Anda di halaman 1dari 11

RESUME ULUMUL QUR’AN

(NASIKH MANSUKH)

Oleh :

o Nurul Safitri Hasan


o Jayanti Jupri

Dosen Pembimbing : H. Rukman AR Said

Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan


Prodi Pendidikan Bahasa Arab
Semester 1/A
2017/2018

A. Pengertian Nasikh dan Mansukh


Nasikh menurut bahasa memilki dua beberapa yaitu: (izalah) hilangkan, At-Tabdil
(penggantian), Al-Naql (memindahkan), Al-Ibthal (membatalkan) dan hapuskan. Misalnya dikatakan
nasakhat asy-syamsu azh-zhilla, artinya matahari menghilangkan bayang-bayang dan nasakhat ar-rih
atsara al-masyyi, artinya angin menghapuskan jejak langkah kaki. Kata naskh juga dipergunakan
untuk makna memindahkan sesuatu dari suatu tempat ke tempat lain. Misalnya: nasakhtu al- kitab,
artinya, saya menyalin isi kitab. Didalam Al-quran dikatakan:

‫ق ِكتَابُنَا ٰ َه َذا‬ ِّ ‫س ُخ ُكنَّا ِإنَّا ۚ بِا ْل َح‬


ُ ‫ق َعلَ ْي ُك ْم يَ ْن ِط‬ ْ َ‫تَ ْع َملُونَ ُك ْنتُ ْم َما ن‬
ِ ‫ستَ ْن‬
Artinya: “ Sesunguhnya kami menyuruh untuk menasakhkan apa dahulu kalian kerjakan.” (Al-
jatsiyah:29).

Maksudnya, kami (Allah) memindahkan amal perbuatan kedalam lembaran-lembaran catatan amal.

Sedangkan menurut istilah nasikh ialah “mengangkat (menghapuskan) hukum syara’ dengan dalil
hukum syara’ yang lain.” Disebutkan disini kata “hukum”, menunjukkan bahwa prinsip “segala
sesuatu hukum asalnya boleh” (Al-Bara’ah Al-ashliyah) tidak termasuk yang di nasikh. Kata-kata
“dengan dalil hukum syara’” mengecualikan pengangkatan (penghapusan) hukum yang disebabkan
kematian atau gila, atau penghapusan dengan ijma’ atau qiyas.

Contohnya:

ِ ‫ق هللِ َو‬
ُ ‫ش ِر‬ ُ ‫س ٌع هللاَ ِإنَّ هللِ َو ْجهُ فَثَ َّم تُ َولُّ ْوا فََأ ْينَ َما ا ْل َم ْغ ِر‬
ْ ‫ب َو ا ْل َم‬ ِ ‫َعلِ ْي ٌم َوا‬

Artinya: “Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, Maka kemanapun kamu menghadap di situlah
wajah Allah[83]. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha mengetahui. Disitulah
wajah Allah” (QS. Al-Baqarah [2] : 115.)

Kemudian di nasakh oleh ayat:

‫ش ْط َر َو ْج َه َك فَ َو ِّل‬ ْ ‫ا ْل َح َر ِام ا ْل َم‬


َ ‫س ِج ِد‬

Artinya: “maka palingkanlah mukamu ke arah masjidil haram....” (QS. Al-Baqarah:144)

Ada yang berpendapat inilah yang benar, bahwa ayat pertama tidak di naskh sebab ia
berkenaan dengan sholat sunnah saat dalam perjalanan yang dilakukan diatas kendaraan, juga dalam
keadaan takut dan daruarat. Dengan demikian, hukum ayat ini tetap berlaku, sebagaimana dijelaskan
dalam Ash-Shahihain. Sedang ayat kedua berkenaan dengan sholat fardlu lima waktu. Dan yang
benar, ayat kedua ini menasakh perintah kehadap Baitul Maqdis yang ditetapkan dalam sunnah.
Sedangkan pengertian mansukh adalah hukum yang diangkat atau dihapuskan. Maka ayat mawarits
(warisan) atau hukum yang terkandung di dalamnya, misalnya adalah menghapuskan (nasikh) hukum
wasiat kepada kedua orang tua atau kerabat.

