Anda di halaman 1dari 18

BAB 8

Nasakh dan Mansukh

A. Pengertian Nasakh dan Mansukh

Secara etimologi, nasakh bisa berarti penghilang (izalah), pengganti (tabdil), pengubahan
(tahwil), dan pemindahan (naql). Sesuatu yang menghilangkan, menggantikan, mengubah,
dan memindahkan disebut dengan nasikh. Sedangkan sesuatu yang dihilangkan digantikan,
diubah, dan dipindahkan disebut dengan Mansukh. 1

Secara terminology, para ulama mendifinisikan nasikh dengan redaksi yang cukup
berbeda, tetapi dengan pengertian sama dengan raf’u al-hukum asy-syar’I bi al-khithab asy
syar’I (menghapuskan hukum syara dengan kitab syara pula) atau raf’u al-hukum bil al-dalil
asy-syar’I (menghapuskan hukum syara dengan dalil syara yang lain).2

Terdapat firman Allah SWT terkait Nasakh dan Mansukh, yaitu yang berbunyi:

ِ ‫َم) ا) نَ) ْن) َس) ْ)خ) ِم) ْ)ن) آ)يَ) ٍة) َأ ْ)و) نُ) ْن) ِ)س) هَ) ا) نَ) ْأ‬
)‫ت) بِ) َخ) ْي) ٍر) ِم) ْن) هَ) ا) َأ ْ)و) ِم) ْث) لِ) هَ) ا) ۗ) َأ لَ) ْم) تَ) ْع) لَ) ْم) َأ )َّن هَّللا َ) َع) لَ) ٰ)ى) ُك) ِّل‬
)‫ي) ٍء) قَ) ِد) ي) ٌر‬
)ْ )‫َش‬

Artinya:

“Ayat mana saja yang kami Nasakhkan, atau kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, kami
datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. Tidakkah kamu
mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu? (QS. al-Baqarah[2]:
106)

Ayat ini merupakan dasar dari adanya nasakh itu. Seperti dikatakan ayat ini
dinasakhkan oleh ayat ini. Hukum satu dinasakhkan oleh hukum yang satunya lagi. Mansukh
merupakan hukum yang dihilangkan.3

1
Azhari, /Ulumul Quran (Ilmu-Ilmu Al-Qur’an)/, (Yogyakarya: Aswaja Pressindo, 2018), hlm.103
2
Azhari, /Ulumul Quran (Ilmu-Ilmu Al-Qur’an)/, (Yogyakarya: Aswaja Pressindo, 2018), hlm.104
3
Nurlianto Aldi, dkk, /Pengantar Ulumul Quran/, (Bandung: Babon Design), hlm.107
Dan juga seperti pada QS.an-Nahl ayat 101 yang Artinya: “Dan apabila kami letakkan
suatu ayat ditempat ayat yang lain sebagai penggantinya padahal Allah lebih mengetahui apa
yang diturunkannya, mereka berkata: “sesungguhnya kamu adalah orang ynag mengada-
adakan saja”. Bahkan kebanyakan mereka tidak mengetahui”

Nasakh dan Mansukh merupakan ciri khas yang hanya terdapat pada kaum muslim,
karena ada berbagai macam hikmah. Nasakh diingkari oleh kaum yahudi dikarenakan mereka
mengira bahwa hal tersebut dapat menyebabkan bada’ (mengetahui sesuatu yang sebelumnya
tidak diketahui). Nasikh adalah penjelasan terhadap sebuah hukum, seperti penghidupan
setelah kematian dan sebaliknya, juga miskin setelah kaya dan sebaliknya, itu bukan
merupakan bada’. Demikian pula dengan larangan dan perintah.4

B. Pendapat Para Ulama Mengenai Nasakh dan Mansukh

Para imam berkata, “tidak ada seorang pun yang boleh menafsirkan Al-Quran kecuali
setelah dia mengetahui nasikh (yang menghapus) dan Mansukh (yang dihapus).”

Nasikh dapat bermakna penghapusan. Seperti dalam firman Allah Qs.Al-Hajj ayat 52 :

‫َو َمٓا اَرْ َس ْلنَا ِم ْن قَ ْبلِكَ ِم ْن َّرسُوْ ٍل َّواَل نَبِ ٍّي آِاَّل اِ َذا تَ َم ٰنّ ٓى اَ ْلقَى ال َّشي ْٰط ُن فِ ْٓي اُ ْمنِيَّتِ ٖ ۚه فَيَ ْن َس ُخ هّٰللا ُ َما ي ُْلقِى‬
‫ۙ ال َّشي ْٰط ُن ثُ َّم يُحْ ِك ُم هّٰللا ُ ٰا ٰيتِ ٖ ۗه َوهّٰللا ُ َعلِ ْي ٌم َح ِك ْي ٌم‬

Artinya:

“Allah menghilangkan apa yang di Mansukhkan oleh setan itu, dan Allah menguatkan ayat-
ayatnya” (QS.al-Hajj[22]: 52).

