Anda di halaman 1dari 11

USHUL FIQH 6 | AMM

(UMUM) DAN
KHAS (KHUSUS)
Al ‘am secara etimologi berarti merata, yang umum. Sedangkan
secara terminologi atau istilah, Muhammad Adib Saleh mendefinisikan
bahwa al ‘am adalah lafadz yang diciptakan untuk pengertian umum
sesuai dengan pengertian tiap lafadz itu sendiri tanpa dibatasi dengan
jumlah tertentu. [1]

Lafaz am ini adalah menurut kepada bentuk dari suatu lafadz, di


dalam lafadz itu tersimpul, atau masuk semua jenis yang sesuai
dengan lafadz itu. Sebagaimana kita katakan al-insan (manusia, maka
di dalam kata-kata al-insan ini termasuk semua manusia yang ada di
dunia ini,baik manusia itu kecil ataupun besar, baik dia merdeka
maupun dia masuk golongan budak, baik dia bebas maupun dia
terikat.

Adakalanya lafadz umum itu ditentukan dengan lafadz yang telah


disediakan untuk itu, seperti lafadz “kullu, jami’u, dan lain-lain.

Maka yang dimaksud dengan ‘amm yaitu suatu lafadz yang


dipergunakan untuk menunjukkan suatu makna yang pantas (boleh)
dimasukkan pada makna itu dengan mengucapkan sekali ucapan
saja.seperti kita katakan arrijal, maka lafadz ini meliputi semua laki-
laki. [2]

Manna’ Khalil al-Qattan mendefinisikan ‘Amm sebagai berikut yaitu


lafadz yang menghabiskan atau mencakup segala apa yang pantas
baginya tanpa ada pembatasan. [3]

Adapun Abdul Wahab Khalaf mendefinisikan Amm sebagai berikut


yaitu Al-‘Amm ialah lafadz yang menurut arti bahasanya menunjukkan
atas mencakup dan menghabiskan semua satu-satuan yang ada di
dalam lafadz itu dengan tanpa menghitung ukuran tertentu dari
satuan-satuan itu. [4]

Al-‘amm (keumuman) ialah lafadz yang menunjukkan pengertian yang


meliputi seluruh objek-objeknya seperti:

‫… ﺍﻻﻳﺔ‬. ٍ‫ﺍِﻥَّ ﺍْﻻِﻧْﺴَﺎﻥَ ﻟَﻔِﻲْ ﺧُﺴْﺮ‬

“sesungguhnya manusia itu dalam kerugian….”.

Lafadz Insan adalah umum, yakni menunjukkan pengertian


menyeluruh atas semua orang. [5]

Dari sini bisa disimpulkan bahwa lafadz ‘amm atau umum ialah lafadz
yang diciptakan untuk pengertian umum sesuai dengan pengertian
lafadz itu sendiri tanpa dibatasi dengan jumlah tertentu.

C. Lafal –Lafal ‘Amm seputar amm dan khas dalam al-qur’an

Menurut Manna’ Khalil Al-Qattan [6] , sedikitnya ada 6 sigat ‘Amm


diantaranya :

1. Kull , seperti firman Allah :

2. ِ‫( ﻛُﻞُّ ﻧَﻔْﺲٍ ﺫَﺍﺋِﻘَﺔُ ﺍﻟْﻤَﻮْﺕ‬ali ‘Imran : 185) dan … ٍ‫(ﺧَﺎﻟِﻖُ ﻛُﻞِّ ﺷَﻴْﺊ‬al-An’am : 102).
Searti dengan kull adalah jami’.

3. Lafaz-lafaz yang di- ma’rifah -kan dengan al yang bukan al-


‘ahdiyah. Misalnya : ٍ‫( ﻭَﺍﻟْﻌَﺼْﺮِ ﺍِﻥَّ ﺍْﻻِﻧْﺴَﺎﻥَ ﻟَﻔِﻲْ ﺧُﺴْﺮ‬al-‘Asr : 1-2). Maksudnya,
setiap manusia , berdasarkan ayat selanjutnya : ‫( ﺍِﻻَّ ﺍﻟَّﺬِﻳْﻦَ ﺍَﻣَﻨُﻮْﺍ‬al-Asr : 3).
Juga seperti : , َ‫( ﻭَﺍَﺣَﻞَّ ﺍﻟﻠﻪُ ﺍْﻟﺒَﻴْﻊ‬al-Baqarah : 275) dan ‫ﻭَﺍﻟﺴَّﺎﺭِﻕُ ﻭﺍﻟﺴَّﺎﺭِﻗَﺔُ ﻓَﺎﻗْﻄَﻌُﻮْﺍ‬
‫( … ﺃﻳْﺪِﻳَﻬُﻤَﺎ‬al-Ma’idah : 38)

