Abstrak
Al- Qur’an merupakan sumber rujukan utama yang menempati posisi sentral bagi seluruh disiplin ilmu
keislaman. Kitab suci ini, disamping menjadi petunjuk juga penjelas bagi petunjuk-petunjuk tersebut, serta
menjadi furqon (tolak ukur pemisah antara yang ha dan yang bathil). Petunjuh dan rahmat Tuhan tidak
mungkin bisa dipahami apalagi diamalkan kecuali dengan cara menafsirkannya. Namun, untuk memahami atau
menafsirkan aql- qur’an tidaklah mudah, karen seorang mufassir dituntut untuk memahai atau menguasai
kaedah-kaedah penfsiran serta persyaratan yang harus dimilikinya Ilmu- Ilmu atau kaedah penafsiran al-
qur’an terkumpul dalam satu disiplin ilmu yang disebut “Ulumul Al Qur’an”. Salah stu bagian dari “ Ulumul Al
Qur’an” adalah bahasan tentang munasabah, yakni bentuk hubungan/korelasi antara ayat/surah dengan
ayat/surah sebelum atau sesudahnya.
Memahami keterkaitan (korelasi) antara satu dengan yang lain sebagai satu kesatuan adalah sebuah
keniscayaan. Dalam konteks Al Qur’an, pemhaman dengn ayat yang satu dengan yang lain, surah yang satu
dengan surah yang lain sebagai kestuan yang terkoneksi antara yang satu dengan yang lainnya meupakan study
yang mesti dipelajari.
Kemunculan munasbah antara ayat dan surat dalam Al Qur’an adalah awal dari kenyataan bahwa
sistematik Al-Qur’an dalam mushaf Ustmani tidak turun berdasarkan kronologis turunnya. Namun para ulama’
berbeda pendapat menganai urutan surah dalam Al Qur’an.
Segolongan dari mereka berpendapat bahwa urutan dari surah itu berdasarkn tauqifi Nabi
Muhammad. Argumen ini didasarkan pada Malaikat Jibril datang kepad Nabi untuk Tadarrus Al Qur’an dan
adanya ijma’ para sahabat.1
Golongan lainnya berpendapat bahwa urutan seluruh surah didasarkan pada ijtihad para sahabat.
Argumen mereka adalah bebedanya urutan surah-surah didalam mushaf-mushaf para sahabat. Seandainya
urutan surah-surah itu bersifat tauqifi maka, mereka tidak akan berbeda pendapat. 2
Selain dari golongan diatas ad juga golongan yang bependapat bahwa urutan surah sebagaian bersifat
tauqify dan ada surah yang bersifat ijtihadi. Dan mereka masih bebeda pendapat tentang kadar mana yang
tauify dan ijtihadi.3
Dari urian di atas maka artikel ini akan menelaah lebih jauh tentang berbagai hal terkait munasabah
Al Qur’an dan urgensinya dari berbagai segi dari artikel ini.
Keywords: Munasabah, Al Qur’an, Urgensi
Pendahuluan
Mempelajari dan mngetahui munasabah merupakan hal yang sangat penting dan
menduduki posisi pertama dan yang paling utama dalam disiplin ilmu tafsir. Hal ini karena
dengan mempelajarinya seorang interpretator dapat melakukan penakwilan dan
pemahamn yang baik. Oleh karena itu, ada ilmu yang membahas ilmu ini secara spesifik,
diantaranya adalah syekh Burhanuddin al- Biqa’i dengan bukunya Nazm Ad Durar fi tanasub
1
Hasani Ahmad, Diskursus Munasabah Al Qur’an, (Jakarta: Imprint Bmi Aksara, 2015), 14 – 15.
2
Ibid, 15.
3
Ibid, 15.
