3 Takhsis
1. Pengertian Takhsis
Takhsis adalah bentuk masdar dari Khossoso yang bermakna Khos yang secara
etimologi adalah menentukan atau mengkhususkan. Dan secara terminology adalah
memperpendek makna atau hukumnya lafadz ‘aam pada sebagian satuanya.1 Dengan
gambaran bahwa fungsi takhsis adalah menentukan makna lafadz ‘aam ditetapkan
menjadi hukum. Juga perlu jadi catatan, untuk lafadz yang ditakhsis (dikhususkan) dalam
hakikatnya bukan lafadznya, namun makna yang timbul dari lafadz ‘aam tersebut. Yang
secara majas antara lafadz yang ditakhsis adalah lafadz ‘aam masih berhubungan dalam
penetapan hukum.
Kemudian Khudari Bik dalam bukunya “Ushul al-Fiqh” juga berpendapat bahwa,
takhshish adalah penjelasan sebagian lafadz ‘am bukan seluruhnya. Atau dengan kata
lain, menjelaskan sebagian dari satuan-satuan yang dicakup oleh lafadz ‘am dengan dalil.
ُ ۖ إِاَّل أَ ْن يَّ َشا َء هّٰللا٢٣ ۙ َواَل تَقُوْ لَ َّن لِ َش ْي ٍء إِنِّ ْي فَا ِع ٌل ٰذلِكَ َغدًا
“Dan jangan sekali-kali menyatakan terhadap sesuatu,”sesungguhnya aku
akan mengerjakan esok pagi”, kecuali (dengan menyebut)Insya Allah”(al-
Kahfi:23-24).3
2) Syarat bi nafsih
Yaitu lafadz yang dapat berfaedah apabila bersambung dengan lafadz yang
lain, dan harus ada jawab yang kembali kepada zatnya lafadz yang menjadi syarat.
Contohnya:
1
Imam Tajuddin ,Abd Al-Wahab Ibn Al-Subuki, Al-Jawaami, hal. 2
2
Abi Yahya Zakariya Al-Anshori, Ghaayah Al-Wushul: Syarah Lubbu Al-Ushul, Surabaya: Al-Hidayah, (tt.), hal. 76.
3
Al Qur’an., 15:23-24.
“Barang siapa mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan
dengan kejahatan itu.”(an-Nisa’: 123).4
4) Ghoyah
Yaitu lafadz yang menjadi akhir (penghabisan) dari lafadz ‘aam yang
mendahuluinya, dan lafadz tersebut masuk dalam kandungan lafadz ‘aam sebagai
tolok ukur dari makna yang dikandung lafadz ‘aam itu. Contohnya:
َقَاتِلُوا الَّ ِذ ْينَ اَل ي ُْؤ ِمنُوْ نَ بِاهّٰلل ِ َواَل بِ ْاليَوْ ِم ااْل ٰ ِخ ِر َواَل يُ َحرِّ ُموْ نَ َما َح َّر َم هّٰللا ُ َو َرسُوْ لُهٗ َواَل يَ ِد ْينُوْ نَ ِد ْين
َص ِغرُوْ ن ٰ ب َح ٰتّى يُ ْعطُوا ْال ِج ْزيَةَ ع َْن يَّ ٍد َّوهُ ْم َ ق ِمنَ الَّ ِذ ْينَ اُوْ تُوا ْال ِك ٰت ِّ ْال َح
“Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak
(pula) kepada hari kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang telah
diharamkan oleh Allah dan Rasulnya, dan tidak beragama dengan agama yang
benar (Agama Allah), yaitu orang-orang yang diberikan Al-Kitabkepada mereka,
sampai mereka membayar jizyah (pajak) dengan patuh, sedang mereka dalam
keaan tunduk.”(at-Taubah: 29)6
b. Mukhassis Munfasil
Adalah lafadz yang dapat berdiri sendiri/memberikan faedah dengan
sendirinya, baik lafadznya itu sendirian atau bersamaan dengan yang lainnya.9 Namun
4
Ibid., 5: 123.
5
Ibid., 4: 23.
6
Ibid., 10: 29.
7
Imam Tajuddin „Abd. Al-Wahab Ibn Al-Subuki, Al-Jawaami‟, hal. 9-24.
8
Al-Qur’an., 3: 97.
9
Abi Yahya Zakariya Al-Anshari, Ghayah Al-Wushul:, hal. 78.
harus tetap dipahami bahwa kata Mukhassis adalah bentuk kata benda yang
menunjukkan pelaku pekerjaan, sedangkan kata takhsis adalah bentuk pekerjaannya,
sehingga di antara keduanya mempunyai hakekat makna yang sama. Hal ini
disampaikan agar dimengerti bahwa mukhasis muttashil bisa disebut “takhsis
muttashil”, dan mukhassis munfashil bisa disebut “takhshis munfashil.”
Takhsis Munfasil dibagi menjadi beberapa bagian:
1) Takhsish Qur’an dengan Qur’an
Takhshish qur'an dengan qur'an dapat terjadi, sebab semua nash qur'an
adalah pasti (qath'i) apabila berbeda dua dalil yang satu ‘amm dan yang satu khas
maka harus dikumpulkan kedua-duanya dengan menggunakan dalil ‘amm bagi hal-
hal yang tidak termasuk dalam dalil khash serta menggunakan dalil khash pada
tempatnya sendiri.