4. Isim Nakirah dalam konteks Nafy dan Nahi, seperti :

5. ِّ‫( ﻓَﻼَ ﺭَﻓَﺚَ ﻭَﻻَﻓُﺴﻮْﻕَ ﻭَﻻَ ﺟِﺪَﺍﻝَ ﻓِﻲ ﺍْﻟﺤَﺞ‬al-Baqarah : 197), ِّ‫( ﻓَﻼَ ﺗَﻘُﻞْ ﻟَﻬُﻤَﺎ ﺃُﻑ‬Al-Isra’ :
23), atau dalam konteks syarat seperti
6. ِ‫( ﻭَﺍِﻥ ﺍَﺣَﺪٌ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﻤُﺸْﺮِﻛِﻴْﻦَ ﺍﺳْﺘَﺠَﺎﺭَﻙَ ﻓَﺎَﺟِﺮْﻩُ ﺣَﺘﻰَّ ﻳَﺴْﻤَﻊَ ﻛَﻼَﻡَ ﺍﻟﻠﻪ‬Al-bara’ah : 6)

7. Al-Lati dan Al-Lazi serta cabang-cabangnya. Misalnya : َ‫ﻭَﺍﻟَّﺬِﻱْ ﻗَﺎﻝ‬


‫ ( ﻟِﻮَﺍﻟِﺪَﻳْﻪِ ﺃُﻑٍّ ﻟَﻜُﻤَﺎ‬al-Ahqaf : 17) maksudnya setiap orang yang mengatakan
seperti itu, berdasarkan firman sesudahnya dalam sigat jamak, yaitu :
ُ‫( ﺍُﻭﻟَﺌِﻚَ ﺍﻟَّﺬِﻳْﻦَ ﺣَﻖَّ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﺍﻟْﻘَﻮْﻝ‬al-Ahqaf : 18)

8. Semua isim syarat.Misalnya : ‫ﻓَﻤَﻦْ ﺣَﺞَّ ﺍْﻟﺒَﻴْﺖَ ﺍَﻭِﺍﻋْﺘَﻤَﺮَﻓَﻼَ ﺟُﻨَﺎﺡَ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﺍَﻥْ ﻳَﻄَّﻮَﻑَ ﺑِﻬِﻤَﺎ‬
(al-Baqarah : 158) ini untuk menunjukkan umum bagi semua yang
berakal. Dan ‫( ﻭَﻣَﺎ ﺗَﻔْﻌَﻠُﻮْ ﻣِﻦْ ﺧَﻴْﺮٍ ﻳَﻌْﻠَﻤْﻪُ ﺍﻟﻠﻪ‬al-Baqarah : 197) ini untuk
menunjukkan bagi yang tidak berakal.

9. Ismul-Jins (kata jenis) yang di-idafat-kan kepada isim ma’rifah.


Misalnya ِ‫( ﻓَﻠْﻴَﺤْﺬَﺭِ ﺍﻟَّﺬِﻳْﻦَ ﻳُﺨَﺎﻟِﻔُﻮْﻥَ ﻋَﻦْ ﺃَﻣْﺮِﻩ‬an-Nur : 63) maksudnya segala
perintah Allah. Dan ْ‫( ﻳُﻮْﺻِﻴْﻜُﻢُ ﺍﻟﻠﻪ ﻓﻲِ ﺃَﻭْﻻَﺩِﻛُﻢ‬an-Nisa’ : 11)

10. Macam-macam ‘Amm Seputar amm dan khas dalam al-qur’an

Abdul Wahab Khalaf menyimpulkan bahwa menurut hasil penelitian


terhadap beberapa nash, telah ditetapkan bahwa al-‘amm itu ada tiga
bagian [7] : (makalah)

