PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ketika berbicara mengenai ayat-ayat yang terkandung dalam Al-Quran,
sebenarnya dari semua ayat yang ada tersebut tidak semuanya memberikan
arti/pemahaman yang jelas. Jika ditelusuri, ternyata banyak sekali ayat yang
masih butuh penjelasan yang lebih mendalam mengenai hukum yang tersimpan
dalam ayat tersebut. Ini menunjukkan bahwa ternyata ayat-ayat Al-Quran itu
tidak hanya memberikan pemahaman secara langsung dan jelas, tetapi juga
terdapat ayat yang maknanya tersirat di dalam ayat tersebut.
Dalam menafsirkan Al-Quran, kita harus dapat mengetahui kaedah-
kaedahnya. Apalagi untuk menetapkan suatu hukum. Dalam ilmu ushul fiqh,
pemaknaan lafal Al-Quran yang digunakan untuk menentukan suatu
hukum. Oleh karena itu, agar dapat memahami dan mengetahui hukum atau
makna yang terdapat dalam ayat-ayat Al-Quran, dalam makalah ini akan
dipaparkan sedikit penjelasan guna menambah pemahaman pembaca. Sebagian
aspek tersebut yaitu mengenai mutlaq dan muqayyad.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang di maksud dengan mutlaq, muqayyad?
2. Bagaimana Klsifikasi mutlaq dan muqayyad?
3. Bagaimana penunjukan terhadap hukum mutlaq dan muqayyad?
C. Tujuan
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini selain untuk memenuhi
tugas mata kuliah Usul Fiqh 2, juga agar mahasiswa mampu mengetahui
pemaknaan lafal ayat Al-Qur’an yang akan dijadikan hujjah suatu hukum dari
1
mutlaq dan muqayyad, serta mengetahui bentuk dan pembagian mutlaq dan
muqayyad dan penunjukannya terhadap hukum.
2
BAB II
PEMBAHASAN
LAFAZ MUTLAQ DAN MUQAYYAD
A. Pengertian Mutlaq dan Muqayyad
Mutlaq menurut ushul fiqih adalah suatu lafadz yang menunjukan pada
makna/pengertian tertentu tanpa dibatasi oleh lafadz lainnya. Misalnya: kata
“meja”, “rumah”, “jalan”, kata-kata ini memiliki makna mutlak karena secara
makna kata-kata tersebut telah menunjuk pada pengertian makna tertentu yang
telah kita pahami. Beberapa pendapat para ulama tentang mutlaq dan
muqayyad:
1. Menurut Khudhari Beik, mutlaq ialah lafadz yang memberi petunjuk
terhadap satu atau beberapa satuan yang mencakup tanpa ikatan yang
terpisah secara lafdzi.
2. Menurut Abu Zahrah, mutlaq ialah lafadz yang memberi petunjuk
terhadap maudhu’nya tanpa memandang kepada satu, banyak, atau sifatnya,
tetapi memberi petunjuk kepada hakikat sesuatu menurut apa adanya.
3. Menurut Ibnu Subki memberikan definisi bahwa mutlaq adalah lafadz yang
memberi petunjuk kepada hakikat sesuatu tanpa ikatan apa-apa.1
Kata Muthlaq ( ) مطلقdari segi bahasa berarti “suatu yang dilepas
atau tidak terikat”. Dari akar kata yang sama lahir kata thalaq (talak), yakni
lepasnya hubungan suami maupun istri sudah tidak saling terikat.
Sedangkan kata Muqayyad ( )مقيدdari segi bahasa berarti “ikatan yang
menghalangi sesuatu memiliki kebebasan gerak (terikat/mempunyai
batasan)”.2
1
M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, (Tanggerang: Lentera Hati, 2013), hlm. 188
2
Ibid, hlm.189
3
Pengertian mutlaq dan muqayyad secara terminologi menurut beberapa
pakar Al-Qur’an, diantaranya:
1. Manna Al-Qaththan
Mutlaq adalah lafadz yang menunjukkan suatu hakikat (dalam suatu
kelompok) tanpa suatu qayid (pembatas), hanya menunjukkan suatu dzat
tanpa ditentukan (yang mana) dari (kelompok) tersebut. Sedangkan
muqayyad adalah lafadz yang menunjukkan suatu hakikat dengan qayid
(pembatas).3
2. T. M. Hasbi Ash-Shiddieqy
Mutlaq yaitu:
مادلٍ على فرد او افرادٍ شائعة بدون قيد لفظامستقل
“Lafadz yang menunjuk kepada suatu benda atau beberapa anggota benda
dengan jalan berganti-ganti.”
