Anda di halaman 1dari 6

BAB I

ILMU NASAKH - MANSUKH

A. Pengertian Nasakh dan Mansukh


Nasakh menurut bahasa memiliki dua makna, yaitu pertama bermakna
“al Izalah” yang berarti menghilangkan, seperti yang dikatakan “matahari
telah menghilangkan bayang-bayang”. Nasakh yang kedua bermakna
“memindahkan sesuatu dari suatu tempat ke tempat yang lain atau menyalin”,
seperti “saya memindahkan (menyalin) apa yang ada di dalam buku.
Demikian pula terdapat dalam firman Allah dalam surat al Jatsiyah ayat 29:
“Sesungguhnya Kami (Allah) memindahkan/mencatat amal perbuatan yang
telah kamu sekalian kerjakan”.
Sedangkan nasakh menurut istilah sebagaimana dikemukakan oleh
Manna Qathan adalah mengangkat (menghapuskan) hukum syara’ dengan
dalil hukum syara’ yang lain.
Adapun ulama yang mendefinisikan nasakh dengan : “membatalkan
suatu hukum syara’ dengan dalil syara’ yang datang kemudian”.
Mansukh adalah hukum yang diangkat atau hukum yang dihapus,
sementara hukum yang menghapusnya disebut dengan “nasikh” (yang
menghapus). Dalam pandangan Al Suyuthi sebagaimana disebutkan dalam
kitab “Al-Itqan”, dalam Al-Quran terdapat 21 ayat yang dipandangnya
sebagai ayat-ayat yang mansukhan, antara lain sebagai contoh dalam surat
An-Nisa ayat 11 :
‫ُيوِص يُك ُم ُهَّللا ِفي َأْو الِد ُك ْم ِللَّذ َك ِر ِم ْثُل َح ِّظ األْنَثَيْيِن‬

“Allah mewasiatkan kepada kamu tentang pembagian pusaka untuk


anak-anak kamu bahwa bagi anak laki-laki mendapat harta pusaka dua bagian
anak perempuan”
Syarat-syarat adanya Nasakh adalah sebagai berikut :
1. Yang dimansukhkan hendaklah hukum syara’
2. Dalil yang digunakan untuk mengangkatkan hukum itu ialah dalil syara’
yang datangnya kemudian dari teks hukum yang dimansukhkan
hukumnya
3. Janganlah hukum yang diangkatkan itu berkaitan suatu waktu tertentu.

B. Perbedaan Antara Nasakh dan Takhsis


Terdapat beberapa perbedaan antara nasakh dan takhsis sebagaimana
dijelaskan dalam buku “Ulmul Quran” (Ahmad Syadali dan Ahmad Rofi’i,
1997 : 162) yakni :
1. Takhsis adalah membatasi jumlah afradul’am, sedangkan nasakh adalah
membatalkan hukum yang telah ada dan diganti dengan hukum yang
baru.
2. Takhsis (mukhassis) bisa dengan kata-kata Quran dan hadits dengan
dalul-dalil syara’ yang lain, seperti ‘ijma, qiyas, dan juga dengan dalil
aqal, sedangkan nasakh hanya boleh dengan kata-kata saja
3. Takhsis hanya masuk kepada dalil ‘am, sementara nasakh bisa masuk
kepada dalil ‘am maupun dalil khas.
4. Takhsis hanya masuk kepada hukum saja, sedangkan nasakh dapat
masuk kepada hukum dan membatalkan berita-berita dusta.

C. Tahkik Terhadap Perbedaan Pendapat Tentang adanya Ayat Al-Quran


yang Mansukh
Baik menurut akal maupun menurut riwayat, nasakh dapat terjadi :
1. Iman Fakhrurazi : Nasakh bagi kita dapat terwujud secara akal dan
riwayat, berbeda dengan Yahudi sebab diantara mereka ada yang
mengingkarinya danada yang membolehkannya.
2. Imam abu Muslim Al-Ashfahani mengingkari adanya nasakh di dalam
Al-Quran
3. Mayoritas ulama Islam, sepakat adanya nasakh, mereka beralasan
bahwasanya dalil-dalil yang menunjukan atas kenabian Nabi Muhammad
SAW dan kenabian beliau tidak dapat dianggap benar kecuali dengan
menasakh syariat-syariat Nabi sebelumnya. Sehingga dengan demikian
nasakh tetap wajib adanya.
Nasakh memang terjadi pada umat yang dahulu, termasuk syariat kaum
Yahudi. Misalnya tersebut dalam kitab Taurat bahwasannya Nabi Adam as
membolehkan perkawinan antara putra dan putrinya sendiri (anak laki-
lakinya mengawini anak perempuannya). Masalah ini telah diharamkan
berlakunya bagi kita sekarang ini secara mutlak.
Iman al-Jashhshash mengatakan bahwa sebagian dari ulama-ulama
Mutaakhirin ada yang menganggap bahwa tidak ada nasakh di dalam syariat
nabi kita Muhammad SAW, dan semua yang disebut tentang adanya nasakh
itu. Maksudnya nasakh syariat nabi-nabi yang dahulu. Adapun syariat nabi
kita sebagai nabi yang terakhir syari’atnya kekal sampai hari kiamat.
BAB II
ILMU MUNASABAH

A. Pengertian Munasabah
Ilmu munasabah ialah yang menerangkan korelasi atau hubungan antara
suatu ayat dengan ayat yang lain, baik yang ada di belakangnya atau ayat
yang ada di mukanya.
Tentang adanya hubungan tersebut, maka dapat diperhatikan lebih jelas
bahwa ayat-ayat yang terputus tanpa adanya kata penghubung (pengikat)
mempunyai munasabah atau penyesuaian antara yang satu dengan yang lain.

