Anda di halaman 1dari 35

1

BAB I PENDAHULUAN Ushul-fiqh merupakan khazanah kekayaan ilmu yang secara langsung atau tidak langsung, turut memperkaya model keagamaan kita. Pelaksanaan syariat Islam akan susah seandainya ilmu ini tidak ada, sebab ushul-fiqh dianggap sebagai penuntun fiqh yang merupakan jawaban bagi kehidupan kita. Ilmu ini dapat menjawab beberapa masalah yang diajukan, maka agar kita dapat memanfaatkan, kita harus mengetahui jawaban apa yang perlu dibawakan oleh ilmu ini, setelah kita mengajukan pertanyaan. Di sini kita memerlukan jawaban yang benar, dan bukan debat kusir atau jawaban plintiran (safsathah). Lalu muncul pertanyaan, bagaimana kita mencari jawaban yang benar? Masalah ini, oleh kajian filsafat disebut epistemology, dan landasan epistemologi ilmu disebut metoda ilmiah. Dengan kata lain, metoda ilmiah adalah cara yang dilakukan itu dalam menyusun pengetahuan yang oleh filsafat ilmu disebut teori kebenaran. Ilmu Ushul Fiqh adalah ilmu yang agung kedudukannya, sangat penting dan banyak sekali faidahnya. Faidahnya adalah kokoh dalam menghasilkan kemampuan yang seseorang mampu dengan kemampuan itu mengeluarkan hukum-hukum syar'i dari dalil-dalilnya dengan landasan yang selamat. Dan yang pertama kali mengumpulkannya menjadi suatu bidang tersendiri adalah al-Imam asy-Syafi'i Muhammad bin Idris rohimahulloh, kemudian para 'ulama sesudahnya mengikutinya dalam hal tersebut. Maka mereka menulis dalam ilmu Ushul Fiqh tulisan-tulisan yang bermacam-macam. Ada yang berupa tulisan, sya'ir, tulisan ringkas, tulisan yang panjang, sampai ilmu Ushul Fiqh ini menjadi bidang tersendiri keberadaannya dan kelebihannya. Salah satu unsur penting yang digunakan sebagai pendekatan dalam mengkaji Islam adalah Ilmu Ushul Fiqh, yaitu ilmu yang mempelajari kaidahkaidah yang dijadikan pedoman dalam menetapkan hukum-hukum syariat yang bersifat amaliyah yang diperoleh melalui dalil-dalil yang rinci. Melalui kaidahkaidah Ushul Fiqh akan diketahui nash-nash syara dan hukum-hukum yang

ditunjukkannya. Diantara kaidah-kaidah Ushul Fiqh yang penting diketahui adalah Istinbath dari segi kebahasaan. Makalah ini akan mencoba membahas kaidah-kaidah ushul dan kaidahkaidah tasyri yang keduanya sangat penting dalam istinbath hukum. Semoga makalah yang sangat sederhana ini bisa mermanfaat.

BAB II PEMBAHASAN A. Am dan Khas Lafadz am Am menurut bahasa artinya merata, yang umum; dan menurut istilah adalah lafadz yang memiliki pengertian umum, terhadap semua apa yang termasuk dalam pengertian lafadz itu dengan hanya disebut sekaligus.1 Dengan pengertian lain, am adalah kata yang memberi pengertian umum, meliputi segala sesuatu yang terkandung dalam kata itu dengan tidak terbatas Bentuk-bentuk lafadz am Lafadz am mempunyai bentuk (sighah) tertentu, diantaranya: a. Lafadz ( setiap) dan ( seluruhnya) Misalnya firman Allah:


Tiap-tiap yang berjiwa akan mati. (Ali Imran, 185) Dan sabda Rasulullah SAW:


Setiap pemimpin diminta pertanggungjawaban terhadap yang dipimpinnya


Dialah Allah yang menjadikan untukmu segala yang ada di bumi secara keseluruhan (jamian). (Al-Baqarah:29) Lafadz dan tersebut di atas, keduanya mencakup seluruh satuan yang tidak terbatas jumlahnya. b. Kata jamak (plural) yang disertai alif dan lam di awalnya. Seperti:


Para ibu (hendaklah) meenyusukan anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi orang yang ingin menyempurnakan penyusuannya. (AlBaqarah:233)
1

Moh Rivai, ushul Fiqih, Bandung: PT. Almaarif, 1970,hlm. 47

Kata al-walidat dalam ayat tersebut bersifat umum yang mencakup setiap yang bernama atau disebut ibu. c. Kata benda tunggal yang di marifatkan dengan alif-lam.


Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba (Albaqarah: 275). Lafadz al-bai (jual beli) dan al-riba adalah kata benda yang di marifatkan dengan alif lam. Oleh karena itu, keduanya adalah lafadz am yang mencakup semua satuan-satuan yang dapat dimasukkan kedalamnya. d. Lafadz Asma al-Mawshul.


Sesungguhnya orang-orang yang (al-ladzina) memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sebeenarnya mereka itu menelan api sepenuh perut dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala. (An-Nisa:10) Dalalah Lafadz am Jumhur Ulama, di antaranya Syafiiyah, berpendapat bahwa lafadz am itu dzanniy dalalahnya atas semua satuan-satuan di dalamnya. Demikian pula, lafa{dz am setelah di-takhshish, sisa satuan-satuannya juga dzanniy dalalahnya, sehingga terkenallah di kalangan mereka suatu kaidah ushuliyah yang berbunyi:


Setiap dalil yang am harus ditakhshish. Oleh karena itu, ketika lafadz am ditemukan, hendaklah berusaha dicarikan pentakhshishnya. Berbeda dengan jumhur ulama, Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa lafadz am itu qathiy dalalahnya, selagi tidak ada dalil lain yang mentakhshishnya atas satuan-satuannya. Karena

lafadz am itu dimaksudkan oleh bahasa untuk menunjuk atas semua satuan yang ada di dalamnya, tanpa kecuali. Sebagai contoh, Ulama Hanaifiyah mengharamkan memakan daging yang disembelih tanpa menyebut basmalah, karena adanya firman Allah yang bersifat umum, yang berbunyi:


dan janganlah kamu memakan binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya. (Al-An`m:121) Ayat tersebut, menurut mereka, tidak dapat ditakhshish oleh hadits Nabi yang berbunyi:

) . )
Orang Islam itu selalu menyembelih binatang atas nama Allah, baik ia benar-benar menyebutnya atau tidak. (H.R. Abu Daud) Alasannya adalah bahwa ayat tersebut qathiy, baik dari segi wurud (turun) maupun dalalah-nya, sedangkan hadits Nabi itu hanya dzanniy wurudnya, sekalipun dzanniy dalalahnya. Ulama Syafiiyah membolehkan, alasannya bahwa ayat itu dapat ditakhshish dengan hadits tersebut. Karena dalalah kedua dalil itu samasama dzanniy. Lafadz am pada ayat itu dzanniy dalalahnya, sedang hadits itu dzanniy pula wurudnya dari Nabi Muhammad SAW. Macam-macam lafadz am a. Lafadz am yang dikehendaki keumumannya karena ada dalil atau indikasi yang menunjukkan tertutupnya kemungkinan ada takhshish (pengkhususan). Misalnya:

Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam kitab yang nyata (Lohmahfuz).( Hud:6). Yang dimaksud adalah seluruh jenis hewan melata, tanpa kecuali. b. Lafadz am tetapi yang dimaksud adalah makna khusus karena ada indikasi yang menunjukkan makna seperti itu. Contohnya:


Tidaklah sepatutnya bagi penduduk Madinah dan orang-orang Arab Badui yang berdiam di sekitar mereka, tidak turut menyertai Rasulullah (pergi berperang) dan tidak patut (pula) bagi mereka lebih mencintai diri mereka daripada mencintai diri Rasul. (At-Taubah: 120). Yang dimaksud ayat tersebut bukan seluruh penduduk Mekah, tapi hanya orang-orang yang mampu. c. Lafadz am yang terbebas dari indikasi yang dimaksud makna umumnya atau sebagian cakupannya. Contoh:


Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru.( Al-Baqarah: 228). Lafadz am dalam ayat tersebut adalah al-muthallaqat (wanita-wanita yang ditalak), terbebas dari indikasi yang menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah makna umum atau sebagian cakupannya.

Lafadz Khas

Khas ialah perkataan atau susunan yang menunjukkan arti sesuatu yang tertentu, tidak meliputi arti umum, dengan kata lain, khas itu kebalikan dari `m.2 Al-khas adalah lafadz yang diciptakan untuk menunjukkan pada perseorangan tertentu, seperti Muhammad. Atau menunjukkan satu jenis, seperti lelaki. Atau menunjukkan beberapa satuan terbatas, seperti tiga belas, seratus, sebuah kaum, sebuah masyarakat, sekumpulan, sekelompok, dan lafadz-afadz lain yang menunjukkan bilangan beberapa satuan, tetapi tidak mencakup semua satuan-satuan itu. Dalalah Khash Dalalah khas menunjuk kepada dalalah qathiyyah terhadap makna khusus yang dimaksud dan hukum yang ditunjukkannya adalah qathiy, bukan dzanniy, selama tidak ada dalil yang memalingkannya kepada makna yang lain. Misalnya, firman Allah:


Tetapi jika ia tidak menemukan binatang korban atau tidak mampu), maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji..(Al-Baqaarah :196) Lafadz tsalatsah (tiga) dalam ayat di atas adalah khas, yang tidak mungkin diartikan kurang atau lebih dari makna yang dikehendaki oleh lafadz itu. Oleh karena itu dalalah maknanya adalah qathiy dan dalalah hukumnya pun qathiy. Akan tetapi, apabila ada qarinah, maka lafadz khas harus ditakwilkan kepada maksud makna yang lain. Sebagai contoh hadits Nabi yang berbunyi:


pada setiap empat puluh kambing, wajib zakatnya seekor kambing.
2

Ibid, hlm. 58

Menurut jumhur ulama, arti kata empat puluh ekor kambing dan seekor kambing, keduanya adalah lafadz khas. Karena kedua lafadz tersebut tidak mungkin diartikan lebih atau kurang dari makna yang ditunjuk oleh lafadz itu sendiri. Dengan demikian, dalalah lafadz tersebut adalah qathiy. Tetapi menurut Ulama Hanafiyah, dalam hadits tersebut terdapat qarinah yang mengalihkan kepada arti yang lain. Yaitu bahwa fungsi zakat adalah untuk menolong fakir miskin. Pertolongan itu dapat dilakukan bukan hanya dengan memberikan seekor kambing, tetapi juga dapat dengan menyerahkan harga seekor kambing yang dizakatkan. Takhshish Ketika membicarakan lafadz am dan lafadz khas, tidak bisa terlepas dari takhshish. Menurut Khudari Bik dalam bukunya Ushul al-Fiqh, takhshish adalah penjelasan sebagian lafadz am bukan seluruhnya. Atau dengan kata lain, menjelaskan sebagian dari satuan-satuan yang dicakup oleh lafadz am dengan dalil. Macam-macam takhshish a. Mentakhshish ayat Al-Quran dengan ayat Al-Quran. Misalnya:


Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru.(Al-Baqarah:228). Ketentuan dalam ayat di atas berlaku umum, bagi mereka yang hamil atau tidak. Tapi ketentuan itu dapat ditakhshish dengan surat At-Thalaq ayat 4 sebagai berikut:

Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu idah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya.(At-Thalaq:4) Dapat pula ditakhshish dengan surat Al-Ahzab:49:


Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuanperempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka sekali-kali tidak wajib atas mereka idah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya.(Al-Ahzab:49). Dengan demikian keumuman bagi setiap wanita yang dicerai harus beriddah tiga kali suci tidak berlaku bagi wanita yang sedang hamil dan yang dicerai dalam keadaan belum pernah digauli. b. Mentakhshish Al-Quran dengan As-Sunnah. Misalnya firman Allah dalam Al-Maidah ayat 38:


Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai).(Al-Maidah:38). Dalam ayat di atas tidak disebutkan batasan nilai barang yang dicuri. Kemudian ayat di atas ditakhshish oleh sabda Nabi SAW:

) . )
Tidak ada hukuman potong tangan di dalam pencurian yang nilai barang yang dicurinya kurang dari seperempat dinar. (H.R. AlJamaah).

10

Dari ayat dan hadits di atas, jelaslah bahwa apabila nilai barang yang dicuri kurang dari seperempat dinar, maka si pencuri tidak dijatuhi hukuman potong tangan. c. Mentakhshish As-Sunnah dengan Al-Quran. Misalnya hadits Nabi SAW yang berbunyi:

.
Allah tidak menerima shalat salah seorang dari kamu bila ia berhadats sampai ia berwudhu. (Muttafaq Alayh). Hadits di atas kemudian ditakhshish oleh firman Allah dalam Al-Maidah ayat 6


dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih). (Al-Maidah:6). Keumuman hadits di atas tentang keharusan berwudhu bagi setiap orang yang akan shalat, ditakhshish dengan tayammum bagi orang yang tidak mendapatkan air, sebagaimana firman Allah di atas. d. Mentakhshish As-Sunnah dengan As-Sunnah. Misalnya hadits Nabi SAW:

.
Pada tanaman yang disirami oleh air hujan, zakatnya sepersepuluh. (Muttafaq Alayh).