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa dalam nasikh diperlukan syarat-syarat berikut:
a. Hukum yang di nasakh adalah hukum syara’
b. Dalil penghapusan hukum tersebut adalah khitab syar’i yang datang lebih kemudian hari khitab
yang hukumnya di mansukh
c. Khitab yang dihapuskan atau diangkat hukumnya tidak terikat (dibatasi) dengan waktu tertentu.
Sebab jika tidak demikian maka hukum akan berakhir dengan berakhiranya waktu tersebut. Dan yang
demikian tidak dinamakan nasakh.

Makki berkata: “segolongan Ulama menegaskan bahwa khitab yang mengisyaratkan waktu dan batas
tertentu, seperti firman Allah: “Maka maafkanlah dan biarkanlah mereka sampai Allah
mendatangkan perintah-Nya” (QS. Al-Baqarah;109), adalah muhkam, tidak mansukh, sebab ia
dikaitkan dengan batas waktu, dan sesuatu yang dibatasi oleh waktu tidak ada naskh di dalamnya.

Kalau ditemukan ada kalimat antara nasakh dan mansukh dalam satu kalimat yang harus dilihat
adalah apakah kalimat tersebut termasuk kalimat berita berarti kalimat tersebut bukanlah nasakh
melainkan takhsis.

B. Sejarah Nasikh dan Mansukh


Asal mula timbulnya teori nasikh ialah bermula adanya ayat-ayat yang menurut anggapan
mereka saling bertentangan dan tidak dapat dikompromikan.

Nasikh mansukh alam konteks eksternal agama yang lazim dikenal dengan sebutan al-badadi
perselisihkan dikalangan antar pemeluk agama.Penolakan Yahudi dan Nasrani terhadap
kemungkinan bada’ dan penerimaan kaum muslimin terhadap naskh antar agama, pada dasarnya
timbul karena adanya perbedaan paham ketiga agama ini terhadap kenabian dan kitab sucinya.
Yahudi dan Nasrani tidak mengakui adanya naskh, karena menurut mereka, naskh mengandung
konsep al-bada’, yakni muncul setelah tersembunyi. Maksudnya mereka adalah, naskh itu adakalanya
tanpa hikmah, dan ini mustahil bagi Allah. Dan adakalanya karena suatu kejelasan yang didahului
oleh ketidakjelasan. Dan ini pun mustahil pula bagi-Nya.

Cara berdalil mereka ini tidak dapat dibenarkan, sebab masing-masing hikmah naskh dan
mansukh telah diketahui oleh Allah labih dahulu. Jadi pengetahuan-Nya tentang hikmah tersebut
bukan hal yang baru muncul. Ia membawa hamba-hambaNya dari satu hukum ke hukum yang lain
adalah karena sesuatu maslahat yang telah diketahuiNya yang absolut terhadap segala milikNya.

Pengetahuan tentang Nasikh dan Mansukh mempunyai manfaat besar, agar pengetahuan tentang
hukum tidak menjadi kabur dan tidak terjadi kesalahpahaman. Oleh sebab itu, terdapat banyak atsar
yang mendorong agar mengetahui masalah ini. Seperti yang diriwayatkan Ali pada suatu hari, ia
bertanya pada seorang hakim “Apakah kamu mengetahui yang naskh dan yang mansukh?” “Tidak”
jawab hakim itu. Maka kata Ali, “Celakalah kamu dan kamupun akan mencelakakan orang lain.
C. Untuk mengetahui Nasikh dan Mansukh terdapat beberapa cara:
1. Ditetapkan dengan tegas oleh Rasulullah SAW, seperti hadits ;
“Semula aku melarangmu untuk berziarah ke kubur, tetapi (sekarang) berziarahlah“.

