Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Dalam islam terdapat berbagai macam hukum, diantaranya adalah hukum


taklifi. Hukum taklifi menurut pengertian kebahasaan adalah hukum
pemberian beban sedangkan menurut istilah adalah perintah Allah yang
berbentuk pilihan dan tuntutan. Dinamakan hukum taklifi Karena perintah ini
langsung mengenai perbuatan seorang mukallaf (baligh dan berakal sehat).
Disebutkan tuntutan Karena hukum taklifi menuntut seorang mukallaf untuk
melakukan dan meninggalkan suatu perbuatan secara pasti.

Pembahasan tentang hukum taklifi adalah salah satu dari beberapa kajian
Ushul Fiqh. Bahkan salah satu tujuan utama dari studi Ushul Fiqh adalah
bagaimana menyimpulkan hukum taklifi dalam pembahasan ini, maka pada
pembahasan ini akan dipaparkan penjelasan tentang hal-hal tersebut.

1.2. Rumusan Masalah


1. Apakah pengertian Hukum Taklifi ?
2. Apa sajakah pembagian dalam Hukum Taklifi ?

1.3. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian dari Hukum Taklifi.
2. Untuk mengetahui pembagian-pembagian dalam Hukum Taklifi.

HUKUM TAKLIFI | 1
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. PENGERTIAN HUKUM TAKLIFI


Secara garis besar para ulama ushul fiqh membagi hukum syara‟ pada
dua macam, yaitu Hukum Taklifi dan Hukum Wadh‟i. Hukum Taklifi yaitu
ketentuan–ketentuan Allah dan Rasullullah yang berhubungan langsung
dengan perbuatan mukallaf baik dalam bentuk perintah (anjuran dalam
melakukan), larangan (anjuran untuk tidak melakukan) atau dalam bentuk
memilih antara berbuat atau tidak berbuat.1
Hukum Taklifi adalah hukum yang menuntut kepada mukallaf untuk
berbuat, menuntut untuk tidak berbuat atau menghendaki agar mukallaf
memilih berbuat atau tidak.2
Contoh hukum yang menuntut kepada mukallaf untuk berbuat adalah
firman Allah SWT :

ِ ٍْ َ‫اس ِح ُّج ْاىب‬


)۷۹:ُ‫ (آه عَشا‬... ‫ج‬ ِ ‫عيَى اىْه‬
َ ِ‫ َو ِ هّلِل‬...

"...Mengerjakan haji ke Baitullah adalah kewajiban manusia terhadap


Allah..." (QS. Ali 'Imran 3: Ayat 97)

‫ص ٰيىة َ َو ٰاحُىا ه‬
)ٔٔٓ : ‫اىز ٰکىة َ (اىبقشة‬ ‫َوا َ ِق ٍْ َُىا اى ه‬
" Dan laksanakanlah sholat dan tunaikanlah zakat " (QS. Al-Baqarah 2: Ayat
110)

ِْ ٍِ ٌَِْ‫ب َعيَى اىه ِز‬


َ ِ‫ص ٍَا ًُ َک ََا ُمخ‬ َ ‫ٰ ٌٰٓـاٌَُّ َها اىه ِزٌَِْ ٰا ٍَُْ ْىا ُم ِخ‬
ُ ٍْ َ‫ب َعي‬
ّ ِ ‫ک ٌُ اى‬
)ٔ۸ٖ : ‫ک ٌْ ىَ َعيه ُن ٌْ حَخهقُ ْىَُ (اىبقشة‬ ُ ‫قَ ْب ِي‬

1
. Dr. Mardani, Ushul Fiqh, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2013), (hlm. 31.)
2
. Rachmat Syafei, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung: CV Pustaka Setia, 1999), (hlm. 138.)

