Anda di halaman 1dari 7

2.

3 Takhsis

1. Pengertian Takhsis
Takhsis adalah bentuk masdar dari Khossoso yang bermakna Khos yang secara
etimologi adalah menentukan atau mengkhususkan. Dan secara terminology adalah
memperpendek makna atau hukumnya lafadz ‘aam pada sebagian satuanya.1 Dengan
gambaran bahwa fungsi takhsis adalah menentukan makna lafadz ‘aam ditetapkan
menjadi hukum. Juga perlu jadi catatan, untuk lafadz yang ditakhsis (dikhususkan) dalam
hakikatnya bukan lafadznya, namun makna yang timbul dari lafadz ‘aam tersebut. Yang
secara majas antara lafadz yang ditakhsis adalah lafadz ‘aam masih berhubungan dalam
penetapan hukum.
Kemudian Khudari Bik dalam bukunya “Ushul al-Fiqh” juga berpendapat bahwa,
takhshish adalah penjelasan sebagian lafadz ‘am bukan seluruhnya. Atau dengan kata
lain, menjelaskan sebagian dari satuan-satuan yang dicakup oleh lafadz ‘am dengan dalil.

2. Bentuk Takhsis (Mukhassis)


Mukhassis diartikan sebagai lafadz yang dapat memberikan faedah takhsis, adalah
konotasi lain dari takhsis, dibagi menjadi dua:
a. Mukhassis Muttasil
Yaitu lafadz yang tak dapat bediri sendiri/memberikan faedah dengan
sendirinya kecuali bersamaan dengan lafadz ‘aam.2 Dan ini dibagi jadi lima bentuk:
1) Istitsna’ bi nafsih
Yaitu mengecualikan lafadz ‘aam dengan menggunakan adat/alat istitsna’.
Contohnya :

ُ ۖ ‫إِاَّل أَ ْن يَّ َشا َء هّٰللا‬٢٣ ۙ ‫َواَل تَقُوْ لَ َّن لِ َش ْي ٍء إِنِّ ْي فَا ِع ٌل ٰذلِكَ َغدًا‬
“Dan jangan sekali-kali menyatakan terhadap sesuatu,”sesungguhnya aku
akan mengerjakan esok pagi”, kecuali (dengan menyebut)Insya Allah”(al-
Kahfi:23-24).3
2) Syarat bi nafsih
Yaitu lafadz yang dapat berfaedah apabila bersambung dengan lafadz yang
lain, dan harus ada jawab yang kembali kepada zatnya lafadz yang menjadi syarat.
Contohnya:

‫ُۤو ًءا يُّجْ زَ بِ ٖ ۙه‬aْْۤ ‫َم ْن يَّ ْع َملْ س‬

1
Imam Tajuddin ,Abd Al-Wahab Ibn Al-Subuki, Al-Jawaami, hal. 2
2
Abi Yahya Zakariya Al-Anshori, Ghaayah Al-Wushul: Syarah Lubbu Al-Ushul, Surabaya: Al-Hidayah, (tt.), hal. 76.
3
Al Qur’an., 15:23-24.
“Barang siapa mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan
dengan kejahatan itu.”(an-Nisa’: 123).4

3) Na’at atau Sifat


Yaitu lafadz yang mengikuti menjadi sifat, dan menjelaskan terhadap lafadz
yang dikuti. Contohnya:

‫ ُك ُم ٰالّتِ ْي َدخَ ْلتُ ْم بِ ِه ۖ َّن‬aِ‫ ِّم ْن نِّ َس ۤا ِٕٕى‬...