Atau dapat juga bermakna pergantian atau mengganti, seperti pada ayat berikut:

َ‫َوِإ َذا بَ َّد ْلنَٓا َءايَةً َّم َكانَ َءايَ ٍة ۙ َوٱهَّلل ُ َأ ْعلَ ُم بِ َما يُنَ ِّز ُل قَالُ ٓو ۟ا ِإنَّ َمٓا َأنتَ ُم ْفت ۭ ٍَر ۚ بَلْ َأ ْكثَ ُرهُ ْم اَل يَ ْعلَ ُمون‬
4
Imam Suyuti, Ulumul Quran II “Al-Itqan fi Ulumil Quran”/ (Surakarta: Indiva Pustaka, 2009), hlm.176
Artinya:

“Dan jika kami menjadikan suatu ayat sebagai ganti dari ayat yang lain.” (QS.an-Nahl[16]:
101).

Juga dapat berarti pengalihan, seperti pengalihan yang terjadi pada hak waris
seseorang. Dan dapat juga bermakna sebagai pemindahan dari suatu tempat ke tempat
lainnya.

Banyak pendapat beda dari para ulama tentang nasikh atau nasakh. Ada yang
mengatakan bahwa Al-Quran tidak dapat di nasakh kecuali dengan Al-Quran itu sendiri. Ada
juga yang menyatakan Al-Quran bisa di nasakh dengan As-Sunah. Serta ada juga yang
mengatakan bahwa sunah itu sumbernya berasal dari perintah Allah SWT melalui wahyu
maka dapat menasakh ayat.

Ada empat makna yang sering diungkapkan oleh para ulama mengenai hal ini, yaitu:

1. Izalah (Menghilangkan), seperti dalam ayat al-Quran pada Surat al-Hajj ayat 25,
sebagai berikut:

)‫ط) ا) ُ)ن) فِ) ي‬َ )‫ك) ِم) ْ)ن) َ)ر) ُس) و) ٍل) َو) اَل نَ) بِ) ٍّي) ِإ اَّل ِإ َذ) ا) تَ) َم) ن)َّ ٰ)ى) َأ ْل) قَ) ى) ا)ل)ش)َّ ْي‬ َ )ِ‫َو) َم) ا) َأ ْ)ر) َس) ْل) نَ) ا) ِم) ْ)ن) قَ) ْب) ل‬
)‫ُأ ْم) نِ) ي)َّتِ) ِه) فَ) يَ) ْن) َس) ُخ) هَّللا ُ) َم) ا) يُ) ْل) قِ) ي) ا)ل)ش)َّ ْي) طَ) ا) ُ)ن) ثُ)م)َّ يُ) ْ)ح) ِك) ُم) هَّللا ُ) آ)يَ) ا)تِ) ِه) ۗ) َو) هَّللا ُ) َع) لِ) ي) ٌم) َ)ح) ِك) ي) ٌم‬

Artinya:
“dan kami tidak mengutus sebelum kamu seorang rasul dan tidak seorang nabi,
melaikan apabila ia mempunyai sesuatu keinginan, setanpun memasukkan godaan-
godaan terhadap keinginan ituAllah menghilangkan apa yang dimasukkan oleh setan
itu,dan Allah menguatkan ayat-ayatnya. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Bijaksana.” (QS.al-Hajj[22]: 52)

2. Tabdil (Penggantian), Seperti dalam ayat al-Quran pada Surat an-Nahl ayat 101,
sebagai berikut:
)َ )‫َو) ِإ َذ) ا) بَ) د)َّ ْل) نَ) ا) آ)يَ) ةً) َم) َك) ا) َ)ن) آ)يَ) ٍة) ۙ َ)و) هَّللا ُ) َأ ْع) لَ) ُم) بِ) َم) ا) يُ)نَ) ِّز) ُل) قَ) ا)لُ) و)ا) ِإ ن)َّ َم) ا) َأ ْن‬
)‫ت) ُم) ْف) تَ) ٍر) ۚ) بَ) ْل‬
)‫َأ ْك) ثَ) ُر) هُ) ْم) اَل يَ) ْع) لَ) ُم) و) َن‬

Artinya:
“dan apabila kami letakkan suatu ayat ditempat ayat yang lain sebagai penggantinya
padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkannya, mereka berkata,
‘sesungguhnya kamu adalah orang yang mengada-adakan saja’. Bahkan, kebanyakan
mereka tidak mengetahui.” (QS.an-Nahl[16]: 101)