HUKUM TAKLIFI | 2
"Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa
sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa,"
(QS. Al-Baqarah 2: Ayat 183)

Adapun contoh hukum yang menuntut kepada mukallaf untuk tidak


berbuat adalah firman Allah SWT:

َ
)ٔٔ : ‫ (اىحخشاث‬...ً‫َل ٌَ ْضخ َْش قَ ْى ًٌ ِ ٍّ ِْ قَ ْى‬...
"... Janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain..." (QS. Al-Hujurat
49: Ayat 11)

َ ‫صا ٰٓ َء‬
)۲:ٖٕ‫ص ِبٍْل (اإلصشا‬ ِ َ‫اىز ٰ ّٰٓى اِّههٗ َماَُ ف‬
َ ‫احشَت ۗ َو‬ ّ ِ ‫َو ََل ح َ ْق َشبُىا‬
"Dan janganlah kamu mendekati zina; (zina) itu sungguh suatu perbuatan
keji, dan suatu jalan yang buruk." (QS. Al-Isra' 17: Ayat 32)

Sedangkan contoh hukum yang menghendaki agar mukallaf memilih


antara berbuat dan meninggalkan adalah firman allah SWT :

ْ ‫َواِرَا َحيَ ْيخ ُ ٌْ فَا‬


َ ‫ص‬
)ٕ: ‫طاد ُْوا (اىَائذة‬
"Dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, maja kamu boleh
berburu." (QS. Al-Ma'idah 5: Ayat 2)

ِ‫ص ٰيىة‬ ُ ‫ْش َعيَ ٍْ ُن ٌْ ُجَْا ٌح ا َ ُْ ح َ ْق‬


‫ص ُش ْوا ٍَِِ اى ه‬ ِ ‫ض َش ْبخ ُ ٌْ فِى ْاَلَ ْس‬
َ ٍَ‫ض فَي‬ َ ‫َواِرَا‬
)۲:ٔٓٔ‫(اىْضا‬
"Dan apabila kamu bepergian di Bumi, maka tidaklah berdosa kamu mengqasar
sholat" (QS. An-Nisa' 4: Ayat 101)

Hukum-hukum seperti contoh tersebut disebut Hukum Taklifi karena


mengandung paksaan kepada mukallaf untuk berbuat, tidak berbuat dan
memilih antara berbuat atau tidak. Alasan pemeberian nama itu sudah jelas
dalam hal tuntutan kepada mukallaf untuk berbuat atau tidak berbuat.
Sedangkan untuk pemberian nama itu tidak jelas, karena dalam hal ini tidak

HUKUM TAKLIFI | 3
paksaan. Oleh karena itu ulama ushul mengatakan, “pemberian nama Hukum
Taklifi adalah secara „ Taghlib‟, yakni mengalahkan salah satu diantara dua
atau beberapa hal.”3

2.2. PEMBAGIAN HUKUM TAKLIFI


Hukum Taklifi ada lima macam yaitu, Ijab (wajib), Nadb (sunnah),
Tahrim (haram), Karahah (Makruh), dan Takhyir (boleh memilih).
Pengaruhnya dalam perbuatan ialah wujub (kewajiban), nadb (sunnah),
hurmah (keharaman), karahah (makruh), Ibahah (mubah).4

2.2.1. Ijab/ Wujub/Wajib


Secara etimologis wajib berarti harus dan mesti. Adapun wajib
secara terminologis menurut Abdul Wahab Khallaf, yaitu: 5
“Sesuatu yang dituntut oleh Syari (Allah dan Rasul-Nya) untuk
dikerjakan oleh seorang mukallaf dengan tuntutan yang harus/mesti”.

Sedangkan menurut Prof.Dr. Amir Syarifuddin, wajib yaitu: tuntutan


untuk memperbuat secara pasti, dengan arti harus diperbuat sehingga
orang yang memperbuat patut mendapat ganjaran dan tidak dapat sama
sekali ditinggalkan, sehingga orang yang meninggalkan patut mendapat
ancaman Allah. Hukum taklifi dalam bentuk ini disebut ijab.
Pengaruhnya terhadap perbuatan disebut wujub, sedangkan perbuatan
yang dituntut disebut wajib.6

Contohnya seperti firman Allah surah Al-Ankabut (29) : 45:

َ ‫ص ٰيىة‬‫ص ٰيىة َ ۗ ا هُِ اى ه‬ ‫ب َواَقِ ٌِ اى ه‬ ِ ‫ً اِىٍَ َْل ٍَِِ ْاى ِن ٰخ‬ ۤ


َ ‫اُحْ ُو ٍَا ا ُ ْو ِح‬
‫اّلِلُ ٌَ ْعيَ ٌُ ٍَا‬ ‫شا ٰٓ ِء َو ْاى َُ ْْ َن ِش ۗ َوىَ ِز ْم ُش ه‬
‫اّلِلِ ا َ ْمبَ ُش ۗ َو ه‬ َ ‫ح َ ْْهٰ ى َع ِِ ْاىفَ ْح‬
ْ َ‫ح‬
)۵۴ : ‫صَْعُ ْىَُ (اىعْکبىث‬

