Pengertian
Secara terminologi, al-Biqa’i menjelaskan munasabah ialah suatu ilmu untuk mengetahui
alasan-alasan sistematis perurutan bagian-bagian Al-Qur’an. Dengan kata lain, ilmu
munasabah yaitu suatu ilmu yang membicarakan hubungan suatu ayat dengan ayat lain, atau
suatu surah dengan surah lain.
Berdasarkan kedua definisi diatas maka yang dimaksud dengan ilmu munasabah atau
ilmu tanasub al-ayat adalah ilmu yang menjelaskan tentang keserasian antara satu ayat
dengan ayat yang berada di depannya, misalnya sekumpulan beberapa ayat membicarakan
sesuatu hukum, maka ayat yang berada dipangkalnya diperinci dengan ayat berikutnya, atau
ayat yang berada dibelakangnya itu menjadi penguat bagi ayat yang sebelumnya.
Menurut pendapat para Ahli mengenai pandangan tentang ilmu Munasabah Al-Qur’an,
tidak ada keseragaman. Ulama yang pertama kali memfokuskan perhatiannya kepada
masalah Munasabah Al-Qur’an adalah Abu Bakar Naisaburi menurutnya bila dibandingkan
ayat-ayat Al-Quran kepadanya selalu menganalisis hubungan ayat itu.
Dengan tidak bermaksud menolak peran dan eksistensi Ilmu Munasabah Al-Qur’an,
Syekh Izzuddin Abdussalam memberi kriteria adanya munasabah. Ia mengakui munasabah
merupakan ilmu yang baik dan positif, namun ia menjelaskan tidak semua ayat atau surat
mengandung munasabah, kecuali ada keserasian hubungan kalimat dalam kesatuan yang
bagian awal dan akhirnya salig terkait. Sedangkan yang tidak menunjukan adalah dipaksa
dan tidak disebut
Pertama, Munasabah antara ayat di awal surah dan ayat di akhir surah. Misalnya surah
Al-Mukminun (23)…………….(sungguh beruntung orang-orang mukmin, kemudian di
akhirnya berbunyi ………….( sesungguhnya orang-orang kafir tidak akan menang) di dalam
surat Shad (38) ……….. dan pada akhirnya berbunyi ……….
Kedua, Keserasian awal surah dan di akhir surah sebelumnya, misalnya surah al-quraisy
(106)………. Dan pada akhir surat al-fil …….. contoh lain awal surah al-Hadid …..dengan
akhir surat al-waqi’ah (56) ……..
Ketiga, Keserasian keistimawaan tiap-tiap surah yang di mulai dengan huruf muqatha’ah
seperti surah qaf (50) dan surah yunus (10)…….dalam kedua surah itu, ditemui penggalan
kata yang mengandung qaf dan rad dan seumpamanya sebanyak 20 kali, bahkan sampai lebih
200 kali sesuai dengan panjangnya surah.
…..
Munasabah al-istithrad, yaitu perpindahan dari suatu perkataan lain karena ada
hubungannya. Perpindahan itu terjadi sangat cepat sekali sehingga direksi pendengar sering
merasakannya, misalnya surah al-Syua’ara’ (26) ayat 87:
….
Ayat ini menceritakan doa Nabi Ibrahim kepada Allah SWT. Kemudian pembicaraan
berpindah kepada menceritakan hari kiamat. “Pada hari itu tidak berguna lagi harta dan
anak-anak. Surah al-Syu’ara (26) ayat 72-76 menceritakan sifat-sifat berhala yang disembah
oleh umatnya. Nabi Ibrahim berkata, “apakah berhala itu mendengar ketika kamu
memanggilnya? Ataukah berhala iu dapat memberikan manfaat atau madarat kepadamu?
Mereka menjawab, seperti inilah kami dapati perbuatan nenek moyang kami. Ibrahim
berkata, “apakah kamu tidak pernah pikirkan apa yang kamu sembah oleh nenek
moyangmu?” pada ayat 77-82, pembicaraan mulai bergeser kepada membicarakan sifat-sifat
Allah SWT.
…..