Fi Ayat Wa as Suwar dan abu ja’far ahmad bin ibrahim dalam bukunya al Burhan fi Munasabah
Tartib Suwar al Qur’an.4
Upaya untuk memahami urutan surah dan ayat Al Qur’an berdasarkan hubungan
antara yang satu dengan yang lain inilah yang memunculkan ilm munasabah Al Qur’an dari
ulama’ yang menekuni ilmu ‘Ulumul Qur’an. Ulama’ yang pertama kali menaruh perhatian
pada disiplin ilmu ini menurut Az- Zarkasyi adalah Syekh Abu Bakar An- Naisabury, seorang
ulama’ seorang ulama’ Syafi’iyah yang bermukim di baghdad. Ia mengkritik ulama’ baghdad
karena tidak memahami ilmu munasabah ini, karena ulama’ tersebut tidk mampu menjawb
pertanyaan sang Syekh mengenai hubungan ayat, surah dalam Al Qur’an.
PEMBAHASAN
A. Pengertian Munsabah
Kata munasabah secara estimologi berarti al-muqorobah (kedekatan), al- musyakalah
(keserupaan) dan al- muwafaqoh (kecocokan). Contohnya ada dalam kalimat berikut : fulan
yunasib fulan, berarti si fulan A memiliki hubungan dekat dengan si fulan b. dari kata itu
lahirlah kata “an-nasib” yang berarti kerabat yang memiliki hubungan bagaikan dua orang
bersaudara.5 Istilah mnasabah juga digunakan dalam ‘ilat dalam bab qiyas, dan berarti
gambaran yang berhubungan dengan hukum. Istilah munasabah diungkpkan pula dengan
kata rabth (pertalian). Karenanya munasabah merupakan hal yang logis ( apabila dijelaskan
dapat diterima akal).
Sedangkan secara terminologi (istilah), munasabah dapat didefinisikan sebagai berikut:
1. Menurut al- Zarkashi. 6
“ Munasabah adalah satu perkara yang dapat dipahami oleh akal. Tatkala dihadapkan
pada akal, pasti akal itu akan menerimanya.”
2. Menurut Manna’ Al- Qottan7
“Munasabah adalah aspek yang punya keterkaitan antara satu kalimat dengan kalimat
yang lain dalam satu ayt, antara ayat satu dengan ayat yang lain dalam banyak ayat, atau
antara surah dengan surah yang lain (di dalam Al Qur’an)”
3. Menurut Ibn Al-‘arabi.8
“Munasabah adalah ketekitn ayat-ayat al Qur’an sehingga seolah-olah merupakann satu
ungkapan yang mempunyai kesatuan makna dan keteraturan redaksi. Munasabah
meupakan ilmu yang sangat agung”
Jadi dalam konteks ‘ulumul qur’an, munasabah berarti menjelaskan koelasi makna
antar ayat atau anatr surat, baik korelasi itu bersifat umum ataupun khusus.
4
Rosihan anwar, Pengantar Ulumul Qur’an, (Bandung: Pustaka setia, 2009), 135.
5
Jala>l al-Di>n al-Suyu>t}i, Al-Itqa>n Fi> Ulu>m al-Qur’a>n, (Beirut: Da>r al-Fikr, 1979), 108
6
Badr al-Di>n Muhammad bin Abdullah al-Zarkasyi>, al-Burha>n Fi> ‘Ulu>m Al-Qur’a>n, (Beirut: Da>r
Ih}ya>’ al-Kutub al-Arabi>yah,1988), 61
7
Manna’ al-Qat}t}a>n, Maba>hits Fi> Ulu>m al-Qur’a>n, (Beirut: Mansyurat al-Asr al- Hadits, 1973), 97.
8
Mukhtar Gozali, Bahasa, Sastra Arab, dan Munasabah, Vol.12, No. 3, Al-Tura>s, 2006, 248.