3. Tahwil (Memalingkan), seperti tanasukh Al-Mawaris, yang artinya itu memalingkan


pusaka dari seseorang kepada orang lain
4. Naql (Memindahkan dari satu tempat ke tempat yang lainnya), seperti nasakhtu Al-
Kitaaba, yaitu mengutip atau memindahkan dari isi kitab tersebut berikut juga lafazh
dan nasikh-nya tidak dapat mendatangkan lafazh yang telah dimansukh itu, tetapi
hanya mendatangkan lafazh lain.5

Imam Syafi’i pernah berkata “Di manapun tempat Al-Quran itu dinasakh dengan As-
Sunah pasti ada ayat Al-Quran yang menguatkannya. Dimanapun tempat As-Sunah dinasakh
dengan Al-Quran pastilah ada sunah lain yang menguatkannya. Ini untuk mewujudkan
penyesuaian antara Al-Quran dan As-Sunah.” 6

Ibnu Hishar berkata, “Rujukan nasakh itu hanyalah dari Riwayat yang jelas dari
Rasulullah saw. atau dari seorang sahabat yang berkata, ‘ayat ini menasakh ayat ini.”’ Dia
juga berkata “dan kadang-kadang dinyatakan sebagai nasakh Ketika terjadi kontradiksi yang
jelas bersumber dari sejarah, agar diketahui mana yang dahulu dan mana yang kemudian.”

Ada ulama yang berkata, “Surat-surat Al-Quran itu ditinjau dari yang Nasikh dan yang
Mansukh dibagi menjadi 4 bagian, yaitu:

5
Nurlianto Aldi, dkk, /Pengantar Ulumul Quran/, (Bandung: Babon Design), hlm.108
6
Imam Suyuti, Ulumul Quran II “Al-Itqan fi Ulumil Quran”/ (Surakarta: Indiva Pustaka, 2009), hlm.177
1. Didalamnya tidak ada yang Nasikh maupun yang Mansukh. Terdiri dari 43 surat Al-
Quran. Yaitu surat:
- al-Fatihah,
- Yusuf,
- Yasin,
- al-Hujurat,
- ar-Rahman,
- al-Hadid,
- ash-Shaff,
- al-Jum’ah,
- at-Tahrim,
- al-Mulk,
- al-Haqqah,
- Nuh,
- al-Jin,
- al-Mursalat,
- an-Naba’,
- an-Naziat,
- al-Infitar,
- al-Muthaffifin
- al-Insyiqaq
- al-Buruj
- al-Fajr
- al-Balad
- asy-Syams
- al-Lail
- ad-Dhuha
- asy-Syarh
- al-‘Alaq
- al-Qadr
- al-Bayyinah
- az-Zalzalah
- al-‘Adiyat
- al-Qari’ah
- at-Takatsur
- al-Humazah
- al-Fil
- al-Quraisy
- al-Maun
- al-Kautsar
- an-Nasr
- al-Lahab
- al-Ikhlash
- al-Falaq
- an-Nas

2. Didalamnya ada yang Nasikh dan ada juga yang Mansukh. Terdiri dari 25 surat Al-
Quran. Yaitu surat:
- al-Baqarah
- ali ‘Imran
- an-‘Nisa
- al-Maidah’
- al-Anfal
- at-Taubah
- Ibrahim
- Maryam
- al-Anbiya
- al-Hajj,
- an-Nur,
- al-Furqan
- asy-Syu’ara
- as-Sajdah
- al-Ahzab,
- Saba’,
- Gafir
- Asy-Syura,
- adz-Dzariyat,
- ath-Thur,
- al-Waqiah,
- al-Mujadilah,
- al-Muzamil,
- at-Takwir,
- al-‘Asr.

3. Yang didalamnya hanya ada yang Nasikh. Terdapat 6 surat Al-Quran, yaitu surat:
- al-Fath,
- al-Hasyr,
- al-Munafiqun,
- at-Taghabun,
- ath-Thalaq,
- al-A’la

4. Didalamnya hanya ada yang Mansukh. Terdapat 40 surat Al-Quran yang tersisa, yaitu
surat:
- al-An’am
- al-A’raf
- Yunus
- Hud
- ar-Rad
- al-Hijr
- an-Nahl
- al-Isra
- al-Kahfi
- Thaha
- al-Mu’minun
- an-Naml
- al-Qasas
- al-‘Ankabut
- ar-Rum
- Luqman
- as-Shaffat
- Shad
- az-Zumar
- adz-Dzukhruf
- adh-Dukhan
- al-Jasiyah
- al-Ahqaf
- Muhammad
- an-Najm
- al-Qamar
- al-Qalam
- al-Ma’arij
- al-Muddatstsir
- al-Qiyamah
- al-Insan
- ‘Abasa
- at-Thariq
- al-Ghasyiah
- at-Tin
- Fatir
- Fushilat
- Qaaf
- al-Mumtahannah
- al Kafirun7