1. ‘Amm yang tetap dalam keumumannya ( Al-‘amm al-baqi ala


umumih)

Seperti ‘Amm dalam firman Allah SWT

‫ﻭَﻣَﺎ ﻣِﻦْ ﺩَﺍﺑَّﺔٍ ﻓِﻲ ﺍْﻻَﺭْﺽِ ﺍِﻻَّ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟﻠﻪِ ﺭِﺯْﻗُﻬَﺎ‬

“dan tidak ada satu binatang melata pun di bumi melainkan Allahlah
yang memberi rizkinya.” (QS. Hud : 6)

Dan firmannya :

ِّ‫ﻭَﺟَﻌَﻠْﻨَﺎ ﻣِﻦَ ﺍْﻟﻤﺎَﺀِ ﻛُﻞَّ ﺷَﻴْﺊٍ ﺣَﻲ‬


“ dan daripada air, kami jadikan segala sesuatu yang hidup” (QS. Al-
Anbiya : 30

Di dalam masing-masing ayat tersebut terdapat ketetapan sunnah


tuhan yang umum yang tidak ditakhsiskan atau diganti. Jadi Al-‘Amm
yang terdapat dalam dua ayat tersebut, adalah pasti dalalahnya
tentang keumumannya dan tidak mempunyai kemungkinan bahwa
yang dimaksud daripadanya adalah kekhususan.

Contoh lain seperti dicontohkan oleh Manna Khalil al-Qattan misalnya


dalam surat An-Nisa’ayat 176 : ٌ‫ ﻭﺍﻟﻠﻪ ﻋَﻠﻰَ ﻛُّﻞِّ ﺷَﻴْﺊٍ ﻗَﺪِﻳْﺮ‬Dalam surat Al-Kahfi
ayat 49 : ‫ ﻭَﻻَ ﻳَﻈْﻠِﻢُ ﺭَﺑُّﻚَ ﺃَﺣَﺪًﺍ‬. Dalam surat An-Nisa’ ayat 23 : ْ‫ﺣُﺮِّﻣَﺖْ ﻋَﻠَﻴْﻜُﻢ‬
ْ‫‘ ﺍُﻣَّﻬَﺎﺗُﻜُﻢ‬Amm dalam ayat-ayat di atas tidak mengandung kekhususan.
[8]

1. (Al-‘amm al-murad bihi al-khusus)

Yaitu ‘amm yang dibarengi dengan qorinahyang dapat meniadakan


ketetapan al-‘amm kepada keumumannya, dan dapat menjelaskan
bahwa yang dimaksud daripadanya ialah sebagian satuannya. Seperti
firman Allah :

ً‫… ﻭَﻟﻠﻪِ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟﻨَّﺎﺱِ ﺣِﺞُّ ﺍْﻟﺒَﻴْﺖِ ﻣَﻦِ ﺍﺳْﺘَﻄَﺎﻉَ ﺍِﻟَﻴْﻪِ ﺳَﺒِﻴْﻼ‬

” mengerjakan haji ke baitullah adalah kewajiban manusia terhadap


Allah”

Manusia dalam pengertian nash ini adalah ‘am, yang dimaksud


dengan itu khusus orang-orang mukallaf. Karena akal itu (sebuah
batasan) yang menetapkan tidak masuknya anak kecil dan orang-
orang gila. Seperti firman Allah :

۱٢ : ‫)ﻣَﺎﻛَﺎﻥَ ِﻷَﻫْﻞِ ﺍْﻟﻤَﺪِﻳْﻨَﺔِ ﻭَﻣَﻦْ ﺣَﻮْﻟَﻬُﻢْ ﻣِﻦَ ﺍْﻻَﻋْﺮَﺍﺏِ ﺃَﻥْ ﻳَﺘَﺨَﻠَّﻔُﻮْﺍ ﻋَﻦْ ﺭَﺳُﻮْﻝِ ﺍﻟﻠﻪِ ( ﺍﻟﺘﻮﺑﺔ‬