3
. Rachmat Syafei, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung: CV Pustaka Setia, 1999), (hlm. 140)
4
. Syekh Muhammad Al-Khudhori Biek, Terjemah Ushul ‘Fiqh, (Pekalongan: Raja Murah), (hlm.
44)
5
. Dr. Mardani, Ushul Fiqh, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2013), (hlm. 35)
6
. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh , (Jakarta: Kencan, Jilid I, 2008), (hlm. 310)

HUKUM TAKLIFI | 4
"Bacalah Kitab (Al-Qur'an) yang telah diwahyukan kepadamu
(Muhammad) dan laksanakanlah salat. Sesungguhnya salat itu
mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar. Dan (ketahuilah)
mengingat Allah (salat) itu lebih besar (keutamaannya dari ibadah yang
lain). Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan." (QS. Al-'Ankabut 29:
Ayat 45)

Pembagian Wajib

 Wajib ditinjau dari segi orang yang dibebani kewajiban hukum, maka
dibagi menjadi:
a. Wajib „Aini (Fardhu „Ain)
Yaitu kewajiban yang disebabkan kepada setiap orang yang
sudah baligh berakal (mukallaf) tanpa kecuali. Kewajiban seperti ini
tidak bisa gugur, kecuali dilakukannya sendiri. Misalnya, kewajiban
melaksanakan shalat lima waktu, melaksanakan puasa di bulan
ramadhan, dan melaksanakan haji bagi yang mampu.
Berkaitan dengan kewajiban ini, muncullah suatu pertanyaan,
jika waktu tidak mampu melakukan sendiri atau telah meninggal
dunia, apakah bisa gugur kewajiban itu?
Ulama Ushul Fiqh membagi hal tersebut dalam tiga kategori:

1. Kewajiban yang berhubungan dengan harta, seperti kewajiban


membayar zakat, atau kewajiban mengembalikan titipan orang lain
kepada pemiliknya. Kewajiban ini cara melaksanakannya biasa
digantikan oleh orang lain.
2. Kewajiban dalam bentuk ibadah mahdhah, seperti shalat dan
puasa. Kewajiban ini tidak bisa digantikan oleh orang lain.
3. Kewajiban yang mempunyai dua dimensi yaitu dimensi ibadah
fisik dan dimensi harta. Misalnya, kewajiban melaksanakan haji.
Dalam hal ini ulama berbeda pendapat, menurut Malikiyah dan
Hanafiyah, ibadah haji tidak boleh digantikan, sedangkan menurut
Jumhur ulama boleh digantikan.7

7
. H.Satria Efendi, M Zein, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2009), (hlm.44-45)

HUKUM TAKLIFI | 5
b. Wajib Kifa‟i (Fardhu Kifayah)
Yaitu kewajiban yang dibebankan kepada seluruh mukallaf,
namun bila mana telah dilaksanakan oleh sebagian umat Islam, maka
kewajiban itu sudah terpenuhi sehingga orang yang ikut
melaksanakannya tidak lagi diwajibkan untuk melaksanakannya.
Misalkan pelaksanakan salat jenazah.

 Ditinjau dari segi kandungan perintah, hukum wajib dibagi atas:


a. Wajib Muayyan, yaitu suatu kewajiban dimana yang menjadi objeknya
adalah tertentu tanpa ada pilihan lain. Misalnya seperti kewajiban
puasa ramadhan, kewajiban salat lima waktu.
b. Wajib Mukhayyar, yaitu suatu kewajiban yang objeknya boleh dipilih
antara beberapa alternatif, misalnya kewajiban membayar kafarat.

 Dilihat dari segi waktu pelaksanaannya, wajib dibagi menjadi:


a. Wajib Mutlaq, yaitu kewajiban yang tidak ditentukan waktu
pelaksanaanya, dengan arti tidak salah bila waktu pelaksanaannya
ditangguhkan sampai waktu yang ia sanggup melaksanakannya.
Misalnya , mengqadha puasa ramadhan yang tertinggal Karena uzur.
Ia wajib melaksanakannya, dan dapat dilakukan kapan saja ia
menyanggupinya.
b. Wajib Muaqqad, yaitu kewajiban yang pelaksanaannya dibatasi oleh
waktu tertentu dan sah dilakukan di luar waktu yang telah ditentukan
itu. Contohnya puasa ramadhan, dilaksanakannya bulan ramadhan dan
ibadah haji dilaksankannya pada bulan tertentu saja.