C. Rukun dan Syarat-Syarat Nasakh

Rukun Nasakh:

1. Adat Nasakh, yaitu pernyataan yang menunjukkan adanya pembatalan hukum yang
sudah ada sebelumnya
2. Nasikh, yaitu dalil yang menghapus hukum yang telah ada. Pada hakikatnya, nasikh
berasal dari Allah SWT, karena hanya Allah yang dapat membuat hukum dan
menghapusnya
3. Mansukh, yaitu hukum yang dibatalkan, yang dihapuskan, atau yang dipindahkan

7
Imam Suyuti, Ulumul Quran II “Al-Itqan fi Ulumil Quran”/ (Surakarta: Indiva Pustaka, 2009), hlm.179
4. Mansukh’anh, yaitu seseorang yang dibebani hukum 8

Syarat Nasakh

Syarat-Syarat nasakh ada yang disepakati dan ada juga yang tidak disepakati.

Syarat yang disepakati:

1. Hukum yang nasakh (Mansukh) berupa hukum syara’


2. Hukum dalil yang berfungsi sebagai nasikh harus berasal dari nash syar’i
3. Pembatalan hukum tidak disebabkan oleh berakhirnya waktu dari pemberlakuan
hukum tersebut.
4. Terdapat dua ayat yang saling bertolak belakang dan tidak dapat dikompromikan9

Syarat yang diperselisihkan:

1. Mu’tazilah dan Sebagian Hanafiah: Hukum yang dinasikh itu pernah dilaksanakan,
atau syara’ sudah memberikan kesempatan untuk melaksanakan hukum tersebut.
2. Golongan Mu’tazilah dan Maturidiyah: Hukum yang dinasakh itu harus ditujukan
untuk sesuatu yang baik dan pembatalannya dapat diterima oleh akal.
3. Sebagian ahli ushul fiqih: adanya pengganti terhadap hukum yang dibatalkan. Mereka
beralasan pada firman Allah QS.al-Baqarah ayat 2.
4. Sebagian ahli usul dari golongan Hanafiyah: apabila akan menasakh terhadap Al-
Quran atau hadist yang mutawir, maka nasakh itu harus sederajat, tidak boleh yang
lebih rendah.10

D. Bentuk dan Macam-Macam Nasakh dan Mansukh

Nasakh dalam Al-Quran dibagi menjadi tiga macam, yaitu:

1. Bacaan dan hukumnya dinasakh secara bersamaan, seperti Riwayat dari Aisyah yang
menyatakan “Diantara ayat yang pernah diturunkan ialah: Sepuluh susuan yang
dikenal kemudian dipauskan dengan’lima susuan’, Ketika Rasulullah SAW. Nash

8
Nurlianto Aldi, dkk, /Pengantar Ulumul Quran/, (Bandung: Babon Design), hlm.109
9
Azhari, /Ulumul Quran (Ilmu-Ilmu Al-Qur’an)/, (Yogyakarya: Aswaja Pressindo, 2018), hlm.105
10
Nurlianto Aldi, dkk, /Pengantar Ulumul Quran/, (Bandung: Babon Design), hlm.110
tersebut(sepuluh susuan) termasuk apa yang dibaca dari al-Quran.” (H.R Bukhari dan
Muslim).
2. Hukumnya dinasakh, namun bacaannya tidak dinasakh
3. Dinasakh bacaannya, bukan hukumnya.11

Nasakh dibagi menjagi empat, yaitu:

1. Nasakh Al-Quran dengan Al-Quran


2. Nasakh Al-Quran dengan Sunah. Nasakh ini ada dua bagian:
a. Nasakh Al-Quran dengan hadis ahad
b. Nasakh Al-Quran dengan hadis mutawatir
3. Nasakh Sunah dengan Al-Quran
4. Nasakh Sunah dengan Sunah. Terdapat empat bentuk pada nasakh ini, yaitu:
a. Nasakh mutawatir dengan mutawatir
b. Nasakh ahad dengan ahad
c. Nasakh ahad dengan mutawatir
d. Nasakh mutawatir dengan ahad.12

Macam-Macam Nasakh dan Mansukh

1. Nasakh Badal, yaitu nasakh yang ada penggantinya. Dibagi menjadi tiga, yaitu:
- Nasakh dengan badal akhof (penggantinya yang lebih ringan)
- Nasakh mumatsil (penggantinya yang sempurna)
- Badal atsqal (pengganti yang lebih berat)13
2. Nasakh Ghairu Badal, yaitu nasakh yang tidak ada gantinya. Seperti nasakh tentang
keharusan memberikan sedekah kepada orang miskin ketika akan berbincang dengan
atau kepada Nabi.
3. Nasakh hukum dan bacaan, kebenaran dan hukumnya sudah dihapus, sehingga tidak
dapat ditemukan lagi di dalam Al-Quran.
4. Nasakh hukum tanpa bacaan, artinya teks atau bacaan dari ayat itu masih ada hanya
saja hukumnya sudah diganti.

