Anda di halaman 1dari 9

MAKALAH

USHUL FIQIH

“AL-AMM DAN AL-KHAS”

DISUSUN OLEH:

SULTAN SEPTIAN

DOSEN PEMBIMBING:

Bapak Mohammad Syaripudin, Lc., MA

SEKOLAH TINGI AGAMA ISLAM NUR EL-GHAZY


TAHUN AJARAN 2023/2024
A. Al-jam’u antara ‘Am dan Khash
1. Pengertian al-‘Am
'Am adalah suatu bentuk lafazh yang menunjukkan makna syumul (global) tanpa ada
penjelasan tertentu yang membatasi makna itu. ‘Am menurut istilah Ushul Fiqh ialah:

‫اح ٍد دَ ْف َعة‬
ِ ‫ْع َو‬ ِ ‫صلُ ْو ُح ِب َح ْس‬
ٍ ‫ب َوض‬ ُ ‫الَّ ْف‬
ْ ‫ظ اْل ُم ْستَ ْغ ِر ُق ِل َج ِمي ِْع ما َ َي‬
“Lafal yang mencakup semua apa saja yang masuk padanya dengan satu ketetapan dan
sekaligus”.
Contoh lafaz Am seperti lafaz “laki-laki” ( ُ‫الرجاَل‬
ِّ ) dalam lafaz tersebut mencakup
semua laki-laki. Atau lafaz “manusia” ( ُ‫ ) النَّاس‬itu mencakup semua manusia.
Lafaz umum dapat dibagi menjadi tiga macam :
1. Lafaz umum yang tidak mungkin di Takhsiskan seperti dalam firman Allah :

َ َ‫َّللا ِر ْزقُ َها َو َي ْعلَ ُم ُم ْستَقَ َّرهَا َو ُم ْست َْود‬


ٍ ‫ع َها ُك ٌّل فِي ِكتَا‬
‫ب‬ ِ َّ ‫علَى‬ ِ ‫َو َما ِم ْن دَا َّب ٍة فِي ْاْل َ ْر‬
َ ‫ض إِ ََّّل‬
‫ين‬
ٍ ‫ُم ِب‬
Artinya : “Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang
memberi rezkinya”, (Qs. Huud.- 6)
Ayat diatas menerangkan sunnatullah yang berlaku bagi setiap mahkluk karena itu dialahnya
qath’i yang tidak rnenerima Takhsis.
2. Lafaz umum yang dimaksudkan khusus karena adanya bukti tentang kekhususannya, seperti
dalam firman Allah :

ِ ‫اس ِح ُّج ْال َب ْي‬


...‫ت‬ ِ ‫علَى ال َّن‬ ِ َّ ِ ‫ َو‬...
َ ‫ّلِل‬
Artinya : “……mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah.....”, (Q.S Ali-
Imran: 97)
Lafaz manusia dalam ayat adalah lafaz umum yang dimaksudkan adalah manusia yang
mukallaf saja karena dengan perantara akal dapat dikeluarkan dari keumuman lafal anak kecil
dan orang gila.
3. Lafaz umum yang khusus seperti lafaz umum yang tidak ditemui tanda yang menunjukan di
Takhsis seperti dalam firman Allah :

ُ‫صنَ ُبأ َ ْنفسهنَّ ُثَالَثَةَُقروء‬ َ ‫َواْلم‬


ْ َ‫طلَّقَتُيَت َ َرب‬
Artinya : “Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan (menunggu) tiga kali quru”.
B. Bentuk-bentuk lafaz ‘am dan Khas.
Adapun bentuk-bentuk lafadz yang mengandung arti ‘am atau Kata-kata yang
menunjukan makna umum seperti[10] dalam al-quran banyak sekali, antara lain:
(1). Kata kullu ( /tiap) dan jami( ‫حميع‬/semua).
Misalnya, Qs. Ali-Imran ayat 185

‫ُك ُّل َن ْف ٍس ذَاىقَةُ ْال َم ْوت‬

Artinya : “Tiap diri (jiwa) akan merasakan mati” (Q. S Ali-Imran 185 )

ْ ‫ه َُو الَّذ‬
‫ي َخلَقَ لَ ُك ْم َّما فى ْاْلَ ْرض َجم ْي ًعا‬
Artinya : “Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di Bumi.” (Qs. Al-Bagarah :
29)
Lafadz Kullu dan Jami’an diatas, kedua-duanya mencakup seluruh satuan yang
tidak terbatas.
(2). Kata Kaffah

‫س ْلنكَ ا َّْل َكافَّةً لِّل َّناس‬


َ ‫َو َما ا َ ْر‬
Artinya : “Dan kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia
seluruhnya” (Q.S. Saba': 28 )
Am artinya umum. Dalam Ushul fikih, Am memiliki posisi tertentu karena keluasan makna
atau arti yang dikandungnya.