2. Melalui pemberitahuan seorang sahabat, seperti hadits Jabir bin Abdullah r.a. ia berkata :
“dua perintah terakhir Rasulullah SAW adalah tidak perlu berwudhu karena memakan makanan yang
tersentuh api”. (HR.Abu Dawud dan al Nasa’i )

3. Melalui fakta sejarah, seperti hadits Syidad bin ‘Aus dan lainnya yang menjelaskan bahwa
Rasulullah SAW bersabda :
“orang yang melakukan bekam dan orang yang dibekam batal puasanya”.
Dan hadits Ibnu Abbas r.a. ia berkata :
“sesungguhnya Rasulullah SAW berbekam, padahal beliau sedang berpuasa“.
Dengan demikian, jelas bahwa hadits yang pertama (hadits Syidad) itu terjadi pada masa-masa
penaklukan kota Makkah, yaitu pada tahun 8 Hijriyah dan hadits kedua (hadits Ibnu Abbas ) terjadi
pada waktu Haji Wada’, yaitu pada tahun 10 Hijriyah. Jadi, hadits yang kedua merupakan Nasikh bagi
hadits yang pertama.

4. Ijma’ umat bahwa ayat ini nasikh dan yang itu mansukh

5. Mengetahui mana yang terlebih dahulu dan mana yang belakangan berdasarkan sejarah.
Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya…” (Al-Baqarah [2]:106)

D. Terminologi
Membatalkan penerapan hukum syar’I dengan yang datang kemudian untuk kemaslahatan umat.

E. Pembagian Nasikh dan Mansukh


a. Berdasarkan otoritas :

 Naskh Al-qur’an dengan Al-qur’an(Naskhul Qur’aani bil Qur’aani)


Bagian ini dsiepakati kebolehannyaa dan telah terjadi di dalam pandangan mereka yang mengatakan
adanya naskh. Misalnya, ayat tentang ‘iddah empat bulan sepuluh hari.
 Naskh Al-qur’an dengan As-Sunnah(Naskhul Qur’aani bis Sunnati)
Naskh ini ada dua macam:
1) Naskh Al-qur’an dengan hadits ahad. Jumhur berpendapat, Al-qur’an tidak boleh
dinasakh oleh hadits ahad, sebab Al-qur’an adalah mutawattir dan menunjukkan keyakinan,
sedang hadits ahad itu zhanni, bersifat dugaan, disamping tidak sah pula menghapusakan
sesuatu yang maklum (jelas diketahui) dengan yang mazhnun (diduga).
2) Naskh Al-qur’an dengan hadits mutawattir. Naskh senacam ini dibolehkan oleh Malik,
Abu Hanifah, dan Ahmad dalam satu riwayat, sebab masing-masing keduanya adalah wahyu.
Allah berfirman:
Artinya: “Dan Tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya.
Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (QS. An-Najm 3-4)
Dalam pada itu Asy-syafi’i, Zhahiriyah dan Ahmad dalam riwayatnya yang lain menolak naskh seperti
ini, berdasarkan firman Allah,
Artinya: “Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami
datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. tidakkah kamu mengetahui
bahwa Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?” (QS. Al- Baqarah:106)
Sedang hadits tidak lebih baik dari atau sebanding dengan Al-qur’an.

 Naskh sunah dengan Al-qur’an(Naskhus Sunnah bil Qur’aani)


Naskh ini menghapuskan hukum yang ditetapkan berdasarkan sunnah diganti dengan hukum
yang didasarkan dengan Al-qur’an. Naskh jenis ini diperbolehkan oleh jumhur Ulama’.
Contohnnya seperti berpuasa wajib pada hari Asy-Syura yang ditetapkan berdasarkan sunnah
juga dinasakh firman Allah yang artinya :
“Maka barang siapa menyaksikan bulan Ramadlan hendaklah ia berpuasa.” (QS. Al-Baqarah:185)[1]
Maksudnya, semula berpuasa hari Asy-Syura itu wajib, tetapi setelah turun ayat yang mewajibkan
puasa pada bulan Ramadlan, maka puasa pada hari Asyura itu tidak wajib lagi, sehingga ada orang
yang berpuasa dan ada yang tidak.

 Nasikh sunah dengan sunah(Naskhus Sunnah bis Sunnah)


Adapun menasakh ijma’ dengan ijma’ dan qiyas dengan qiyas atau menasakh keduanya,
maka pendapat yang shohih tidak membolehkannya.

