadaannya, Allah mengetahui nasikh dan mansukh
seak zaman azali, sebelum hukum-hukum itu diturunkan kepada
manusia.
E. Dasar-dasar Penetapan Nasikh dan Mansukh
Manna Al-Qaththan menetapkan tiga dasar untuk menegaskan
bahwa suatu ayat dikatakan nasikh (menghapus) ayat lain mansukh
(dihapus). Ketiga dasar adalah :
1. Melalui pentransmisiran yang jelas (An-naql Ai-asharih) dari Nabi
atau para sahabatnya, seperti hadist : Kuntu naihaitikum an
zirayat Al-qubur ala fa zuhura(aku (dulu) melarang kalian berziarah
kubur, (sekarang) berziarahlah. Juga seperti ungkapan annas
berkaitan dengan Ashab sumur Maunah: Wanuzilah fihim quran
qaranah hata rufia (untuk mereka telah turun ayat, sampai
akhirnya dihapus);
2. Melalui kesepakatan bumat bahwa ayat ini nasikh dan ayat itu
mansukh;
3. Melalui study sejarah, mana ayat yang lebih belakang turun,
sehingga disebut nasikh, dan mana yang duluan turun, sehingga
disebut mansukh.
Al-Qaththan menambahkan bahwa nasikh tidak bisa ditetapkan
melalui prosedur ijtihad, pendapat para tafsir, karena adanya

kontradiksi antara beberapa dalil bila dilihat dari lahirnya, atau


belakangnya keislaman salah seorang dari pembawa riwayat.
F. Perbedaan Pendapat tentang Adanya Ayat-Ayat Mansukh dalam
Al-Quran
Sebagaimana telah disebutkan diatas, terdapat perbedaan di
kalangan ulama tentang eksistensi naskh dalam Al-Quran.
1. Menerima keberadaan naskh dalam Al-Quran. Pendapat ini
dikemukakan mayoritas ulama. Untuk memperkuat pendapatnya,
mereka mengemukakan argumentasi naqilah dan aqilah. Diantara
argumentasi naqilah yang mereka kemukakan adalah firman-firman
Allah sebagai berikut:
Artinya : untuk ayat apa saja kami tunda, atau Kami
sebabkan (rasul) melupakannya, maka kami akan datangkan yang
lebih baik atau yang semisal dengannya. (QS. Al-Baqarah [2]:106)
Mayoritas ulama memandang, dengan berpiak pada
keseluruhan ayat di atas, bahwa revisi Al-Quran telah teradi.
Gagasan lain yang mendasari mayoritas ulama akan teori naskh
adalah penerapan perintah-perintah tertentu kepada kaum muslimin
di dalam Al-Quran hanya bersifat sementara, dan bahwa takala
keadaan telah berubah, perintah di hapus dan diganti dengan
perintah baru lainny. Namun, karena perintah-perintah itu Kalam
Allah, ia harus dibaca sebagai bagian dari Al-Quran.
Adapun dalil yang mereka kemukakan adalah sebagai berikut :
Dalil pertama, naskh tidak merupakan hal yang terlarang
menurut akal pikiran, dan setiap yang tidak dilarang berarti boleh.
Dalam hal ini, Mutazilah menambahkan bahwa hukum Allah itu
waib membawa mashlahat bagi hamba-Nya. Adapun ahli sunnah
mengatakan bahwa tidak ada yang waib bagi Allah sesuatu pun
terhadap hamba-Nya. Oleh karena itu, kalaupun Allah men-naskhkannya tidak akan membawa akibat kepada hukumnya. Namun,
semua hukum Allah dan perbuatan-Nya adalah himmah balighah,
ilmu yang luas dan mahasuci dari sifat ahat dan aniaya.
G. Hikmah Keberadaan Naskh

Menurut Mana Al-Qaththan terdapat empat hikmah


keberadaan ketentuan naskh, yaitu:
1. Menjaga kemaslahaan hamba.
2. Pengembangan pensyariatan hukum sampai kepada tingkat
kesempurnaan seiring dengan perkembangan dakwah dan kondisi
manusia itu sendiri.
3. Menguji kualitas keimanan mukallaf dengan cara adanya perintah
yang kemudian dihapus.
4. Merupakan kebaikan dan kemudahan bagi umat. Sebab apabila

ketentuan nasikh lebih berat daripada ketentuan mansukh, berarti


mengandung konsekuensi pertambahan pahala. Sebaliknya, jika
ketentuan dalam nasikh lebih mudah daripada ketentuan mansukh,
itu berarti kemudahan umat.

Anda mungkin juga menyukai