C. Kaidah Al Amm

Lafaz Am terbagi ke dalam tiga macam:

• Am yuradu bihi al-am, yaitu am yang tidak dibarengi qarinah (penjelasan) yang
menghilangkan peluang pengkhususan makna.
• Am yuradu bihi al-khusus, yakni am yang dibarengi qarinah yang menghilangkan
makna umum dan menerangkan bahwa makna am di sana hanya merujuk kepada
beberapa dari seluruh satuannya.
• Am makhshush, yakni am mutlak. Am jenis ini tidak dibarengi qarinah yang
menghilangkan peluang pengkhususan dan menghilangkan keumumannya. Jadi,
sighat am ini keumumannya mutlak.
Adapun kaidah Am dalam Ushul fikih adalah sebagai berikut:

Kaidah pertama: Keumuman itu tidak menggambarkan suatu hukum

Lafaz am ini bersifat global dan tidak menunjukkan ketentuan hukum yang jelas.

Contohnya terdapat dalam QS Hud ayat 6:

‫ين‬ ٍ َ‫ع َها ۚ ُك ٌّل فى كت‬


ٍ ‫ب ُّمب‬ َ ‫َو َما من دَا َّب ٍة فى ٱ ْْل َ ْرض إ َّْل‬
َ َ‫علَى ٱ ََّّلل ر ْزقُ َها َو َي ْعلَ ُم ُم ْستَقَ َّرهَا َو ُم ْست َْود‬
“Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi
rezekinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya.
Semuanya tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh mahfuzh).” (QS Hud: 6)

Kaidah kedua: Makna tersirat itu memiliki bentuk umum

Maksudnya, makna tersirat dalam sebuah kalimat yang menyimpan atau mengandung makna
umum. Contohnya, terdapat dalam QS Al Isra’ ayat 23:

‫س ًنا ۚ إ َّما َي ْبلُغ ََّن عندَكَ ٱ ْلك َب َر أ َ َحدُ ُه َما أ َ ْو ك ََل ُه َما فَ ََل‬
َ ْ‫ضى َربُّكَ أ َ َّْل تَ ْعبُدُوا إ َّْل إيَّاهُ َوبٱ ْل َولدَيْن إح‬ َ َ‫َوق‬
‫ف َو َْل تَ ْن َه ْر ُه َما َوقُل لَّ ُه َما قَ ْو ًْل َكري ًما‬ ٍ ِّ ُ ‫تَقُل لَّ ُه َما أ‬
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan
hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang
di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka
sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu
membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.” (QS Al Isra: 23)

Kaidah ketiga: Orang yang memerintahkan sesuatu, maka ia termasuk dalam perintah
tersebut

Maka, hukum juga berlaku bagi orang yang memerintahkannya. Kecuali Allah SWT, tentu
saja.

Kaidah keempat: Pelajaran diambil dari keumuman lafaz, bukan dari kehususan sebab

Contohnya terdapat dalam hadis nabi yang diriwayatkan Abu Hurairah. Dia berkata:

Rasulullah bersabda tentang laut: airnya suci dan mensucikan,serta bangkainya halal.”
D. Dalalat ‘Am
Jumhur al-ulama, di antaranya Syafi’iyah, berpendapat bahwa lafzh al-‘am itu zhanniy
dalalat-nya atas semua satuan-satuan yang di dalamnya. Demikian pula, lafzh al-‘am, setelah
di-takhshish, sisa satuan-satuannya juga zhanniy dalalat-nya, hingga terkenalah di kalangan
mereka suatu kaidah ushuliyat yang berbunyi:
” Setiap dalil yang ‘am harus ditakhshis”
Oleh karena itu ketika lafzh ‘am ditemukan hendaklah berusaha dicarikan pen-takhshish-
nya.Atas dasar pendapat jumhur al-ulama tersebut di atas, kiranya, dapat dipahami
bahwa lafzh al-‘am itu, baik sebelum maupun sesudah di-takhshish, zhanny dalalat-nya.
Berbeda dengan jumhur al-ulama, Ulama Hanafiyah, berpendapat bahwa lafzh al-
‘am itu qath’iy dalalat-nya, selagi tidak ada dalil lain yang men-takhshish-nya atas satuan-
satuannya. Karena lafzh al-‘am itu dimksudkan oleh bahasa untuk menunjukan atas semua
satuan yang ada di dalamnya, tanpa kecuali.
Berdasarkan kedua pendapat tersebut di atas terlihat ada perbedaan. Bagi jumhur al-
‘ulama’, sejak semula, lafzh al-‘am itu zhanny dalalat-nya. Oleh karena itu dapat di-
takhshish dengan dalil zhanniy lainnya seperti khabar ahad atau qiyas. Sedangkan bagi
Ulama Hanafiyah, karena lafzh al-’am itu sejak semula qath’iy dalalat-nya, maka ia tidak
dapat di takhsish kecuali dengan dalil qath’iy. Oleh sebab itu dalil zhanniy, seperti khabar
ahad dan qiyas tidak dapat mentakhsish lafzh ‘am.
Sebagai contoh, Ulama Hanafiyah mengharamkan memakan daging binatang yang
disembelih tanpa menyebut basmallah, karena adanya firman Allah dalam surat al-An’am (6)
ayat 121, yang bersifat umu, yang berbunyi:
َ ‫َّ َ ْ ُ ْ َ ْ ُ ه‬ َُُْ َ
‫اَّلل َعل ْي ِه‬
ِ ‫م‬ ‫اس‬ ‫ر‬
ِ ‫ك‬‫ذ‬ ‫ي‬ ‫م‬ ‫ل‬ ‫ا‬ ‫م‬ ‫م‬ِ ‫وال تأ ك‬
‫وا‬‫ل‬

Dan janganlah kamu memakan binatang yang tidak disebut nama Allah ketik
menyembelinya…
Ayat tersebut, menurut mereka, tidak dapat di-takshish oleh hadist Nabi yang berbunyi:

‫يسم لم أو سمي هللا اسم علي يذبح المسلم‬


“Orang Islam itu selalu menyembelih binatang atas nama Allah, baik ia benar-benar
menyebutnya atau tidak.” (H.R. Abu Daud)
Alasannya adalah bahwa ayat tersebut qah’iy, baik dari segi wurud (turun)
maupun dalalat-nya, sedangkan hadits Nabi itu hanya zhanniy wurud-nya, sekalipun qath’iy
dalalat-nya.
Ulama Syafi’iyah membolehkan memakan daging binatang yang sisembelih orang
Islam tanpa basmalat, dengan alas an bahwa ayat itu, menurut mereka, dapat di-
takhshish dengan hadits tersebut. Karena dalalat kedua dalil itu sama zhanniy. Lafazh al-
‘am pada ayat itu zhanniy dalalat-nya, sedang hadits zhanniy pula wurud-nya dari Nabi
Muhammad SAW.
2. Pengertian al-Khash
Khas adalah “Isim Fa’il” yang berasal dari kata kerja : ُ‫ص‬ َّ ‫ َخ‬yang berarti
َ ‫ص‬
“mengkhususkan atau menentukan”. Khash menurut istilah ushul fiqh, adalah :

‫َص‬ َ ‫عدا ِم ْن‬


ٍ ‫غي ِْر خ‬ َ ‫َماَّلَ َيتَنا َ َو ُل دَ ْفعَة‬
َ َ ‫س ْيئَي ِْن فَصا‬
Artinya : Sesuatu yang tidak mencapai sekaligus dua atau lebih tanpa batas.
Adapun yang dimaksudkan dengan Takhsis dalam istilah ushul fiqh adalah :

ُ.‫ص‬
ِ ‫ص‬ َ ‫لى تَ ْق ِدي ِْر‬
َّ ‫عدَ ِم ال ُم َخ‬ َ ‫ع‬َ ‫ض كاَنَ دا َ ِخال تَحْ تَ ْالعُ ُم ْو ِم‬
ِ ‫ِإحْ را َ ُج َب ْع‬
Artinya: “mengeluarkan sebagian apa-apa yang termasuk dalam yang umum itu menurut
ukuran ketika tidak terdapat mukhasis”.
Khas menurut bahasa (etimologi) adalah lafadz yang menunjukkan arti yang tertentu,
tidak meliputi arti umum, dengan kata lain, khas itu kebalikan dari ‘âm. Sedangkan Khas
menurut istilah (trminologi) adalah lafadz yang menunjukkan sesuatu yang dibatasi dengan
pribadi atau bilangan.8 Sedangkan menurut Ulama’ Ushul Fiqh adalah Lafadz yang
diwadla’kan untuk menunjukkan kepada orang yang tertentu.