“ Dari istri kalian yang telah digauli”(an-Nisa’: 23)5

4) Ghoyah
Yaitu lafadz yang menjadi akhir (penghabisan) dari lafadz ‘aam yang
mendahuluinya, dan lafadz tersebut masuk dalam kandungan lafadz ‘aam sebagai
tolok ukur dari makna yang dikandung lafadz ‘aam itu. Contohnya:

َ‫قَاتِلُوا الَّ ِذ ْينَ اَل ي ُْؤ ِمنُوْ نَ بِاهّٰلل ِ َواَل بِ ْاليَوْ ِم ااْل ٰ ِخ ِر َواَل يُ َحرِّ ُموْ نَ َما َح َّر َم هّٰللا ُ َو َرسُوْ لُهٗ َواَل يَ ِد ْينُوْ نَ ِد ْين‬
َ‫ص ِغرُوْ ن‬ ٰ ‫ب َح ٰتّى يُ ْعطُوا ْال ِج ْزيَةَ ع َْن يَّ ٍد َّوهُ ْم‬ َ ‫ق ِمنَ الَّ ِذ ْينَ اُوْ تُوا ْال ِك ٰت‬ ِّ ‫ْال َح‬
“Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak
(pula) kepada hari kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang telah
diharamkan oleh Allah dan Rasulnya, dan tidak beragama dengan agama yang
benar (Agama Allah), yaitu orang-orang yang diberikan Al-Kitabkepada mereka,
sampai mereka membayar jizyah (pajak) dengan patuh, sedang mereka dalam
keaan tunduk.”(at-Taubah: 29)6

5) Badalul ba’di minal kull


Yaitu lafadz pengganti yang mengandung arti sebagian dari bentuk lafadz
yang mempunyai arti umum.7 Contohnya:
‫هّٰلِل‬
ۗ ‫ع اِلَ ْي ِه َسبِ ْياًل‬ ِ ‫اس ِحجُّ ْالبَ ْي‬
aَ ‫ت َم ِن ا ْستَطَا‬ ِ َّ‫َو ِ َعلَى الن‬
“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi)
orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah.”(ali-Imran: 97)8

b. Mukhassis Munfasil
Adalah lafadz yang dapat berdiri sendiri/memberikan faedah dengan
sendirinya, baik lafadznya itu sendirian atau bersamaan dengan yang lainnya.9 Namun

4
Ibid., 5: 123.
5
Ibid., 4: 23.
6
Ibid., 10: 29.
7
Imam Tajuddin „Abd. Al-Wahab Ibn Al-Subuki, Al-Jawaami‟, hal. 9-24.
8
Al-Qur’an., 3: 97.
9
Abi Yahya Zakariya Al-Anshari, Ghayah Al-Wushul:, hal. 78.
harus tetap dipahami bahwa kata Mukhassis adalah bentuk kata benda yang
menunjukkan pelaku pekerjaan, sedangkan kata takhsis adalah bentuk pekerjaannya,
sehingga di antara keduanya mempunyai hakekat makna yang sama. Hal ini
disampaikan agar dimengerti bahwa mukhasis muttashil bisa disebut “takhsis
muttashil”, dan mukhassis munfashil bisa disebut “takhshis munfashil.”
Takhsis Munfasil dibagi menjadi beberapa bagian:
1) Takhsish Qur’an dengan Qur’an
Takhshish qur'an dengan qur'an dapat terjadi, sebab semua nash qur'an
adalah pasti (qath'i) apabila berbeda dua dalil yang satu ‘amm dan yang satu khas
maka harus dikumpulkan kedua-duanya dengan menggunakan dalil ‘amm bagi hal-
hal yang tidak termasuk dalam dalil khash serta menggunakan dalil khash pada
tempatnya sendiri.
Di dalam al-qur'an yang berhadap-hadapan ialah dua dalil yang ‘amm semua
dimana yang satu lebih khusus dari pada yang lainnya baik itu secara muthlaq atau
dari satu segi saja. Kedua-duanya dalil ‘aam dan khas digunakan baik diketahui
atau tidak diketahui mana yang dulu dan mana yang kemudian. Contoh ayat yang
pertama,
‫ت يَت ََربَّصْ نَ بِأ َ ْنفُ ِس ِه َّن ثَاَل ثَةَ قُرُو ٍء‬
ُ َ‫َو ْال ُمطَلَّق‬
“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali
quru.”(Al-Baqarah:228)
Kemudian ditakhsish dengan ayat yang kedua,