B. Berdasarkan macam-macam nasikh dan mansukh :

1. Nasikh Badal (nasakh yang ada penggantinya), terbagi menjadi tiga :

- Nasikh dengan badal akhof (pengganti yang lebih ringan)

- Nasikh mumatsil (pengganti serupa)

- Badal atsqal (pengganti yang lebih berat)

2. Nasikh Ghairu Badal (nasikh yang tidak ada gantinya), seperti nasakh terahadap keharusan
memberi sedekah kepada orang miskin ketika hendak melakukan pembicaraan dengan nabi.

3. Nasikh hukum dan tilawah (bacaan), kebenaran dan jenis hukumnya telah dihapus, sehingga tidak
ada dijumpai lagi dalam al-Qur’an.

4. Nasikh hukum tanpa tilawah artinya teks ayat masih ada hanya hukumnya saja yang diganti.

5. Nasikh tilawah tanpa hukum, maksudnya hukumnya tetap, tapi yang ternasukh hanya tilawahnya.
[5]

6. Nasikh hukum dan bacaan ayat sekaligus seperti haramnya menikahi saudara sesusu itu dengan
batasan sepuluh kali (H.R. Bukhori dan Muslim dari Aisyah). Hukum dan bacaan teks tersebut telah
dihapus.

7. Terjadinya penambahan hukum dari hukum yang pertama, menurut ulama’ Hanafiyah, hukum
penambahan tersebut bersifat nasakh.
8. Pengurangan terhadap hukum ibadah yang telah disyari’atkan menurut kesepakatan ulama’
dikatakan nasakh tetapi mereka tidak memberikan contohnya.

C. Berdasarkan kejelasan dan cakupanya :

1. Naskh Sharih, yaitu ayat yang secara jelas menghapus hukum yang terdapat pada ayat yang
terdahulu. Misal ayat tentang perng (qital) pada ayat 65 surat Al-Anfal(8) yang mengharuskan satu
orang muslim melawan sepuluh orang kafir.

“Hai Nabi, korbankanlah semangat orang mukmin untuk berperang jika ada dua puluh orang yang
sabar diantara kamu, pasti mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang musuh. Dan jika ada
seratus orang (yang sabar) diantara kamu, mereka dapat mengalahkan seribu kafir, sebab oang-
orang kafir adalah kaum-kaum yang tidak mengerti. “ ( QS.Al-Anfal : 65 )

Dan menurut jumhur ulama’ ayat ini di-naskh oleh ayat yang mengharuskan satu orang mukmin
melawan dua orang kafir pada ayat 66 dalam surat yang sama yang artinya :

“ Sekarang Allah telah meringankankamu dan mengetahui pula bahwa kamu memiliki kelemahan.
Maka jika ada diantara kamu seratus orang yang sabar, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus
orang kafir, dan jika diantar kamu terdapat seribu orang (yang sabar), mereka akan dapat
mengalahkan dua ribu orang kafir.” ( QS.Al-Anfal : 66 )

2. Naskh dhimmy, yaitu jika terdapat dua naskh yang saling bertentangan dan tidak dikompromikan,
dan keduanya turun untuk sebuah masalah yang sama, serta keduanya diketahui waktu turunya, ayat
yang datang kemudian menghapus ayat yang terdahulu. Misalnya, ketetapan Allah yang mewajibkan
berwasiat bagi orang-orang yang akan mati yang terdapat dalam surat Al-Baqarah artinya :

“Diwajibkan atas kamu, apabila seseorang diantara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia
meninggalkan harta yang banyak, untuk berwasiat bagi ibu bapak serta karib kerabatnya secara
ma’ruf.“

Ayat ini di-naskh oleh suatu hadist yang mempunyai arti tidak ada wasiat bagi ahli waris.

3. Naskh kully, yaitu menghapus hukum yang sebelumnya secara keseluruhan. Contohnya, ‘iddah
empat bulan sepuluh hari pada surat Al-Baqarah (2) 234 di-naskh oleh ketentuan ‘iddah satu tahun
pada ayat 240 dalam surat yang sama.

