LAFAZ KHUSUS
1. Pengertian Lafaz Khas
Selain kalimat umum, terdapat pula suatu kalimat yang menunjukkan
kepada khusus. Lafaz khusus adalah lafaz yang digunakan untuk menunjukkan
sesuatu arti khusus, misalnya satu orang, satu hal, dan barang tertentu1 dan
adakalanya kalimat khas ini dipergunakan untuk dua orang seperti suami istri.2
Sedangkan menurut Amir Syarifuddin khas adalah sesutu yang sebenarnya
3
dikehendaki adalah sebagian yang terkandung dalam lafaz. Menurut Adib
Shalih, lafal khas adalah lafaz yang mengandung satu pengertian secara
tunggal atau beberapa pengertian yang terbatas.4
Abdul Wahab Khallaf berpendapat bahwa lafaz khas yaitu lafaz yang
digunakan untuk menunjukkan seseorang, seperti Muhammad, laki-laki, suatu
gabungan, misalnya jumlah sesuatu, kaum, serombongan, jamak dan fariq.
Selain itu juga berupa lafaz yang menunjukkan bilangan dari ifrad tapi tidak
menunjukkan semua ifrad-ifradnya tersebut.5 Para ulama ushul fiqh sepakat
bahwa lafal khas dalam nash syara menunjuk kepada pengertiannya yang
khas secara pasti dan hukum yang terdapat didalamnya bersifat pasti selama
tidak ada indikasi yang menunjukkan pengertian lain.
1
Zen Amiruddin, Ushul Fiqh, (Surabaya: eLKAF, 2006), hlm. 125.
2
Nazar Bakry, Fiqh dan Ushuk Fiqh, (Jakarta: Rajawali, 1993), hlm. 202.
3
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid 2, (Jakarta: Kencana, 2011), hlm. 86-87.
4
Satria Effendi, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2005), hlm. 205.
5
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fikh, terj. Halimuddin, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2005), hlm.
241.
Maka Kaffarahnya adalah member makan sepuluh irang miskin.
Hukum yang terkandung dalam ayat tersebut adalah keharusan
member makan 10 orang miskin, tidak lebih dan tidak kurang.
b) Bila ada dalil yang menghandaki (pemahaman lain) dari lafaz khas itu
kepada arti lain, maka arti khas itu dapat dialihkan kepada apa yang
dikehendaki oleh dalil tersebut. Contohnya:
Pada tiap-tiap empat puluh ekor kambing (zakatnya) seekor kambing.
Ukuran nisab yang wajib zakat adalah empat puluh ekor kambing
dan zakatnya adalah satu ekor kambing. Ukuran wajib zakat tidak
bertambah atau berkurang. Ulama Hanafi dalam masalah kambing
diatas di-tawil-kan kepada yang lebih umum yang mencakup kambing
dan nilai harganya.6
c) Bila dalam suatu kasus hukumnya bersifat am dan ditemukan juga
hukum yang khusush dalam kasus yang lain, maka lafaz khas tersebut
membatasi keberlakuan hukum am tadi. Maksudnya, lafaz khas tadi
menjelaskan bahwa yang dimaksud dalam lafaz am tersebut adalah
hanya sebagian afrad-nya saja, yaitu sebagian yang tidak disebutkan
dalam lafaz khas. Contohnya sebagaimana firman Allah SWT. dalam
surat Al-Baqarah (2): 228
Perempuan-perempuan yang di talak hendaklah beriddah selama tiga
kali quru
Keharusan menjalani iddah selama tiga kali quru berlaku am,
yaitu mencakup semua perempuan yang bercerai dengan suaminya pada
keadaan yang bagaimanapun. Kemudian ada ketentuan iddah yang ber-
laku secara khushush, yaitu bagi perempuan yang bercerai ketika hamil,
contoh dalam surat al-Thalaq (65): 4
6
Khallaf, Ilmu Ushul Fikh, terj. Halimuddin, hlm. 242.
Perempuan-perempuan yang hamil, iddahnya bila telah lahir anaknya.