Ber-munasabah dengan ayat sebelumnya, ketika itu Allah melepaskan mereka dari
bahaya tenggelam. Jika Allah SWT, tidak menyelamatkan nenek moyang mereka dahulu,
niscaya mereka (Bani Israil) tidak ada sekarang. Dahulu, Nabi Nuh adalah hamba Allah yang
taat, dan kaum Bani Israil adalah anak cucunya, seharusnya kamu juga menjadi hamba-
hamba Allah yang taat kepada Allah SWT, seperti nenek moyangmu dahulu. Karena anak
cucu itu pada umumnya mengikuti nenek moyangnya.
Namun dari segenap uraian tentang munasabah diatas secara garis besar munasabah ada
dua, yakni munasabah ayat dengan ayat dan munasabah surah dengan surah.
Dalam perkembangan zaman yang kian hari semakin maju, ilmu munasabah ini sangatlah
diperlukan bagi setiap mufassir. Persesuaian dimaksud tidak hanya sebatas pertalian antar
ayat dan antar surat, bahkan persesuaian dengan berbagai cabang ilmu kekinian, mengingat
perkembangan ilmu pengetahuan sedemikian pesatnya, yang sudah barang tentu menuntut
dan memerlukan jawaban yang semestinya.
Sesuai dengan kedudukannya Al-Qur’an sebagai kitab suci yang terakhir Allah turunkan,
sudah barang tentu ia harus sanggup dan mampu memberikan solusi dan jawaban terhadap
kebutuhan umat manusia di abad yang serba maju ini, hal ini sudah barang tentu akan sangat
bergantung pula kepada kemampuan para mufassir dewasa ini.
Kitab suci Al-Qur’an tidak cukup hanya sekedar diterjemahkan atau dialihkan bahasanya
dari tafsir-tafsir masa silam semata melainkan sangat diperlukan pemahaman yang mendasar,
sehingga keberadaannya itu betul-betul menjadi petunjuk serta tuntunan bagi kehidupan umat
manusia yang serba modern seperti dewasa ini.
Tanasub al–ayat adalah keserasian suatu ayat dengan ayat lainnya, baik keserasian
dengan sebelum maupun dengan sesudahnya. Tanasub al – suwar adalah keserasian antara
surat, baik dengan surat yang berada di belakangnya, maupun dengan surat yang berada di
depannya.
Artinya :
17. maka Apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia diciptakan
Pada ayat tersebut dikumpulkan antara unta, langit, gunung, dan bumi untuk memelihara
apa yang berlaku pada adat dan kebiasaan Arab pedesaan, dimana mereka berkehidupan
dengan ternak unta yang sangat erat kaitannya dengan rerumputan, hal ini tidak mungkin
dapat tercapai dengan tanpa adanya hujan, karenanya bola mata mereka senantiasa bolak-
balik menatap langit dengan penuh harap turunnya hujan, kemudian merekapun sangat
membutuhkan perlindungan tempat tinggal yang nyaman dikulit bumi, dan dengan adanya
gunung dan lembah mereka selalu berpindah-pindah tempat mencari rumput dari stepa kering
ke stepa subur untuk mengembalakan ternaknya. Dengan mendengar ayat-ayat yang
menyentuh kehidupan social mereka akan semakin akan menambahkan kerinduan hatinya
pada yang nampak dan mendorong mereka semakin ingin menyingkap dan dekat dengan
Yang Maha pencipta jagat yang selalu akrab dengan kehidupan mereka sehari-hari.
Di antara Mufasirin mengutarakan wajah munasabah antara surat yang paling awal
adalah antara Surat Al-fatihah dengan surat Al-Baqarah sebagai berikut
.............
Mereka menegaskan : oleh karena manusia memohonkan hidayat (petunjuk) kepada jalan
yang benar, maka diterangkanlah kepada mereka, bahwa jalan yang benar dan lurus yang
mereka mintakan itu ialah al-kitab (Al-Qur’an) sedikitpun di dalamnya tidak ada keraguan.
Al-Qur’an menolak dirinya disebut puisi dan membantah menyebut Nabi SAW adalah
penyairnya. Meski ritme dan lagamnya melampaui puisi pada saat itu dan hingga sekarang
tak ada hentinya dikagumi baik dari umat muslim sendiri maupun dari kalangan non muslim.