11
Nurlianto Aldi, dkk, /Pengantar Ulumul Quran/, (Bandung: Babon Design), hlm.111
12
Azhari, /Ulumul Quran (Ilmu-Ilmu Al-Qur’an)/, (Yogyakarya: Aswaja Pressindo, 2018), hlm.109
13
Nurlianto Aldi, dkk, /Pengantar Ulumul Quran/, (Bandung: Babon Design), hlm.114
5. Nasakh bacaan tanpa hukumnya, artinya hukumnya tetap tidak berubah, tetapi hanya
bacaannya saja.
6. Nasakh hukum dan bacaannya sekaligus, seperti haram menikahi saudara sesusu
dengan Batasan sepuluh kali (H.R Bukhori dan Muslim). Hukum dan bacaan tersebut
sudah dihapus
7. Penambahan hukum dari hukum sebelumnya, menurut ulama Hanafiyah, hukum dari
penambahan tersebut sifatnya nasakh.
8. Pengurangan hukum ibadah yang sudah disyariatkan menurut kesepakatan para
ulama.14

Nasakh terdiri dari beberapa macam, diantaranya:

1. Nasakh suatu perintah sebelum dilakukan.


2. Nasakh secara majazi. Nasakh terhadap syariat agama sebelum kita, atau nasakh
terhadap sesuatu yang diperintahkan secara global.
3. Sesuatu yang diperintahkan karena adanya suatu sebab tertentu, kemudian sebab itu
hilang. Seperti perintah Ketika islam masih dalam keadaan lemah dan sedikit, agar
kaum muslimin bersabar dan memaafkan, kemudian dinasakh dengan kewajiban
berperang.15

E. Prinsip-Prinsip Nasakh dan Mansukh

Nasakh hanya bisa terjadi pada hukum yang berbentuk perintah dan larangan (amar dan
nahi), baik yang diungkapkan secara jelas atau berupa khabar yang bermakna amar atau nahi.
Nasakh juga tidak bisa terjadi pada persoalan-persoalan yang berkaitan dengan masalah
aqidah, pokok-pokok ibadah dan mu’amalah, nash yang sudah ditetapkan Batasan waktunya
dan kejadian yang telah terjadi dimasa lalu.

Diantara para ulama ada yang menolak Nasakh dalam al-Quran. Golongan ini dipelopori
oleh Abu Muslim al-Ashfahani, yang diantaranya berargumen sebagai berikut:

14
Nurlianto Aldi, dkk, /Pengantar Ulumul Quran/, (Bandung: Babon Design), hlm.1
15
Imam Suyuti, Ulumul Quran II “Al-Itqan fi Ulumil Quran”/ (Surakarta: Indiva Pustaka, 2009), hlm.177
1. Hukum yang sudah ditetapkan oleh Allah SWT adalah karena adanya maslahat atau
mafsadat. Sesuatu yang mengandung maslahat tidak mungkin beralih menjadi
mafsadat, begitu juga sebaliknya, sesuatu yang mengandung mafsadat tidak mungkin
menjadi maslahat, oleh karena itu mustahil adanya Nasakh.
2. Bila Nasakh disebabkan karena telah berakhirnya masa berlakunya maslahat, maka
masa berlakunya hukum berakhir dengan masa berlakunya maslahat. Dalam hal ini
yang mungkin syar’i yang berfungsi sebagai Nasakh telah mengetahui masa suatu
kemaslahatan dari awalnya. Maka dari itu, hukum itu terkait dengan waktu, hal ini
merupakan Tkhshish bukan Nasakh.

Namun, Jumhur ulama yang menganggap adanya Nasakh menolak argument dari
Golongan Abu Muslim al-Ashfahani tersebut, dengan alasan:

1. Berubahnya maslahat dengan mafsadat atau sebaliknya dalam Nasakh memanglah


mustalih. Akan tetapi, kemustalihan itu akan bersifat dzati, bukan maslahat dan
mafsadat yang dapat berubah berdasarkan perubahan situasi dan kondisi, sebab hal ini
menjadi tidak mustahil.
2. Hukum Mansukh memang berakhir pada masa berlakunya dalam kenyataan dan Allah
sendiri mengetahui berakhirnya masa tersebut, namun bukan berarti hukum itu
mempunyai batasan atau limit waktu. Hukum telah ditetapkan sesuai dengan
kemaslahatannya, jika kemaslahatan itu tetap ada, maka hukum tersebut juga akan
tetap ada. Tetapi ketika Allah SWT mengetahui berakhirnya kemaslahatan itu, maka
Allah SWT akan mencabut hukumnya dan menggantinya dengan hukum yang lebih
baik dari sebelunya.