E.Bentuk Takhsis (Mukhassis)

Mukhasis sendiri terbagi menjadi dua macam, yakni mukhasis muttasil dan mukhasis
munfasil.
Mukhasis muttasil adalah dalil yang bersambung adalah apabila makna yang
mengkhususkan, berhubungan erat/bergantung pada kalimat umum sebelumnya.
Di sisi lain, mukhasis munfasil adalah dalil umum/makna dalil yang sama dengan dalil atau
makna dalil yang mengkhususkannya, masing-masing berdiri sendiri, yakni tidak berkumpul
tetapi terpisah.
F. Macam-Macam Mukhasis Munfasil
Adapun macam-macam dari mukhasis munfasil yakni:
1. Takhsis Al-Quran dengan Al-Quran
Dalil Al-Quran yang umum dikhususkan dengan dalil juga. Ulama sepakat menetapkan
bolehnya mentakhsis Al-Quran atau potongan ayat Al-Quran dengan ayat lainnya.
Contoh:
َ ‫َو ْٱل ُم‬
ْ ‫طلَّقَتُ َيت ََر َّب‬
ٍ‫صنَ بأَنفُسه َّن ثَلَثَةَ قُ ُروء‬
Artinya: “Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'”
(QS. Al-Baqarah: 228)
Ayat ini adalah ‘Am, mencakup setiap istri yang dicerai baik dalam keadaan hamil maupun
tidak, sudah digauli maupun belum. Tetapi keumuman ini ditakhsis oleh ayat dalam Surat At-
Thalaq ayat 4,
ُ‫ٱرتَ ْبت ُ ْم فَعدَّت ُ ُه َّن ثَلَثَةُ أ َ ْش ُه ٍر َوٱلَّـى لَ ْم َيحضْنَ ۚ َوأُولَت‬
ْ ‫سائ ُك ْم إن‬َ ‫َوٱلَّـى َيئسْنَ منَ ْٱل َمحيض من ِّن‬
‫ٱَّللَ َيجْ َعل لَّهۥُ م ْن أ َ ْمرهۦ يُ ْس ًرا‬
َّ ‫ض ْعنَ َح ْملَ ُه َّن ۚ َو َمن َيتَّق‬ َ ‫ْٱْلَحْ َمال أ َ َجلُ ُه َّن أَن َي‬
Artinya: “Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-
perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), maka masa iddah mereka
adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. Dan perempuan-
perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan
kandungannya. Dan barang-siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan
baginya kemudahan dalam urusannya.” (QS. At-Thalaq: 4)

2. Tahksis Al-Quran dengan Sunnah


Untuk sunnah yang kekuatannya mutawattir para ulama tidak berbeda pendapat tentang
bolehnya sunnah mentakhsis Al-Quran tetapi untuk hadits yang ahad ulama tidak sepakatakan
kebolehanya. Dalil Al-Quran yang umum dikhususkan oleh sunnah. Contoh yang ditakhsis
oleh hadits ialah:

ِّ ‫ٱَّللُ ْٱل َب ْي َع َو َح َّر َم‬


‫ٱلر َبوا‬ َّ ‫َوأ َ َح َّل‬
Artinya: “Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus
berhenti (dari mengambil riba)” (QS. Al-Baqarah: 275)

Ayat ini di takhsis oleh jual beli yang fasid sebagaimana disebutkan dalam sejumlah hadits.
Antara lain disebutkan dalam kitab sahih bukhari, dari ibnu umar, ia berkat: “Rasulullah
melarang mengambil upah dari air mani kuda jantan”.