11

Keumuman hadits di atas tidak dibatasi dengan jumlah hasil panennya. Kemudian hadits itu ditaksis oleh hadits lain yang berbunyi:

.
Tidak ada kewajiban zakat pada taanaman yang banyaknya kurang dari 5 watsaq (1000 kilogram). (Muttafaq Alayh). Dari kedua hadits di atas jelaslah bahwa tidak semua tanaman wajib dizakati, kecuali yang sudah mencapai lima watsaq. e. Mentakhsish Al-Quran dengan Ijma.


apabila diseru untuk menunaikan sembahyang pada hari Jumat, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. (Al-Jumah:9). Menurut ayat tersebut, kewajiban shalaat Jumat berlaku bagi semua orang. Tapi para ulama telah sepakat (ijma) bahwa kaum wanita, budak dan anak-anak tidak wajib shalat Jumat. f. Mentakhshish Al-Quran dengan qiyas. Misalnya:


Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiaptiap seorang dari keduanya seratus kali dera. (An-Nur:2). Keumuman ayat di atas ditakhshish oleh An-Nisa ayat 25:

12

Apabila mereka telah menjaga diri dengan kawin, kemudian mereka mengerjakan perbuatan yang keji (zina), maka atas mereka separo hukuman dari hukuman wanita-wanita merdeka yang bersuami. (AnNisa:25). Ayat di atas menerangkan secara khusus, bahwa hukuman dera bagi pezina budak perempuan adalah saparuh dari dera yang berlaku bagi orang merdeka yang berzina. Kemudian hukuman dera bagi budak laki-laki diqiyaskan dengan hukuman bagi budak perempuan, yaitu lima puluh kali dera. g. Mentakhshish dengan pendapat sahabat. Jumhur ulama berpendapat bahwa takhshish hadits dengan pendapat sahabat tidak diterima. Sedangkan menurut Hanafiyah dan Hanbaliyah dapat diterima jika sahabat itu yang meriwayatkan hadits yang ditakhshishnya. Misalnya:

. .
Barangsiapa menggantikan agamanya (dari agama Islam ke agama lain, yaitu murtad), maka bunuhlah dia. (Muttafaq Alayh). Menurut hadits tersebut, baik laki-laki maupun perempuan yang murtad hukumnya dibunuh. Tetapi Ibnu Abbas (perawi hadits tersebut) berpendapat bahwa perempuan yang murtad tidak dibunuh, hanya dipenjarakan saja. Pendapat di atas ditolak oleh Jumhur Ulama yang mengatakan bahwa perempuan yang murtad juga harus dibunuh sesuai dengan ketentuan umu hadits tersebut. Pendapat sahabat yang mentakhshish keumuman hadits di atas tidak dibenarkan karena yang menjadi pegangan kita, kata Jumhur Ulama, adalah lafadz-lafadz umum yang datang dari Nabi. Di samping itu,

13

dimungkinkan bahwa sahabat tersebut beramal berdasarkan dugaan sendiri. B. Nahi dan Amar Nahi Pembicaraan ulama dalam pembahasan tentang amar yang menyangkut hakikat, sikap dalam mengucapkan, dan kedudukan yang memberikannya, berlaku pula dalam pembicaraan tentang nahi. Hal ini pun berpengaruh dalam merumuskan definisi nahi tersebut. Ulama yang mensyaratkan kedudukan yang lebih tinggi bagi yang menyuruh memberikan definisi sebagai berikut:


Tuntutan untuk meninggalkan dari pihak yang lebih tinggi kepada yang lebih rendah. Ulama yang mempersyaratkan adanya sikap meninggi waktu menyampaikan nahi itu memberi definisi:


Tuntutan untuk meninggalkan meninggi. Definisi yang lebih lengkap ialah:


Tuntutan untuk meninggalkan secara pasti tidak menggunakan Tinggalkanlah, atau yang sejenisnya. Penunjukan atau Tuntutan Nahi

14

Nahi itu menuntut untuk meninggalkan suatu perbuatan dengan kata yang didahului oleh kata ( la tafal) atau yang sewazan dengan kata itu. Dalam Al-Quran, nahi yang menggunakan kata larang itu mengandung beberapa maksud: Untuk hukum haram. Misalnya firman Allah dalam Qs. Al Isra ayat 33:


Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar. Dan barang siapa dibunuh secara lalim, maka sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan Untuk makruh. Misalnya sabda Nabi dalam hadits:


Di antara kamu sekalian jangan memegang kemaluannya dengan tangan kanan ketika buang air kecil.

Hakikat Larangan Untuk apa sebenarnya nahi itu dalam pengertian lughawi? Hal ini menjadi perbincangan di kalangan ulama. Pembicaraan dan pendapat yang berkembang dalam hal ini sama dengan pendapat yang berkembang dalam membicarakan hakikat amar. Yaitu: Jumhur ulama yang berpendapat bahwa amar itu menurut hakikat ashalnya adalah untuk wujub, dan nahi itu adalah untuk haram, nahi baru bisa menjadi bukan

15

haram bila ada dalil lain yang menunjukkannya. Dalam hal ini jumhur ulama mengemukakan sebuah kaidah yang populer: Asal dari larangan adalah untuk hukum haram .Ulama Mutazilah berpendapat bahwa hakikat amar adalah nadb (sunnah), dan nahi itu menimbulkan hukum karahah (makruh). Berlakunya untuk haram tidak diambil dari larangan itu sendiri, tetapi karena ada dalil lain yang memberi petunjuk. Ulama yang berpendapat bahwa lafaz amar itu pengertiannya musytarak, dan nahi itu musytarak (pengertian ganda) antara beberapa maksud tersebut di atas. Amar Dari segi bahasa amar artinya suruhan. Sedang menurut istilah ialah : Suatu lafaz yang dipergunakan oleh orang yang lebih tinggi derajatnya kepada orang yang lebih rendah untuk meminta bawahannya mengerjakan suatu pekerjaan yang tidak boleh ditolak. Bentuk-bentuk Amar: Kata yang menunjukkan kepada perintah seperti yang dimaksudkan dalam pengertian di atas mempunyai beberapa bentuk, yaitu : a. FiiI Amar, seperti : Berikanlah maskawin (Mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. b. FiiI Mudhari,seperti : Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat. c. Isim Fiil Amar, seperti :

16

Jagalah Dirimu. d. Masdar Pengganti Fiil, seperti : Dan berbuat baiklah kepada Ibu Bapak. e. Jumlah khabariyah/kalimat berita, seperti : Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru. f. Kata yang mengandung makna perintah, dan sebagai jawab syarat, dan sebagainya. Di bawah ini akan dikemukakan contoh-contohnya. Menggunakan kata faradha : Sesungguhnya Kami telah mengetahui apa yang Kami wajibkan kepada mereka tentang istri-istri mereka. Menggunakan kata kutiba: Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa. Kaidah-kaidah Amar: Kaidah-kaidah amar yaitu ketentuan-ketentuan yang dipakai para mujtahid dalam mengistimbatkan hukum. Ulama Ushul merumuskan kaidah-kaidah amar dalam lima bentuk, yaitu : Kaidah pertama : Pada dasarnya amar perintah itu menunjukkkan kepada wajib dan tidak menujukkan kepada selain wajib kecuali dengan qarinah, antara lain seperti berikut ini.