 Dilihat dari segi jumlah atau kadar yang telah ditentukan, maka wajib
dibagi menjadi:
a. Wajib Muhaddad, yaitu kewajiban yang telah ditentukan kadarnya,
misalkan kadar fitrah, kadar (nishab) zakat mal.

HUKUM TAKLIFI | 6
b. Wajib Ghairu Muhaddad, yaitu kewajiban yang pelaksanaannya yang
tidak di tentukan ukurannya, misalnya nafkah untuk keluarga tidak
ditentukan kadarnya, tergantung kemampuan suami.

2.2.2. Nadb/Mandub/Sunah
Secara etimolgis mandub berarti yang disuruh, atau sesuatu yang
diizinkan dengannya.8 Sedangkan secara terminologis menurut Abdul
Wahab Khallaf Mandu yaitu:9
“Mandub yaitu Tuntutan kepada seorang mukallaf untuk mengerjakan
sesuatu secara tidak pasti”.

Dengan arti perbuatan dituntut untuk dikerjakan. Terhadap yang


melaksanakan berhak mendapat ganjaran akan kepatuhannya, tetapi bila
tuntutan itu ditinggalkan tidak apa-apa. Oleh karenanya yang
meninggalkan tidak patut mendapat dosa. Tuntutan seperti ini disebut
perbuatan yang dituntut disebut mandub.

Contohnya seperti firman Allah surah Al-Baqarah 2: Ayat 282:

ٰٓ ٰۤ
َ ‫ٰيـاَيُّ َها الَّ ِذيْنَ ٰا َمنُ ٰۤ ْوا اِذَا تَدَا َي ْنت ُ ْم بِدَي ٍْن ا ِٰلى ا َ َج ٍل ُّم‬
ُ‫س ًّمى فَا ْكتُبُ ْوه‬
)ٕ۸ٕ: ‫(اىبقشة‬
"Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu melakukan utang-
piutang untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya... "
(QS. Al-Baqarah 2: Ayat 282)

8
. Muhammad bin Shalih bin Muhammad Al-Utsaimin, Al-Ushul Fi Ilmi Al-Ushul (Libanon: Dar Al-
Fikr, Tth), (hlm. 11)
9
. Dr. Mardani, Ushul Fiqh, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2013), (hlm. 40)

HUKUM TAKLIFI | 7
Pembagian Sunah
 Dilihat dari selalu atau tidak selalunya, Nabi melakukan perbuatan
sunah, maka sunah dibagi kepada:
a. Sunnah Muakkad, yaitu sunah-sunah yang selalu dikerjakan oleh Nabi
Saw, disamping ada keterangan bahwa perbuatan itu, bukan perbuatan
fardu, contohnya salat witir.
b. Sunnah Ghairu Muakkad, yaitu yang dilakukan oleh Nabi Saw, tetapi
tidak terus-menerus dilakukan, contohnya memberi sedekah kepada
orang miskin, salat sunah empat rakaat sebelum zuhur dan sebelum
asar. Untuk perbuatan seperti ini digunakan kata nafal mustahab,
ihsan, tathawu.

 Dilihat dari segi kemungkinan meninggalkan perbuatan, mandub atau


sunah terbagi kepada:
a. Sunah Huda, yaitu sesuatu yang pelaksanaannya dimaksudkan sebagai
penyempurna untuk kewajiban agama, contohnya seperti azan dan
salat berjamaah. Orang yang sengaja meninggalkannya dianggap sesat
dan tercela, bahkan bila satu kelompok kaum sengaja
meninggalkannya secara terus-menerus, maka kelompok ini harus
diperangi.
b. Sunah Zaidah, yaitu sesuatu yang biasa dikerjakan Nabi dalam
kehidupan sehari-harinya. Seperti etika makan, minum, tidur,
berpakaian. Bila seseorang mengerjakan hal itu, maka itu baik baginya,
sedangkan bila ia meninggalkannya tidak diberi sanksi apa-apa.
c. Nafal, yaitu suatu perbuatan yang dituntut sebagai tambahan bagi
perbuatan wajib, seperti salat sunah 5 rakaat yang mengiringi salat
wajib, shalat tahajud, dan salat witir.