Adanya ketentuan khushush ini menjelaskan bahwa perempuan yang
bercerai dengan suaminya harus beriddah sebanyak 3 kali quru sebagai
mana yang ditetapkan dalam surat al-Baqarah (2): 228 tersebut adalah
perempuan-perempuan yang dicerai dalam keadaan tidak sedang hamil,
karena ketentuan bagi perempuan yang bercerai dalam keadaan hamil
telah ditetapkan dalam surah al-Thalaq (65): 4. Lafaz khas dalam hal ini
membatasi atau mengurangi afrad lafaz am yang disebut dengan takhshis.
d) Bila ditemukan perbenturan antara dalil khas dengan dalil am, disini
terdapat perbedaan pendapat diantara ulama, diantaranya:
- Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa jika kedua dalil tersebut
datang pada masa yang samaan, maka dalil yang khas men-takhsis
dalil yang am, karena adnya persyaratan untuk thakhsis. Bila ke
dua lafaz tersebut datang pada masa yang tidak bersamaan, maka
ada dua kemungkinan, yaitu pertama, bila lafaz am datang setelah
adanya lafaz khas maka dalil am me-nasakh lafaz khas yang sudah
ada, kedua, bila lafaz khas datang setelah adanya lafaz am, maka
lafaz khas tersebut me-nasakh lafaz am dalam sebagian afrad-nya.
7
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid 2, hlm. 88-90.
B. TAKHSISH
1. Pengertian
Takhsish adalah mengeluarkan sebagian dari satuan-satuan yang
terdapat dalam dalam lafaz am (mengkhususkan keumuman dari lafaz
am).8 Mumammad al-Khudhuri Beik memberikan definisi thakhsish yaitu
menjelaskan bahwa yang dimaksud dalam lafaz am hanyalah sebagian
dari yang diatur oleh lafaz tersebut. Abdul Wahab Khallab mengatakan
bahwa takhsish adalah sebuah penjelasan bahwa yang di-maksud oleh
syari tentang lafaz am itu pada mulanya adalah sebagian afrad-nya.
Sedangkan Qadhi al-Baidhawi menjelaskan takhsish adalah mengeluarkan
sesuatu yang terdapat dalam suatu lafaz. Kemudian Ibn Subki menjelaskan
bahwa takhsish adalah membatasi lafaz am kepada sebagian afrad-nya.
Takhsish (pengkhususan) dapat juga berarti penjelasan, bahwa
yang dimaksud dengan keumuman adalah sebagaian yang diliputinya, dan
jika Syari menjelaskan bahwa Ia tidak menghendaki seruluh objeknya
dengan menampakkan bagian yang dikeluarkannya, maka hal tersebut di
namakan takhsish (pengkhususan). Penjelas dalam hal ini harus memiliki
hubungan dengan lafaz am yang diperjelas, karena jika terlepas, maka
yang dimaksud oleh lafaz am tersebut ialah seluruh objeknya, sedangkan
yang ditetapkan adalah yang dimaksudkan adanya sebagian.9
2. Dalil Takhsish
Bila suatu hukum datang dalam bentuk am, maka hukum yang
akan diamalkan adalah menurut keumumannya, kecuali bila ada dalil yang
menunjukkan adanya takhsish. Dalil takhsish tersebutlah yang disebut
mukhassis atau sesuatu yang men-tahkhsish-kan. Mukhassis adalah suatu
dalil yang menjadi dasar untuk adanya pengeluaran tersebut. Contohnya
adalah dalam surat al-araaf (3) dimana Allah menjelaskan bahwa semua
perhiasan yang telah dijadikannya boleh digunakan oleh setiap orang, baik
8
Amiruddin, Ushul Fiqh, hlm. 125.
9
Muhammad Al-Khudhari Beik, Ushul A-Fiqh, (Jakarti: Pustaka Amani, 2007), hlm. 211.
perhiasan tersebut berupa barang seperti emas, intan dan barang-barang
logam lainnya ataupun perhiasan yang berbentuk pakaian. Bahwa ke-
seluruhan tersebut disebut dalam bentuk umum. Kemudian dijelaskan lagi
dengan hadis Nabi bahwa tidak di bolehkan untuk digunakan oleh laki-
laki, pengkhususan oleh hadis Nabi tersebut yang dinamakan dengan
takhsish, dan hadis yang membatasi ayat tersebut dinamakan dengan
mukhassis.