17

a. Nadb, anjuran (sunnat), seperti : Hendaklah kamu buat perjanjian dengan mereka, jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka. b. Irsyad , membimbing atau memberi petunjuk, seperti : Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli. Ada perbedaan Amar dalam bentuk irsyad dengan yang berbentuk nadb. Dengan nadb diharapkan mendapat pahala, sedang Irsyad untuk kemaslahatan serta kebaikan yang berhubungan dengan adat istiadat dan sopan santun etika saja. c. Ibahah, boleh dikerjakan dan boleh ditinggalkan, seperti : Makan dan minumlah. Kaidah Kedua : Perintah setelah larangan menunjukkan kepada kebolehan. Yang dimaksud dengan kaidah di atas yaitu apabila ada perbuatan-perbuatan yang sebelumnya dilarang, lalu datang perintah mengerjakan, maka perintah tersebut bukan perintah wajib tetapi hanya bersifat membolehkan, coba perhatikan firman Allah dalam surat Al-Jumuah ayat 10 : Apabila shalat (jumat) telah dilaksanakan maka bertebaranlah di muka bumi dan carilah karunianya (Rezeki) Allah. Ayat tersebut menerangkan bahwa setelah selesai mengerjakan shalat Jumat diperbolehkan melakukan suatu aktivitas lain, termasuk jual beli. Padahal dalam ayat lain Allah menyuruh meninggalkan (melarang) kegiatan jual beli bila

18

panggilan shalat Jumat telah dikumandangkan, sebagaimana firman-Nya dalam surat Al-Jumuah ayat 9 sebagai berikut : Wahai orang-orang yang beriman, apabila telah dipanggil untuk melaksanakn shalat pada hari Jumat, maka bersegeralah kepada mengingat Allah dan tinggalkan jual beli. Oleh karena itu, perintah bertebaran di muka bumi sebagaimana yang dijelaskan dalam ayat 10 tidak bersifat wajib, tetapi hanya dibolehkan. Kaidah Ketiga : Pada dasarnya penintah itu tidak menghendaki segera dilaksanakan. Misalnya tentang haji, seperti firman Allah dalam surat Al-Hajj 27 : Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, dan hadits nabi saw dinyatakan. Sesungguhnya Allah telah mewajibkan kepadamu (untuk melaksanakan) haji, maka berhajilah kamu. Jumhur Ulama sepakat bahwa perintah mengerjakan sesuatu yag berhubungan dengan waktu, maka harus dikerjakan sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan dan tidak boleh di luar waktu. Bila dilakukan di luar waktu tanpa sebab yang dibenarkan oleh syara maka hukumnya akan berdosa. Kaidah Keempat : Pada dasamya perintah itu tidak menghendaki pengulangan (berkali-kali mengerjakan perintah). Contohnya perintah menunaikan ibadah haji, yaitu hanya satu kali seumur hidup. Maka seandainya ada orang yang berpendapat perintah haji tersebut dimaksudkan pengulangan (beberapa kali), maka orang tersebut harus mampu menunjukkan qarinah atau kalimat yang menunjukkan kepada pengulangan.

19

Kaidah Kelima Memerintahkan mengerjakan sesuatu berarti memerintahkan pula segala wasilahnya. Kaidah ini menjelaskan bahwa perbuatan yang diperintahkan itu tidak bisa terwujud tanpa disertai dengan sesuatu perbuatan lain yang dapat mewujudkan perbuatan yang diperintah itu. misalnya kewajiban melaksanakan shalat. Shalat ini tidak dapat dikerjakan tanpa suci terlebih dahulu. Karena itu, perintah shalat berarti juga perintah bersuci. Dalam kaitannya dengan masalah ini, Ulama menetapkan kaidah : Tiap-tiap perkara yang kewajiban tidak sempurna kecuali dengannya, maka perkara itu wajib pula. C. Muthlaq Muqayyad Mutlaq ialah lafal-lafal yang menunjkkan kepada pengertian dengan tidak ada ikatan (batas) yang tersendiri berupa perkataan, seperti firman Allah SWT Maka (wajib atasnya) memerdekakan seseorang hamba hamhaya(QS. Mujadalah : 3) Muqqad ialah suatu lafal yang menunjukkan atas pengertian yang mempunyai batas tertentu berupa perkataan (Drs. H. Syafii karim, hal 171) Bentuk-bentuk mutlaq dan muqayyad Kaidah lafazh mutlaq dan muqayyad dapat dibagi dalam lima bentuk yaitu Suatu lafazh di pakai dengan mutlak pada suatu nash, sedangkan pada nash lain digunakan dengan muqayyad Lafazh mutlaq dan muqayyad berlaku sama pada hukum dan sebabnya Lafazh mutlaq dan muqayyad yang belaku pada nash itu berbeda.

20

Mutlaq dan muqayyad berada dalam hukum sedangkan sebab

hukumnya sama - Mutlaq dan muqayyad sama dalam hukumnya, tetapi berbeda dalam sebabnya.3 Hukum lafazh mutlaq dan muqayyad Tidak berbeda (sama) hukum dan sebabnya, dalam hal ini mutlaq harus dibawa kepada muqayyad, artinya muqayyad menjadi penjesan terhadap mutlaq Beramal dengan nash yang muthlaq Wajib beramal dengan nash yang mutlak berdasarkan kemutlakannya kecuali jika ada dalil yang men-taqyid-nya (mengikatnya), karena beramal dengan nash-nash dari Al-Kitab dan As-Sunnah adalah wajib berdasarkan atas apa-apa yang menjadi konsekuensi penunjukkan-penunjukannya sampai ada dalil yang menyelisihi hal itu. Wajib beramal dengan nash yang mutlak berdasarkan kemutlakannya kecuali jika ada dalil yang men-taqyid-nya (mengikatnya), karena beramal dengan nash-nash dari Al-Kitab dan As-Sunnah adalah wajib berdasarkan atas apa-apa yang menjadi konsekuensi penunjukkanpenunjukannya sampai ada dalil yang menyelisihi hal itu. Jika terdapat nash yang mutlak dan nash yang muqoyyad, wajib mengikat nash yang mutlak tersebut dengan nash yang muqoyyad jika hukumnya satu (dalam satu permasalahan, pent), dan jika tidak, maka setiap nash diamalkan berdasarkan apa-apa yang ada padanya, dari mutlak atau muqoyyad.

D. Mantuq dan Mafhum Yang dimaksud dengan manfuq dan mafhum yaitu manfuq ialah sesuatu yang ditunjuk lafal dan ucapan lafal itu sendiri, mafhum ialah sesuatu yang ditunjuk oleh lafal, tetapi bukan dari ucapan lafal itu sendiri. Jadi, manfuq ialah pengertian yang ditunjukkan oleh lafal ditempat pembicaraan dan mafhum ialah pengertian
3

Rachamat Syafei, Ilmu Ushul Fiqih, Bandung : CV Pustaka setia, 2007, hlm. 212-213

21

yang dinjukkan oleh lafal tidak ditempat pembicaan, tetapi dari pemahaman terdapat ucapan tersebut. Seperti firman Allah


maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah"(QS. Al Isra : 23) Dilalah Mafhum Dilalah mafhum dibedakan menjadi dua macam yaitu mafhum muwafaqah, dan mafhum mukhalfah. 1. dapat dibedakan kepada a. Fahwar al khitab, yatu apabila yang dipahamkan lebih utama hukumnya dari pada yang diucapkan seperti memukul orang tua lebih tidak boleh hukumnya, firman Allah yang artinya jangan kamu katakan kata-kata yang kaji kepada dua orang ibu bapakmu sedangkan kata-kata yang keji saja tidak boleh (dilarang) apabila memkulnya. b. Lahn al khitab, yaitu apabila yang tidak diucapkan sama hukumannya dengan diucapkan, seperti firman, Allah SWT : Mafhum Muwafadah, yaitu pengertian yang dipahami sesuatu menuruf ucapan lafal yang disebutkan mafhum muwafaqah


Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara lalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka). (QS. An Nisa : 10) 2. Mafhum Muklafah, Yaitu pengertian yang dipahami dari dada ucapan, baik dalam istinbat (Menempatkan) maupun nafi (meniadakan), Oleh karena itu hal yang di pahami selalu kebalikannya dari pada bunyi lafal yang diucapkan.4 3. Pendapat para ulama tetang mafhum dan mukhalafah. Ulama Hanafiyah tidak memandang mafhum mukhalafah sebagai salah salah satu metode penafiran nash syara tegasnya menurut mereka, mafhum mukhlafafah itu bukan suatu metode untuk penetapan hukum, alasan mereka adalah :

Syafii Karim, Ushul Fiqih, Bandung : CV Pustaka Setia, 1997, hlm. 177-179

22

a. Sesungguhnya banyak nash syara yang apabila diambil mafhum mukhalafahnya akan rusak pengertiannya b. Sifat yang terdapat pada nash syara, dalam banyak hal bukan untuk pembatasan hukum melainkan untuk targib dan tarhib. c. Seandainya mafhum mukhalafahnya itu dapat di jadikan hujjah syara maka suatu nash yang telah menyebut suatu sifat tidak perlu lagi disebut nash yang menerangkan hukum kebalikan hukum dari sifat tersebut. E. Maslahah-Mursalah Teori maslahah-mursalah atau istislah, pertama kali diperkenalkan oleh Imam Malik (W. 97 H.), pendiri mazhabMalik. Namun karena pengikutnya yang lebih akhir mengingkari hal tersebut, maka setelah abad ketiga hijriyah tidak ada lagi ahli usul fiqih yang menisbatkan maslahahmursalah kepada Imam Malik,5 sehingga tidak berlebihan jika ada pendapat yang menyatakan bahwa teori maslahah-mursalah ditemukan dan dipopulerkan oleh ulama-ulama usul fiqih dari kalangan asy-Syafiiyah yaitu Imam al-Haramain al- Juwaini (w. 478 H.), guru Imam al-Ghazali. Dan menurut beberapa hasil penelitian. ahli usul fiqih yang paling banyak membahas dan mengkaji maslahah-mursalah adalah Imam alGhazali yang dikenal dengan sebutan hujjatul Islam.6 Imam Malik oleh penulis muslim digolongkan ke dalam golongan sahabat kecil, karena di waktu kecilnya, dia sempat bertemu dengan Rasulullah. Imam Malik merupakan salah seorang imam mujtahid yang empat (Malik, Hanafi, asySyafii dan Hambali) yang sempat bertemu dan belajar banyak kepada para sahabat Nabi. Metode ijtihad yang dipakai oleh Imam Malik dalam rangka menggali hukum (istinbath) ada dua yaitu; qiyas dan istislah atau maslahah-mursalah. Metode qiyas dipraktekkan atau digunakan oleh Imam Malik apabila ada nass tertentu, baik al-Quran maupun as-Sunnah yang mendasarinya. Sedangkan
5

Wael B. Hallag, A History of Islamic Legal Theories, Alih bahasa E. Kusnadiningrat, Jakarta: Rajawali Press, 2000 hal. 165-166. 6 Ahmad Munif Suratmaputra, Fisafat Hukum Islam al-Ghazali; Maslahah-Mursalah dan Relevansinya dengan Pembaruan Hukum Islam, Jakarta, Pustaka Firdaus, 2002, hal.63-64

23

metode istislah atau maslahah-mursalah dipraktekkan oleh Imam Malik apabila masalah (hukum) yang sedang dihadapi, tidak ada satupun nass yang mendasarinya, baik yang membenarkan maupun yang melarangnya, bahkan dalam kasus-kasus tertentu, Imam Malik menggunakan metode maslahah-mursalah dalam men-takhsis ayat-ayat al-Quran yang bersifat umum.7 Dan yang menjadi bahasan di sini hanya metode istislah atau maslahah-mursalah. Lalu apa yang dimaksud dengan maslahah-mursalah? Kata maslahah yang dalam Bahasa Indonesia dikenal dengan maslahat, berasal dari Bahasa Arab yaitu maslahah. Maslahah ini secara bahasa atau secara etimologi berarti manfaat, faedah, bagus, baik, kebaikan, guna atau kegunaan.8 Maslahah merupakan bentuk masdar (adverd) dari fiil (verb) salaha. Dengan demikian terlihat bahwa, kata maslahah dan kata manfaat yang juga berasal dari Bahasa Arab mempunyai makna atau arti yang sama. Persyaratan dan Ruang Lingkup Maslahah-Mursalah Agar maslahah-mursalah dapat diterima sebagai dasar dalam menetapkan hukum Islam maka para Imam Mujtahid, di antaranya Imam al-Ghazali, asySyatibi fan at-Tufi membuat rersyaratan dan ruang lingkup operasional maslahahmursalah. Persyaratan yang mereka buat berbeda satu sama lain, namun ruang lingkup operasionalnya mereka mempunyai pendapat yang sama sebagaimana terlihat dalam bahasan di bawah ini. Al-Ghazali membuat batasan operasional maslalah-mursalah untuk dapat diterima sebagai dasar dalam menetapkan hukum Islam; pertama, maslahat tersebut harus sejalan dengan tujuan penetapan hukum Islam yaitu memelihara agama, jiwa, akal, harta dan keturunan atau kehormatan. Kedua, maslahat tersebut tidak boleh bertentangan dengan al-Quran, as-Sunnah dan ijma. Ketiga, maslahat tersebut menempati level daruriyah (primer) atau hajiyah (sekunder)
7

Abdul Wahaf Khallaf, Sejarah Pembentukan dan Perkembangan Hukum Islam, Jakarta: Rajawali Press, 2003 hlm. 110. 8 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1996 cet ke 2, hlm. 634.

24

yang setingkat dengan daruriyah. Keempat, kemaslahatannya harus berstatus qati atau zann yang mendekati qati. Kelima, dalam kasus-kasus tertentu diperlukan persyaratan, harus ersifat qatiyah, daruriyah,dan kulliyah.9 Berdasarkan persyaratan operasional yang dibuat oleh Imam al-Ghazali di atas terlihat bahwa Imam al-Ghazali tidak memandang maslahah-mursalah sebagai dalil yang berdiri sendiri, terlepas dari al-Quran, as-Sunnah dan ijma. Imam alGhazali memandang maslahah-mursalah hanya sebagai sebuah metode istinbath (menggali/penemuan) hukum, bukan sebagai dalil atau sumber hukum Islam. Sedangkan ruang lingkup operasional maslahah-mursalah tidak disebutkan oleh Imam al-Ghazali secara tegas, namun berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Ahmad Munif Suratmaputra terhadap contoh-contoh kasus maslahahmursalah yang dikemukakan oleh Imam al-Ghazali dalam bukubukunya (al-Mankhul, Asas al-Qiyas, Shifa al-Galil, al-Mustafa) dapat disimpulkan bahwa Imam al-Ghazali membatasi ruang lingkup operasional maslahah-mursalah yaitu hanya di bidang muamalah saja.10 F. Mujmal dan Mubayyan Mujmal secara bahasa mubham (yang tidak diketahui) dan yang terkumpul. Sedangkan secara istilah : "Apa yang dimaksud darinya ditawaqqufkan terhadap yang selainnya, baik dalam ta'yinnya (penentuannya) atau penjelasan sifatnya atau ukurannya." Contoh yang membutuhkan dalil lain dalam ta'yin/penentuannya: Firman Alloh ta'ala: "Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'" [QS. Al-Baqoroh : 228] Quru' ( ) adalah lafadz yang musytarok (memiliki beberapa makna) antara haidh dan suci, maka menta'yin salah satunya membutuhkan dalil.

