Anda di halaman 1dari 13

A.

Pengertian

Secara etimologi, munasabah berarti al-musyakalah (saling keserupaan), dan al-


muqarabah (saling berdekatan). Al-Zarkasyi menyebutkan bahwa munasabah berarti al-
muqarabah, kedekatan, kemiripan, keserupaan. Direksi Fulan munasabah dengan direksi
Fulun, artinya berdekatan dan berdampingan. Dua hal yang berdekatan sebenarnya karena
adanya ikatan atau hubungan, kesamaan antara keduanya seperti dua orang yang bersaudara.
Di dalam qiyas, ada yang disebut ‘illat munasabah, yaitu adanya alasan logis yang melandasi
suatu hukum yang dapat menghubungkan antara dua kasus. Misalnya memabukkan adalah
‘illat munasabah yang menyebabkan diharamkannya khamr. Apabila memabukkan itu
ditemui dalam minuman selain khamr, maka minuman itu sama hukumnya dengan khamr
yaitu haram. Sebab itu, keserasian susunan ayat dan ayat, surah dan surah dalam Al-Qur’an
adalah suatu hal yang logis.

Secara terminologi, al-Biqa’i menjelaskan munasabah ialah suatu ilmu untuk mengetahui
alasan-alasan sistematis perurutan bagian-bagian Al-Qur’an. Dengan kata lain, ilmu
munasabah yaitu suatu ilmu yang membicarakan hubungan suatu ayat dengan ayat lain, atau
suatu surah dengan surah lain.

Al-Suyuthi mengutarakan bahwa Ibn al-Arabi dalam kitabnya Siraj al-Muridin


memberikan definisi munasabah yaitu: “Ikatan ayat-ayat Al-Qur’an antara bagian ayat yang
satu dengan bagian lainnya merupakan satu kalimat (kata) yang serasi maknanya dan teratur
strukturnya”.

Sedangkan menurut Manna’ al-Qaththan, “Munasabah adalah bentuk keterkaitan antara


beberapa ungkapan kalimat dalam satu ayat, atau antar ayat pada beberapa ayat, atau antar
surat di dalam Al-Qur’an”.

Berdasarkan kedua definisi diatas maka yang dimaksud dengan ilmu munasabah atau
ilmu tanasub al-ayat adalah ilmu yang menjelaskan tentang keserasian antara satu ayat
dengan ayat yang berada di depannya, misalnya sekumpulan beberapa ayat membicarakan
sesuatu hukum, maka ayat yang berada dipangkalnya diperinci dengan ayat berikutnya, atau
ayat yang berada dibelakangnya itu menjadi penguat bagi ayat yang sebelumnya.

B. Pendapat Para Ahli

Menurut pendapat para Ahli mengenai pandangan tentang ilmu Munasabah Al-Qur’an,
tidak ada keseragaman. Ulama yang pertama kali memfokuskan perhatiannya kepada
masalah Munasabah Al-Qur’an adalah Abu Bakar Naisaburi menurutnya bila dibandingkan
ayat-ayat Al-Quran kepadanya selalu menganalisis hubungan ayat itu.

Pendapat yang tampaknya berhati-hati dikemukakan oleh Muhammad Izah Daruzah,


menurutnya bahwa semula tidak ada hubungan antara satu ayat atau surat dengan ayat atau
surat yang lain, ternyata sebenarnya sebagian besar ayat-ayat dan surat-surat itu ada
hubungannya dengan yang lain.

Dengan tidak bermaksud menolak peran dan eksistensi Ilmu Munasabah Al-Qur’an,
Syekh Izzuddin Abdussalam memberi kriteria adanya munasabah. Ia mengakui munasabah
merupakan ilmu yang baik dan positif, namun ia menjelaskan tidak semua ayat atau surat
mengandung munasabah, kecuali ada keserasian hubungan kalimat dalam kesatuan yang
bagian awal dan akhirnya salig terkait. Sedangkan yang tidak menunjukan adalah dipaksa
dan tidak disebut

C. Macam-macam ilmu munasabah

Pertama, Munasabah antara ayat di awal surah dan ayat di akhir surah. Misalnya surah
Al-Mukminun (23)…………….(sungguh beruntung orang-orang mukmin, kemudian di
akhirnya berbunyi ………….( sesungguhnya orang-orang kafir tidak akan menang) di dalam
surat Shad (38) ……….. dan pada akhirnya berbunyi ……….