“tidaklah sepatutnya bagi penduduk Madinah dan orang-orang Arab


Baduwi yang berdiam di sekitar mereka, tidak turut menyertai
Rasulullah (untuk pergi berjuang) (QS. At-Taubah : 120)
Sepintas lalu difahami bahwa ayat tersebut menunjukkan makna
umum, yaitu setiap penduduk madinah dan orang-orang sekitarnya
termasuk orang-orang sakit dan orang-orang lemah harus turut
menyertai Rasulullah pergi berperang.Namun yang dimaksud oleh
ayat tersebut bukanlah makna umum itu, tetapi hanyalah orang-orang
yang mampu. [9]

Contoh lain adalah seperti firman Allah ;

( ُ‫ﺍَﻟَّﺬِﻳْﻦَ ﻗَﺎﻝَ ﻟَﻬُﻢُ ﺍﻟﻨَّﺎﺱُ ﺍِﻥَّ ﺍﻟﻨَّﺎﺱَ ﻗَﺪْ ﺟَﻤَﻌُﻮْﺍ ﻟَﻜُﻢْ ﻓَﺎﺧْﺸَﻮْﻫُﻢْ ﻓَﺰَﺍﺩَﻫُﻢْ ﺍِﻳْﻤَﺎﻧًﺎ ﻭَﻗَﺎﻟُﻮْﺍ ﺣَﺴْﺒُﻨَﺎ ﺍﻟﻠﻪُ ﻭَﻧِﻌْﻢَ ﺍْﻟﻮَﻛِﻴْﻞ‬
۱٧۳ : ‫)ﺍﻝ ﻋﻤﺮﺍﻥ‬

Maksud an-Nas yang pertama adalah Nu’aim bin Mas’ud, sedang An-
Nas kedua adalah Abu Sufyan. Kedua lafadz tersebut tidak
dimaksudkan untuk makna umum.kesimpulannya ditunjukkan pada
ayat sesudahnya ْ‫ ﺍِﻧَّﻤَﺎ ﺫَﺍﻟِﻜُﻢ‬sebab syarat dengan ْ‫ ﺫَﺍﻟِﻜُﻢ‬hanya
menunjukkan kepada satu orang tertentu.

1. ‘Amm yang di khususkan (Al-‘amm al-makhsus)

yaitu ‘amm al-Muthlaq yang dibarengi dengan qorinah yang dapat


meniadakan kemungkinan mentakhsisnya, dan tidak pula merupakan
qorinah yang dapat meniadakan dalalahnya atas umum. Seperti
kebanyakan nash yang di dalamnya terdapat sighot umum, adalah
digeneralkan dari qorinah-qorinah berupa akal atau lafadz, atau urf
(kebiasaan) yang dapat menentukan umum atau khusus. Ini jelas
umum sampai ada dalil yang mentakhsisnya.Seperti : ُ‫ﻭَﺍﻟْﻤُﻄَﻠَّﻘَﺎﺕ‬
َ‫“ﻳَﺘَﺮَﺑَّﺼْﻦ‬perempuan-perempuan yang dijatuhi talak itu menahan diri
atau menunggu” .dalam membedakan antara, al-‘am yang
dimaksudkan dengan itu al-khusus dan al-amm al-makhsus, imam
asy-Syaukani berkata : Al-‘amm yang dimaksudkan dengan itu al-
khusus ialah bukan umum. Seperti khitab-khitab taklif yang umum.
Maka yang dimaksud dengan al-amm di sana ialah khususnya orang-
orang yang menjadi objek taklif. Karena akal merupakan batasan
yang menghendaki memperkecualikan bukan mukallaf. [10]
‘Amm macam ini banyak ditemukan dalam Quran sebagaimana akan
dikemukakan nanti. Contohnya, ayat 97surat ali Imran :

ً‫ﻭَﻟﻠﻪِ ﻋَﻠﻰَ ﺍﻟﻨَّﺎﺱِ ﺣِﺞُّ ﺍﻟْﺒَﻴْﺖِ ﻣَﻦِ ﺍﺳْﺘَﻄَﺎﻉَ ﺍِﻟَﻴْﻪِ ﺳَﺒِﻴْﻼ‬

1. Pengertian Khas dan Mukhassis Seputar amm dan khas dalam al-
qur’an

Lafadz khas merupaka lawan dari lafadz ‘am, jika lafadz ‘am
memberikan arti umum, yaitu suatu lafadz yang mencakup berbagai
satuan-satuan yang bnyak, maka lafadz khas adalah suatau lafadz
yang menunjukan makna khusus. [11] Definisi lafadz khas dari para
ulama adalah sebagai berikut:

1. Menurut Manna al-Qaththan, lafadz khas adalah lafadz yang


merupakan kebalikan dari lafadz ‘am, yaitu yang tidak menghabiskan
semua apa yang pantas baginya tanpa ada pembatasan.