Berikutnya, ada golongan ulama yang membolehkan adanya Nasakh menyempaikan


beberapa persyaratan yang sudah mereka sepakati Bersama, diantaranya:

1. Mansukh yaitu hukum yang bersifat amaliah, bukan yang berkaitan dengan akidah.
2. Dalil yang menyatakan berakhirnya hukum yang lama, datang secara terpisah dari
dalil yang sudah dinasakhkan. Kekuatan dari dalil itu juga sama dan tidak mungkin
untuk dikompromikan.
3. Dalil yang baru untuk hukum yang dinasakhkan tidak menunjukkan berlakunya
hukum untuk selamanya, karena pemberlakuan secara tetap akan menutup
kemungkinan untuk pembatalan berlakunya hukum tersebut dalam suatu waktu.16

F. Dasar-Dasar Penetapan Nasakh dan Mansukh

Manna Al-Qaththan menetapkan tiga dasar untuk menegaskan bahwa ayat yang dapat
dikatakan menasikhkan ayat lain yang Mansukh (dihapus), yaitu:

1. Melalui pentransmisian yang jelas (An-naql As-sharih) dari Nabi atau dari para
sahabatnya, seperti pada hadist berikut:

‫نَهَ ْيتُ ُك ْم ع َْن ِزيَا َر ِة ْالقُبُوْ ِر فَ ُزوْ رُوْ هَا‬

Artinya:
“Semula aku melarangmu untuk berziarah ke kubur, tetapi (sekarang) berziarahlah.”

2. Melalui pemberitahuan seorang sahabat, seperti pada hadits Jabir bin Abdullah r.a.
yang berkata:

ْ ‫ك ْال ُوضُو ِء ِم َّما َغيَّ َر‬


‫ت النَّا ُر‬ ُ ْ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم تَر‬ ِ ‫َكانَ آ ِخ َر اَأْل ْم َري ِْن ِم ْن َرس‬
َ ِ ‫ُول هَّللا‬

Artinya:
“Dua perintah Rasulullah SAW adalah tidak perlu berwudhu karena memakan
makanan yang tersentuh api.” (H.R Abu Dawud dan Al Nasa’i).

3. Melalui studi sejarah, ayat yang duluan turun disebut Mansukh dan ayat yang
belakangan turun disebut nasikh. Seperti pada hadits Syidad bin ‘Aus dan lainnya
yang mengatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda:

16
Nanang Gojali, /Ulumul Quran: Dengan Pendekatan Analitik/, (Scopindo Media Pustaka), hlm.168
‫اج ُم َو ْال َمحْ جُو ُم‬
ِ ‫َأ ْفطَ َر ْال َح‬

Artinya:
“Orang yang melakukan bekam dan orang yang dibekam batal peasanya.”

َ ‫ َواحْ تَ َج َم َوهُ َو‬،‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم اِحْ ت ََج َم َوهُ َو ُمحْ ِر ٌم‬
‫صاِئ ٌم‬ َّ ِ‫َأ َّن النَّب‬
َ ‫ي‬

Artinya:
“Sesungguhnya Rasulullah SAW berbekam, padahal beliau melakukan ihram dan
sedang berpuasa.”17

Dengan demikian, sudah jelas bahwa hadits Syidad (hadits yang pertama) itu terjadi
pada saat masa penaklukan kota Makkah, yaitu pada tahun 8 Hijriyah dan hadits Ibnu Abbas
(hadits yang kedua) terjadi pada waktu Haji Wada’, yaitu pada tahun 10 Hijriyah. Jadi hadits
yang kedua adalah nasakh dari hadits yang pertama.

Al-Qaththan juga menambahkan bahwa nasakh tidak bisa ditetapkan melalui ijtihad,
pendapat ahli tafsir, karena adanya kontra antara beberapa dalil bila dilihat dari lahirnya atau
dari belakangnya keislaman seseorang dari pembawa Riwayat.