3
Manna Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2011),
hlm. 304-305.
4
T. M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1981), hlm.
60-61.
4
tanpa ada batasan (qayid) tertentu. Sedangkan muqayyad adalah lafadz-
lafaz yang menunjukkan suatu hakekat dengan ada batasan (qayid) tertentu.
5
Manna Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2011),
hlm.307
6
Syafi’i Karim, Fiqih Ushul, (Bandung: Pustaka Setia, 2006), hlm. 171-172
5
D. Kaidah Mutlaq dan Muqayyad
Apabila nash hukum datang dengan bentuk mutlaq dan pada sisi yang lain
dengan bentuk muqayyad, maka menurut ulama ushul ada empat kaidah di
dalamnya, yaitu:7
1. Jika sebab dan hukum yang ada dalam mutlaq sama dengan sebab dan
hukum yang ada dalam muqayyad. Maka dalam hal ini hukum yang
ditimbulkan oleh ayat yang mutlaq tadi harus ditarik atau dibawa kepada
hukum ayat yang berbentuk muqayyad.
Contoh:
a) Ayat Mutlaq
Surat al-Maidah ayat 3 tentang darah yang diharamkan, yaitu:
7
Ibid, hal. 173
6
“Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan
kepadaKu, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak
memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang
mengalir”.
2. Jika sebab yang ada dalam mutlaq dan muqayyad sama tetapi hukum
keduanya berbeda, maka dalam hal ini yang mutlaq tidak bisa ditarik
kepada muqayyad.
Contoh:
a) Ayat Mutlaq
Surat al-Maidah ayat 6 tentang tayammum, yaitu:
7
“Maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah
mukamu dan tanganmu dengan tanah…”
Lafadz “yad” (tangan) dalam ayat di atas berbentuk mutlaq karena
tidak ada lafadz lain yang mengikat lafadz “yad” (tangan). Dengan
demikian kesimpulan dari ayat ini ialah keharusan menyapukan tanah ke
muka dan kedua tangan, baik itu hingga pergelangan tangan atau sampai
siku, tidak ada masalah. Kecuali jika di sana ada dalil lain seperti hadits
yang menerangkan tata cara tayammum oleh Nabi yang memberikan contoh
mengusap tangan hanya sampai pergelangan tangan.
b) Ayat Muqayyad
Surat al-Maidah ayat 6 tentang wudhu’, yaitu:
8
Syafi’i Karim, Fiqih Ushul, (Bandung: Pustaka Setia, 2006), hlm. 174
8
Artinya, ketentuan menyapu tangan dengan tanah tidak bisa
dipahami sampai siku, sebagaimana ketentuan wudhu’ yang
mengharuskan membasuh tangan sampai siku. Dengan demikian
ayat mutlaq dan muqayyad berjalan sesuai dengan ketentuan
hukumnya sendiri-sendiri tidak bisa dijadikan satu.
3. Jika sebab yang ada pada mutlaq dan muqayyad berbeda, tetapi hukum
keduanya sama, maka yang mutlaq tidak bisa dipahami dan diamalkan
sebagaimana yang muqayyad9
Contoh:
a) Ayat Mutlaq
Surat al-Mujadalah ayat 3 tentang kafarah dzihar yang dilakukan
seorang suami kepada istrinya.
9
Ibid, hlm. 175
9
“dan barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah
(hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman.”
Lafadz “raqabah” (hamba sahaya) dalam ayat ini
berbentuk muqayyad dengan diikat lafadz “mukminah” (beriman),
maka hukumnya ialah keharusan untuk memerdekakan hamba sahaya
yang beriman. Karena sebabnya berbeda, satu masalah
kafarah dzihar dan yang lain kafarah qatl, walaupun hukumnya sama-
sama memerdekakan hamba sahaya, namun tetap diamalkan sesuai
dengan ketentuannya masing-masing. Ayat mutlaq berjalan
berdasarkan kemutlaq-annya, sedang yang muqayyad berjalan
berdasarkan kemuqayyadannya.10
4. Jika sebab dan hukum yang ada pada mutlaq berbeda dengan sebab dan
hukum yang ada pada muqayyad, maka yang mutlak tidak bisa dipahami
dan diamalkan sebagaimana yang muqayyad.