B. Latar Belakang Muculnya Ilmu Munasabah
Ilmu ini mulai disadari keutamannya ketika masa Abu Bakar Al- Naisabry (w. 324 H),
pada masa kejayaan islam, yakni pada abad ke I – IV H yang ditandai dengan terjadinya
lonjakan besar dalam perkembangan ilmu-ilmu keislaman. Perhatian Al- Naisabury begitu
besar terhadap munasabah. Hal tersbut tampak jels dari perkataannya keika ayat Al Qur’an
dihadapkan kepadanya “ Setiap kali ia (al- Naisabury) duduk di atas kursi, bila dibacakan Al-
Qur’an kepadanya, beliau berkata : (Mengapa ayat ini diletakkan disamping ayat ini dan apa
rahasia diletakkannya surah ini disamping surah itu?). belia sing mengkritik ulama’ Bagdhad
karena mereka tidak mengetahui ( tenatang malah itu)”.9
Tindakan ini merupakan kejutan dan sebuah langkah baru dalam dunia tafsir pada
zaman itu. Beliau mempunyai kelebihan untuk menyingkap persesuaian, aik antar ayat
maupu surah, terlepas dari segi tepat aau tidaknya, dan segi pro dan kontranya terhadap apa
yang di cetuskan. Karen hal inilah belaiau dipandng sebagai bapak ilmu munasabah.
Kemudian dalam perkebangannya, ilmu munasbah meningkat menjadi salah satu cabang
ilmu dari ilu-ilmu Al Qur’an.
Salah satu kitab yang secara khsus membahas munasbah adalah al itqan fi ulum al-
qur’an kaya jalaluddin as-suyuti dengan topik “ Fi Munasabat al-ayat”. Selain itu, ada pula
kitab al-Burhan Fi Munasabat Tartib Al-Qur’an katya ahmad ibrahm al-andalusi (W. 807 H).
Kedua kitab ini selalu menjadirujukan dalam kajian- kajian ‘ulumul Qur’an.10
1. Persesuaian yang nyata zahir al-irtibat atau persesuaian yang tampak jelas, yakni
hubungan antara bagian al Qur’an yang satu dengan yang lain tampak jelas dan kuat.11
Contohnya Surah Al-Isra’ ayat 1:12
َّ ْ ْ ْ َ ْ ْ ً َ َ َّ
ُس ْبح َٰ ن ٱل ِذى أ ْْس َٰى ِبع ْب ِد ِهۦ ل ْيل ِّمن ٱلم ْس ِج ِد ٱلحر ِام ِإل ٱلم ْس ِج ِد ٱْلقصا ٱل ِذى
ْ ُ َّ ُ ُ َّ ُ ُ َُ ْ
يع ٱلب ِص ُن ب َٰ ركنا ح ْولهۥ ِل ِنيهۥ ِم ْن ءاي َٰ ِتنا ۚ ِإنهۥ هو ٱلس ِم
Artinya : Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam
dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami
perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia
adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS. Al- Isra’: 1). Ayat di atas
9
Arham Junaidi, STUDI AL-QUR’AN : Teori dan Aplikasinya dalam Penafsiran Ayat Pendidikan, (Yogyakarta:
Diandra Kreatif, 2018), 129.
10 Ahmad Zuhdi dkk, Studi Al-Qur’an, (Surabaya: UIN Sunan Ampel Press, 2021), 104.
11 Ibid., 105..
12 QS. Al-Isra’: 1.
menerangkan peristiwa Isra’ Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Kemudian ayat
berikutnya adalah surah AL-Isra’ ayat 2 :13
ً ُ ُ ُ َّ َّ َ ْ وءات ْينا ُموس ْٱلكت َٰ ب وجع ْلن َٰ ُه ُه ًدى ِّلب ُن إ
ون و ِكيل ِ د نمِ وا ذ خِ ت ت ّلأ يل ء َٰ
ْس
ِ ِ ِ ِ
Artinya : Dan Kami berikan kepada Musa kitab (Taurat) dan Kami jadikan kitab Taurat itu
petunjuk bagi Bani Israil (dengan firman): “Janganlah kamu mengambil penolong selain
Aku” (QS. Al-Isra’ : 2)
Kedua ayat di atas memiliki kepersesuaian makna. Persesuaian antara kedua ayat
tersebut ialah tampak jelas mengenai diutusnya kedua rosul tersebut, yaitu Nabi
Muhammad dan Nabi Musa.