2. Menurut Mushtafa Said al-Khin, lafadz khas adalah setiap lafadz


yang digunakan untuk menunjukkan makna satu atas beberapa
satuan yang diketahui.

3. Sedangkan menurut Abdul Wahhab Khallaf, lafadz khas adalah


lafadz yang digunakan untuk menunjukkan satu orang tertentu. [12]

Khas adalah lawan kata ‘amm, karena itu tidak menghabiskan semua
apa yang pantas baginya tanpa pembatasan. Takhsis adalah
mengeluarkan sebagian apa yang dicakup lafadz ‘amm. Dan
mukhassis (yang mengkhususkan) ada kalanya muttasil, yaitu yang
antara ‘amm dan mukhassis tidak dipisah oleh sesuatu hal, dan
adakalanya munfasil, yaitu kebalikan dari muttasil [13]

Seperti yang dikemukakan Adib Shalih, lafadz khash adalah lafadz yang
mengandung satu satu pengertian tunggal secara tunggal atau beberapa pengertian
yang terbatas.
Sedangkan Saiful Hadi mengatakan lafadz khusus adalah lafadz yang
menunjukkan arti satu atau lebih tapi masih dapat di hitung atau
terbatas, seperti [14] ٍ‫ ﺃَﻟْﻒُ ﺭِﺟَﺎﻝ‬, ِ‫ ﺭَﺟُﻼَﻥ‬, ٌ‫ﺭَﺟُﻞ‬

Jadi yang dimaksud dengan khas ialah lafadz yang tidak meliputi
mengatakannya sekaligus terhadap dua sesuatu atau beberapa hal
tanpa menghendaki kepada batasan. [15]

5. Pembagian Mukhassis Seputar amm dan khas dalam al-qur’an

Manna’ Khalil Al-Qattan membagi mukhassin menjadi 2 bagian yaitu


mukhassin muttashil dan mukhassis munfasil. Mukhassis muttashil
ada lima diantaranya :

1. Istisna’ (pengecualian) seperti firman Allah : ْ‫ﻭَﺍﻟَّﺬِﻳْﻦَ ﻳَﺮْﻣُﻮْﻥَ ﺍﻟْﻤُﺤْﺼَﻨَﺎﺕِ ﺛُﻢَّ ﻟَﻢ‬
َّ‫ﻳَﺄْﺗُﻮْ ﺑِﺄَﺭْﺑَﻌَﺔِ ﺷُﻬَﺪَﺍﺀَ ﻓَﺎﺟْﻠِﺪُﻭْﻫُﻢْ ﺛَﻤَﺎﻧِﻴْﻦَ ﺟَﻠْﺪَﺓً ﻭَﻻَ ﺗَﻘْﺒَﻠُﻮْﺍ ﻟَﻬُﻢْ ﺷَﻬَﺎﺩَﺓً ﺃَﺑَﺪًﺍ ﻭَﺃُﻭﻟَﺌِﻚَ ﻫُﻢُ ﺍﻟﻔﺎَﺳِﻘُﻮﻥَ ﺍِﻻ‬
ْ‫( ﺍﻟَّﺬِﻳْﻦَ ﺗَﺎﺑُﻮﺍ‬An-Nur : 4-5)

2. Sifat , misalnya َّ‫ ﻭَﺭَﺑَﺎﺋِﺒُﻜُﻢُ ﺍﻟﻼﺗﻲ ﻓِﻲْ ﺣُﺠُﻮْﺭِﻛُﻢْ ﻣِﻦْ ﻧِﺴَﺎﺋِﻜُﻢُ ﺍﻟﻼَّﺗِﻲْ ﺩَﺧَﻠْﺘُﻢْ ﺑِﻬِﻦ‬lafadz
َّ‫ ﺍﻟﻼَّﺗِﻲْ ﺩَﺧَﻠْﺘُﻢْ ﺑِﻬِﻦ‬adalah sifat bagi lafadz nisa’ukum. Maksudnya, anak
perempuan istri telah digauliitu haram dinikahi oleh suami, dan halal
bila belum menggaulinya.