B. Dasar-dasar Pemikiran Adanya Munasabah diantara Ayat-ayat atau


Surat-surat Al-Quran
Asy-Syatibi menjelaskan bahwa surat-surat walaupun dapat
mengandung banyak masalah, namun masalah-masalah berkaitan antara satu
dengan yang lainnya. Sehingga seseorang hendaknya jangan hanya
mengarahkan pandangan pada awal surat, tetapi hendaknya memperhatikan
pula akhir surat atau sebaliknya.
"Tidak dibenarkan seseorang hanya memperhatikan bagian-bagian dari
satu pembicaraan, kecuali pada saat ia bermaksud untuk memahami arti
lahiriah dari satu kosakata menurut tinjauan etimologis, bukan maksud si
pembicara. Kalau arti tersebut tidak dipahaminya, maka ia harus segera
memperhatikan seluruh pembicaraan dari awal hingga akhir," demikian kata
Al-Syathibi.
Mengenai hubungan antara suatu ayat / surat dengan ayat / surat lain
(sebelum / sesudahnya), tidaklah kalah pentingnya dengan mengetahui sebab
nuzulul ayat. Sebab mengetahui adanya hubungan antara ayat-ayat dan surat
itu dapat pula membantu kita memahami dengan tepat ayat-ayat dan surat-
surat yang bersangkutan.
Kriteria / ukuran untuk menetapkan ada / tidaknya munasabah
(relevansi) antara ayat-ayat dan antara surat-surat adalah tamatsul dan
tasyabuh (persamaan / persesuaian) antara maudhu’-maudhu’nya. Maka
apabila ayat-ayat / surat-surat itu mengenai hal-hal yang ada kesamaan /
kesatuan yang berhubungan ayat-ayat permulaannya dengan ayat-ayat
penghabisannya maka terdapatlah munasabah / relevansi antara antara ayat-
ayat atau surat-surat secara logis dan dapat diterima. Dengan kriteria tersebut,
maka dapat dibayangkan bahwa letak / titik persesuaian (munasabah /
relevansi)antara ayat-ayat dan antara surat-surat itu kadang-kadang tampak
jelas dan kadang-kadang tidak tampak, dan bahwa jelasnya letak munasabah
antara ayat-ayat itu sedikit kemungkinannya, sebaliknya terlihatnya dengan
jelas letak munasabah antara surat-surat itu jarang sekali kemungkinannya.

C. Relevansi Ilmu Munasabah dengan Tafsir Al-Quran


Ayat-ayat Al-Qur’an telah tersusun sebaik-baiknya berdasarkan
petunjuk dari Allah SWT, sehingga pengertian tentang suatu ayat kurang bisa
dipahami begitu saja tanpa mempelajari ayat-ayat sebelumnya. Antara satu
ayat dengan ayat sebelum atau sesudahnya mempunyai hubungan erat dan
kait mengait, merupakan mata rantai yang sambung menyambung. Hal inilah
yang disebut dengan Munasabah ayat.
Asbabun Nuzul membahas ayat dari segi sebab-sebab turunya atau latar
belakang, historynya maka Munasabah ayat membahas dari sudut hubungan
ayat-ayat satu dengan yang lain.
Lebih jauh menurut Imam Muhammad Abduh (lahir 1894), suatu surat
mempunyai suatu kesatuan makna dan erat pula hubungannya dengan surat
sebelum dan sesudahnya. Apabila suatu ayat belum atau tidak diketahui
Asbabun Nuzulnya, atau ada Asbabun Nuzul tetapi riwayatnya lemah, maka
ada baiknya pengertian suatu ayat ditinjau dari sudut munasabahnya dengan
ayat sebelumnya maupun dengan ayat sesudahnya.
Jumhur Ulama berpendapat bahwa “menjelaskan ayat dengan mencari
asbabun nuzulnya adalah jalan yang kuat dalam memahami makna Al-Quran
atau sebagaimana kata Ibnu Taimiyah (lahir 1263) “mengetahui sebab nuzul
sangat membantu dalam memahami ayat”. Akan tetapi tanpa asbabun nuzul
pun suatu ayat dapat dipahami maknanya asal seorang mufassir mempunyai
pengetahuan yang luas tentang munasabah.
Dalam hal ini, kadang-kadang pengertian yang diberikan oleh
munasabah ayat lebih kuat dan rasional daripada asbabun nuzul.

Anda mungkin juga menyukai