2. Persesuaian yang tidak jelas khafiyy al-Irtibat atau hubungan antar bagian al Qur’an
yang samar, sehingga tidak tampak adanya sebuah korelasi antara keduanya, bahkan
seolah-olah masing-masing ayat/surah itu berdiri sendiri.15
Contohnya seperti hubungan antara ayat 189 dan 190 surah al-Baqarah.
ورها هُ يت ل َّلناس و ْٱلح ِّج ۗ و َل ْيس ْٱل رن ب َأن ت ْأ ُتوا ْٱل ُب ُيوت من ُظ ُ َٰ
ق وم ه ْ ي ْس َٔ ُلونك عن ْٱْله َّلة ۖ ُق
ل
ِ ِ ِ ْ ُ ِ ُ َّ َ ِ ِ َ ِ ِ ْ ِ ِ ِ ْ
ُ َّ ُ َّ ْ ْ ْ ُ َّ
ْ
ق ۗ وأتوا ٱلبيوت ِمن أب َٰو ِبها ۚ وٱتقوا ٱّلل لعلكم تف ِلحون ُ ُ َٰ ول َٰ ِك َّن ٱل ِ َّن م ِن ٱت
Artinya : Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: "Bulan sabit itu
adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadah) haji; Dan bukanlah kebajikan
memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebajikan itu adalah kebajikan
orang yang bertakwa. Dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-pintunya; dan
bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung. (QS. Al-Baqarah : 189)
Sekilas memang kedua ayat tersebut seperti tidak ada hubungannya. Padahal
sebenarnya, ada hubungan antara kedua ayat tersebut, yang mana pada ayat 189
membahas mengenai waktu untuk haji, sedangkan ayat 190 dari surah al-Baqarah
menjelaskan bahwa sesungguhnya waktu ibadah haji , umat Islam dilarang untuk
13
QS. Al-Isra’: 2.
melakukan perang, akan tetapi jika umat Islam diserang terlebih dahulu, maka serangan
musuh itu harus dibalas, walaupun pada musim haji.14
Adapun jika ditinjau dari segi materinya, Munasabah terbagi menjadi 7 macam
yaitu :
a. Munasabah antara surah dengan surah sebelumnya, artinya satu surah tersebut
berfungsi menjelaskan surah sebelumnya. Contohnya ada dalam QS. Al-Fatihah ayat yang
artinya "Tunjukilah kami jalan yang lurus". Lalu dijelaskan di dalam surah al-Baqarah ayat
2, bahwa jalan yang lurus itu ialah mengikuti petunjuk al Qur’an, sebagaimana disebutkan
"Kitab (al-Qur'an) ini tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi mereka yang bertakwa".
(QS. Al-Baqarah ayat 2) .15
Selain munasabah antara ayat yang terdapat dalam dua surah yang berdekatan
terdapat juga munasabah antara satu surah dengan surah berikutnya karena kesamaan
tema sentral yang dikandung dalam masing-masing surah. Misal surah Al-Fatihah, Al-
Baqarah, dan Ali 'Imran. Ketiganya memiliki tema sentral yang saling mendukung. Al-
Fatihah menurut al-Suyuthi, adalah ikrar ketuhanan (rububiyah), mohon perlindungan
kepada Tuhan agar tetap dalam Islam dan terpelihara dari agama Yahudi dan Nasrani.
Surah al-Baqarah mengandung kaidah-kaidah agama. Sedangkan Ali 'Imran
menyempurnakan maksud yang terkandung dalam pokok agama. Jika al-Baqarah
menegaskan dalil-dalil tentang hukum, maka Ali 'Imran berfungsi menjelaskan berbagai
persengketaan.16
b. Munasabah antara nama surah dengan isi atau tujuan surah. Nama-nama surah
biasanya diambil dari suatu masalah pokok di dalam satu surah, misalnya QS An-Nisa'
yang artinya (perempuan). Penamaan surah ini dikarenakan di dalamnya banyak
membahas tentang persoalan perempuan.
c. Hubungan antara fawatihussuwar dengan isi surah. Hal ini dapat ditemukan dari
jumlah huruf yang dijadikan sebagai fawatihussuwar. Contohnya jumlah huruf alif lam
mim semuanya dapat dibagi 19 (Sembilan Belas).