ِ ‫ٰيٓاَيُّهَا الَّ ِذ ْينَ ٰا َمنُ ْٓوا اِ َذا نَكَحْ تُ ُم ْال ُم ْؤ ِم ٰن‬


‫ت ثُ َّم طَلَّ ْقتُ ُموْ ه َُّن ِم ْن قَ ْب ِل اَ ْن تَ َمسُّوْ ه َُّن فَ َما لَ ُك ْم َعلَ ْي ِه َّن ِم ْن ِع َّد ٍة‬
‫ا‬aَۚ‫تَ ْعتَ ُّدوْ نَه‬
“Apabila kamu kawin dengan perempuan-perempuan mukmin,kemudian
terus kamu cerai sebelum bercampur(bersetubuh) dengannya,maka tidak ada iddah
atas mereka yang perlu kamu perhitungkan.”(Al-ahzab,49)

Ayat pertama berlaku umum terhadap isteri-isteri yang sudah diceraikan


atau tidak. Ayat belum pernah dikumpul. Meskipun ayat kedua umum tetapi lebih
khass bila dibandingkan dengan umumnya ayat yang pertama. Karena itu disebut
juga mengtakhsiskan juga ayat yang pertama.10

2) Takhsish Qur’an dengan As-Sunah


Rasulullah saw menjelaskan apa yang dikehendaki Qur'an. Kalau perkataan
rasul mentashishkan keumumannya Qur'an atau membatasi muthlaknya Qur'an,
maka yang dikehendaki Qur'an ialah yang ditakhsish rasul yang dikehendaki
dengan muthlaqnya, ialah apa yang telah dibatasi pada mulut rasul. Hadits Rasul
dapat dibagi dua yaitu :
10
Ahmad Abduh, ushul fiqih(Pasuruan:PT.Garoeda Buana Indah,2002)hlm.167-168
- Mutawattir
- Ahaad
Para ulama ushul telah sepakat bahwa hadits mutawatir bisa mentakhsishkan
qur'an sebab hadits mutawatir adalah dalil yang qath'i pula.
Mengenai hadits ahaad ulama ushul berbeda pendapat, ada yang
mengatakan tidak dapat mentakhsishkan Qur'an. Dan ada yang mengatakan dapat.
Yang pertama adalah golongan Hanafiah dan yang kedua adalah pendapat jumhur
ulama ushul. Alasan yang tidak membolehkan karena hadits ahad yang bersifat
Zhanni (dugaan). Dan yang mereka mengatakan bahwa hadits ahad dapat
mentakhshiskan Qur'an alasannya ialah bahwa para sahabat Nabi mentakhsishkan
keumumannya Qur'an dengan hadits.11 Contohnya,

ُ ‫َّار‬
‫ق‬ ِ ‫أَ ْي ِديَهُ َمافَا ْقطَعُوا َوالس‬
ِ ‫َّارقَةُ َوالس‬
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan
keduanya (sebagai).”(Al-Maidah:38)12

Dalam ayat tersebut tidak disebutkan batasan nilai barang yang dicuri.
Kemudian ayat tersebut ditakhshish oleh sabda Nabi SAW:

ْ َ‫الَ ق‬
aٍ ‫ط َع فِي أَقَ َّل ِم ْن ُرب ِْع ِد ْين‬
)‫ (رواه الجماعة‬. ‫َار‬
“Tidak ada hukuman potong tangan di dalam pencurian yang nilai barang
yang dicurinya kurang dari seperempat dinar.”(H.R. Al-Jama’ah)

Dari ayat dan hadits tersebut, jelaslah bahwa apabila nilai barang yang
dicuri kurang dari seperempat dinar, maka si pencuri tidak dijatuhi hukuman potong
tangan.