Terlepas dari mukjizat makna yang terkan-dung dalam al-Qur’an, ritme dan nada dalam al-
Qur’an mampu menggerakkan manusia untuk menangis bahagia maupun merana, mampu
menggetarkan jiwa pendengarnya, menghangatkan hati bahkan dapat pula membuat
merinding, takut dan cemas. Bahasanya yang halus sekali melebihi puisi yang syahdu
diyakini merupakan awal perjumpaan para sahabat Nabi saw. sebagai perjumpaan pertama
mereka dalam mengenal Islam hingga menemukan kebenaran al-Qur’an yang sejati dan
akhirnya menyerahkan jiwa raga masuk Islam.
Masyarakat Arab saat mendengar al-Qur’an dibacakan seketika akan diam dan
mendengarkan secara seksama. Dari perspektif lain, bangsa Arab akan mengatakan bahwa al-
Qur’an adalah sihir, karena mereka hanya dapat mendengar al-Qur’an secara empiris tetapi
mereka tidak mampu memahami dan memasukkan pengalaman indrawi tersebut dalam nalar
mereka. Mereka tidak mampu menjangkau rasionalitas di atas tingkat pengetahuan saat itu,
maka mereka mengatakan al-Qur’an adalah sihir sebagai reaksi ditampakkannya kebenaran
dihadapan mereka serta ketidakpercayaan atas mukjizat sebagai bukti diutusnya seorang
Rasul Allah saw. sehingga mereka berpaling karena kesombongan mereka (QS. 46: 7-10).
Mendengarkan al-Qur’an dibacakan meski tidak memper-hatikan artinya sudah membuat
mereka merasakan mukjizat yang nyata. Keluhuran tuturnya dan keindahan lantunannya
telah membuka pikiran dan hati bahwa tidak mungkin ini karangan manusia, lebih-lebih oleh
Nabi Muhammad saw sang ummiy.
Para ulama kita dahulu maupun sekarang telah banyak berusaha memahami apa rahasia
di balik sistematika penyusunan setiap ayat dalam al-Qur’an ini. Mereka berusaha menelaah
kata demi kata dalam al-Qur’an. Dan bahkan berusaha menyuguhkan argumen-argumen
selogika dan serasional mungkin. Pakar al-Qur’an, Ibrahim bin ‘Umar al-Biqa’i (1406-1480
M), mengungkapkan hubungan tersebut dalam karya monumentalnya, Nazhm ad-Durar fi
Tânâsub al-Âyat wa as-Suwar, terdiri dari dua puluh dua jilid besar. Para ulama menyetujui
kitab ini sebagai kitab terbaik dalam mengungkapkan persesuaian antar ayat dan surat dalam
al-Qur’an. Dan saat al-Biqa’i akan mulai memikirkan suatu hubungan ayat yang sangat sulit
terungkap, ia akan memikirkannya selama berbulan-bulan hingga ia menemukannya.
Setidaknya mukjizat memiliki beberapa unsur yang harus terpenuhi, yaitu merupakan hal
atau peristiwa yang luar biasa, terjadi atau dipaparkan oleh seseorang yang mengaku nabi,
mengandung tantangan terhadap yang meragukan kenabian dan tantangan tersebut tidak
mampu atau gagal dilayani. Unsur-unsur ini mutlak harus terpenuhi dalam rangka
penyebutan al-Qur’an sebagai pemilik mukjizat.
Al-Qur’an dinilai orientalis dan musuh Islam sangat kacau dalam sistematika lafadznya.
Setidaknya dalam satu surat menguraikan banyak hal yang sama sekali tidak berhubungan
satu sama lain, belum lagi selesai satu uraian tiba-tiba melompat ke uraian lain yang berbeda.
Lihat saja contohnya dalam surat al-Baqarah. Keharaman makanan seperti babi, ancaman
terhadap yang enggan menyebarluaskan pengetahuan, anjuran bersedekah, kewajiban
menegakkan hukum, wasiat sebelum mati, kewajiban berpuasa, manasik haji, diperbolehkan
berperang saat haji dikemukakan al-Qur’an secara berturut-turut dalam puluhan ayat surat al-
Baqarah.