Mukahassis ada dua macam, yaitu dalam bentuk nash dan bukan
dalam bentuk nash. Sedang-kan, jika dilihat dari hubungannya dengan
lafaz am, mukhassis ada dua juga, yaitu ada yang terpisah dari lafaz am
dan ada yang menyatu dengan lafaz am tersebut. Berikut mukhassis yang
terpisah dari lafaz am sebagai berikut10:
a) Takhsish dengan nash, baik nash al-Quran atau Sunnah.
b) Takhsish dengan akal fikiran, baik melalui penyaksian maupun melalui
pemikiran. Contoh dalam bentuk penyaksian adalah dalam surat al-
Ahqaf(46): 25
Angin menundukkan segala sesuatu
Secara am, maksud dari ayat tersebut adalah, angin akan menun-
dukkan segala sesuatu, tapi dengan akal dan melalui penyaksian, kita akan
mengatakan bahwa tidak semua bisa tunduk oleh angin, contohnya langit.
Sedangkan contoh takhsish dengan akal dalam bentuk pemikiran adalah
firman Allah SWT. dalam surat al-Radu (13): 16
Allah menciptakan segala sesuatu
Secara am dikatakan bahwa Allah pencipta segala sesuatu, akan
tetapi akal memahami bahwa Allah sendiri tidak termasuk pengertian am
ayat tersebut, karena Allah tidak diciptakan.
10
Zen Amiruddin, Ushul Fiqih, hlm. 126.
c) Takhsish dengan adat. Maksudnya adalah adat kebiasaan dapat menge-
luarkan beberapa hal yang dimaksud dalam lafaz am, contoh dari hal
ini terdapat pada firman Allah dalam surat al-Baqarah (2): 233
Para ibu menyusukan anaknya selama dua tahun penuh
Ayat diatas secara umum menghendaki setiap ibu untuk menyusu-
kan anaknya selama dua tahun penuh, tapi adat kebiasaan bangsa Arab
yang tidak menyusui anaknya dapat men-takhsish keumuman maksud dari
ayat tersebut.
3. Mukhassis Muttasil11
Mukhassis Muttasil adalah mukhassis yang menyatu dengan lafaz
am. Mukhassis muttasil ada 5 macam, yaitu:
1) Istisna (pengecualian)
Istisna adalah mengeluarkan sesuatu dari pembicaraan yang
sama dengan menggunakan kata kecuali, atau kata lain yang sama
maksudnya dengan itu, contohnya firman Allah dalam surat al-Ashr
(103): 2-3
Sesunggunya manusia itu dalam keadaan merugi, kecuali yang
beriman dan melakukan amal saleh.
Kata (manusia) dalam ayat diatas bersifat am karena
merupakan lafaz jama yang disertai alif-lam jinsiyyah. Secara am
ayat diatas mengandung arti bahwa semua manusia akan merugi. Ke-
umuman ayat tersebut di takhsis oleh istisna (pengecualian) yang ter-
dapat dalam ayat kata sesudahnya yaitu kecuali orang-orang yang ber-
iman, beramal saleh dan mau nasehat menasehati pada jalan kebenaran
dan kesabaran tetap beruntung artinya tidak termasuk dalam orang-
orang yang merugi.12
11
Nazar Bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh, 203.
12
Amiruddin, Ushul Fiqh, hlm. 126.
Syarat-syarat bagi istisna untuk dapat menjadi mukhassas adalah
sebagai berikut:
a) Yang dikecualikan ( )tersebut bersambung dengan lafaz
yang dikecualikannya ( ) dan tidak ada halangan dalam
keterpisahan antara keduanya, namun sekedar untuk bernafas.