3) Takhsish As-Sunah dengan Qur’an


‫ متفق عليه‬. aَ‫ى يَتَ َوضَّأ‬ َ ‫صالَةَ أَ َح ِد ُك ْم إِ َذا أَحْ د‬
َّ ‫َث خَت‬ َ ُ‫الَ يَ ْقبَ ُل هللا‬
“Allah tidak menerima shalat salah seorang dari kamu bila ia berhadats
sampai ia berwudhu.”(Muttafaq ‘Alayh).13
Hadits tersebut kemudian ditakhshish oleh firman Allah dalam surat Al-
Ma’idah ayat 6:

‫و اَل َم ْستُ ُم‬aْ َ ‫ أَوْ َعلَى َسفَ ٍر أَوْ َجا َء أَ َح ٌد ِم ْن ُك ْم ِمنَ ْالغَائِ ِطأ‬a‫ضى‬ َ ْ‫ َوإِ ْن ُك ْنتُ ْم َمر‬a‫َوإِ ْن ُك ْنتُ ْم ُجنُبًا فَاطَّهَّرُوا‬
‫ص ِعيدًا طَيِّبًا‬
َ a‫النِّ َسا َء فَلَ ْم تَ ِجدُوا َما ًء فَتَيَ َّم ُموا‬

11
Ibid., hlm. 173-174.
12
Al-Qur’an., 5: 38.
13
Ya‟qub bin Ishaq Al-asfaraini Abu „Awanah, Musnad Abi „Awanah (Bairut: Dar Al-Ma‟rifah (tt), Juz I, hal. 235.
“dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat
buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air,
maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih).”(Al-Maidah:6)14

Keumuman hadits di tersebut tentang keharusan berwudhu bagi setiap orang


yang akan shalat, ditakhshish dengan tayammum bagi orang yang tidak
mendapatkan air, sebagaimana firman Allah tersebut.

4) Takhsish As-Sunah dengan As-Sunah


‫ متفق عليه‬. ‫ت ال َّس َما ُء ْال ُع ْش ُر‬
ْ َ‫فِ ْي َما َسق‬
“Pada tanaman yang disirami oleh air hujan, zakatnya
sepersepuluh.”(Muttafaq Alayh).15
Keumuman hadits tersebut tidak dibatasi dengan jumlah hasil panennya.
Kemudian hadits itu ditaksis oleh hadits lain yang berbunyi:

‫ متفق عليه‬. ٌ‫ص َدقَة‬ aٍ ‫ْس فِ ْي َما ُدوْ نَ َخ ْم َس ِة أَوْ ُس‬


َ ‫ق‬ َ ‫لَي‬
“Tidak ada kewajiban zakat pada taanaman yang banyaknya kurang dari 5
watsaq (1000 kilogram).”(Muttafaq Alayh)16

Dari kedua hadits di atas jelaslah bahwa tidak semua tanaman wajib
dizakati, kecuali yang sudah mencapai lima watsaq.

5) Takhsish Qur’an dengan Ijma’


Takhshish dengan ijma' juga telah disepakati bolehnya, artinya dengan
perantaran ijma' dapat diketahui bahwa yang dikehendaki dengan lafal amm ialah
sebagian dari pada apa yang termasuk didalam lafal Amm tersebut.

‫ ْالبَ ْي َع‬a‫ إِلَى ِذ ْك ِر هَّللا ِ َو َذرُوا‬a‫صاَل ِة ِم ْن يَوْ ِم ْال ُج ُم َع ِة فَا ْس َعوْ ا‬ َ ‫إِ َذا نُو ِد‬
َّ ‫ي لِل‬
“apabila diseru untuk menunaikan sembahyang pada hari Jumat, maka
bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli.”(Al-
Jum’ah:9)17

Menurut ayat tersebut, kewajiban shalaat Jum’at berlaku bagi semua orang.
Tapi para ulama telah sepakat (ijma’) bahwa kaum wanita, budak dan anak-anak
tidak wajib shalat Jum’at.