Dalam sahihain diriwayatkan dari ibnu umar bahwa Rasulullah melarang jual beli kandungan
binatang yang mengandung, jual beli seekor unta sampai unta itu melahirkan, kemudian
anaknya itu beranak pula dan hadits-hadits lainnya. Untuk jual beli didispensasikanlah yang
bernama ariyah, yakni menjual kurma basah yang masih di pohon dengan kurma kering. Jual
beli ini diperkenankan (mubah) oleh sunnah.

Sebagaimana yang dijelaskan Jabir bin Abdillah, ia menceritakan,

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang transaksi muhaqalah, muzabanah,


muawamah, mukhabarah, dan ats-Tsunya. Namun beliau memberi keringanan untuk transaksi
Araya. (HR. Muslim no. 3994)

3. Tahksis Sunnah dengan Al-Quran


Ulama berbeda pendapat dalam mentakhsis sunnah dengan Al-Quran:
• Kebanyakan ulama fiqh dan ulma kalam yang juga diikuti mazhab hambali dan syafi’i
berpendapat boleh mentakhsis sunnah dengan Al-Quran.
• Sebagia ulama syafi’i dan satu riwayat dari Imam Ahmad berpendapat tidak boleh
sunnah di takhsis dengan Al-Quran.

Ulama membolehkan takhsis sunnah dengan Al-Quran dengan argumen sebagai beriku

Banyak terjadi keumuman sunnah ditakhsis oleh Al-Quran seperti sunnah nabi dari Abu
Hurairahm ia berkata Rasulullah SAW bersabda:

“Allah tidaklah menerima shalat salah seorang di antara kalian ketika ia berhadats sampai ia
berwudhu.” (HR. Bukhari no. 6954 dan Muslim no. 225)

Kemudia ditakhssis dengan Al-Quran dalam Surat An-Nisa ayat 43:

َ ‫س َك َرى َحتَّى تَ ْعلَ ُموا َما تَقُولُونَ َو َْل ُجنُبًا إ َّْل‬


‫عابرى‬ َّ ‫َيأ َ ُّي َها ٱلَّذينَ َءا َمنُوا َْل تَ ْق َربُوا ٱل‬
ُ ‫صلَوة َ َوأَنت ُ ْم‬
‫سفَ ٍر أ َ ْو َجا َء أ َ َحدٌ ِّمن ُكم ِّمنَ ْٱلغَائط أ َ ْو لَ َم ْست ُ ُم‬
َ ‫علَى‬ َ ‫ضى أ َ ْو‬ َ ‫سبي ٍل َحتَّى تَ ْغتَسلُوا ۚ َوإن ُكنتُم َّم ْر‬ َ
‫عفُ ًّوا‬ َّ ‫س ُحوا ب ُو ُجوه ُك ْم َوأَيْدي ُك ْم إ َّن‬
َ َ‫ٱَّللَ َكان‬ َ ‫صعيدًا‬
َ ‫ط ِّيبًا فَٱ ْم‬ َ ‫سا َء فَلَ ْم تَجدُوا َما ًء فَتَ َي َّم ُموا‬
َ ‫ٱل ِّن‬
ً ُ ‫غف‬
‫ورا‬ َ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam
keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri
masjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu
mandi. Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau
kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah
kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah
Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.” (QS. An-Nisa: 43)

4. Tahksis al Quran dengan Rayu (ijma, Qiyas, dll)

Mentakhsis Al-Quran dengan hasil ijtihad para mujtahid. Dengan demikian, menurut
sebagian ulama, takhsis itu melalui petunjuk ijma atau dengan ijma itu sendiri. Ulama lain
menganggap bahwa ijma itu menetapkan suatu hukum yang mentakhsis kumuman ayat Al-

Quran atau sunnah.


Contoh:

َّ ‫صلَوة من َي ْوم ْٱل ُج ُم َعة فَٱ ْس َع ْوا إلَى ذ ْكر‬


‫ٱَّلل‬ َ ‫َيأ َ ُّي َها ٱلَّذينَ َءا َمنُوا إذَا نُود‬
َّ ‫ى لل‬
Artinya: “Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jumat, maka
bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli.” (QS. Al-Jumuah: 9)

Secara umum ayat ini mewajibkan setiap orang beriman untuk melakukan shalat Jumat baik
laki laki maupun perempuan. Keumukan ayat ini dibatasi oleh ijma ulama yang
menyandarkan pada hadits nabi bahwa perempuan itu tidak wajib melakukan shalat Jumat.

Anda mungkin juga menyukai