Hal serpa juga dikemukakan oleh Ibnu Al- Hisar:

Persoalan naskh hanya dikembalikan (didasarkan) pada penukilan yang jelas dari
Rasulullah SAW, atau dari seorang sahabat yang mangatakan sebuah ayat ini di-nasikh oleh
yang ini. Bisa jadi, ditetapkan dengan cara ini, manakala terjadi kontradiksi yang pasti,
dengan bantuan pengetahuan sejarah untuk diketahui mana yang lebih dulu turun dan yang
kemudian. Dalam masalah naskh, tidak diperkenankan memegangi pendapat kebanyakan
para mufassir, bahkan tidak diperkenankan memegangi ijtihad para mujtahid tanpa penukilan
yang sahih, dan sanggahan yang jelas, sebab naskh mengandung arti menghapuskan dan
menetapkan hukum yang sudah ditetapkan pada masa Nabi SAW.

17
Nurlianto Aldi, dkk, /Pengantar Ulumul Quran/, (Bandung: Babon Design), hlm.116
Yang dipegangi dalam masalah ini adalah penukilan dan sejarah, bukan pendapat dan
ijtihad. Para ulama, dalam masalah ini berada pada dua kutub kontradiksi; ada yang
mengatakan dalam masalah naskh hadist ahad yang adil, para perawinya tidak diterima, dan
ada yang bersikap terlalu toleran, dalam hal ini cukup memegangi pendapat seorang mufassir
atau mujtahid Yang benar adalah pendapat yang bertentangan dengan keduanya18

G. Ruang Lingkup Nasakh

Imam suyutti mengatakan; 'Bahwa naskh hanya terjadi pada perintah (amr), dan larangan
(nahyi), baik yang diungkap dengan reaksi sharikh (tegas) atau yang tidak tegas, atau yang
diungkap dengan kalimat berita (khabar), yang bermakna amr (perintah), atau yang bermakna
nahy (larangan). Dan persoalan tersebut diatas, tidak berhubungan dengan persoalan, akidah,
baik menganai dzat Allah dan sifat-sifatnya, kitab-kitabnya, rasulnya, hari kiamat, janji, dan
ancaman, dan tidak bertentangan etika akhlaq, serta ibadah dan mua'malah, karena syari'at:

‫ص ْينَا بِ ٖ ٓه اِب ْٰر ِه ْي َم َو ُموْ ٰسى‬ ْٓ ‫صى بِ ٖه نُوْ حًا َّوالَّ ِذ‬
َ ‫ي اَوْ َح ْينَٓا اِلَ ْي‬
َّ ‫ك َو َما َو‬ ّ ٰ ‫َش َر َع لَ ُك ْم ِّمنَ ال ِّدي ِْن َما َو‬
‫َو ِعي ٰ ْٓسى اَ ْن اَقِ ْي ُموا ال ِّد ْينَ َواَل تَتَفَ َّرقُوْ ا فِ ْي ۗ ِه‬

Artinya:

"Dia telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada
Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan
kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah
tentangnya.” (QS.Asy-Syuara[26]: 13)19

H. Hikmah Nasakh dan Mansukh

Hikmahnya adalah menjadi suatu pengetahuan bagi kita untuk mengetahui mana ayat
yang dihapus dan ayat yang menghapus. Pengetahuan mengenai nasakh wal Mansukh ini

18
Nurlianto Aldi, dkk, /Pengantar Ulumul Quran/, (Bandung: Babon Design), hlm.117
19
Nurlianto Aldi, dkk, /Pengantar Ulumul Quran/, (Bandung: Babon Design), hlm.118
sangatlah penting, karena hal tersebut berkaitan dengan penerapan secara pasti dan tepat dari
hukum-hukum Allah SWT.

Menurut Manna’ Al-Qathtan, terdapat empat hikmah ketentuan nasikh:

1. Memperkuat keyakinan bahwa Allah tidak akan terikat dengan ketentuan-ketentuan


yang sesuai dengan logika manusia
2. Kita akan semakin yankin bahwa Allah Maha Bijaksana, Maha Pengasih, Maha
Penyayang.
3. Mengetahui proses penerapan hukum islam dan untuk mencari tahu ajaran, serta alas
an ditetapkannya hukum tersebut.
4. Mengembangkan persyariatan hukum sampai pada tingkat kesempurnaannya
5. Menguji kualitas keimanan mukallaf dengan cara adanya suruhan yang kemudian
dihapus
6. Merupakan kebaikan dan juga kemudahan bagi umatnya.20

I. Makna Takhshish

Nasikh adalah Langkah atau tahapan untuk menghilangkan hukum tertentu dengan
hukum lainnya, sedangkan takhshish adalah cara untuk membatasi sesuatu hanya Sebagian
dari bagian-bagian yang sudah ada. Menuurut Az-Zarqani, Nasikh berupaya untuk men-
Takhshish kan hukum dengan sesuatu pada masa tertentu, sedangkan Takhshish adalah
mengangkat hukum dari bagian bagian yang sudah ada.