Di dalam al-qur'an yang berhadap-hadapan ialah dua dalil yang ‘amm semua
dimana yang satu lebih khusus dari pada yang lainnya baik itu secara muthlaq atau
dari satu segi saja. Kedua-duanya dalil ‘aam dan khas digunakan baik diketahui
atau tidak diketahui mana yang dulu dan mana yang kemudian. Contoh ayat yang
pertama,
ت يَت ََربَّصْ نَ بِأ َ ْنفُ ِس ِه َّن ثَاَل ثَةَ قُرُو ٍء
ُ ََو ْال ُمطَلَّق
“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali
quru.”(Al-Baqarah:228)
Kemudian ditakhsish dengan ayat yang kedua,
ُ َّار
ق ِ أَ ْي ِديَهُ َمافَا ْقطَعُوا َوالس
ِ َّارقَةُ َوالس
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan
keduanya (sebagai).”(Al-Maidah:38)12
Dalam ayat tersebut tidak disebutkan batasan nilai barang yang dicuri.
Kemudian ayat tersebut ditakhshish oleh sabda Nabi SAW:
ْ َالَ ق
aٍ ط َع فِي أَقَ َّل ِم ْن ُرب ِْع ِد ْين
) (رواه الجماعة. َار
“Tidak ada hukuman potong tangan di dalam pencurian yang nilai barang
yang dicurinya kurang dari seperempat dinar.”(H.R. Al-Jama’ah)
Dari ayat dan hadits tersebut, jelaslah bahwa apabila nilai barang yang
dicuri kurang dari seperempat dinar, maka si pencuri tidak dijatuhi hukuman potong
tangan.
و اَل َم ْستُ ُمaْ َ أَوْ َعلَى َسفَ ٍر أَوْ َجا َء أَ َح ٌد ِم ْن ُك ْم ِمنَ ْالغَائِ ِطأaضى َ ْ َوإِ ْن ُك ْنتُ ْم َمرaَوإِ ْن ُك ْنتُ ْم ُجنُبًا فَاطَّهَّرُوا
ص ِعيدًا طَيِّبًا
َ aالنِّ َسا َء فَلَ ْم تَ ِجدُوا َما ًء فَتَيَ َّم ُموا
11
Ibid., hlm. 173-174.
12
Al-Qur’an., 5: 38.
13
Ya‟qub bin Ishaq Al-asfaraini Abu „Awanah, Musnad Abi „Awanah (Bairut: Dar Al-Ma‟rifah (tt), Juz I, hal. 235.
“dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat
buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air,
maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih).”(Al-Maidah:6)14
Dari kedua hadits di atas jelaslah bahwa tidak semua tanaman wajib
dizakati, kecuali yang sudah mencapai lima watsaq.
ْالبَ ْي َعa إِلَى ِذ ْك ِر هَّللا ِ َو َذرُواaصاَل ِة ِم ْن يَوْ ِم ْال ُج ُم َع ِة فَا ْس َعوْ ا َ إِ َذا نُو ِد
َّ ي لِل
“apabila diseru untuk menunaikan sembahyang pada hari Jumat, maka
bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli.”(Al-
Jum’ah:9)17
Menurut ayat tersebut, kewajiban shalaat Jum’at berlaku bagi semua orang.
Tapi para ulama telah sepakat (ijma’) bahwa kaum wanita, budak dan anak-anak
tidak wajib shalat Jum’at.
14
Al-Qur’an., 6: 6.
15
Ahmad bin Hambal Abu „Abdillah Al-Syaibani, Musnad Al-Imam Ahmad bin Hambal, (Mesir: Muassasah Qarhabah, (tt) Juz
V, h. 233
16
Muhammad bin Ismail Abu „Abdillah Al-Bukhari Al-Ja‟fi, AlJami‟ Al-Shahih Al-Mukhtashar (Al-Shahih Bukhari), (Bairut:
Dar Ibnu Katsir, Al-Yamamah), 1987, Juz II, h. 540
17
Al-Qur’an., 62: 9.
ال َّزانِيَةُ َوال َّزانِي فَاجْ لِدُوا ُك َّل َوا ِح ٍد ِم ْنهُ َما ِمئَةَ َج ْلدَة
“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-
tiap seorang dari keduanya seratus kali dera.”(An-Nur:2)18
Ayat tersebut menerangkan secara khusus, bahwa hukuman dera bagi pezina
budak perempuan adalah saparuh dari dera yang berlaku bagi orang merdeka yang
berzina. Kemudian hukuman dera bagi budak laki-laki di-qiyaskan juga dengan
hukuman bagi budak perempuan, yaitu lima puluh kali dera.
KESIMPULAN
Takhsish yaitu menjelaskan sebagian dari satuan-satuan yang dicakup oleh lafadz
‘am dengan dalil. Kemudian yang perlu jadi catatan dalam takhsis, untuk lafadz yang
ditakhsis (dikhususkan) dalam hakikatnya bukan lafadznya, namun makna yang timbul
dari lafadz ‘aam tersebut.
Takhsish sendiri dapat dikonotasikan menjadi mukhassis, yang kemudian terbagi
menjadi dua bentuk, yakni mukhassis muttasil dan mukhassis munfasil. Kemudian dari
masing-masing bentuk tersebut dapat dibagi lagi menjadi beberapa bagian.
18
Ibid., 18: 2.
19
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih Kaidah Hukum Islam. 2003. Jakarta: Pustaka Amani. Hal: 281