4. Naskh juz’i, yaitu menghapus hukum umum yang berlaku pada semua individu dengan hukum
yang hanya berlaku bagi sebagian individu,atau menghapus hukum yang bersifat muthlaq dengan
ukum yang muqayyad. Contohnya, hukum dera 80 kali bagi orang yang menuduh seorang wanita
tanpa adanya saksi pada surat An-Nur (24) ayat 4, dihapus oleh ketentuan li’an, bersumpah empat
kali dengan nama Allah, jika sipenuduh suami yang tertuduh, pada ayat 6 dalam surat yang sama.

D. Dilihat dari segi bacaan dan hukumnya :


1. Penghapusan terhadap hukum (hukm) dan bacaan (tilawah) secara bersamaan. Ayat-ayat yang
terbilang kategori ini tidak dibenarkan dibaca dan diamalkan. Misal sebuah riwayat Al Bukhori
Muslim yaitu hadis Aisyah R.A.

Artinya :

“ Dahulu termasuk yang diturunkan (ayat Al-qur’an) adalah sepuluh radaha’at (isapan menyusu) yang
diketahui, kemudian di naskh oleh lima (isapan menyusu) yang diketahui. Setelah rasulullah wafat,
hukum yang terakhir tetap dibaca sebagai bagian Al-qur’an. “

2. Penghapusan terhadap hukumnya saja sedangkan bacaanya tetap ada. Misalnya ayat tentang
mendahulukan sedekah ( QS.Mujadilah : 12 ) yang artinya:

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu mengadakan pembicaraan khusus dengan Rasul,
hendaknya kamu mengeluarkan sedekah (kepada orang miskin) sebelum pembicaraan itu.

Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu dan lebih bersih, jika kamu tiada memperoleh (yang akan
disedekahkan) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun Lagi Maha Penyayang“ ( QS.Mujadilah :
12 ).

Ayat ini di Naskh oleh surat yang sama ayat 13 yang artinya:

“Apakah kamu takut akan (menjadi miskin) karena kamu memberikan sedekah sebelum pembicaraan
dengan Rasul?maka jika kamu tiada memperbuatnya dan Allah telah memberi tobat kepadamu,
maka dirikanlah salat, tunaikanlah zakat, dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya, dan Allah Maha
Mengetahui apa yang kamu kerjakan.“ (QS.Al-Mujadilah:13)

3. Penghapusan terhadap bacaan saja, sedangkan hukumnya tetap berlaku. Contoh kategori ini
biasanya diambil dari yat rajam. Mula-mula ayat rajam ini terbilang ayat Al-Qur’an. Ayat yang
dinyatakan mansukh bacaanya, sementara hukumnya tetap berlaku itu adalah

“ Jika seorang pria tua dan wanita tua berzina, maka rajamlah keduanya“.

Cerita tentang ayat orang tua berzina diataas diturunkan berdsarkan riwayat Ubay bin Ka’ab bin Abu
Umamah bin Sahl menurunkan bunyi yang bernada mengenai ayat yang dianggap bacaanya mansukh
itu. Umamah mengatakan bahwa Rasulullah telah mengajarkan kami membaca ayat rajam yang
artinya :

“Seorang pria tua dan seorang wanita tua, rajamlah mereka lantaran apa yang mereka perbuat dalam
bentuk kelezatan (zina).”

F. Perbedaan antara Nasikh dan Mansukh


Adat Naskh adalah pernyataan yang menunjukkan adanya pembatalan hukum yang telah ada.
Nasikh yaitu dalil kemudian yang menghapus hukum yang telah ada. Pada hakikatnya Nasikh itu
berasal dari Allah, karena Dialah yang membuat hukum dan Dia pulalah yang menghapusnya.
Sedangkan Mansukh adalah hukum yang dibatalkan, dihapuskan, atau dipindahkan. Dan Mansukh
‘anh yaitu orang yang dibebani hukum.