HUKUM TAKLIFI | 8
2.2.3. Tahrim/ Mahrum / Haram
Secara etimologis haram berarti sesuatu yang dilarang. Secara
terminologis haram berarti :10
“Tuntutan Syari (Allah dan Rasul-nya) kepada seorang mukallaf untuk
meninggalkannya secara pasti, (dengan arti yang dituntut harus
meninggalkannya).”

Bila seseorang meninggalkannya berarti ia telah patuh kepada yang


melarang. Karenanya ia patut mendapat ganjaran dalam bentuk pahala.
Orang yang tidak meninggalkan larangan berarti ia menyalahi tuntutan
Allah. Karenanya patut mendapat ancaman dosa. Tuntutan dalam bentuk
ini disebut tahrim. Pengaruh tuntutan perbuatan disebut hurmah,
sedangkan perbuatan yang diharamkan secara pasti disebut muharram
atau haram.
Menurut mazhab hanafi, hukum haram harus didasarkan kepada dalil
qath‟I yang tidak mengandung keraguan sedikit pun, sehingga kita tidak
mempermudah dalam menetapkan hukum haram, mereka berdalil kepada
firman Allah Swt, surah An-Nahl (16):116;

‫ِب ٰهذَا َح ٰل ٌل َّو ٰهذَا َح َرا ٌم‬


َ ‫ف ا َ ْل ِسنَـت ُ ُك ُم ْال َكذ‬
ُ ‫ص‬ِ َ ‫َو ََل تَقُ ْولُ ْوا ِل َما ت‬
َ ‫اّٰلل ْال َكذ‬
‫ِب ََل‬ ِ ‫ِب ۗ ا َِّن يَ ْفت َ ُر ْونَ َعلَى ه‬َ ‫اّٰلل ْال َكذ‬
ِ ‫ِلّـت َ ْفت َ ُر ْوا َعلَى ه‬
َ‫الَّ ِذيْنَ يُ ْف ِل ُح ْون‬
“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh
lidahmu secara dusta “ini halal dan ini haram”, untuk mengada-adakan
kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-
adakan kebohongan terhadap Allah tidaklah beruntung.”

10
Dr. Mardani, Ushul Fiqh, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2013), (hlm. 40)

HUKUM TAKLIFI | 9
Contohnya seperti firman Allah surah An-Nisa' 4: Ayat 29 :

ِ ‫ٰٰۤيـاَيُّ َها الَّ ِذيْنَ ٰا َمنُ ْوا ََل تَأ ْ ُكلُ ٰۤ ْوا ا َ ْم َوالَـ ُك ْم َب ْينَ ُك ْم ِب ْال َب‬
َ‫اط ِل ا َّ َِٰۤل ا َ ْن ت َ ُك ْون‬
‫اّٰلل َكانَ بِ ُك ْم‬ َ ُ‫اض ِ ّم ْن ُك ْم ۗ َو ََل ت َ ْقتُلُ ٰۤ ْوا ا َ ْنـف‬
َ ‫س ُك ْم ۗ ا َِّن ه‬ ٍ ‫ارة ً َع ْن ت َ َر‬
َ ‫تِ َج‬
‫َر ِح ْي ًما‬
"Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu saling memakan
harta sesamamu dengan jalan yang batil (tidak benar), kecuali dalam
perdagangan yang berlaku atas dasar suka sama suka di antara kamu.
Dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sungguh, Allah Maha
Penyayang kepadamu." (QS. An-Nisa' 4: Ayat 29)

Oleh karena itu, hukum-hukum haram yang didasarkan pada dalil zhanni
mereka sebut makruh tanjih.

