USHUL FIQIH
DISUSUN OLEH:
SULTAN SEPTIAN
DOSEN PEMBIMBING:
اح ٍد دَ ْف َعة
ِ ْع َو ِ صلُ ْو ُح ِب َح ْس
ٍ ب َوض ُ الَّ ْف
ْ ظ اْل ُم ْستَ ْغ ِر ُق ِل َج ِمي ِْع ما َ َي
“Lafal yang mencakup semua apa saja yang masuk padanya dengan satu ketetapan dan
sekaligus”.
Contoh lafaz Am seperti lafaz “laki-laki” ( ُالرجاَل
ِّ ) dalam lafaz tersebut mencakup
semua laki-laki. Atau lafaz “manusia” ( ُ ) النَّاسitu mencakup semua manusia.
Lafaz umum dapat dibagi menjadi tiga macam :
1. Lafaz umum yang tidak mungkin di Takhsiskan seperti dalam firman Allah :
Artinya : “Tiap diri (jiwa) akan merasakan mati” (Q. S Ali-Imran 185 )
ْ ه َُو الَّذ
ي َخلَقَ لَ ُك ْم َّما فى ْاْلَ ْرض َجم ْي ًعا
Artinya : “Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di Bumi.” (Qs. Al-Bagarah :
29)
Lafadz Kullu dan Jami’an diatas, kedua-duanya mencakup seluruh satuan yang
tidak terbatas.
(2). Kata Kaffah
C. Kaidah Al Amm
• Am yuradu bihi al-am, yaitu am yang tidak dibarengi qarinah (penjelasan) yang
menghilangkan peluang pengkhususan makna.
• Am yuradu bihi al-khusus, yakni am yang dibarengi qarinah yang menghilangkan
makna umum dan menerangkan bahwa makna am di sana hanya merujuk kepada
beberapa dari seluruh satuannya.
• Am makhshush, yakni am mutlak. Am jenis ini tidak dibarengi qarinah yang
menghilangkan peluang pengkhususan dan menghilangkan keumumannya. Jadi,
sighat am ini keumumannya mutlak.
Adapun kaidah Am dalam Ushul fikih adalah sebagai berikut:
Lafaz am ini bersifat global dan tidak menunjukkan ketentuan hukum yang jelas.
Maksudnya, makna tersirat dalam sebuah kalimat yang menyimpan atau mengandung makna
umum. Contohnya, terdapat dalam QS Al Isra’ ayat 23:
س ًنا ۚ إ َّما َي ْبلُغ ََّن عندَكَ ٱ ْلك َب َر أ َ َحدُ ُه َما أ َ ْو ك ََل ُه َما فَ ََل
َ ْضى َربُّكَ أ َ َّْل تَ ْعبُدُوا إ َّْل إيَّاهُ َوبٱ ْل َولدَيْن إح َ ََوق
ف َو َْل تَ ْن َه ْر ُه َما َوقُل لَّ ُه َما قَ ْو ًْل َكري ًما ٍ ِّ ُ تَقُل لَّ ُه َما أ
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan
hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang
di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka
sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu
membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.” (QS Al Isra: 23)
Kaidah ketiga: Orang yang memerintahkan sesuatu, maka ia termasuk dalam perintah
tersebut
Maka, hukum juga berlaku bagi orang yang memerintahkannya. Kecuali Allah SWT, tentu
saja.
Kaidah keempat: Pelajaran diambil dari keumuman lafaz, bukan dari kehususan sebab
Contohnya terdapat dalam hadis nabi yang diriwayatkan Abu Hurairah. Dia berkata:
Rasulullah bersabda tentang laut: airnya suci dan mensucikan,serta bangkainya halal.”
D. Dalalat ‘Am
Jumhur al-ulama, di antaranya Syafi’iyah, berpendapat bahwa lafzh al-‘am itu zhanniy
dalalat-nya atas semua satuan-satuan yang di dalamnya. Demikian pula, lafzh al-‘am, setelah
di-takhshish, sisa satuan-satuannya juga zhanniy dalalat-nya, hingga terkenalah di kalangan
mereka suatu kaidah ushuliyat yang berbunyi:
” Setiap dalil yang ‘am harus ditakhshis”
Oleh karena itu ketika lafzh ‘am ditemukan hendaklah berusaha dicarikan pen-takhshish-
nya.Atas dasar pendapat jumhur al-ulama tersebut di atas, kiranya, dapat dipahami
bahwa lafzh al-‘am itu, baik sebelum maupun sesudah di-takhshish, zhanny dalalat-nya.
Berbeda dengan jumhur al-ulama, Ulama Hanafiyah, berpendapat bahwa lafzh al-
‘am itu qath’iy dalalat-nya, selagi tidak ada dalil lain yang men-takhshish-nya atas satuan-
satuannya. Karena lafzh al-‘am itu dimksudkan oleh bahasa untuk menunjukan atas semua
satuan yang ada di dalamnya, tanpa kecuali.
Berdasarkan kedua pendapat tersebut di atas terlihat ada perbedaan. Bagi jumhur al-
‘ulama’, sejak semula, lafzh al-‘am itu zhanny dalalat-nya. Oleh karena itu dapat di-
takhshish dengan dalil zhanniy lainnya seperti khabar ahad atau qiyas. Sedangkan bagi
Ulama Hanafiyah, karena lafzh al-’am itu sejak semula qath’iy dalalat-nya, maka ia tidak
dapat di takhsish kecuali dengan dalil qath’iy. Oleh sebab itu dalil zhanniy, seperti khabar
ahad dan qiyas tidak dapat mentakhsish lafzh ‘am.