G. Fungsi memahami Nasikh dan Mansukh


a. Memelihara kepentingan hamba
b. Perkembangan tasyri’ menuju tingkat sempurna sesuai dengan perkembangan dakwah dan
perkembangan kondisi umat manusia
c. Cobaan dan ujian bagi orang mukallaf untuk mengikutinya atau tidak
d. Menghendaki kebaikan dan kemudahan bagi umat. Sebab jika Nasikh itu beralih ke hal yang
lebih berat maka di dalamnya terdapat tambahan pahala, dan jika beralih kehal yang mengandung
kemudahan dan keringanan.

Pengetahuan yang benar terhadap teks yang nasikh dan yang mansukh, disamping dapat membantu
seseorang di dalam memahami konteks diturunkannya sebuah teks,juga dapat mengetahui bagian
mana teks al-Qur’an yang turun lebih dahulu dan yang turun kemudian. Disisi lain, pengetahuan
terhadap fenomena ini juga akan memperteguh kekayaan kita bahwa sumber Al-Qur’an yang hakiki
adalah Allah. Sebab Dialah yang menghapuskan sesuatu dan menetapkan yang lainnya menurtut
kehendakNya dan kekuasaaNya tidak dapat diintervensi oleh kekuatan apapun.

H. Pendapat tentang Nasikh dan Mansukh dan ketetapannya


Dalam masalah Naskh, para Ulama terbagi atas empat golongan:

a. Orang Yahudi. Mereka tidak mangakui adanya Naskh, karena menurutnya, Naskh mengandung
konsep al-bada’, yakni Nampak jelas setelah kabur (tidak jelas). Yang dimaksud mereka ialah, Naskh
itu adakalanya tanpa hikmah, dan ini mustahil bagi Allah. Dan adakalanya Karena sesuatu hikmah
yang sebelumnya tidak nampak. Ini berarti terdapat suatu kejelasan yang didahului oleh
ketidakjelasan. Dan ini pun mustahilbagi-Nya.

Cara berdalil mereka ini tidak dapat dibenarkan, sebab masing-masing hikmah Nasikh dan Mansukh
telah diketahui Allah lebih dahulu. Jadi pengetahuannya tentang hikmah tersebut bukan hal yang
baru muncul. Ia membawa hamba-hamba-Nya dari satu hokum ke hukum yang lain adalah karena
suatu maslahat yang telah diketahui-Nya jauh sebelum itu, sesuai dengan hikmah dan kekuasaan-Nya
yang absolut terhadap segala milik-Nya.

Orang Yahudi sendiri mengakui bahwa syari’at Musa menghapuskan syari’at sebelumnya. Dan dalam
nas-nas Taurat pun terdapat Naskh, sepert pengharaman sebagian binatang atas Bani Israil yang
semula dihalalkan. Berkenaan dengan mereka Allah berfirman yang artinya :

“Semua makanan adalah halal bagi Bani Israil melainkan makanan yang diharamkan oleh Israil
(Ya’kub) untuk dirinya sendiri.” (QS. Ali Imran [3]:93)
Ditegaskan dalam Taurat, bahwa Adam menikah dengan saudara perempuannya. Tetapi kemudian
Allah mengharamkan pernikahan dengan demikian atas Musa, dan Musa memerintahkan Bani Israil
agar membunuh siapa saja di antara mereka yang menyembah patung anak sapi namun kemudian
perintah in idicabut kembali.

b. Orang Syi’ah Rafidah, mereka sangat berlebihan dalam menetapkan Naskh dan meluaskannya.
Mereka memandang konsep al-bada’ sebagai suatu hal yang mungkin terjadi bagi Allah. Dengan
demikian, maka posisi mereka sangat kontradiksi dengan orang Yahudi. Untuk mendukung
pendapatnya itu mereka mengajukan argumentasi dengan ucapan-ucapan yang mereka nisbahkan
kepada Ali r.a.secara dusta dan palsu. Juga dengan firman Allah yang artinya: “Allah menghapuskan
apa yang ia kehendaki dan menetapkan (apa yang ia kehendaki).” (ar-Ra’d [13]:39) dengan
pengertian bahwa Allah siap untuk menghapuskan dan menetapkan.