Jika susunan al-Qur’an itu tidak sempurna, maka pasti tidak ada dampak psikofisiologis
manusia terhadap ayat-ayat al-Qur’an saat dibacakannya lantunan al-Qur’an. Pada konferensi
tahunan Organisasi Kedokteran Islam Amerika XVII di Santa Lusia pada Agustus 1984,
telah dilaporkan hasil eksperimen dalam mengukur perubahan-perubahan fisiologis pada
sejumlah sukarelawan sehat yang secara tekun mendengarkan ayat-ayat al-Qur’an.
Sukarelawan ini terdiri dari sejumlah muslim yang memahami bahasa Arab dan yang tidak
pandai (muslim dan non muslim). Dengan menggunakan alat-alat observasi elektronik yang
dikomputerisasi, eksperimen ini dimulai dengan dibacakannya kepada mereka penggalan
ayat-ayat al-Qur’an (dalam bahasa Arab) kemudian dilanjutkan terjemahnya (bahasa Inggris).
Hasil percobaan ini membuktikan adanya pengaruh yang menenangkan hingga mencapai
97%. Pengaruh tersebut dapat dilihat dalam bentuk perubahan-perubahan fisiologis yang
tampak melalui berkurangnya tingkat ketegangan saraf.
Studi ulang atas eksperimen ini juga dilakukan guna mengetahui kemungkinan dampak
fisiologi tersebut benarbenar disebabkan oleh al-Qur’an sendiri, bukan karena faktor lain
seperti suara, nada dan lagam bacaan al-Qur’an atau karena pendengarnya mengetahui bahwa
yang dibacakan adalah ayat dari kitab suci. Untuk maksud uji ulang ini, digunakan alat ukur
stres yang dilengkapi dengan komputer dari jenis MEDAL 3002, alat ini yang diciptakan
oleh Pusat Kedokteran Universitas Boston Amerika Serikat. Alat tersebut mampu mengukur
reaksi-reaksi yang menunjukkan ketegangan dengan dua cara. Pertama, pemeriksaan
psikologis secara langsung melalui komputer. Kedua, pengamatan dan pengukuran
perubahan-perubahan fisiologis pada tubuh.
Sukarelawan yang dipilih adalah tiga diantaranya pria dan dua wanita dengan usia rata-
rata 22 tahun dan semuanya tidak beragama Islam dan tidak pandai bahasa Arab. Percobaan
dilakukan sebanyak dua ratus sepuluh kali (210), yang dibagi menjadi tiga sesi, delapan
puluh lima kali (85) diperdengarkan ayat-ayat al-Qur’an secara mujawwad (tanpa lagu), 85
kali bacaan berbahasa Arab (bukan berasal dari al-Qur’an) dengan suara dan nada yang sama
dengan bacaan mujawwad dan terakhir 40 kali tidak dibacakan apaapa, hanya diminta untuk
duduk tenang sambil menutup mata seperti posisi mereka saat kedua sesi sebelumnya. Dari
hasil pengamatan awal, terbukti bahwa tidak ada pengaruh posisi duduk tanpa bacaan dalam
mengurangi ketegangan. Pada tahap akhir hasil yang diperoleh adalah enam puluh lima
persen (65%) dari percobaan memperdengarkan ayat-ayat al-Qur’an mempunyai pengaruh
positif dalam memberi ketenangan, sedang yang bukan hanya tiga puluh lima persen (35%).
Jika percobaan di atas benar dan valid setidaknya membuktikan bahwa ayat-ayat al-
Qur’an tidak hanya berpengaruh terhadap pembacanya namun juga pendengarnya. Selain itu
hal yang terpenting lainnya adalah pendapat para ulama tentang pengaruh psikologi al-
Qur’an terhadap manusia bukanlah penilaian subjektif saja. Dan bukti kebenaran firman
Allah swt. atas al-Qur’an sekali lagi diperlihatkan kepada umat manusia.
Artinya: Allah telah menurunkan Perkataan yang paling baik (yaitu) al-Quran yang
serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang, gemetar karenanya kulit orang-orang yang
takut kepada Tuhannya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka di waktu mengingat
Allah. Itulah petunjuk Allah, dengan kitab itu Dia menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya.
dan Barangsiapa yang disesatkan Allah, niscaya tidak ada satu pemberi petunjuk untuknya.
(QS az-Zumar/39: 23)