Contoh: Badu bersin, berhenti sebentar yang menurut kebiasaan
tidak memutuskan pembicaraan dan hal ini dianggap tidak mem-
batalkan istisna.
b) Yang dikecualikan ( )itu tidak menghabisi afrad dari tempat-
nya dikecualikan. Jika dihabiskan maka istisna tersebut dianggap
tidak sah, contohnya: saya mempunyai uang 1000 kecuali 1000.
c) Yang dikecualikan ( )tersebut termasuk dalam lingkup di
kecualikannya ( ) secara sengaja, karena pengecualian
adalah tindakan kata sehingga terbatas pada yang dimaksud oleh
kata.13
Bila istisna (pengecualian itu disebutkan beberapa kali secara
berurutan atau bersambungan antara sesamanya, maka seluruh penge-
cualian tersebut kembali kepada yang pertama, contoh bila seorang
berkata, saya berutang sebanyak 10 kecuali 4 dan kecuali 3 dan ke-
cuali 2. Hutang orang tersebut sebenarnya adalah 1, karena seluruh
pengecualian dalam ucapan itu dikeluarkan dari angka 10, tapi jika
beberapa pengecualian tersebut tidak bersambungan antar sesamanya,
maka pengecualian itu dikembalikan kepada yang disebutkan terakhir.
Contoh: saya berhutang sebanyak 10, kecuali 5, kecuali 4, kecuali 3.
Maka hutang orang tersebut tinggal 6, karena 3 dikecualikan dari 4
sehingga tinggal 1; yang 1 itu dikecualikan dari 5 tentu tinggal 4 dan
yang 4 itu dikecualikan dari 10, maka tinggal 6.
Bila lafaz pengecualian datang sesudah menyebut beberapa hal
secara bersambungan, kemana pengecualian itu harus dikembalikan,
13
Muhammad Al-Khudori Biek, Ushul Fiqh,terj. Zaid. H. Alhamid, (Pasuruan: Raja Murni, 1982),
hlm. 224.
apakah ke lafaz yang terakhir atau kepada keseluruhan lafaz yang di-
sebutkan sebelumnya. Hal ini menimbulkan perbedaan pendapat di
kalangan ulama, contoh firman Allah dalam surat An-Nur (24): 4
14
Nazar Bakry, Fiqh dan Ushuk Fiqh, hlm. 205
Pendapat lain mengatakan bahwa bila ucapan pengecualian itu
disambungkan dengan lafaz maka atau kemudian maka pengecua-
liannya kembali kepada yang terakhir saja. Pengikut Al-asyari berpen-
dapat bahwa memilih tawaquf, dalam artian menunggu dalil lain untuk
member petunjuk bagi tempat dikembalikannya pengecualian tersebut.
Alasan para ulama yang mengatakan kembalinya pengecualian itu
kepada yang disebutkan terakhir adalah karena memang cara itulah
yang diyakini, juga pengecualian itu tidak berdiri sendiri dan tidak ber-
buat sendirian, dan oleh sebab itu ia dikembalikan pada yang terdahulu
disebutkannya. Sedangkan alasan ulama yang mengatakan bahwa kem-
balinya pengecualian tersebut kepada semua ucapan secara keseluru-
han adalah bahwa beberapa jumlah yang bersambungan itu menempati
kedudukan satu jumlah atau ucapan, oleh karena itu tidak dapat di
pisahkan dengan yang lainnya.15
2) Syarat
Syarat ialah sesuatu yang lazim dengan tidak ada yang disifati,
tapi tidak lazim dengan adanya sifat. Sering juga di gunakan syarat
untuk men-takhsis-kan kalimat umum16 seperti:
Bila kamu berada dalam perjalanan tidak ada halangannya
kamu mengqashar shalat, bila kamu takut akan fitnah orang kafir.
Ayat diatas menjelaskan kebolehan untuk meng-qashar shalat
yang disebutkan secara am dan dibatasi dengan syarat bahwa shalat
tersebut dilakukan pada saat dalam perjalanan. Jika syarat disebutkan
sesudah menyebutkan beberapa jumlah yang bersambungan, maka
syarat tersebut dikembalikan kepada keseluruhan. Para ulama sepakat
bahwa kembalinya syarat pada keseluruhannya dan berbeda bendapat
15
Amir Syarufuddin, Ushul Fiqh, Jilid 2, hlm. 94-95.