d. Hubungan antara kalimat dengan kalimat lain dalam satu ayat. Contohnya ada
dalam QS. Al-Fatihah ayat 1 yang artinya : “Segala puji bagi Allah”, kemudian
dijelaskan sifat Allah pada kalimat selanjutnya, yakni “ Tuhan semesta alam”.
e. Korelasi antara ayat pertama dengan ayat terakhir dalam satu surah. Contohnya
tertera dalam surah Al-Mu’minun ayat 1 yang artinya “Sesungguhnya beruntunglah
orang-orang yang beriman”. Lalu di bagian akhir surah ini, yakni pada ayat 117
ditemukan kalimat: “….Sesungguhnya orang- orang kafir itu tidak beruntung”. Surah ini
dimulai dengan pernyataan: Qad aflaha al-mu’minun, yaitu pernyataan bahwa orang
mukmin akan mendapat kemenangan, dan mereka pasti menang. Di akhir surah
diakhiri dengan pernyataan: Laa Yuflih al-Kafirun., sebagai isyarat bahwa orang kafir
tidak akan mendapat kemenangan. Jelaslah bahwa dua pernyataan ini melukiskan
14
Ahmad Zuhdi dkk, Studi Al-Qur’an, (Surabaya: UIN Sunan Ampel Press, 2021), 107.
15
Ibid., 107.
16
Endad Musadad, Munasabah dalam Al-Qur’an, Vol.22, No. 3, Al-Qalam, 2005, 431
perlawanan antara dua situasi, yaitu dua akhir dari dua hal yang bertolak belakang. 17
f. Hubungan antara satu ayat dengan ayat lain dalam satu surah. Contohnya terdapat pada
QS. Al-Ghasyiyah ayat 17-20. Dalam ayat tersebut, antara unta, langit, gunung-gunung, dan
bumi itu terdapat munasabah, hal ini dapat dilihat dari lawan bicara dalam al Qur’anitu
sendiri, yaitu orang padang pasir. Mereka banyak bergantung pada unta yang dapat hidup
melalui langit sebagai asal hujan. Gunung sebagai tempat berlindung pada musim hujan,
mereka turun lagi menuju lembah yang datar sebagai tempat menggembala yang banyak
terdapat rumput. Hal tersebut tidak dapat dilepaskan dari pola hidup mereka.18
g. Hubungan antara penutup surah dengan awal surah berikutnya, munasabah
semacam ini terkadang tampak jelas dan terkadang tampak tidak jelas. Contohnya
akhir QS. Al-Waqi’ah ayat 96 yang artinya “Maka bertasbihlah dengan menyebut
nama Tuhanmu yang Maha Besar”. Kemudian surah berikutnya yakni QS. Al-Hadid
ayat 1 yang artinya “Semua yang berada di langit dan di bumi bertasbih kepada Allah
(menyatakan kebesaran Allah). Dan Dialah yang Maha Kuasa atas segala sesuatu”.
Kedua ayat di atas bermunasabah, bahwa ada perintah untuk bertasbih.
D. Dasar Dasar Pemikiran Adanya Munasabah Dalam Al Qur’an
Ilmu munasabah yang juga disebut dengan “Tanasubil Ayati Wassuwari” pertama kali
dicetus oleh Imam Abu Bakar An-Naisabury, Kemudian disusul oleh Abu Ja’far ibn Zubair
dan diteruskan oleh Burhanuddin Al-Biqa’I, As-Suyuti, serta M. Shodiq Al-Ghimari yang
kemudian mereka mengarang kitab-kitab yang berkaitan dengan ilmu munasabah al-
Qur’an.