Kedua, Keserasian awal surah dan di akhir surah sebelumnya, misalnya surah al-quraisy
(106)………. Dan pada akhir surat al-fil …….. contoh lain awal surah al-Hadid …..dengan
akhir surat al-waqi’ah (56) ……..

Ketiga, Keserasian keistimawaan tiap-tiap surah yang di mulai dengan huruf muqatha’ah
seperti surah qaf (50) dan surah yunus (10)…….dalam kedua surah itu, ditemui penggalan
kata yang mengandung qaf dan rad dan seumpamanya sebanyak 20 kali, bahkan sampai lebih
200 kali sesuai dengan panjangnya surah.

Keempat, Munasabah (keserasian) al-Tandzir, al-Istihrad dan al-Takhallus. Munasabah


al-Tandzir yaitu menghubungkan suatu keserasian dengan keserasian lain, yang dilakukan
oleh pemikir, misalnya surah al-Anfal (18) ayat 4 dan 5.

…..

Munasabah al-istithrad, yaitu perpindahan dari suatu perkataan lain karena ada
hubungannya. Perpindahan itu terjadi sangat cepat sekali sehingga direksi pendengar sering
merasakannya, misalnya surah al-Syua’ara’ (26) ayat 87:

….

Ayat ini menceritakan doa Nabi Ibrahim kepada Allah SWT. Kemudian pembicaraan
berpindah kepada menceritakan hari kiamat. “Pada hari itu tidak berguna lagi harta dan
anak-anak. Surah al-Syu’ara (26) ayat 72-76 menceritakan sifat-sifat berhala yang disembah
oleh umatnya. Nabi Ibrahim berkata, “apakah berhala itu mendengar ketika kamu
memanggilnya? Ataukah berhala iu dapat memberikan manfaat atau madarat kepadamu?
Mereka menjawab, seperti inilah kami dapati perbuatan nenek moyang kami. Ibrahim
berkata, “apakah kamu tidak pernah pikirkan apa yang kamu sembah oleh nenek
moyangmu?” pada ayat 77-82, pembicaraan mulai bergeser kepada membicarakan sifat-sifat
Allah SWT.

Munasabah al-Takhallush, yaitu mengalihkan pembicaraan kepada masalah lain yang


kelihatannya sepintas tidak ada hubungan dengan masalah pertama, tetapi bila direnungkan
lebih dalam, sebenarnya masih terdapat hubungan. Misalnya surah al-Isra (17) ayat 1, ….. ,
dengan ayat 2, …. Bila direnungkan sebenarnya mempunyai hubungan serasi antara
keduanya. Hubugan itu seolah-olah Allah berkata kepada Nabi Muhammad SAW. “Kami
telah memperlihatkan kepadamu sekalian tanda-tanda kebesaran –Ku melalui perjalanan
Isra’ agar engkau ceritakan kepada umatmu sebagai peringatan. Kami beritakan kepadamu
kisah Nabi Musa dan umatnya agar menjadi pelajaran bagi umatmu”. Munasabah yang lain
dapat dikatakan, “Kami telah memperjalankan engkau dari Mesjid Haram ke Mesjid Aqsha
sebagaimana telah kami mempejalankan Musa dari Mesir ketika dikejar-kejar oleh Fir’aun.
Kemudian ayat berikutnya:

…..

Ber-munasabah dengan ayat sebelumnya, ketika itu Allah melepaskan mereka dari
bahaya tenggelam. Jika Allah SWT, tidak menyelamatkan nenek moyang mereka dahulu,
niscaya mereka (Bani Israil) tidak ada sekarang. Dahulu, Nabi Nuh adalah hamba Allah yang
taat, dan kaum Bani Israil adalah anak cucunya, seharusnya kamu juga menjadi hamba-
hamba Allah yang taat kepada Allah SWT, seperti nenek moyangmu dahulu. Karena anak
cucu itu pada umumnya mengikuti nenek moyangnya.