16
Nazar Bakry, Fiqh dan Ushuk Fiqh, hlm. 207.
mengenai kembalinya pengecualian kepada semua. Contoh dari hal ini
adalah muliakanlah bani Tamin, berbuat baiklah kepada Rabiah dan
ucapkanlah salam kepada Ahmad jika mereka datang. Ada beberapa
tugas dalam contoh ini, yaitu memuliakan bani Tamin, berbuat baik
kepada Rabiah dan memuliakan Ahmad, dan semua tugas tersebut
berlaku dengan satu syarat, yaitu bila mereka datang.
3) Sifat
Kalimat umum dapat juga di takhsis-kan dengan pengertian
kalimat yang mengirinya, seperti kifara membunuh, memerdekakan
seorang budak yang mukmin.17 Sifat adalah sesuatu hal atau keadaan
yang mengiringi dan menjelaskan sesuatu zat atau perbuatannya,
contohnya terdapat dalam firman Allah dalam surat an-Nisa (4): 101
Maka boleh kamu mengawini hamba sahaya diantaranu yang
mukminat.
Lafaz pada ayat diatas merupakan sifat bagi lafaz .
Penyebutan sifat sesudah lafaz yang disifati, berarti kebolehan meni-
kahi hamba sahaya perempuan yang umum itu dibatasi atau di takhsis
dengan mukminat, dan hamba sahaya yang tidak mukminat keluar dari
kandungan ayat tersebut. Bila suatu sifat menyebutkan beberapa hal,
maka sidat itu berlaku untuk semuanya. Contoh: saya wakafkan harta
saya kepada anak-anak saya dan anak-anak mereka yang membutuh-
kan. Sifat membutuhkan itu berlaku untuk anak-anakknya dan
anak-anak mereka dalam kebolehan menerima wakaf.
4) Limit Waktu
Ghayah adalah limit waktu yang mendahului lafaz am sehingga
jika tidak terdapat limit waktu maka akan meliputi semua afrad am
(waktu). Ghayah juga dapat dikatakan sebagai kesudah-sudahan
sesuatu yang menghendaki untuk menetapkan hukum yang sebelum-
17
Nazar Bakry, Fiqh dan Ushuk Fiqh, hlm. 208.
nya dan meniadakan hukum yang sesudahnya. Ghayah adakalaya di
tandai dengan (ila) dan dengan (hatta). Ghayah dengan ila adalah
kesudah-sudahan sesuatu sampai (masuk) pada batasan yang telah
ditentukan, contoh:
Bila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhkah muka
kamu dan tangan tanganmu sampai kepada dua mata siku (QS. Al-
Maidah: (6))
Ayat diatas mengandung kalimat Ghayah ila yang bererti bahwa
mata siku juga harus dibasuh, sedangkan contoh dari ghayah hatta
ialah kesudah-sudahan yang tidak termasuk batas yang telah ditentu-
kan, seperti:
Jangan kamu dekati perempuan-perempuan yang dalam keadaan
haidh, hingga dia suci. (QS. Al-Baqarah: 222).
Hatta pada ayat diatas menunjukkan adanya larangan bagi ka-
limat sesudahnya, dan kalimat sesudah dan sebelum kata hatta memi-
liki hukum yang berbeda. Kata hatta men-takhsis-kan kalimat umum
sebelumnya, yaitu memberikan pengertian bahwa semua perbuatan
(mendekati) di larang, maka dengan adanya kalimat ghayah (hingga)
tidak memberlakukan hukum yang umum.18
5) Bagian sebagai pengganti keseluruhan
Badal adalah menggantikan hukum yang dimaksud tanpa
adanya pengatar antara pengganti dengan yang diganti. Badal yang di
maksud disini hanyalah badal baad min kul, contohnya adalah:
Allah mewajibkan atas manusia mengerjakan hajji, yaitu orang
yang kuasa berjalan kepadanya. (QS. Ali Imran: 97)
18
Nazar Bakry, Fiqh dan Ushuk Fiqh, hlm. 209.
Kalimat umum adalah kul (keseluruhan manusia) artinya siapa
saja terkena hukum wajib untuk hajji. Manistathaa (orang yang kuasa)
adalah sebagian (badhu) dari keseluruhan manusia, dan menggantikan
lafaz Nas (kul). Maka dengan adanya penggantian ini tidak setiap
orang diwajibkan hajji, tetapi hanya yang mampu saja.19
6) Hal
Hal ialah suatu lafaz yang menunjukkan sesuatu keadaan yang
tertentu, seperti:
Jangan kamu kamu kerjakan shalat, sedangkan kamu dalam
keadaan mabuk, hingga kamu ketahui apa yang kamu ucapkan. (QS.