Pada bagian ini muncul pertanyaan di tengah kalangan ulama’ “apakah ada ilmu
munasabah itu?”. Dari pertanyaan tersebut muncullah dua pendapat yang berbeda
jawabannya. Pertama, pihak yang berpendapat secara pasti adanya pertalian yang erat
antara surat dengan surat maupun antara ayat dengan ayat (munasabah). Pihak ini diwakili
oleh As-Syaikh ‘Izz Ad-Din Ibn ‘Abd As-Salam atau ‘Abd Al-Aziz Ibn Abd As-Salam (577-600
H).19 Pendapat lain mengatakan bahwa adanya munasabah dalam al Qur’an juga
dikemukakan oleh mufassir, diantaranya Al-Qattan, As-Suyuti, Fazlurrahman, dll.
Menurut aliran ini, munasabah adalah ilmu yang mensyaratkan bahwa baiknya
kaitan pembicaraan itu bila antara permulaan dan akhirannya terkait menjadi satu. Apabila
hubungan tersebut terjadi dengan sebab yang berbeda-beda, tidaklah disyaratkan adanya
pertalian salah satunya dengan yang lain.
Pihak kedua, mengatakan bahwa tidak perlu ada munasabah ayat, karena peristiwa-
peristiwa tersebut saling berlainan. Al Qur’andisusun dan diturunkan serta diberi hikmah
secara tauqifi dan tersusun atas petunjuk Allah.20
17
Endad Musadad, Munasabah dalam Al-Qur’an, Vol.22, No. 3, Al-Qalam, 2005, 431.
18
Mukhtar Gozali, Bahasa, Sastra Arab, dan Munasabah, Vol.12, No. 3, Al-Tura>s, 2006, 249.
19 Nazruddin, Pengantar Ulumul Qur’an, (Jakarta: Cipta Media Nusantara, 2021), 133.
20 Ibid., 134.
Imam As-Suyuti mengatakan bahwa kesepakatan ulama’ dan berbagai riwayat
sahih yang menyatakan bahwa susunan al Qur’an adalah tauqifi dan tidak bisa
dipersoalkan, disebabkan di dalamnya tidak terdapat pertentangan dan perbedaan,
sehingga tidak ada ruang ijtihad dalam penyusunan al-Qur’an.21 Oleh sebab itu, Syaikh Az-
Zarqani mengatakan bahwa susunan dan urutan al Qur’an sepenuhnya berdasarkan
petunjuk Nabi Muhammad yang dibimbing langsung oleh Malaikat Jibril. Diriwayatkan
dalam sebuah hadits, Malaikat Jibril berkata kepada Nabi Muhammad “Letakkanlah ayat
ini dalam surah ini, dan di urutan yang kesekian” (HR.Ahmad).22
Terlepas dari pendapat di atas, maka munasabah merupakan bagian yang tak
terpisahkan dari ilmu al-Qur’an. Mengenai persoalan tentang adanya munasabah itu ijtihadi
atau tauqifi barangkali akan dapat dijawab ketika memperhatikan telaah tentang kaitan
ayat dengan ayat atau surah dengan surah.
1. Mengetahui korelasi antara ayat dengan ayat atau surah dengan surah
menunjukkan, bahwa al Qur’an merupakan satu kesatuan yang utuh tersusun
secara sistimatis dan berkesinambungan, walaupun al Qur’an secara terpisah
dalam rentang waktu sekitar 23 tahun yang memperkuat keyakinan bahwa al
Qur’an merupakan mukjizat dari Allah SWT yang sangat luar biasa.
2. Munasabah memperlihatkan keserasian susunan redaksi ayat- ayat maupun
kalimat-kalimat Al Qur’an, sehingga keindahannya dapat dirasakan sebagai
hal yang sangat luar biasa bagi orang yang memiliki dhauq ‘araby.
21 Amir Faishol Fath, The Unity of Al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2010), 53.
22 Ibid., 54.
23
Jala>l al-Di>n al-Suyu>t}i, Al-Itqa>n Fi> Ulu>m al-Qur’a>n, (Beirut: Da>r al-Fikr, 1979), 164-165.
24
Ibid., 165.