Paham demikian merupakan kesesatan yang dalam dan penyelewengan terhadap Qur’an.
Sebab makna ayat tersebut adalah: Allah menghapuskan segala sesuatu yang dipandang perlu
dihapuskan dan menetapkan penggantinya jika penetapannya mengandung maslahat. Disamping itu
penghapusan dan penetapan terjadi dalam banyak hal, misalnya menghapuskan keburukan dengan
kebaikan.

c. Abu Muslim al-Asfahani. Menurutnya, secara logika Naskh dapat saja terjadi, tetapi tidak mungkin
terjadi menurut syara’. Dikatakan pula bahwa ia menolak sepenuhnya terjadi Naskh dalam Al-Qur’an.

Pendapat Abu Muslim ini tidak dapat diterima, karena makna ayat tersebut ialah, bahwa Qur’an tidak
didahului oleh kitab-kitab yang membatalkannya dan tidak datang pula sesudahnya sesuatu yang
membatalkannya.

d. Jumhur Ulama. Mereka berpendapat Naskh adalah suatu hal yang dapat diterima akal dan telah
pula terjadi dalam hukum-hukum syara’, berdasarkan dalil-dalil:

1. Perbuatan-perbuatan Allah tidak tergantung padahal alasan dan tujuan. Ia boleh saja
memerintahkan sesuatu pada suatu waktu dan melarangnya pada waktu yang lain. Karena hanya
Dialah yang lebih mengetahui kepentingan hamba-hamba-Nya.

2. Nas-nas kitab dan Sunah menunjukkan kebolehan Naskh dan terjadinya. Antara lain:

a) Firman Allah:

“Dan apabila Kami mengganti suatu ayat di tempa ayat yang lain…” (QS.An-Nahl [16]:101)

b) Dalam sebuah hadist shahih, dari Ibn Abbas r.a., umar r.a.berkata : ”Yang paling paham dan paling
menguasai Qur’an diantara kami adalah Ubai. Namun demikian kami pun meninggalkan sebagian
perkataannya, karena ia mengatakan: “Aku tidak akan meninggalkan sedikit pun segala apa yang
pernah aku dengar dari Rasulullah SAW, padahal Allah telah berfirman: Apa saja ayat yang Kami
Naskhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya…” (Al-Baqarah [2]:106)

I. Kemungkinan Terjadinya Nasikh dan Mansukh


Pendapat para jumhur ulama mengenai kemungkinan terjadinya nasakh dan mansukh.
1. Secara akal dan pandangan mungkin terjadi
Pendapat ini merupakan ijma’ kaum muslimin/jumhur ulama tidak ada perselisihan diantara para
ulama tentang diperbolehkannya nasakh al-Qur’an dengan hadits.
Dalil mereka surat al-Baqarah ayat 106 yang artinya:
“apa saja ayat kami nasakhkan, atau kami jadikan (manusia)lupa kepadanya, kami datangkan yang
lebih baik darinya atau yang sebanding dengannya”. (Q.S. Al-Baqarah : 106).
Dan An-Nahl ayat 101 yang artinya :
“dan apabila kami letakkan suatu ayat yang lain sebagai penggantinya, padahal Allah lebih
mengetahui yang diturunkannya”. (Q.S. An-Nahl : 101).

2. Secara akal maupun pandangan tidak mungkin terjadi


Pendapat ini adalah pendapat sebagian besar datang dari kaum nasrani masa sekarang yang
menyerang islam dengan dalih bahwa nasakh itu tidak mempunyai hikmah dan tidak beralasan,
bahkan hal nasakh akan diketahui setelah kejadian itu sudah terjadi (sebelumnya tidak diketahui).
Tidak benar kalau mereka (yahudi dan nasrani) mengatakan bahwa segala sesuatu yang dilakukan
Allah adalah sia-sia dengan kata lain tidak beralasan. Hal tesebut berlawanan dengan sifat Allah SWT,
Allahlah yang mengetahui semua.