An-Nisa: (43)).
Kalimat larangan dalam mengerjakan shalat diatas adalah ber-
bentuk kalimat umum dengan pengertian bahwa manusia dilarang
untuk mengerjakan sembahyang. Kemudian kalimat umum tersebut di-
takhsis-kan dengan kalimat sesudahnya yang berbentuk hal, yaitu
sukara maka jadilah kalimat takhsis.20
4. Mukhassis Munfashil
Mukhassis Munfashil adalah lafaz yang mengkhususkan tapi tidak
menyatu dalam satu kalimat atau lafaz yang dapat berdiri sendiri tanpa di
hubungi oleh kalimat yang pertama. Minsalnya adalah dalil amnya adalah
Al-Quran dan dalil khasnya adalah hadits, atau sebaliknya.21 Contoh dari
mukhassis munfashil adalah: dimana wanita seyang diceraikan oleh suami-
nya secara umum di takhsis oleh ayat lain dan dalam surat lain, yaitu masa
iddahnya wanita hamil adalah sampai ia melahirkan. Contoh lain yang
mana Al-Quran di takhsis oleh hadits adalah
19
Amir Syarufuddin, Ushul Fiqh, Jilid 2, hlm. 98.
20
Nazar Bakry, Fiqh dan Ushuk Fiqh, hlm. 210-211.
21
Zen Amiruddin, Ushul Fiqh, hlm. 126-127.
Hanya saja zakat itu untuk fakir dan miskin dan amilnya dan
orang muallaf dan untuk memerdekakan budak dan untuk orang yang ter-
belit hutang dan untuk sabilillah dan ibnu sabil.
Menurut ayat diatas bahwa zakat itu diberikan untuk 8 asnaf,
ketentuan tersebut di takhsis oleh hadits Riwayat Bukhari yaitu: bahwa
zakat fitrah itu pembersih orang yang puasa dan pemberi makan bagi
orang yang miskin. Berdasarkan pada hadits tersebut bahwa zakat fitrah
hanya untuk membersihkan diri bagi yang berpuasa dan member makan
orang-orang miskin. Ketentuan umum pada ayat diatas adalah zakat di
berikan kepada orang-orang yang termasuk dalam 8 asnaf, maka dengan di
takhsis oleh hadits selanjutnya, maka zakat fitrah hanya diberikan kepada
orang-orang fakir miskin.22
C. MACAM-MACAM TAKHSIS
Telah dijelaskan bahwa dalil yang menunjukkan takhsis ada dua macam,
yaitu: dalil yang terpisah dari dalil am (mukhassis Muttashil) dan dalil yang
menyatu dengan dalil am (mukhassisMufassil). Berikut akan dijelaskan
macam-macam mukhassis dari segi dalil khas yang terpisah dari dalil am,
yaitu:
1) Takhsis Al-Quran dengan Al-Quran
Ulama telah bersepakat bahwa bolehnya ayat Al-Quran mentakhsis
ayat Al-Quran yang lainnya. Mereka berargumen bahwa dengan dalil aqli
dan dalil naqli. Dalil naqli yang dikemukakan jumhur adalah kenyataan
bahwa banyanya ayat Al-Quran yang mentakhsis lafaz am dalam Al-
Quran, contohnya adalah firman Allah dalam surat Al-Baqarah (2): 229
22
Zen Amiruddin, Ushul Fiqh, hlm. 128.
Perempuan-perempuan yang bercerai dari suaminya hendaklah iya
beriddah sampai 3 kali quru.
Keharusan perempuan yang bercerai dari suami tersebut untuk ber-
iddah 3 quru berlaku umum untuk semua dengan tidak melihat keadaan
dan sifat perempuan tersebut saat bercerai. Pengertian am ayat tersebut di
takhsis oleh firman Allah dalam surat Al-Baqarah (2): 234
Orang-orang yang meninggal diantaramu dan meninggalkan istri
hendaknya mereka menunggu selama 4 bulan 10 hari.