Muhammad Khalid Masud, Islamic Legal Philosophy: A Study of Abu Ishaq al- Shatibis Life and Thought, Pakistan, Islamabad: Islamic Research Institute, 1997 hal. 149-150. 10 Ahmad Munif Suratmaputra, Op. Cit, hlm. 144

25

Contoh yang membutuhkan dalil lain dalam penjelasan sifatnya : Firman Alloh "Dan dirikanlah sholat" [QS. Al-Baqoroh : 43] Maka tata cara mendirikan sholat tidak diketahui (hanya dengan ayat ini), membutuhkan penjelasan. Contoh yang membutuhkan dalil lain dalam penjelasan ukurannya Firman Alloh "Dan tunaikanlah zakat" [QS. Al-Baqoroh : 43] Ukuran zakat yang wajib tidak diketahui (hanya dengan ayat ini), maka membutuhkan penjelasan. Definisi Mubayyan Mubayyan secara bahasa : ( ) yang ditampakkan dan yang dijelaskan. Sedangkan secara istilah : "Apa yang dapat difahami maksudnya, baik dengan asal peletakannya atau setelah adanya penjelasan." Contoh yang dapat difahami maksudnya dengan asal peletakannya : lafadz : langit ( ,) bumi ( ,) gunung ( ,) adil ( ,) dholim ( ,) jujur ( .)Maka kata-kata ini dan yang semisalnya dapat difahami dengan asal peletakannya, dan tidak membutuhkan dalil yang lain dalam menjelaskan maknanya. Contoh yang dapat difahami maksudnya setelah adanya penjelasan firman Alloh: "Dan dirikanlah sholat dan tunaikan zakat" [QS. Al-Baqoroh : 43] Maka mendirikan sholat dan menunaikan zakat, keduanya adalah mujmal, tetapi pembuat syari'at (Alloh ta'ala) telah menjelaskannya, maka lafadz keduanya menjadi jelas setelah adanya penjelasan. G. Dzohir dan Muawwal Definisi Dzahir Dzohir secara bahasa : Yang terang ( ) dan yang jelas ( .( )Secara istilah : "Apa-apa yang menunjukkan atas makna yang rojih dengan lafadznya sendiri dengan adanya kemungkinan makna lainnya."

26

Zhahir ialah lafaz yang menunjuk kepada suatu makna yang dikehendaki oleh shigat lafaz itu sendiri, tetapi bukanlah makna itu yang dimaksud oleh siyaq alkalam dan lafaz itu sendiri masih dapat di-ta'wil-kan, ditafsirkan dan dapat pula di-nasakh-kan pada masa Rasulullah Saw. Hukum Lafaz Zhahir Lafaz zhahir itu wajib diamalkan sesuai dengan makna yang dikehendakinya, selama tidak ada dalil yang menafsirkan, men-ta'wil-kan atau me-nasakh-kannya. Oleh karena itu apabila lafaz zhahir itu : 1. Dalam keadaan mutlaq, maka tetap dalam kemutlakannya, selama tidak ada dalil yang meng-taqyid-kannya (membatasi kemutlakannya). Bila ada dalil yang meng-taqyid-kannya, diamalkan dalil yang meng-taqyid-kannya. 2. Dalam keadaan umum ('am) maka ia tetap dalam keumumannya, selama tidak ada dalil yang men-takhshish-kannya. Jika ada dalil yang men-takhshishkannya, hendaklah diamalkan sesuai dengan mukhashish-nya. 3. Mempunyai arti hakikat, hendaklah diartikan menurut arti yang haqiqi itu, selama tidak ada qarinah yang memaksa untuk dialihkan kepada arti yang majazi. 4. Pada masa pembinaan hukum syari'at, yaitu pada zaman Rasulullah Saw., lafaz zhahir itu dapat di-nasakh dalalahnya.

27

Ta'wil ialah memindahkan suatu perkataan dari makna yang terang (zhahir) kepada makna yang kepada arti atau makna lain. Perkataan yang ditakwilkan disebut mu'awwal. Syarat-syarat Ta'wil 1. Sesuai dengan penggunaan bahasa (Arab), istilah-istilah yang terpakai dalam syariat, dan dengan kebiasaan yang dipakainya. 2. Harus mempunyai keterangan atau jalan yang menunjukkan bahwa ia boleh diartikan demikian. Misalnya sabda Nabi : "Berwudhulah kalian karena memakan daging unta!" Maka sesungguhnya yang dzohir dari yang dimaksud dengan wudhu adalah membasuh anggota badan yang empat dengan sifat yang syar'i bukan wudhu yang berarti membersihkan diri. Keluar dari perkataan kami : "apa-apa yang menunjukkan atas makna dengan lafadznya sendiri" ( : ) Mujmal, karena mujmal tidak menunjukkan makna dengan lafadznya sendiri. Keluar dari perkataan kami : "rojih" ( : ) Mu'awwal, karena ia menunjukkan atas makna yang marjuh jika tanpa qorinah. Keluar dari perkataan kami : "dengan adanya kemungkinan makna lainnya" ( : ) Nash yang tegas, karena ia tidak memiliki kemungkinan kecuali hanya satu makna. Definisi Muawwal Mu'awwal secara bahasa : dari kata "al-Awli" yakni kembali Secara istilah : "Apa-apa yang lafadznya dibawa pada makna yang marjuh." Keluar dari perkataan kami : "pada makna yang marjuh" : ( ) Nash dan Dzohir. Adapun nash, karena ia tidak mengandung kemungkinan kecuali hanya satu makna, dan adapun dzohir, karena ia dibawa kepada makna yang rojih. Ta'wil ada dua macam : Shohih diterima dan Rusak ditolak. 1. Ta'wil yang shohih : yang ditunjukkan atas makna tersebut dengan dalil yang shohih, seperti ta'wil terhadap firman Alloh ta'ala : "bertanyalah kepada desa..." [QS. Yusuf : 82] Kepada makna "bertanyalah kepada penduduk desa" ( ,) karena desa tidak mungkin untuk diberi pertanyaan kepadanya.