3. Syarat , misalnya : َ‫ﻛُﺘِﺐَ ﻋَﻠَﻴْﻜُﻢْ ﺍِﺫَﺍ ﺣَﻀَﺮَ ﺃَﺣَﺪَﻛُﻢُ ﺍﻟْﻤَﻮْﺕُ ﺍِﻥْ ﺗَﺮَﻙَ ﺧَﻴْﺮً ﺍﻟﻮَﺻِﻴَّﺔُ ﻟِﻠْﻮَﺍﻟِﺪَﻳْﻦ‬
َ‫( ﻭَﺍﻻَﻗْﺮَﺑِﻴْﻦَ ﺑِﺎﻟﻤَﻌْﺮُﻭْﻑِ ﺣَﻘَّﺎ ﻋَﻠﻰَ ﺍﻟْﻤُﺤْﺴِﻨِﻴْﻦ‬al-Baqarah : 180). lafadz ً‫ﺍِﻥْ ﺗَﺮَﻙَ ﺧَﻴْﺮ‬
(jika ia meninggalkan harta) adalah syarat dalam wasiat. Dan َ‫ﻭَﺍﻟَّﺬِﻳْﻦ‬
ً‫( ﻳَﺒْﺘَﻐُﻮْﻥَ ﺍﻟْﻜِﺘَﺎﺏَ ﻣِﻤَّﺎ ﻣَﻠَﻜَﺖْ ﺃَﻳْﻤَﻨُﻜُﻢْ ﻓَﻜَﺎﺗِﺒُﻮْﻫُﻢْ ﺍِﻥْ ﻋَﻠِﻤْﺘُﻢْ ﻓِﻴْﻬِﻢْ ﺧَﻴْﺮﺍ‬an-Nur : 33), yakni
mengetahui adanya kesanggupan untuk membayar ayau jujur dan
penghasilan.

4. Ghayah (batas sesuatu), seperti dalam ‫ﻭَﻻَ ﺗَﺤْﻠِﻘُﻮْ ﺭُﺅُﺳَﻜُﻢْ ﺣَﺘَّﻰْ ﻳَﺒْﻠُﻎَ ﺍﻟْﻬَﺪْﻱُ ﻣَﺤِﻠَّﻪ‬
(al-Baqarah : 196) dan َ‫( ﻭَﻻَ ﺗَﻘْﺮَﺑُﻮْﻫُﻦَّ ﺣَﺘَّﻰ ﻳَﻄْﻬُﺮْﻥ‬Al-Baqarah : 222)