Pembagian Haram
Haram terbagi menjadi 2 bagian, yaitu:
1. Haram li-dzatihi, yaitu perbuatan yang diharamkan oleh Allah, karena
bahaya tersebut terdapat pada perbuatan ini sendiri, seperti haramnya
makan bangkai, minum khmar, berzina, dan mencuri. Bahaya tersebut
berhubungan langsung dengan lima hal yang harus dijaga (adh-
daruriyat al-khamas), yaitu badan, keturunan, harta benda, akal dan
agama.
2. Haram li-ghairihi yaitu perbuatan yang dilarang oleh syara‟, di mana
adanya larangan tersebut bukan terletak pada perbuatan itu sendiri,
tetapi perbuatan itu dapat menimbulkan haram lidzatihi, contohnya
jual beli barang-barang secara riba diharamkan, karena dapat
menimbulkan riba, yang diharamkan dzatiah-nya. Contoh lain
poligami dengan perempuan yang masih ada hubungan mahram
dengan istri adalah haram, karena dapat menyebabkan putusnya
hubungan persaudaraan yang dilarang oleh Allah swt, sedangkan
memutus tali persaudaraan haram dzatiah-nya.

HUKUM TAKLIFI | 10
2.2.4. Karahah /Makruh
Secara etimologis makruh berarti yang dimurkai atau dibenci.
Sedangkan secara terminologis makruh menurut Abdul Wahab Khallaf
yaitu:

“Tuntutan Syari (Allah dan Rasulnya) kepada seorang mukallaf


untuk meninggalkan atau larangan secara tidak pasti.”

Dengan arti masih mungkin ia tidak meninggalkan larangan itu.


Orang yang meninggalkan larangan berarti ia telah patuh kepada yang
melarang. Karenanya ia patut mendapat ganjaran pahala. Tetapi Karena
tidak pastinya larangan ini, maka yang tidak meninggalkan larangan tidak
mungkin disebut menyalahi yang melarang. Karenanya ia tidak berhak
mendapat ancaman dosa. Larangan dalam bentuk ini disebut karahah.
Pengaruh larangan tidak pasti terhadap perbuatan disebut karahah juga,
sedangkan perbuatan yang dilarang secara tidak pasti disebut makruh.

Contohnya seperti firman Allah surah Al-Jumu'ah 62: Ayat 9:

‫ص ٰلوةِ ِم ْن ي َّْو ِم ْال ُج ُم َع ِة فَا ْس َع ْوا‬ ٰۤ


َ ‫ٰياَيُّ َها الَّ ِذيْنَ ٰا َمنُ ٰۤ ْوا اِذَا نُ ْود‬
َّ ‫ِي ِلل‬
َ‫اّٰلل َوذَ ُروا ْالبَيْع ۗ ٰذ ِل ُك ْم َخي ٌْر لَّـ ُك ْم ا ِْن ُك ْنت ُ ْم ت َ ْعلَ ُم ْون‬ ِ ‫ا ِٰلى ِذ ْك ِر ه‬
"Wahai orang-orang yang beriman! Apabila telah diseru untuk
melaksanakan salat pada hari Jumat, maka segeralah kamu mengingat
Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu
jika kamu mengetahui." (QS. Al-Jumu'ah 62: Ayat 9)

Pembagian Makruh

Makruh terbagi 2 yaitu:

1. Makruh Tahrim, yaitu sesuatu yang dilarang oleh syariat tetapi dalil
yang melarangnya itu dzanni al-wurud, tidak bersifat pasti. Contohnya
hadis larangan meminang wanita yang sudah dipinang oleh orang lain.

HUKUM TAKLIFI | 11
Hadis tersebut berbunyi:

‫اّلِلُ صيى‬ ‫ص ْى ُه ه‬ ُ ‫ قَا َه َس‬: ‫ضً هللااُ َع ْْ ُه ََا قَا َه‬


ِ ‫ع ََ َش َس‬
ُ ِِْ ‫َو َع ِِ اب‬
‫ َحخّى ٌَخْ ُش َك‬,‫ج أ َ ِخ ٍْ ِه‬ ْ ‫ض ُن ٌْ َعيَى ِخ‬
ِ َ‫طب‬ ُ ‫اّلِلُ غيٍه وصيٌ ََل ٌَخخُبْ بَ ْع‬ ‫ه‬
ُ ‫ أ َ ْو ٌَأْرََُ ىَهُ ا َ ْىخَا ِط‬,ُ‫ب قَ ْبو‬
ُ ‫ َواىيه ْف‬, ‫ ٍُخهفَ ٌق َعيَ ٍْ ِه‬.‫ب‬
‫ظ‬ ُ ‫ا َ ْىخَا ِط‬
.ِ‫ي‬ ِ ‫ِى ْيبُخ‬
ّ ‫َاس‬
“Dari Ibnu Umar r.a, dia berkata, Rasulullah Saw. Bersabda,
“Janganlah salah seorang di antara kalian meminang atas pinangan
saudaranya, sehingga peminang yang sebelumnya meninggalkannya
atau mengizinkannya”. (HR Bukhari-Muslim.)11
2. Makruh Tanzih ialah perbuatan yang terlarang bila ditinggalkan akan
diberi pahala tetapi bila dilakukan tidak berdosa dan tidak dikenakan
siksa. Seperti memakan daging kuda dan meminum susunya dikala
sangat butuh diwaktu peperangan.12