28

2. Ta'wil yang rusak : yang tidak ada dalil yang shohih yang menunjukkan makna tersebut, seperti ta'wil orang-orang mu'aththilah (ahli ta'thil) terhadap firman Alloh ta'ala : "Ar-Rohman bersemayam di atas arsy" [QS. Thoha : 5] Kepada makna istaula ( / menguasai), dan yang benar bahwa maknanya adalah ketinggian dan menetap, tanpa takyif dan tamtsil.da makna yang marjuh." Keluar dari perkataan kami : "pada makna yang marjuh" () Nash dan Dzohir. Adapun nash, karena ia tidak mengandung kemungkinan kecuali hanya satu makna, dan adapun dzohir, karena ia dibawa kepada makna yang rojih. Ta'wil ada dua macam : Shohih diterima dan Rusak ditolak. Ta'wil yang shohih : yang ditunjukkan atas makna tersebut dengan dalil yang shohih, seperti ta'wil terhadap firman Alloh ta'ala : "bertanyalah kepada desa..." [QS. Yusuf : 82] Kepada makna "bertanyalah kepada penduduk desa" ( ,) karena desa tidak mungkin untuk diberi pertanyaan kepadanya. Ta'wil yang rusak : yang tidak ada dalil yang shohih yang menunjukkan makna tersebut, seperti ta'wil orang-orang mu'aththilah (ahli ta'thil) terhadap firman Alloh ta'ala : "Ar-Rohman bersemayam di atas arsy" [QS. Thoha : 5] Kepada makna istaula ( / menguasai), dan yang benar bahwa maknanya adalah ketinggian dan menetap, tanpa takyif dan tamtsil. H. Nasakh Naskh secara bahasa : Penghilangan ( ) dan Pemindahan ( )Secara istilah "Terangkatnya (dihapusnya, pent) hukum suatu dalil syar'i atau lafadznya dengan dalil dari Al-Kitab dan As-Sunnah." Yang dimaksud dengan perkataan kami : ( " ) Terangkatnya hukum" yakni : perubahannya dari wajib menjadi mubah atau dari mubah menjadi haram misalnya. Keluar dari hal tersebut perubahan hukum karena hilangnya syarat atau adanya penghalang, misalnya

29

terangkatnya kewajiban zakat karena kurangnya nishob atau kewajiban sholat karena adanya haid, maka hal tersebut tidak dinamakan sebagai naskh. Dan yang dimaksud dengan perkataan kami : ( " ) atau lafadznya": lafadz suatu dalil syar'i, karena naskh bisa terjadi pada hukumnya saja tanpa lafadznya, atau sebaliknya, atau pada keduanya (hukum dan lafadznya) secara bersamaan sebagaimana yang akan datang. Keluar dari perkataan kami : ( " ) dengan dalil dari AlKitab dan As-Sunnah" : apa yang selain keduanya dari dalil-dalil syar'i, seperti ijma' dan qiyas maka suatu dalil tidak bisa di-naskh dengan keduanya. Naskh itu mungkin terjadi secara akal dan terjadi secara syari. Adapun kemungkinannya secara akal : karena di tangan Alloh-lah semua perkara, dan milik-Nyalah hukum, karena Dia adalah Ar-Robb Al-Malik, maka Alloh berhak mensyariatkan kepada hamba-hamba-Nya apa-apa yang menjadi konsekuensi hikmah dan rahmat-Nya. Apakah tidak masuk akal jika al-Malik memerintahkan kepada yang dimiliki-Nya dengan apa yang dikehendaki-Nya? Kemudian konsekuensi hikmah dan rahmat Alloh ta'ala kepada hambahamba-Nya adalah Dia mensyariatkan kepada mereka dengan apa-apa yang diketahui-Nya bahwa di dalamnya dapat tegak maslahat-maslahat agama dan dunia mereka. Dan maslahat-maslahat berbeda-beda tergantung kondisi dan waktu, terkadang suatu hukum pada suatu waktu atau kondisi adalah lebih bermaslahat bagi para hamba, dan terkadang hukum yang lain pada waktu dan kondisi yang lain adalah lebih bermaslahat, dan Alloh Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana. Adapun terjadinya naskh secara syar'i, diantara dalilnya adalah Firman Alloh: "Ayat mana saja yang Kami naskh, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya." [QS. al-Baqoroh : 106] Dalil yang tidak bisa di-nasakh Naskh tidak bisa terjadi pada beberapa hal berikut ini :

30

1. Al-Akhbar (Khobar-khobar), karena naskh tempatnya adalah dalam masalah hukum dan karena me-naskh salah satu di antara dua khobar berarti melazimkan bahwa salah satu di antara kedua khobar tersebut adalah dusta. Dan kedustaan adalah suatu hal yang mustahil bagi khobar dari Alloh dan Rosul-Nya, kecuali apabila hukum tersebut datang dalam bentuk khobar, maka tidak mustahil untuk di-naskh, sebagaimana firman Alloh ta'ala : "Jika ada dua puluh orang yang sabar diantaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang musuh." [QS. Al-Anfal : 65] Maka sesungguhnya ayat ini adalah khobar yang maknanya adalah perintah, oleh karena itu naskh-nya datang pada ayat yang berikutnya, yaitu firman Alloh ta'ala : "Sekarang Allah telah meringankan kepadamu dan dia telah mengetahui bahwa padamu ada kelemahan. Maka jika ada diantaramu seratus orang yang sabar, niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang kafir." [QS. Al-Anfal : 66] 2. Hukum-hukum yang maslahatnya berlaku di setiap waktu dan tempat : seperti tauhid, pokok-pokok keimanan, pokok-pokok ibadah, akhlaq-akhlaq yang mulia seperti kejujuran dan kesucian, kedermawanan dan keberanian dan yang semisalnya. Maka tidak mungkin me-naskh perintah terhadap hal-hal tersebut, dan begitu pula tidak mungkin me-naskh larangan tentang apa-apa yang tercela di setiap waktu dan tempat, seperti syirik, kekufuran, akhlaqakhlaq yang buruk seperti dusta, berbuat fujur (dosa), bakhil, penakut dan yang semisalnya, karena syari'at-syari'at semuanya adalah untuk kemaslahatan para hamba dan mencegah mafsadat dari mereka I. Istidlal Secara bahasa kataberasal dari kata/ Istadalla artinya: minta petunjuk, memperoleh dalil, menarik kesimpulan. Menurut Imam Abdul Hamid Hakim, istidlal adalah mencari dalil yang tidak ada pada nash Alquran dan al-Sunnah, tidak ada pada Ijma dan tidak ada pada Qiyas. Definisi di atas menunjukan bahwa

31

seorang mujtahid dalam memutuskan sesuatu keputusan hukum hendaklah mendahulukan Alquran, kemudian al-Sunnah, lalu al-Ijma selanjutnya Alqiyas. Dan jika Ia tidak menemukan pada Alquran, al-Sunnah, Al-Ijma dan Qiyas, maka hendaklah mencari dalil lain (Istidlal). Para ulama ushul fiqih, menjelaskan istidlal itu ada beberapa macam, antara lain: 1. al-Istishabu 2. al-Mashlahah al-Mursalah 3. al-Istihsanu 4. Qaul al-Shahabi 5. Saddu al-Dzara'i 6. Syar'un man Qablana 7. Dilalah al-Ilham. 8. al-Urf

J. Istishab Kata Istishab berasal dari kata suhbah artinya 'menemani' atau 'menyertai', atau al-mushahabah: menemani, juga istimrar al-suhbah; terus menemani. Menurut Istilah ilmu Ushul fiqh yang dikemukakan Abdul Hamid Hakim: Istishab yaitu menetapkan hukum yang telah ada pada sejak semula tetap berlaku sampai sekarang karena tidak ada dalil yang merubah. Macam-macam Istishab a. Istishab Al-Bara'ah al-Ashliyah. Istishab ini adalah terlepas dari tanggung jawab atau terlepas dari suatu hukum, sehingga ada dalil yang menunjukan. b. Istishab yang ditunjukkan oleh al-syar'u atau al-Aqlu. Yaitu sifat yang melekat pada suatu hukum, sampai ditetapkannya hukum yang berbeda dengan hukum itu.