6) Takhsish Qur’an dengan Qiyas

14
Al-Qur’an., 6: 6.
15
Ahmad bin Hambal Abu „Abdillah Al-Syaibani, Musnad Al-Imam Ahmad bin Hambal, (Mesir: Muassasah Qarhabah, (tt) Juz
V, h. 233
16
Muhammad bin Ismail Abu „Abdillah Al-Bukhari Al-Ja‟fi, AlJami‟ Al-Shahih Al-Mukhtashar (Al-Shahih Bukhari), (Bairut:
Dar Ibnu Katsir, Al-Yamamah), 1987, Juz II, h. 540
17
Al-Qur’an., 62: 9.
‫ال َّزانِيَةُ َوال َّزانِي فَاجْ لِدُوا ُك َّل َوا ِح ٍد ِم ْنهُ َما ِمئَةَ َج ْلدَة‬
“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-
tiap seorang dari keduanya seratus kali dera.”(An-Nur:2)18

Ayat tersebut menerangkan secara khusus, bahwa hukuman dera bagi pezina
budak perempuan adalah saparuh dari dera yang berlaku bagi orang merdeka yang
berzina. Kemudian hukuman dera bagi budak laki-laki di-qiyaskan juga dengan
hukuman bagi budak perempuan, yaitu lima puluh kali dera.

7) Takhsis dengan pendapat Sahabat


Jumhur ulama berpendapat bahwa takhshish hadits dengan pendapat sahabat
tidak diterima. Sedangkan menurut Hanafiyah dan Hanbaliyah dapat diterima jika
sahabt itu yang meriwayatkan hadits yang ditakhshishnya. Misalnya:

‫ متفق عليه‬. ُ‫َم ْن بَ َّد َل ِد ْينَهُ فَا ْقتُلُوْ ه‬


“Barangsiapa menggantikan agamanya (dari agama Islam ke agama lain,
yaitu murtad), maka bunuhlah dia.”(Muttafaq Alayh)

Menurut hadits tersebut, baik laki-laki maupun perempuan yang murtad


hukumnya dibunuh. Tetapi Ibnu Abbas (perawi hadits tersebut) berpendapat bahwa
perempuan yang murtad tidak dibunuh, hanya dipenjarakan saja. Pendapat tersebut
kemudian ditolak oleh Jumhur Ulama yang mengatakan bahwa perempuan yang
murtad juga harus dibunuh sesuai dengan ketentuan umum hadits tersebut.
Pendapat sahabat yang mentakhshish keumuman hadits tersebut tidak dibenarkan
karena yang menjadi pegangan kita, kata Jumhur Ulama, adalah lafadz-lafadz
umum yang datang dari Nabi. Di samping itu, dimungkinkan bahwa sahabat
tersebut beramal berdasarkan dugaan sendiri.19

KESIMPULAN
Takhsish yaitu menjelaskan sebagian dari satuan-satuan yang dicakup oleh lafadz
‘am dengan dalil. Kemudian yang perlu jadi catatan dalam takhsis, untuk lafadz yang
ditakhsis (dikhususkan) dalam hakikatnya bukan lafadznya, namun makna yang timbul
dari lafadz ‘aam tersebut.
Takhsish sendiri dapat dikonotasikan menjadi mukhassis, yang kemudian terbagi
menjadi dua bentuk, yakni mukhassis muttasil dan mukhassis munfasil. Kemudian dari
masing-masing bentuk tersebut dapat dibagi lagi menjadi beberapa bagian.
18
Ibid., 18: 2.
19
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih Kaidah Hukum Islam. 2003. Jakarta: Pustaka Amani. Hal: 281

Anda mungkin juga menyukai