Contoh:
a) Ayat Mutlaq
Masalah had pencurian yang terdapat dalam surat al-Maidah ayat 38
yang berbunyi:
10
Ibid, hlm.176
10
Lafadz “yad” dalam ayat di atas berbentuk mutlaq, yakni
keharusan memotong tangan tanpa diberi batasan sampai daerah mana
dari tangan yang harus dipotong.
b) Ayat Muqayyad
Masalah wudhu’ yang dijelaskan dalam surat al-Maidah ayat 6, yaitu:
11
T. M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1981), hlm.
68
11
1. Sebab dan hukumnya sama, sepertu “puasa” untuk kafarah sumpah. Lafadz
itu dalam qara’ah mutawatir yang terdapat dalam mushaf dan
diungkapkan secara mutlaq:
“Barang siapa tidak sanggup melakukan yang demikian, Maka kaffaratnya
puasa selama tiga hari. yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-
sumpahmu bila kamu bersumpah [dan kamu langgar].”
Dan ia muqayyad di batasi dengan tatabu (berturut turut) dalam
qira’ah Ibn Mas’ud (Maka kafarahnya puasa selam tiga hari berturut-
turut). Dalam hal seprti ini, pengertian lafadz yang mutlaq dibawa kepada
lapadz yang muqayyad (dengan arti) yang di maksud lafadz mutlaq adalah
sama dengan yang di maksud dengan lafadz muqayyad, karana sebab yang
satu tidak akan menghendaki dua hal yang bertentangan. Oleh karena itu
segolong berpendapat bahwa puasa tiga hari tersebut harus di lakukan tiga
hari berturut-turut. Maka dalam kasus ini dipandang tidak
ada mukoyyas yang karenanya lafadz mutlaq dibawa kepadanya.
2. Sebab sama namun hukum bebeda, seperti kata “tangan” dalam wudhu dan
tayamum. Membasuh tangan dalam wudhu di batasi sampai dengan siku.
Dalam hal ada yang berpendapat lafadz yang mutlaq tidak dibawa kepada
lafadz muqayyad karena berlainan hukumnya. Namun Al-Ghazali menukil
dari mayoritas ulama Syafi’i bahwa mutlaq disini dibawa
kepada muqayyad mengingat “sebab”-nya sama sekalipun berbeda
hukumnya12
.
12
Ibid, hlm 69
12
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Mutlaq adalah lafadz-lafaz yang menunjukkan suatu hakekat tanpa ada
batasan (qayid) tertentu. Sedangkan muqayyad adalah lafadz-lafaz yang
menunjukan suatu hakekat dengan ada batasan (qayid) tertentu. Lafadz mutlaq
menjadi tidak terpakai jika ada lafadz muqayyad yang menjelaskan sebab dan
hukum tersebut. Pembagian lafadz mutlaq dan muqayyad ada empat
bentukbentuk yang realistis yaitu: sebab dan hukumnya sama, sebab sama
namun hukum berbeda, sebab berbeda namun hukum sama, sebab dan hukum
berbeda.
Mutlaq adalah suatu lafadz yang menunjukan pada makna/pengertian
tertentu tanpa dibatasi oleh lafadz lainnya. Contoh: lafadz ” hamba sahaya/
raqabah ”. Muqayyad adalah lafadz yang menunjukan pada makna tertentu
dengan batasan kata tertentu. Contoh: ” hamba sahaya yang mukmin/ raqabah
mu’minah” yang berarti budak mukmin bukan budak lainnya.. Kaidah Mutlaq
adalah Lafadz mutlaq tetap dalam kemutlakannya hingga ada dalil yang
membatasinya dari kemutlakan itu, sedangkan Kaidah Muqayyad adalah Wajib
mengerjakan yang Muqayyad kecuali jika ada dalil yang membatalkannya.
B. Saran
Dalam makalah ini masih banyak kekurangan, kritik dan saran dari
teman-teman yang bersifat membangun kami terima dengan senang hati, jika
ada kesalahan kami mohon maaf. Semoga makalah ini dapat membantu dan
menambah pengetahuan bagi pembaca dan penulis.
13
DAFTAR PUSTAKA
14