5. Badal Ba’d min kull (sebagian menggantikan keseluruhan) Misalnya


: َ‫( ﻭَﻟﻠﻪِ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟﻨَّﺎﺱِ ﺣِﺞُّ ﺍﻟْﺒَﻴْﺖِ ﻣَﻦِ ﺍﺳْﺘَﻄَﺎﻉَ ﺍِﻟَﻴْﻪِ ﺳَﺒِﻴْﻼ‬ali Imran : 97) lafadz َ‫ﻣَﻦِ ﺍﺳْﺘَﻄَﺎﻉ‬
adalah badal dari ِ‫ ﺍﻟﻨَّﺎﺱ‬. maka kewajiban haji hanya khusus bagi
mereka yang mampu. [16]
Mukhassin munfasil adalah mukhassis yang terdapat di tempat lain,
baik ayat, hadis, ijma’ ataupun qiyas. Contoh yang ditakhsis oleh
Quran ialah : ٍ‫( ﻭﺍﻟﻤُﻄَﻠَّﻘَﺎﺕُ ﻳَﺘَﺮَﺑَّﺼْﻦَ ﺑِﺄَﻧْﻔُﺴِﻬِﻦَّ ﺛَﻼَﺛَﺔَ ﻗُﺮُﻭْﺀ‬al-Baqarah : 228). Ayat ini
adalah ‘Amm , mencakup setiap istri yang dicerai baik dalam keadaan
hamil maupun tidak, sudah digauli maupun belum. Tetapi keumuman
ini ditakhsis oleh ayat : َّ‫( ﻭﺃﻭﻻَﺕُ ﺍﻻَﺣْﻤَﺎﻝِ ﺃَﺟَﻠُﻬُﻦَّ ﺍَﻥْ ﻳَﻀَﻌْﻦَ ﺣَﻤْﻠَﻬُﻦ‬at-Thalaq : 4)
dan firmannya ٍ‫ﺍِﺫَﺍ ﻧَﻜَﺤْﺘُﻢُ ﺍﻟْﻤُﺆْﻣِﻨَﺎﺕِ ﺛُﻢَّ ﻃَﻠَّﻘْﺘُﻤﻮْﻫُﻦَّ ﻣِﻦْ ﻗَﺒْﻞِ ﺍَﻥْ ﺗَﻤَﺴُّﻮْﻫُﻦَّ ﻓَﻤَﺎﻟَﻜُﻢْ ﻋَﻠَﻴْﻬِﻦَّ ﻣِﻦْ ﻋِﺪَّﺓ‬
(al-Ahzab : 49).

Contoh yang ditakhsis oleh hadis ialah ayat : ‫( ﻭَﺍَﺣَﻞَّ ﺍﻟﻠﻪ ﺍﻟﺒَﻴْﻊَ ﻭَﺣَﺮَّﻡَ ﺍﻟّﺮِﺑَﺎ‬al-
Baqarah : 275). Ayat ini di takhsis oleh jual beli yang fasid
sebagaimana disebutkan dalam sejumlah hadis. Antara lain
disebutkan dalam kitab sahih bukhari, dari ibnu umar, ia berkata :
“Rasulullah melarang mengambil upah dari air mani kuda jantan”.

Dalam sahihain diriwayatkan dari ibnu umar bahwa Rasulullah


melarang jual beli kandungan binatang yang mengandung, jual beli
seekor unta sampai unta itu melahirkan, kemudian anaknya itu
beranak pula. (redaksi hadis ini adalah redaksi bukhari). Dan hadis-
hadis lainnya.

Dan dari jenis riba didispensasikanlah jual beli ‘ ariyah , yakni menjual
kurma basah yang masih di pohon dengan kurma kering. Jual beli ini
diperkenankan (mubah) oleh sunnah.

‫ﻋَﻦْ ﺃَﺑِﻲْ ﻫُﺮَﻳْﺮَﺓَ ﺭَﺿِﻲَ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻨْﻪُ ﺃَﻥَّ ﺭَﺳُﻮْﻝَ ﺍﻟﻠﻪ ﺻَﻞَّ ﺍﻟﻠﻪ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﺭَﺧَّﺺَ ﻓِﻲْ ﺑَﻴْﻊِ ﺍﻟْﻌَﺮَﺍﻳَﺎ ﺑِﺨِﺮﺻِﻬَﺎ‬
ٍ‫ﻓِﻴْﻤَﺎ ﺩُﻭْﻥَ ﺧَﻤْﺴَﺔِ ﺃَﻭْﺳُﻖٍ ﺃَﻭﺀ ﻓِﻲْ ﺧَﻤْﺴَﺔِ ﺃَﻭْﺳُﻖ‬

“ Dari Abi Hurairah, Bahwa Rasulullah member keringanan untuk jual


beli ‘ariyah dengan ukuran yang sama jika kurang dari lima wasaq’
(muttafaqun ‘alaihi) [17 ]

6. Takhsis sunnah dengan al-Quran

Di antara ulama ushul tidak ada perbedaan di dalam hal bahwa


mentakhsis keumuman al-Quran dengan al-Quran atau dengan as-
Sunnah yang mutawattir adalah boleh.Karena nash-nash al-Quran
dan as-Sunnah yang mutawattir itu bersifat pasti ketetapannya. Maka
sebagian bisa mentakhsis sebagian yang lain. Adapun mentakhsis al-
Quran dengan as-Sunnah yang tidak mutawattir, menurut mayoritas
ulama’ ushul boleh.Mereka beralasan bahwa hal itu terjadi, dan
sepakat mengamalkannya.