Surat Al-Baqarah: 234 mengkhususkan tentang perempuan yang ber-
cerai karena kematian suaminya harus beriddah selama 4 bulan 10 hari,
maka hukum am yang mengharuskan beriddah selama 3 kali quru tidak
lagi berlaku bagi perempuan yang ditinggal meninggal oleh suaminya.
Dalil aqli dari jumhur ulama adalah bila dua nas Al-Quran bertemu, yang
mana terdiri dasi dalil khas dan dalil am, dan jika tidak memungkinkan
untuk mengamalkan keduanya, maka boleh memilih salah satu dari kedua
dalil tersebut. Mengamalkan dalil khas tidak berarti membatalkan dalil am
karena masih ada kemungkinan untuk mengamalkannya dalam kasus yang
lain, akan tetapi jika mengamalkan dalil am antara keduanya maka akan
membatalkan dalil khas, oleh karena itu beramal dengan dalil yang khas
lebih utama.23
23
Amir Syarufuddin, Ushul Fiqh, Jilid 2, hlm. 99-111.
a) Ijma sahabat mengakui terjadinya takhsis Al-Quran dengan khabar
ahad, contohnya adalah kebolehan untuk menikahi siapa saja sebagi
mana yang terdapat dalam surat An-Nisa: (22-24) dan di takhsis
dengan hadits Nabi dari Abu Hurairah yang mengatakan bahwa se-
seorang tidak boleh memadu seorang perempuan dengan saudara
ayahnya, dan tidak pula dengan saudara ibunya.
b) Khiyar ahad menjadi dalil dalam beramal. Wajib beramal dengan
khabar ahad adalah menurut kesepakatan ulama sebagaimana wajib
beramal dengan khabar mutawatir, baik sesudah maupun sebelum di
takhsis.
24
Muhammad Al-Khudhari Biek, Ushul al- Fiqh, terj. Faiz el-Muttaqien, (Jakarta: Pustaka Amani,
2007), hlm. 416.
b) Bila lafaz khusush yang merupakan salah satu afrad-nya dari lafaz
am hukumnya bersamaan dengan hukum yang ditetapkan dalam
lafaz am, maka dalil khusus tidak men-takhsis dalil am. Hal ini
menyebabkan 2 lafaz khusus, pertama adalah lafaz khusus yang tidak
bertindak sebagai mukhasis, tapi hanya untuk menjelaskan hukum
yang berlaku dalam lafaz tersebut tanpa mempengaruhi lafaz am.
Kedua lafaz khusus yang disamping menjelaskan hukum untuk diri-
nya juga membatasi penggunaan lafaz am (sebagai mukhasis).
25
Amir Syarufuddin, Ushul Fiqh, Jilid 2, hlm. 117-118.
tersendiri berupa perkataan.26 Sedangkan dari segi cakupannya, dapat
dikatakan bahwa mutlaq sama dengan naqirah yang disertai oleh tanda-
tanda keumumannya suatu lafaz, termasuk jama nakirah yang belum
diberi qayyid (ikatan).27 Muqayyad adalah lafal yang menunjukkan suatu
satuan yang secara lafziyahnya dibatasi dengan sebuah ketentuan,
contohnya adalah rajulun rasyidun (seorang laki-laki yang cerdas).28
Diharamkan atasmu memakan bangkai, darah, dan daging babi
Kata pada ayat diatas adalah mutlaq, dalam artia tidak diikat
oleh sifat atau syarat apapun, selanjutnya dalam surat Al-Anam:
145
26
Nazar Bakry, Fiqh dan Ushuk Fiqh, hlm. 217.
27
Muhammad Al-Khudhari Biek, Ushul al- Fiqh, terj. Faiz el-Muttaqien, hlm. 421
28
Satria Effendi, Ushul Fiqh, 206.
Katakanlah aku tidak menemukan dalam wahyu yang diturun-
kan kepadaku tentang makanan yang diharamkan untuk dimakan
kecuali bangkai, darah yang mengalir dan daging babi.