3. Secara akal mungkin namun secara pandangan tidak mungkin terjadi.


Pendapat ini merupakan pendapat golongan Inaniyah dari kaum yahudi dan pendirian Abu Muslim
Ashifani. Mereka mengetahui terjadinya nasakh menurut logika, tetapi mereka mengatakan nasakh
dilarang dalam Syara’ Abu Muslim Al-Asyifani dan orang-orang yang setuju dengan pendapatnya
menggunakan dalil Al-Qur’an surat Al-Fushilat ayat 42 yang artinya : “yang datang kepadanya ( al-
Qur’an) kebathilan baik dari depan maupun belakang”.

J. Hikmah Adanya Naskh


Adanya nasikh-mansukh tidak dapat dipisahkan dari sifat turunnya al-Qur'an itu sendiri dan tujuan
yang ingin dicapainya. Turunnya Kitab Suci al-Qur'an tidak terjadi sekaligus, tapi berangsur-angsur
dalam waktu 20 tahun lebih. Hal ini memang dipertanyakan orang ketika itu, lalu Qur'an sendiri
menjawab, pentahapan itu untuk pemantapan,(7) khususnya di bidang hukum. Dalam hal ini Syekh
al-Qasimi berkata, sesungguhnya al-Khalik Yang Maha Suci lagi Maha Tinggi mendidik bangsa Arab
selama 23 tahun dalam proses tadarruj (bertahap) sehingga mencapai kesempurnaannya dengan
perantaraan berbagai sarana sosial. Hukum-hukum itu mulanya bersifat kedaerahan, kemudian
secara bertahap diganti Allah dengan yang lain, sehingga bersifat universal. Demikianlah Sunnah al-
Khaliq diberlakukan, terhadap, perorangan, dan, bangsa-bangsa, dengan, sama. Jikaengkau
melayangkan pandanganmu ke alam yang hidup ini, engkau pastikan mengetahui bahwa naskh
(penghapusan) adalah undang-undang alami yang lazim, baik dalam bidang material maupun
spiritual, seperti proses kejadian manusia dari unsur-unsur sperma dan telur kemudian menjadi
janin, lalu berubah menjadi anak, kemudian tumbuh menjadi remaja, dewasa, kemudian orang tua
dan seterusnya. Syari'at Allah adalah perwujudan dari rahmat-Nya. Dia-lah yang Maha Mengetahui
kemaslahatan hidup hamba-Nya. Melalui sarana syari'at-Nya, Dia mendidik manusia hidup tertib dan
adil untuk mencapai kehidupan yang aman, sejahtera dan bahagia di dunia dan di akhirat.

Hikmah lainnya :
1) Untuk menunjukkan bahwa syari’at agama islam adalah syari’at yang paling sempurna. Karena itu,
syari’at agama islam ini menasakh semua syariat dari agama-agama sebelum islam. Sebab, syari’at
Islam ini telah mencakup semua kebutuhan seluruh ummat manusia dari segala periodenya, mulai
dari Nabi Adam a.s. yang kebutuhan-kebutuhannya masih sederhana hingga Nabi akhir zaman, Nabi
Muhammad SAW yang kebutuhan-kebutuhannya sudah banyak dan kompleks.

2) Selalu menjaga kemaslahatan hamba agar kebutuhan mereka senantiasa terpelihara dalam semua
keadaan dan di sepanjang zaman.

3) Untuk menjaga agar perkembangan hukun Islam selalu relevan dengan semua situasi dan kondisi
umat yang mengamalkan, mulai dari yang sederhana sampai ke tingkat yang sempurna.

4) Untuk menguji orang mukallaf, apakah dengan adanya perubahan dan penggantian-penggantian
dari nasakh itu mereka tetap taat, setia mengamalkan hokum-hukum Tuhan, atau dengan begitu lalu
mereka ingkar dan membangkang?

5) Untuk menambah kebaikan dan pahala bagi hamba yang selalu setia mengamalkan hukum-hukum
perubahan, walaupun dari yang mudah kepada yang sukar. Sebab, semakin sukar menjalankan suatu
peraturan Tuhan, akan semakin bear manfaat, faedah dan pahalanya.

6) Untuk member dispensasi dan keringanan bagi ummat Islam, sebab dalam beberapa nasakh
banyak yang memperingan beban dan memudahkan pengamalan guna menikmati kebijaksanaan dan
kemurahan Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

Anda mungkin juga menyukai