32

c. Istishab al-Hukmi / Dalil umum. Yaitu sesuatu yang telah ditetapkan dengan hukum mubah atau haram, maka hukum itu terus berlangsung sampai ada dalil yang mengharamkan yang asalnya mubah atau membolehkan yang asalnya haram. Dengan kata lain sampai adanya dalil yang mengkhususkan atau yang membatalkannya. Dan asal dalam sesuatu (mu'amalah) adalah kebolehan. d. Istishab Washfi. Seperti keadaan hidupnya seseorang dinisbahkan kepada orang yang hilang. e. Istishab hukum yang ditetapkan ijma' lalu terjadi perselisihan. Istishab seperti ini diperselisihkan ulama tentang kehujahannya. Kehujahan Istishab Mayoritas pengikut Maliki, Syafi'i, Ahmad dan sebagian ulama Hanafi menyatakan bahwa istishab dapat jadi hujah, selama tidak ada dalil yang merubah. Dan sebagian besar dari ulama muta'akhirin juga demikian. Sementara segolongan dari ulama Mutakallimin, seperti 'Hasan al-Basri', menyatakan bahwa istishab tidak bisa jadi hujah, karena untuk menetapkan hukum yang lama dan sekarang harus berdasarkan dalil. K. Istihsan Istihsan artinya mencari kebaikan. Al-Hasan menyebutakn makna istihsan secara bahasa dengan ungkapan mencari yang lebih baik. Secara istilah Istihsan menurut ahli Ushul Fiqih adalah : Istihsan itu adalah berpindah dari suatu hukum yang sudah diberikan, kepada hukum lain yang sebandingnya karena ada suatu sebab yang dipandang lebih kuat. Macam-macam Istihsan a. Mengutamakan qiyas khafi ( yang samar-samar) dari pada qiyas jalli ( yang jelas ) berdasarkan dalil. b. Mengecualikan hukum juzi ( bagian atau khusus ) dari pada hukum kulli ( umum). Kehujahan Istihsan

33

Menurut ulama Hanafiyah, Malikiyah dan sebagian ulama Hambaliah, istihsan merupakan dalil yang kuat dalam menetapkan hukum. Golongan Hanafiyah sangat mengagungkan Istihsan, Hambali dan Maliki juga memakainya, tetapi masih membatasinya, sebab bukanlah sumber yang berdiri sendiri. Sedangkan Imam Syafii menentang Istihsan karena akan membuka pintu untuk menetapkan hukum sesuai dengan kehendaknya. Beliau berkata: man istahsana faqad syarra'a. Adanya perbedaan pendapat ulama tentang istihsan karena tidak adanya persesuaian pendapat dalam mengartikan istihsan. Sebenarnya istihsan itu mengalihkan suatu dalil yang nyata atau mengalihkan hukum kulli kepada suatu dalil yang lebih sesuai dengan untuk kemaslahatan, bukan mengalihkannya kepada sesuatu menurut kemauan hawa nafsu. 45 Untuk itu Imam Asy-Syatibi berpendapat, barangsiapa beristihsan tidaklah berarti bahwa ia memulangkannya kepada perasaan dan kemauan hawa nafsunya, tetapi ia memulangkannya kepada maksud syari yang umum dalam peristiwaperistiwa yang dikemukakan. L. Saddu Dzariah Kata artinya yaitu media, atau jalan. Dalam bahasa syariat Dzariah berarti : apa yang menjadi media / jalan kepada yang diharamkan atau yang dihalalkan. Dan kata artinya

mencegah atau menyumbat jalan. Dengan kata lain, dzariah adalah washilah yang menyampaikan kepada tujuan, atau jalan untuk sampai kepada yang diharamkam atau yang dihalalkan. Jalan yang menyampaikan kepada haram hukumnya haram pula, dan jalan yang menyampaikan kepada haram hukumnya haram pula, jalan kepada wajib, wajib pula. Hukum washilah (jalan yang menyampaikan kepada tujuan) sama dengan hukum tujuan. Definisi lain menyebutkan: Mencegah sesuatu yang menjadi jalan kerusakan, atau menyumbat jalan yang dapat menyampaikan seseorang pada kerusakan.

34

Pandangan Para Imam Pada dasarnya para fuqaha memakai dasar ini, jika merupakan satu-satunya washilah kepada ghayah/tujuan. Imam Malik dan Imam Ahmad banyak berpegang pada dzariah, sedang Imam Syafii dan Abu Hanifah tidak seperti mereka, walaupun mereka tidak menolak dzariah secara keseluruhan dan tidak mengakuinya sebagai dalil yang berdiri sendiri. Menurut Syafii, dzariah masuk ke dalam qiyas, dan menurut Abu Hanifah dzariah masuk kedalam Istihsan. Ada ulama ushul yang menyebutkan: 1) Saddu Dzarai digunakan apabila menjadi cara untuk menghindarkan dari mafsadat yang telah dinashkan dan tertentu. 2) Fathhu dzarai digunakan apabila menjadi cara atau jalan untuk sampai kepada maslahat yang dinashkan. Karena maslahat dan mafsadat yang dinashkan adalah qathi, maka dzariah dalam hal ini berfungsi sebagai pelayan terhadap nash. 3) Tentang masalah-masalah yang berhubungan dengan amanat ( tugas-tugas keagamaan ) telah jelas bahwa kemadharatan meninggalkan amanat, lebih besar daripada pelaksanaan sesuatu perbuatan atas dasar saddu dzariah.

35

BAB III KESIMPULAN

Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa ushul fiqh memegang peranan penting dan strategis dalam melahirkan ajaran Islam rahmatan lil alamin. Wajah kaku dan keras ataupun lembut dan manis dari ajaran Islam sangat ditentukan dari bangunan ushul fiqh itu sendiri. Sebagai mesin produksi hukum Islam, ushul fiqh menempati poros dan inti dari ajaran Islam. Ushul fiqh menjadi arena untuk mengkaji batasan, dinamika dan makna hubungan antara Tuhan dan manusia. Melihat fungsinya yang demikian, rumusan ushul fiqh seharusnya bersifat dinamis dan terbuka terhadap upaya-upaya penyempurnaan. Sifat dinamis dan terbuka terhadap perubahan ini sebagai konsekwensi logis dari tugas ushul fiqh yang harus selalu berusaha menselaraskan problema kemanusiaan yang terus berkembang dengan pesat dan akseleratif dengan dua sumber rujukan utamanya, al-Qur`an dan as-Sunnah, yang sudah selesai dan final sejak empat belas abad silam, yaduru ma`a illatihi wujudan wa `adaman.

Anda mungkin juga menyukai