Ayat diatas menjelaskan bahwa kata darah diberi sifat dengan
kata yang mengalir, tapi hukum dari kedua ayat diatas adalah sama
yaitu haram dan yang menimbulkan hukum juga sama yaitu darah,
maka dari itu ditanggungkanlah mutlaq atas muqayyad dalam arti
hukum dalam lafaz mutlaq harus dipahami menurut yang berlaku
pada lafaz muqayyad, dalam contoh diatas, kata darah yang terda-
pat dalam lafaz mutlaq harus diartikan dengan darah yang meng-
alir sebagaimana terdapat dalam lafaz muqayyad. Sedangkan ke-
harusan memahami mutlaq menurut arti muqayyad dalam bentuk
ini disepakati oleh ulama ushul.
29
Muhammad Al-Khudhari Biek, Ushul al- Fiqh, terj. Faiz el-Muttaqien, hlm. 424
adalah firman Allah Swt. dalam surat Al-Maidah: 38 bawa pencuri
laki-laki maupun perempuan harus di potong tangannya dan contoh
yang kedua adalah dalam surat Al-Maidah: 6 bahwa jika berwudu,
maka basuhlah tangan hingga siku. Surat pertama menjelaskan bahwa
tangan secara mutlaq, sedangkan pada surat kedua bahwa tangan di
sebutkan secara qayyid, yaitu sampai siku.
5) Adakalanya salah satu diantara keduanya (mutlaq dan muqayyad) ber-
bentuk itsbat (membenarkan) dan yang satu lagi dalam bentuk naf
(membantah), contoh: seseorang berkata bahwa merdekakan hamba
sahaya, lalu berkata lagi jangan memerdekakan hamba sahaya yang
kafir. Dlafaz mutlaq dalam dalam contoh tersebut diberi qayyid
dengan kebalikan atau lawan dari qayid pada lafaz muqayyad, dalam
perkataan pertama kata hamba sahaya diberi qayyid dengan muslim.
6) Bila dalam keduanya (mutlaq dan muqayyad) dalam bentuk nafy atau
dalam bentuk melarang atau yang satu dalam bentuk nafy dan yang
satu lagi dalam bentuk melarang, maka lafaz mutlaq diberi qayyid
dengan sifat yang terdapat dalam lafaz muqayyad. Contoh pada bentuk
pertama, perkataan, tidak cukup menyembelih hewan dan tidak
cukup menyebelih hewan sakit. Contoh bentuk kedua, perkataan,
jangan menyembelih hewanjangan menyembelih hewan sakit
jangan menyembelih hewan. Bentuk dan contoh yang disebutkan
sebelumnya adalah lafaz muqayyad berada dalam satu tempat, se-
hingga lafaz mutlaq hanya mungkin ditanggungkan kepada yang
muqayyad itu saja.
7) Bentuk lain adalah lafaz muqayyad berada dalam dua tempat yang ber-
beda dalam dua tempat yang berbeda. Mengenai hal ini ada dua pen-
dapat yang berbeda, yaitu:
a) Menurut ulama Syafiiyyah lafaz mutlaq harus ditanggungkan
kepada salah satu diantara kedua muqayyad di tempat yang ber-
beda tersebut. Contoh dalam surat Al-Maidah: 89 yang artinya
adalah maka harus berpuasa tiga hari. Kata tiga hari dalam ayat
tersebut adalah mutlaq tanpa keterangan, atrinya tiga hari tersebut
boleh berturut-turut dan boleh juga terpisah, dan firman Allah
dalam surat al-Mujadalah: 4 yang artinya maka harus puasa
selama dua bulan berturut-turut. Ayat tesebut wajib kewajiban
berpuasa dinyatakan dalam bentuk muqayyad, yaitu berturut-turut.
b) Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa lafaz mutlaq tidak dapat di
tanggungkan kepada lafaz muqayyad, dalam keadaan tersebut, ka-
rena lafaz muqayyadnya berbeda hukumnya. Bila muqayyad ber-
ada dalam dua tempat yang berbeda dan tidak ada yang lebih dekat
diantara keduanya untuk member qayid kepada lafaz mutlaq, maka
lafaz mutlaq tidak dapat ditanggungkan kepada lafaz muqayyad,
karena meskipun ada lafaz muqayyadnya, tapi berada dalam dua
bentuk yang berbeda.