Sebagian ulama menganggap bahwa munasabah dengan al-Istithrad dengan munasabah


al-takhallus adalah dua munasabah yang sama. Namun al-Suyuthi dalam al-Itqan
menjelaskan pendapat ulama lain yang membedakan antara keduanya. Pada al-takhallush,
masalah yang dibicarakan ditinggalkan seluruhnya dan langsung berpindah ke masalah lain.
Sementara pada al-istithrad, masalah yang sedang dibicarakan yang pertama masih tetap
dipertahankan secara keseluruhan, tetapi disebut kembali secara sepintas, setelah itu baru
beralih kepada masalah baru.

Namun dari segenap uraian tentang munasabah diatas secara garis besar munasabah ada
dua, yakni munasabah ayat dengan ayat dan munasabah surah dengan surah.

D. Relevansi dengan Tafsir

Penafsiran Al-Quran dengan dilengkapi ilmu munasabah ini memudahkan dalam


menafsirkan Al-Quran, munasabah Al-Quran menjadikan ayat-ayat Al-Quran tersebut
menjadi lebih mudah lagi karena ayat-ayat Al-Quran yang tertib membuat kemudahan dalam
menemukan ayat-ayat yang berkaitan dengan ayat yang ingin kita tafsirkan dan memudahkan
mencari ayat yang berhubungan sehingga ada pertimbangan dan bahan tambahanlagi bila
ingin menafsirkan Al-Quran.

Dalam perkembangan zaman yang kian hari semakin maju, ilmu munasabah ini sangatlah
diperlukan bagi setiap mufassir. Persesuaian dimaksud tidak hanya sebatas pertalian antar
ayat dan antar surat, bahkan persesuaian dengan berbagai cabang ilmu kekinian, mengingat
perkembangan ilmu pengetahuan sedemikian pesatnya, yang sudah barang tentu menuntut
dan memerlukan jawaban yang semestinya.

Sesuai dengan kedudukannya Al-Qur’an sebagai kitab suci yang terakhir Allah turunkan,
sudah barang tentu ia harus sanggup dan mampu memberikan solusi dan jawaban terhadap
kebutuhan umat manusia di abad yang serba maju ini, hal ini sudah barang tentu akan sangat
bergantung pula kepada kemampuan para mufassir dewasa ini.

Kitab suci Al-Qur’an tidak cukup hanya sekedar diterjemahkan atau dialihkan bahasanya
dari tafsir-tafsir masa silam semata melainkan sangat diperlukan pemahaman yang mendasar,
sehingga keberadaannya itu betul-betul menjadi petunjuk serta tuntunan bagi kehidupan umat
manusia yang serba modern seperti dewasa ini.

E. Tanasub Ayat dan Suwar

Tanasub al–ayat adalah keserasian suatu ayat dengan ayat lainnya, baik keserasian
dengan sebelum maupun dengan sesudahnya. Tanasub al – suwar adalah keserasian antara
surat, baik dengan surat yang berada di belakangnya, maupun dengan surat yang berada di
depannya.

1. Keserasian antar ayat

Sebagian mufassirin sebelum merentangkan tafsirnya terlebih dahulu mereka


mengumpulkan ayat-ayat yang terkait, kemudian mereka singgung munasabahnya dengan
menerangkan pengertian yang terkandung pada ayat-ayat tersebut secara menyeluruh, dan
pada bagian berikutnya baru dibahas tafsirnya, setelah terlebih dahulu mereka menjelaskan
baik dari dari ashab al-nuzulnya maupun dari segi mufradatnya dan jenis-jenis yang lain yang
termasuk pada lingkungan ilmu bahasa. Hal ini dilakukan para musafir karena kadang-
kadang ayat-ayat berikutnya berfungsi sebagai taukid bagi ayat-ayat sebelumnya, atau
merupakan keterangan (bayan) ataumerupakan tafsir atau sebagai selingan yang kadang kala
berbentuk kontradiktif, seperti ayat-ayat yang menerangkan keadaan orang-orang mukmin
dengan orang kafir, janji dan ancaman, rahmat, dengan menyebutkan beberapa jenis material
yang memiliki kaitan erat dalam kerjadian itu, seperti mufasirin, menunjuk ayat-ayat yang
terdapat dalam surat al-Ghassyah ayat 17-20 :
.............

Artinya :

17. maka Apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia diciptakan

18. dan langit, bagaimana ia ditinggikan?

19. dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan?