2.2.5. Ibahah/Mubah
Secara etimologis mubah berarti yang diumumkan dan diizinkan
dengannya, sedangkan secara terminologis, mubah adalah :

“Titah Syari (Allah dan Rasulnya) kepada seorang mukallaf untuk


memilih antara mengerjakan atau meninggalkan.”

Sedangkan menurut Al-Ghazali, mubah ialah:13

“Mubah yaitu memilih antara mengerjakan dan meninggalkan, tidak ada


pujian dan tidak ada celaan, sama secara syariat, tidak terbentuk orang
yang meninggalkannya disebut orang yang taat, karena tidak ada
tuntutan untuk meninggalkan, sesungguhnya saat tidak terjadi kecuali
bila ada tuntutan. Tidak ada tuntutan maka tidak taat.”

11
. Dr. Mardani, Ushul Fiqh, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2013), (hlm. 46)
12
. H. Satria Efendi, M Zein, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2009), (hlm. 58-59)
13
. Abu Hamid Muhammad Al-Ghazali, Al- Mustashfa, (Beirut : Dar Al-Fikr, Tth, Jilid I) (hlm. 172)

HUKUM TAKLIFI | 12
Dalam hal ini sebenarnya tidak ada tuntutan, baik mengerjakan atau
meninggalkan. Ia tidak diperintahkan. Bila seseorang mengerjakan ia
tidak diberi ganjaran dan tidak pula diancam atas perbuatannya itu.
Hukum dalam bentuk ini disebut ibahah. Pengaruh titah ini terhadap
perbuatan disebut juga ibahah, sedangkan perbuatan yang diberi pilihan
disebut mubah. Misalnya, ketika ada cekcok yang berkepanjangan dalam
rumah tangga dan di khawatirkan tidak lagi dapat hidup bersama, maka
boleh(mubah) bagi seorang istri membayar sejumlah uang kepada suami
agar suaminya itu menceraikannya, sesuai petunjuk Allah swt. Dalam
firman-Nya pada surah al-baqarah (2) Ayat 292:

‫ان ۗ َو ََل‬ ٍ ‫س‬ َ ‫اك ۢ بِ َم ْع ُر ْوفٍ ا َ ْو ت َ ْس ِر ْي ٌح ۢ بِا ِْح‬ ٌ ‫س‬ َ ‫لط ََل ُق َم َّر ٰت ِن ۖ فَا ِْم‬ َّ َ ‫ا‬
َ ‫ک ْم ا َ ْن تَأ ْ ُخذُ ْوا ِم َّما ٰٓ ٰات َ ْيت ُ ُم ْو ُه َّن‬
‫شيْــئًا ا َّ َِٰۤل ا َ ْن يَّخَافَا ٰٓ ا َ ََّل يُ ِق ْي َما‬ ُ ‫َي ِح ُّل لَـ‬
‫اّٰلل ۗ فَا ِْن ِخ ْفت ُ ْم ا َ ََّل يُ ِق ْي َما ُحد ُْودَ ه‬
‫اّٰلل ۙ ِ فَ ََل ُجنَا َح َعلَ ْي ِه َما فِ ْي َما‬ ِ ‫ُحد ُْودَ ه‬
ِ ‫ت ِب ٖه ۗ تِ ْل َك ُحد ُْودُ ه‬
‫اّٰلل فَ ََل ت َ ْعتَد ُْوهَا ۚ َو َم ْن يَّت َ َعدَّ ُحد ُْودَ ه‬
ِ‫اّٰلل‬ ْ َ‫ا ْفتَد‬
)ٕ۸ٕ: ‫الظ ِل ُم (اىبقشة‬ ‫ولئِ َك ُه ُم ه‬ ٰٓ ٰ ُ ‫فَا‬