F. Urgensi Munasabah dalam Penafsiran Al-Qur’an
Ahli tafsir biasanya memulai penafsirannya dengan mengemukakan lebih dulu Asbab
Al-Nuzul ayat. Sebagian dari mereka sesungguhnya bertanya-tanya yang manakah yang
lebih baik, memulai penafsiran dengan mendahulukan penguraian tentang Asbab Al-
Nuzul atau mendahulukan penjelasan tentang munasabah ayat-ayat. Pertanyaan itu
mengandung pernyataan yang tegas mengenai kaitan ayat-ayat Al Qur’an dan
hubungannya dalam rangkaian yang serasi.25
25
Badr al-Di>n Muhammad bin Abdullah al-Zarkasyi>, al-Burha>n Fi> ‘Ulu>m Al-Qur’a>n, (Beirut: Da>r
Ih}ya>’ al-Kutub al-Arabi>yah, 40.
26
Badr al-Di>n Muhammad bin Abdullah al-Zarkasyi>, al-Burha>n Fi> ‘Ulu>m Al-Qur’a>n, (Beirut: Da>r
Ih}ya>’ al-Kutub al-Arabi>yah, 40.
PENUTUP
Dari penjelasan dalam artikel ini, maka jelaslah bahwa memperhatikan kaitan antara
surat yang satu dengan surat yang lainnya atau antara ayat yang satu denganyang ayat
lainnya (sebelum dan sesudahnya) sangat penting, agar penafsiran yangdilakukan tidak
menghasilkan kesimpulan yang parsial.
Uraian tentang munasabah dalam artikel ini nampak bahwa pembicaraan mengenai
persoalan tersebut berpusat pada susunan dan urutan kalimat,ayat, dan surah dalam
mushaf.
Ilmu ini muncul karena ada sebuah pendapat yang mengatakan bahwa susunan ayat dan
surah dalam al Qur’anbersifat tauqifi, yakni atas petunjuk Allah melalui Rasul-Nya.
Keyakinan ini menumbuhkan upaya-upaya untuk menyingkap rahasia di balik susunan
surah maupun ayat dalam al-Qur’an. Dari sinilah banyak ulama yang menafsirkan ayat-
ayat al Qur’andalam tafsirnya melalui pendekatan ini,baik yang secara khusus maupun
sebagainya.
Urgensi tentang ilmu munsabah al Qur’an ini tidak terlalu intens akan tetapi tidak boleh
untuk kita kesampingkan karena banyak orang yang salah arah karena tidak
memperhatikan ulumul qur’an diantaranya adalah ilmu munasabah Al- Quran ini.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah al-Zarkasyi , Badr al-Di>n Muhammad>, al-Burha>n Fi> ‘Ulu>m Al-Qur’a>n. Beirut: Da>r Ih}ya>’ al-
Kutub al-Arabi>yah,1988.
Ahmad, Hasani. Diskursus Munasabah Al Qur’an. Jakarta: Imprint Bmi Aksara. (2015)
al-Qat}t}a>n, Manna’, Maba>hits Fi> Ulu>m al-Qur’a>n. Beirut: Mansyurat al-Asr al- Hadits, 1973.
al-Suyu>t}i , Jala>l al-Di>n, Al-Itqa>n Fi> Ulu>m al-Qur’a>n. Beirut: Da>r al-Fikr, 1979.
Fath, A.F. The Unity of Al-Qur’an. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar. Shaltut, M, 2010. Min Hadyi
al-Qur’an. Kairo: Dar al-Kutub al-‘Arabi.Syadzali A., Rofi’i A. (1997).
Gozali, M. Bahasa, Sastra Arab, dan Munasabah. Jurnal Al-Turas. Vol. 12, No. 3. 2006.
Junaidi, A. STUDI AL-QUR’AN: Teori dan Aplikasinya dalam Penafsiran AyatPendidikan. Yogyakarta: Diandra
Kreatif, 2018.
Musadad, E. Munasabah dalam Al-Qur’an. Jurnal Al-Qalam. Vol. 22, No. 3, 2005
Zarkasyi, Badr al-Din Muhammad bin Abdullah. Al-Burhan Fi ‘Ulum Al Qur’an. Beirut: Dar ‘Ihya’ al-
Kutub al-Arabiyah, 1988