20. dan bumi bagaimana ia dihamparkan?

Pada ayat tersebut dikumpulkan antara unta, langit, gunung, dan bumi untuk memelihara
apa yang berlaku pada adat dan kebiasaan Arab pedesaan, dimana mereka berkehidupan
dengan ternak unta yang sangat erat kaitannya dengan rerumputan, hal ini tidak mungkin
dapat tercapai dengan tanpa adanya hujan, karenanya bola mata mereka senantiasa bolak-
balik menatap langit dengan penuh harap turunnya hujan, kemudian merekapun sangat
membutuhkan perlindungan tempat tinggal yang nyaman dikulit bumi, dan dengan adanya
gunung dan lembah mereka selalu berpindah-pindah tempat mencari rumput dari stepa kering
ke stepa subur untuk mengembalakan ternaknya. Dengan mendengar ayat-ayat yang
menyentuh kehidupan social mereka akan semakin akan menambahkan kerinduan hatinya
pada yang nampak dan mendorong mereka semakin ingin menyingkap dan dekat dengan
Yang Maha pencipta jagat yang selalu akrab dengan kehidupan mereka sehari-hari.

2. Keserasian Antar Surah

Di antara Mufasirin mengutarakan wajah munasabah antara surat yang paling awal
adalah antara Surat Al-fatihah dengan surat Al-Baqarah sebagai berikut

.............

1. Alif lam miin


2. Kitab (Al-Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa.
Adalah isyarat kepada “jalan yang lurus” sebagaimana disebutkan pada ayat yang
terdapat dalam surat al-fatihah :
..............

“Tunjukilah kami jalan yang lurus”.

Mereka menegaskan : oleh karena manusia memohonkan hidayat (petunjuk) kepada jalan
yang benar, maka diterangkanlah kepada mereka, bahwa jalan yang benar dan lurus yang
mereka mintakan itu ialah al-kitab (Al-Qur’an) sedikitpun di dalamnya tidak ada keraguan.

F. Mukjizat Ilmu Munasabah

Al-Qur’an menolak dirinya disebut puisi dan membantah menyebut Nabi SAW adalah
penyairnya. Meski ritme dan lagamnya melampaui puisi pada saat itu dan hingga sekarang
tak ada hentinya dikagumi baik dari umat muslim sendiri maupun dari kalangan non muslim.
Terlepas dari mukjizat makna yang terkan-dung dalam al-Qur’an, ritme dan nada dalam al-
Qur’an mampu menggerakkan manusia untuk menangis bahagia maupun merana, mampu
menggetarkan jiwa pendengarnya, menghangatkan hati bahkan dapat pula membuat
merinding, takut dan cemas. Bahasanya yang halus sekali melebihi puisi yang syahdu
diyakini merupakan awal perjumpaan para sahabat Nabi saw. sebagai perjumpaan pertama
mereka dalam mengenal Islam hingga menemukan kebenaran al-Qur’an yang sejati dan
akhirnya menyerahkan jiwa raga masuk Islam.

Masyarakat Arab saat mendengar al-Qur’an dibacakan seketika akan diam dan
mendengarkan secara seksama. Dari perspektif lain, bangsa Arab akan mengatakan bahwa al-
Qur’an adalah sihir, karena mereka hanya dapat mendengar al-Qur’an secara empiris tetapi
mereka tidak mampu memahami dan memasukkan pengalaman indrawi tersebut dalam nalar
mereka. Mereka tidak mampu menjangkau rasionalitas di atas tingkat pengetahuan saat itu,
maka mereka mengatakan al-Qur’an adalah sihir sebagai reaksi ditampakkannya kebenaran
dihadapan mereka serta ketidakpercayaan atas mukjizat sebagai bukti diutusnya seorang
Rasul Allah saw. sehingga mereka berpaling karena kesombongan mereka (QS. 46: 7-10).
Mendengarkan al-Qur’an dibacakan meski tidak memper-hatikan artinya sudah membuat
mereka merasakan mukjizat yang nyata. Keluhuran tuturnya dan keindahan lantunannya
telah membuka pikiran dan hati bahwa tidak mungkin ini karangan manusia, lebih-lebih oleh
Nabi Muhammad saw sang ummiy.