"Talak (yang dapat dirujuk) itu dua kali. (Setelah itu suami dapat)
menahan dengan baik atau melepaskan dengan baik. Tidak halal bagi
kamu mengambil kembali sesuatu yang telah kamu berikan kepada
mereka, kecuali keduanya (suami dan istri) khawatir tidak mampu
menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu (wali) khawatir bahwa
keduanya tidak mampu menjalankan hukum-hukum Allah, maka
keduanya tidak berdosa atas bayaran yang (harus) diberikan (oleh istri)
untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah
kamu melanggarnya. Barang siapa melanggar hukum-hukum Allah,
mereka itulah orang-orang zalim." (QS. Al-Baqarah 2: Ayat 292)

HUKUM TAKLIFI | 13
Pembagian Mubah

Mubah terbagi menjadi 3, yaitu:

1. Mubah yang berfungsi untuk mengantarkan seseorang kepada sesuatu


hal yang wajib dilakukannya, misalkan makan dan minum sesuatu
yang mubah, namun berfungsi untuk mengantarkan seseorang sampai
ia mengerjakan kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepadanya
seperti kewajiban salat dan usaha mencari rezeki.
2. Sesuatu baru dianggap mubah hukumnya bilamana dilakukan sekali-
sekali, tetapi haram hukumnya bila dilakukan setiap waktu. Misalnya
bermain dan mendengar nyanyian hukumnya mubah bila dilakukan
sekali-sekali , tetapi haram hukumnya menghabiskan waktu hanya
untuk bermain dan mendengarkan nyanyian.
3. Sesuatu yang mubah yang berfungsi sebagai sarana untuk mencapai
sesuatu yang mubah pula. Misalnya, membeli perabot rumah untuk
kepentingan kesenangan. Hukum senang hukumnya adalah mubah,
dan untuk mencapai kesenangan itu memerlukan seperangkat
persyaratan yang menurut esensinya harus bersifat mubah pula karena
untuk mencapai sesuatu yang mubah tidak layak dengan
menggunakan sesuatu yang dilarang.

HUKUM TAKLIFI | 14
BAB III

PENUTUP

3.1. KESIMPULAN
Hukum Taklifi adalah hukum yang menuntut kepada mukallaf untuk
berbuat, menuntut untuk tidak berbuat atau menghendaki agar mukallaf
memilih berbuat atau tidak. Menurut Jumhur ulama ushul fiqh, Hukum
Taklifi ada lima macam yaitu, Ijab (wajib), Nadb (sunah), Tahrim (haram),
Karahah (Makruh), dan Takhyir (boleh memilih). Pengaruhnya dalam
perbuatan ialah wujub (kewajiban), nadb (sunnah), hurmah (keharaman),
karahah (makruh), Ibahah (mubah).Masing-masing dari kelima tersebut
memiliki pembagian ditinjau dari beberapa segi oleh beberapa imam.

3.2. SARAN
Saran kami kepada pembaca dan masyarakat yaitu hendaklah kita
sebagai hamba allah selalu melakukan apapun kewajiban kita dan
meninggalkan segala hal yang diharamkan oleh Allah SWT., karena seperti
yang di katakan ayat-ayat al-quran di atas, jika kita melakukan apa yang tidak
disukai-Nya atau yang diharamkan-Nya di akhirat kelak kita akan mendapat
siksa yang pedih, dan hendaklah kita melaksanakan apa yang di sunnahkan-
Nya agar kita bisa semakin dekat dan selalu mengingat Allah SWT.

HUKUM TAKLIFI | 15
DAFTAR PUSTAKA

Al-Ghazali, A.H.M. Al-Mustashfa. Beirut: Dar Al-Fikr.


Al-Utsaimin, Muhammad bin Shalih bin Muhammad. Al-Ushul Fi Ilmi Al-Ushul.
Libanon: Dar Al-Fikr.
Amir Syarifuddin. 2008. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana.
Biek, Syekh Muhammad Al-Khudhori. Terjemahan Ushul „Fiqh. Pekalongan:
Raja Murah.
Efendi, Satria dan M. Zein. 2009. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana.
Madani. 2013. Ushul Fiqh. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Rachmat Syafei. 1999. Ilmu Ushul Fiqh. Bandung: Pustaka Setia.
.

HUKUM TAKLIFI | 16

Anda mungkin juga menyukai