Sebagai contoh, Ulama Hanafiyah mengharamkan memakan daging binatang yang
disembelih tanpa menyebut basmallah, karena adanya firman Allah dalam surat al-An’am (6)
ayat 121, yang bersifat umu, yang berbunyi:
َ َّ َ ْ ُ ْ َ ْ ُ ه َُُْ َ
اَّلل َعل ْي ِه
ِ م اس ر
ِ كذ ي م ل ا م مِ وال تأ ك
وال
Dan janganlah kamu memakan binatang yang tidak disebut nama Allah ketik
menyembelinya…
Ayat tersebut, menurut mereka, tidak dapat di-takshish oleh hadist Nabi yang berbunyi:
ُ.ص
ِ ص َ لى تَ ْق ِدي ِْر
َّ عدَ ِم ال ُم َخ َ عَ ض كاَنَ دا َ ِخال تَحْ تَ ْالعُ ُم ْو ِم
ِ ِإحْ را َ ُج َب ْع
Artinya: “mengeluarkan sebagian apa-apa yang termasuk dalam yang umum itu menurut
ukuran ketika tidak terdapat mukhasis”.
Khas menurut bahasa (etimologi) adalah lafadz yang menunjukkan arti yang tertentu,
tidak meliputi arti umum, dengan kata lain, khas itu kebalikan dari ‘âm. Sedangkan Khas
menurut istilah (trminologi) adalah lafadz yang menunjukkan sesuatu yang dibatasi dengan
pribadi atau bilangan.8 Sedangkan menurut Ulama’ Ushul Fiqh adalah Lafadz yang
diwadla’kan untuk menunjukkan kepada orang yang tertentu.
Mukhasis sendiri terbagi menjadi dua macam, yakni mukhasis muttasil dan mukhasis
munfasil.
Mukhasis muttasil adalah dalil yang bersambung adalah apabila makna yang
mengkhususkan, berhubungan erat/bergantung pada kalimat umum sebelumnya.
Di sisi lain, mukhasis munfasil adalah dalil umum/makna dalil yang sama dengan dalil atau
makna dalil yang mengkhususkannya, masing-masing berdiri sendiri, yakni tidak berkumpul
tetapi terpisah.
F. Macam-Macam Mukhasis Munfasil
Adapun macam-macam dari mukhasis munfasil yakni:
1. Takhsis Al-Quran dengan Al-Quran
Dalil Al-Quran yang umum dikhususkan dengan dalil juga. Ulama sepakat menetapkan
bolehnya mentakhsis Al-Quran atau potongan ayat Al-Quran dengan ayat lainnya.
Contoh:
َ َو ْٱل ُم
ْ طلَّقَتُ َيت ََر َّب
ٍصنَ بأَنفُسه َّن ثَلَثَةَ قُ ُروء
Artinya: “Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'”
(QS. Al-Baqarah: 228)
Ayat ini adalah ‘Am, mencakup setiap istri yang dicerai baik dalam keadaan hamil maupun
tidak, sudah digauli maupun belum. Tetapi keumuman ini ditakhsis oleh ayat dalam Surat At-
Thalaq ayat 4,
ُٱرتَ ْبت ُ ْم فَعدَّت ُ ُه َّن ثَلَثَةُ أ َ ْش ُه ٍر َوٱلَّـى لَ ْم َيحضْنَ ۚ َوأُولَت
ْ سائ ُك ْم إنَ َوٱلَّـى َيئسْنَ منَ ْٱل َمحيض من ِّن
ٱَّللَ َيجْ َعل لَّهۥُ م ْن أ َ ْمرهۦ يُ ْس ًرا
َّ ض ْعنَ َح ْملَ ُه َّن ۚ َو َمن َيتَّق َ ْٱْلَحْ َمال أ َ َجلُ ُه َّن أَن َي
Artinya: “Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-
perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), maka masa iddah mereka
adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. Dan perempuan-
perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan
kandungannya. Dan barang-siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan
baginya kemudahan dalam urusannya.” (QS. At-Thalaq: 4)
Ayat ini di takhsis oleh jual beli yang fasid sebagaimana disebutkan dalam sejumlah hadits.
Antara lain disebutkan dalam kitab sahih bukhari, dari ibnu umar, ia berkat: “Rasulullah
melarang mengambil upah dari air mani kuda jantan”.
Dalam sahihain diriwayatkan dari ibnu umar bahwa Rasulullah melarang jual beli kandungan
binatang yang mengandung, jual beli seekor unta sampai unta itu melahirkan, kemudian
anaknya itu beranak pula dan hadits-hadits lainnya. Untuk jual beli didispensasikanlah yang
bernama ariyah, yakni menjual kurma basah yang masih di pohon dengan kurma kering. Jual
beli ini diperkenankan (mubah) oleh sunnah.
Ulama membolehkan takhsis sunnah dengan Al-Quran dengan argumen sebagai beriku
Banyak terjadi keumuman sunnah ditakhsis oleh Al-Quran seperti sunnah nabi dari Abu
Hurairahm ia berkata Rasulullah SAW bersabda:
“Allah tidaklah menerima shalat salah seorang di antara kalian ketika ia berhadats sampai ia
berwudhu.” (HR. Bukhari no. 6954 dan Muslim no. 225)
Mentakhsis Al-Quran dengan hasil ijtihad para mujtahid. Dengan demikian, menurut
sebagian ulama, takhsis itu melalui petunjuk ijma atau dengan ijma itu sendiri. Ulama lain
menganggap bahwa ijma itu menetapkan suatu hukum yang mentakhsis kumuman ayat Al-
Secara umum ayat ini mewajibkan setiap orang beriman untuk melakukan shalat Jumat baik
laki laki maupun perempuan. Keumukan ayat ini dibatasi oleh ijma ulama yang
menyandarkan pada hadits nabi bahwa perempuan itu tidak wajib melakukan shalat Jumat.