Para ulama kita dahulu maupun sekarang telah banyak berusaha memahami apa rahasia
di balik sistematika penyusunan setiap ayat dalam al-Qur’an ini. Mereka berusaha menelaah
kata demi kata dalam al-Qur’an. Dan bahkan berusaha menyuguhkan argumen-argumen
selogika dan serasional mungkin. Pakar al-Qur’an, Ibrahim bin ‘Umar al-Biqa’i (1406-1480
M), mengungkapkan hubungan tersebut dalam karya monumentalnya, Nazhm ad-Durar fi
Tânâsub al-Âyat wa as-Suwar, terdiri dari dua puluh dua jilid besar. Para ulama menyetujui
kitab ini sebagai kitab terbaik dalam mengungkapkan persesuaian antar ayat dan surat dalam
al-Qur’an. Dan saat al-Biqa’i akan mulai memikirkan suatu hubungan ayat yang sangat sulit
terungkap, ia akan memikirkannya selama berbulan-bulan hingga ia menemukannya.

Setidaknya mukjizat memiliki beberapa unsur yang harus terpenuhi, yaitu merupakan hal
atau peristiwa yang luar biasa, terjadi atau dipaparkan oleh seseorang yang mengaku nabi,
mengandung tantangan terhadap yang meragukan kenabian dan tantangan tersebut tidak
mampu atau gagal dilayani. Unsur-unsur ini mutlak harus terpenuhi dalam rangka
penyebutan al-Qur’an sebagai pemilik mukjizat.

Al-Qur’an dinilai orientalis dan musuh Islam sangat kacau dalam sistematika lafadznya.
Setidaknya dalam satu surat menguraikan banyak hal yang sama sekali tidak berhubungan
satu sama lain, belum lagi selesai satu uraian tiba-tiba melompat ke uraian lain yang berbeda.
Lihat saja contohnya dalam surat al-Baqarah. Keharaman makanan seperti babi, ancaman
terhadap yang enggan menyebarluaskan pengetahuan, anjuran bersedekah, kewajiban
menegakkan hukum, wasiat sebelum mati, kewajiban berpuasa, manasik haji, diperbolehkan
berperang saat haji dikemukakan al-Qur’an secara berturut-turut dalam puluhan ayat surat al-
Baqarah.

Muhammad Abdullah Darraz yang mengungkapkan sedikit pandangannya tentang


keserasian hubungan yang ditemukannya dalam surat al-Baqarah, seperti dikutip oleh
Quraish Shihab. Surat al-Baqarah atau surat kedua dari urutan surat-surat al-Qur’an adalah
surat yang terpanjang, terdiri dari 286 ayat. Surat ini turun dalam kurun waktu sembilan
tahun. Kurun waktu ini diketahui dengan memperhatikan uraian ayat-ayatnya. Dalam surat
ini terdapat ayat pengalihan kiblat ke ka’bah, di Masjid al-Haram Makkah (ayat 144),
kewajiban puasa (ayat 183), serta pembicaraan tentang pasukan yang dikirim oleh Nabi saw.
untuk mengintai kafilah kaum musyrik menjelang Perang Badar (ayat 127) yang kesemuanya
terjadi pada awal tahun kedua Hijrah. Kemudian ayat terakhir turun pada akhir tahun
kesepuluh Hijrah (ayat 281), beberapa waktu sebelum Rasulullah saw. wafat. Walaupun
turunnya terpaut waktu yang sangat jauh, namun keserasian ayat-ayatnya tetap terpelihara
dengan sangat indah.

Jika susunan al-Qur’an itu tidak sempurna, maka pasti tidak ada dampak psikofisiologis
manusia terhadap ayat-ayat al-Qur’an saat dibacakannya lantunan al-Qur’an. Pada konferensi
tahunan Organisasi Kedokteran Islam Amerika XVII di Santa Lusia pada Agustus 1984,
telah dilaporkan hasil eksperimen dalam mengukur perubahan-perubahan fisiologis pada
sejumlah sukarelawan sehat yang secara tekun mendengarkan ayat-ayat al-Qur’an.
Sukarelawan ini terdiri dari sejumlah muslim yang memahami bahasa Arab dan yang tidak
pandai (muslim dan non muslim). Dengan menggunakan alat-alat observasi elektronik yang
dikomputerisasi, eksperimen ini dimulai dengan dibacakannya kepada mereka penggalan
ayat-ayat al-Qur’an (dalam bahasa Arab) kemudian dilanjutkan terjemahnya (bahasa Inggris).
Hasil percobaan ini membuktikan adanya pengaruh yang menenangkan hingga mencapai
97%. Pengaruh tersebut dapat dilihat dalam bentuk perubahan-perubahan fisiologis yang
tampak melalui berkurangnya tingkat ketegangan saraf.