Sebagian dari ulama ada yang menolak dan mengingkari Nasikh dalam syariat. Mereka
meyakinkan bahwa setiap ayat yang disebut sebagai Nasikh, sesungguhnya itu adalah
Takhshish. Sebagian dari para ulama juga menggolongkan bentuk Takhshish ke dalam bab
Nasikh.

Sesuai dengan pernyataan diatas, Abu Muslim al-Ashfahani, yang merupakan seorang
ulama tafsir kenamaan bermadzhab ,Mu’tazilah, lebih sering menyebut Nasikh dengan kata
Takhshish (Pengkhususan). Menurutnya , Nasikh sama sekali tidak membatalkan
(Menghapus) ayat-ayat al-Quran secara garis besar maupun secara cinci karena Tindakan itu
berlawanan dengan firman Allah berikut:

20
Azhari, /Ulumul Quran (Ilmu-Ilmu Al-Qur’an)/, (Yogyakarya: Aswaja Pressindo, 2018), hlm.116
ْ ‫اط ُل ِم ۢ ْن بَي ِْن يَ َد ْي ِه َواَل ِم ْن‬
‫خَلفِ ٖه ۗتَ ْن ِز ْي ٌل ِّم ْن َح ِكي ٍْم َح ِم ْي ٍد‬ ِ َ‫اَّل يَْأتِ ْي ِه ْالب‬

Artinya: “Yang tidak dating kepadanya (Al-Quran) kebatilan, baik dari depan maupun
belakangnya, yang diturunkan dari Tuhan Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji.”
(QS.Fushilat[41]: 42)

Ayat tersebut menjadi dalil bagi Abu Muslim al-Ashfahani untuk mempertahankan
pendapatnya. Karena itu, ia lebih tertarik untuk menggunakan istilah Takhshish daripada
Nasikh.21

J. Perbedaan antara Nasakh dan Takhshsish

Beberapa perbedaan dari Nasakh dan juga Takhshsish diantaranya sebagai berikut:

1. Sesuatu yang ‘am setelah di takhshish kan akan berubah menjadi majaz karena satu
waktu ditunjukkan oleh sebagiannya
2. Hukum yang dikeluarkan melalui Takhshish tidak seperti yang dimaksud oleh ayat
‘am pada mulanya
3. Takhshish tidak didatangkan untuk membawa perintah untuk seseorang. Begitu pula
sebaliknya.
4. Bisa dengan kata-kata Al-Quran dan Hadis dengan dalil-dalil syara’ yang lain seperti
Ijma’ Qiyas juga dalil akal, sedangkan Nasikh hanya dengan kata-kata saja
5. Nasikh membatalkan ketetapan, sedangkan Takhshish tidak dapat membatalkannya.
6. Nasikh hanya berlaku untuk al-Quran dan Sunnah, sedangkan Takhshish masih
mungkin untuk selain itu seperti dalil inderawi dan akal
7. Nasikh bisa sesuai dengan dalil yang terlepas dari Mansukh, sedangkan Takhshish
harus dengan sebelunya, berikutnya, dan bersambung.
8. Nasikh tidak terdapat dalam khabar, sedangkan Takhshish terdapat dalam khabar
lainnya22

21
Ahmad Izzan, /Ulumul Quran: Telaah Tekstualitas dan Kontekstualitas Al-Quran/, (Bandung: Tafakur, 2011),
hlm.187
22
Azhari, /Ulumul Quran (Ilmu-Ilmu Al-Qur’an)/, (Yogyakarya: Aswaja Pressindo, 2018), hlm.116
K. Fungsi Memahami Nasakh dan Mansukh

Fungsi dari memahami Nasakh dan Mansukh diantaranya:

a. Memelihara kepentingan hamba-nya,


b. Cobaan dan ujian bagi orang mukallaf untuk mengikutinya atau tidak,
c. Menghendaki kemudahan dan kebaikan bagi setiap umat-nya,
d. Salah satu pra-kondisi yang paling penting untuk memahami dan menerapkan hukum
Islam,
e. Menyinari perkembangan kode hukum Islam serta membantu memahami makna
makna dari ayat-ayat yang bersangkutan.23

L. Penutup

Secara Bahasa Nasakh yang berarti menghapus, sedangkan Mansukh berarti yang
dihapus. Secara istilah, nasakh adalah menghapus sesuatu ketentuan dari hukum syara dengan
dalil syara yang akan muncul kemudian. Sedangkan Mansukh merupakan suatu ketentuan
hukum syara yang dihapuskan oleh suatu hukum yang datang kemudian tersebut.

23
Azhari, /Ulumul Quran (Ilmu-Ilmu Al-Qur’an)/, (Yogyakarya: Aswaja Pressindo, 2018), hlm.117

Anda mungkin juga menyukai