Jadi hadis: ُ‫ ﻫُﻮَ ﺍﻟﻄَﻬُﻮْﺭُ ﻣَﺎﺅُﻩُ ﺍﻟْﺤِﻞُّ ﻣَﻴْﺘَﺘُﻪ‬mentakhsis keumuman firman Allah
ُ‫ﺣُﺮِّﻣَﺖْ ﻋَﻠَﻴْﻜُﻢُ ﺍﻟْﻤَﻴْﺘَﺔ‬

Hadis ِ‫ ﻳَﺤْﺮُﻡُ ﻣِﻦَ ﺍﻟﺮَّﺿَﺎﺀِ ﻣَﺎ ﻳَﺤْﺮُﻡُ ﻣِﻦَ ﺍﻟﻨَّﺴَﺐ‬adalah mentakhsis keumuman
firman Allah ْ‫ﻭَﺃُﺣِﻞَّ ﻟَﻜُﻢْ ﻣَﺎ ﻭَﺭَﺍﺀَ ﺫَﺍﻟِﻜُﻢ‬

Mendakwakan kemutawatiran atau kemasyhuran hadis-hadis ini,


adalah tidak ada dalilnya.Inilah madzhab yang benar.Mereka yang
melarang mentakhsis keumuman al-Quran dengan as-Sunnah yang
tidak mutawattir adalah berarti menolak beberapa pengkhususan oleh
Nabi.Bagi mereka tidak ada jalan mengingkari, mentakwili, dan
menetapkan kemutawatiran hadis-hadis tersebut. [18]

Demikian ulasan singkat seputar amm dan khas dalam al-qur’an

DAFTAR PUSTAKA

Khalaf.Abdul Wahab, Kaidah-Kaidah Hukum Islam , Jakarta: PT


Rajagrafindo Persada, 1996.

Al-Qattan.Manna’ Khalil, Studi Ilmu-Ilmu Quran , Bogor: Litera Antar Nusa, 2011.

Beak.Muhammad Al-Khudhori, Ushul Fiqih , Pekalongan: Raja Murah,


1986.

Ikhwan.Mohammad Nor, Memahami Bahasa Al-qur’an , Jogjakarta:


Pustaka Pelajar, 2002,

Bakry. Bakrey, Fiqh dan Ushul Fiqh , Jakarta: PT Rajagrafindo


Persada, 1996.
Hadi.Saeful, Ushul Fiqih , Yogyakarta: Sabda Media, 2011.

Effendi. Satria, Zein. M, Ushul Fiqh , Jakarta: Prenada Media, 2005

Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel, Studi Al-Quran, Surabaya:


IAIN SA Press, 2012

[1] Satria Effendi, M. Zein, Ushul Fiqh , (Jakarta: Prenada Media,


2005), 196.

[2] Nazar Bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh , (Jakarta: PT Rajagrafindo


Persada, 1996), 184

[3] Manna’ Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Quran, (Bogor: Litera


Antar Nusa, Bogor, 2011), 312

[4] Abdul Wahab Khalaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam , (Jakarta: PT


Rajagrafindo Persada), 298

[5] Muhammad Al-Khudhori Biek, Ushul Fiqih , (Pekalongan: Raja


Murah, 1986), 187

[6] Manna’ Khalil Al-Qattan, 316.

[7] Abdul Wahab Khalaf, 305

[8] Manna’ Khalil Al-Qattan, 317

[9] Satria Effendi, M. Zein Ushul Fiqh , 199

[10] Abdul Wahab Khalaf, 306

[11] Mohammad Nor Ikhwan, Memahami Bahasa Al-qur’an ,(


Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2002), 185
[12] Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh , (Semarang: Dina
Utama, 1994), 299.

[13] Manna’ khalil Al-Qattan, 319

[14] Saeful Hadi, Ushul Fiqih , (Yogyakarta: Sabda Media, 2011), 46

[15] Nazar Bakri, 195

[16] Manna’ khalil Al-Qattan, 319

[17] Manna’ khalil Al-Qattan, 320

[18] Abdul Wahab Khalaf, 313

Anda mungkin juga menyukai