Studi ulang atas eksperimen ini juga dilakukan guna mengetahui kemungkinan dampak
fisiologi tersebut benarbenar disebabkan oleh al-Qur’an sendiri, bukan karena faktor lain
seperti suara, nada dan lagam bacaan al-Qur’an atau karena pendengarnya mengetahui bahwa
yang dibacakan adalah ayat dari kitab suci. Untuk maksud uji ulang ini, digunakan alat ukur
stres yang dilengkapi dengan komputer dari jenis MEDAL 3002, alat ini yang diciptakan
oleh Pusat Kedokteran Universitas Boston Amerika Serikat. Alat tersebut mampu mengukur
reaksi-reaksi yang menunjukkan ketegangan dengan dua cara. Pertama, pemeriksaan
psikologis secara langsung melalui komputer. Kedua, pengamatan dan pengukuran
perubahan-perubahan fisiologis pada tubuh.

Sukarelawan yang dipilih adalah tiga diantaranya pria dan dua wanita dengan usia rata-
rata 22 tahun dan semuanya tidak beragama Islam dan tidak pandai bahasa Arab. Percobaan
dilakukan sebanyak dua ratus sepuluh kali (210), yang dibagi menjadi tiga sesi, delapan
puluh lima kali (85) diperdengarkan ayat-ayat al-Qur’an secara mujawwad (tanpa lagu), 85
kali bacaan berbahasa Arab (bukan berasal dari al-Qur’an) dengan suara dan nada yang sama
dengan bacaan mujawwad dan terakhir 40 kali tidak dibacakan apaapa, hanya diminta untuk
duduk tenang sambil menutup mata seperti posisi mereka saat kedua sesi sebelumnya. Dari
hasil pengamatan awal, terbukti bahwa tidak ada pengaruh posisi duduk tanpa bacaan dalam
mengurangi ketegangan. Pada tahap akhir hasil yang diperoleh adalah enam puluh lima
persen (65%) dari percobaan memperdengarkan ayat-ayat al-Qur’an mempunyai pengaruh
positif dalam memberi ketenangan, sedang yang bukan hanya tiga puluh lima persen (35%).

Jika percobaan di atas benar dan valid setidaknya membuktikan bahwa ayat-ayat al-
Qur’an tidak hanya berpengaruh terhadap pembacanya namun juga pendengarnya. Selain itu
hal yang terpenting lainnya adalah pendapat para ulama tentang pengaruh psikologi al-
Qur’an terhadap manusia bukanlah penilaian subjektif saja. Dan bukti kebenaran firman
Allah swt. atas al-Qur’an sekali lagi diperlihatkan kepada umat manusia.

Artinya: Allah telah menurunkan Perkataan yang paling baik (yaitu) al-Quran yang
serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang, gemetar karenanya kulit orang-orang yang
takut kepada Tuhannya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka di waktu mengingat
Allah. Itulah petunjuk Allah, dengan kitab itu Dia menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya.
dan Barangsiapa yang disesatkan Allah, niscaya tidak ada satu pemberi petunjuk untuknya.
(QS az-Zumar/39: 23)

G. Metodologi Penelitian Munasabah dalam Al-Qur’an


Urgensi dan kegunaan mempelajari munasabah sangat penting dan perlu adanya suatu
metodologi dalam menelitinya.untuk meneliti keserasiaan atau munasabah susunan ayat dan
surah dalam al-quran diperlukan pemikiran yang mendalam di samping metode yang jelas.
Burhan al-Din al-Biqa’i dalam nazham al-Durar mengutip pendapat dari Abu Fadhl tentang
langkah-langkah yang harus di tempuh untuk mencari dan meneliti munasabah dalam al-
quran. Langkah-langkah umum yang dapat di pedomani dalam meneliti munasabah ayat
dengan ayat:
1. Melihat tujuan yang akan di capai seseorang.
2. Memperhatikan apa saja yang di perlukan untuk mencapai tujuan tersebut atau
(muqaddimah).
3. Memperhatikan tingkat muqaddimah itu dalam hal dekat atau jauhnya dalam mencapai
tujuan yang di maksud.
4. Ketika meneliti uraian dalam surah itu perhatikan keharusa-keharusan yang di tuntut
oleh aturan, keindahan bahasa (balaghah) yang dapat menimbulkan perhatian dalam
memahaminya. Menurut al-biqa’i, bila seseorang melakukan kaidah umum tersebut,
maka ia akan mengetahui keserasian atau munasabah susunan al-quran baik ayat per
ayat maupun surah per surah.
Al-biqa’i sudah menggunakan metode tersebut selama sepuluh tahun dalam menyusun
kitab nazm al-quran. Dengan menggunakan langkah-langkah tersebut, al-biqa’i telah
menerapkan untuk meneliti munasabah dalam al-quran. Sebagai contoh menurut al-biqa’i,
tujuan yang akan di capai dalam surah al-fatihah adalah menetapkan hak Allah menerima
pujian dari segala sifat kesempurnaan Allah saja yang menguasai dunia dan akhirat, yang
berhak di sembah, dimintakan pertolongan, dimohonkan bimbingan, dan minta tempat
perlindungan dari hal-hal yang jahat dan menyesatkan.
Pokok dari pembahasan itu berpangkal pada ......... selain itu, semua adalah sarana dan
perantara belaka untuk mencapai tujuan. Bertitik pangkal dari tujuan surah al-fatihah itulah,
ia berusaha memahami hubungan ayat-ayat yang terdapat di dalam surah tersebut.
Sekalipun al-biqa’i telah mengemukakan langkah-langkah penelitian dalam memahami
munasabah, namun dalam menemukan susunan al-quran bukanlah hal yang mudah. Hal ini
disamping merupakan usaha untuk memahami kehalusan dan keindahan bahasa al-quran
juga memahami kandungan al-quran sekaligus. Dalam konteks ini barangkali dapat
dipahami pernyataan Ja’far Ibn Muhammad, bahwa pemahaman al-quran dapat dilakukan
melalui 4 cara:
1. Melalui teksnya.
2. Melalui pemahamannya isyarah.
3. Melalui pengungkapan keindahan bahasa.
4. Melalui pemahaman akan hakikatnya.
H. Urgensi dan Manfaat Mempelajari Ilmu Munasabah
Mengenai hubungan antara suatu ayat atau surat dengan ayat atau surat lain (sebelum
atau sesudahnya), tidaklah kalah pentingnya dengan mengetahui sebab nuzulul ayat. Sebab
mengetahui adanya hubungan antara ayat-ayat dan surat itu dapat pula membantu kita
memahami dengan tepat ayat-ayat dan surat-surat yang bersangkutan. Ilmu al-Qur’an
mengenai masalah ini disebut:
Ilmu ini dapat berpesan mengganti Ilmu Asbabun Nuzul, apabila kita tidak dapat
mengetahui sebab turunnya suatu ayat, tetapi kita bisa mengetahui adanya relevansi ayat itu
dengan ayat lainnya. Sehingga di kalangan ulama timbul masalah: mana yang didahulukan
antara mengetahui sebab turunnya ayat dengan mengetahui hubungan antara ayat itu dengan
ayat lain. Seorang ulama bernama Burhanuddin al-Biqa’i menyusun kitab yang sangat
berharga dalam ilmu ini, yang diberi nama :
Ada beberapa pendapat di kalangan ulama tentang: Ada yang berpendapat, bahwa setiap /
surat selalu ada relevansinya dengan ayat / surat lain. Adapula yang berpendapat, bahwa itu
tidak selalu ada hanya memang sebagian besar ayat-ayat dan surat-surat ada hubungannya
satu sama lain. Di samping itu, ada yang berpendapat, bahwa mudah mencari hubungan
antara suatu ayat dengan ayat lain, tetapi sukar sekali mencari hubungan antara suatu surat
dengan surat lain.
Segolongan dari antara para ulama Islam ada yang berpendapat, bahwa ayat-ayat al-
Qur’an itu satu dengan yang lain tidak ada hubungannya. Tetapi segolongan dari antara para
ulama Islam ada yang berpendapat, bahwa ayat-ayat al-Qur’an itu satu dengan yang lain ada
hubungannya.
Golongan yang pertama beralasan : oleh karena ayat-ayat al-Qur’an itu di dalam surat-
suratnya tidak dijadikan berbab-bab dan berpasal-pasal dan pada nampaknya memang tidak
teratur, bahkan kadang didapati satu ayat yang berisi perintah dengan satu ayat lain yang
berisi larangan, yang di antaranya sudah diselingi ayat lain yang berisi qisshah, maka tidak
mungkin jadi ayat-ayat itu satu dengan yang lain ada hubungannya. Selanjutnya dikatakan
pula oleh mereka : “Bahwa perbuatan orang yang memperhubungkan suatu ayat dengan ayat
yang lain itu, adalah suatu perbuatan yang memberatkan diri sendiri”.
Golongan yang kedua beralasan : oleh karena letak tiap-tiap ayat dan surat al-Qur’an itu
dari sejak diturunkan sudah diatur dan ditertibkan oleh Allah SWT dan Nabi SAW, tinggal
memerintahkan kepada para penulisnya pada waktu ayat-ayat itu diturunkan tentang letak
dan tempatnya tiap-tiap ayat dan surat, maka sudah barang tentu pimpinan yang sedemikian
itu mengandung arti, bahwa tiap-tiap ayat di dalam al-Qur’an itu satu dengan lainnya ada
hubungannya.selanjutnya oleh mereka dikatakan : “Bahwa sekalipun pada lahirnya ayat-ayat
al-Qur’an itu tidak teratur dan tidak tersusun, tetapi dalam hakikatnya sangat teratur dan
tersusun rapi”.
Kriteria / ukuran untuk menetapkan ada / tidaknya munasabah (relevansi) antara ayat-
ayat dan antara surat-surat adalah tamatsul dan tasyabuh (persamaan / persesuaian) antara
maudhu’-maudhu’nya. Maka apabila ayat-ayat / surat-surat itu mengenai hal-hal yang ada
kesamaan / kesatuan yang berhubungan ayat-ayat permulaannya dengan ayat-ayat
penghabisannya maka terdapatlah munasabah / relevansi antara antara ayat-ayat atau surat-
surat secara logis dan dapat diterima. Dan apabila mengenai ayat-ayat / surat-surat yang
berbeda-beda sebab turunnya dan tentang hal-hal yang tidak sama atau serupa, maka sudah
tentu tidak ada munasabah / relevansi antara ayat-ayat / surat-surat itu.
Dengan kriteria tersebut, maka dapat dibayangkan bahwa letak / titik persesuaian
(munasabah / relevansi)antara ayat-ayat dan antara surat-surat itu kadang-kadang tampak
jelas dan kadang-kadang tidak tampak, dan bahwa jelasnya letak munasabah antara ayat-ayat
itu sedikit kemungkinannya, sebaliknya terlihatnya dengan jelas letak munasabah antara
surat-surat itu jarang sekali kemungkinannya. Dan hal ini disebabkan karena pembicaraan
mengenai suatu hal jarang bisa sempurna hanya dengan satu ayat saja. Karena itu berturut-
turut beberapa ayat mengenai satu maudhu’ untuk mengutarakan dan menerangka ‫تو كيد ا و‬
‫تفسيرا‬atau untuk menghubungkan dan memberi penjelasan ‫ عطفا و بيا نا‬atau untuk
mengecualikan dan mengkhususkan ‫ ا ستثناء و حصرا‬atau untuk menengahi dan mengakhiri
pembicaraan ‫ اعتراضا و تذ بيال‬sehingga ayat-ayat yang beriring-iringan itu merupakan satu
kelompok ayat yang sebanding dan serupa.
Kedua pendapat itu baiknya kita pikirkan bersama, karena keduanya adalah dari buah
pikiran mereka masing-masing. Hanya kami berpendapat dan berpendirian, bahwa
kemungkinan besar ayat-ayat yang tertulis di dalam tiap-tiap surat al-Qur’an itu ada
hubungannya satu dengan yang lain.

Anda mungkin juga menyukai