Anda di halaman 1dari 16

1

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH
Dari awal hingga akhir, al-Qur'an merupakan kesatuan utuh. Tak ada pertentangan
satu dengan lainnya. Masing-masing saling menjelaskan al-Qur'an yufassir-u ba'dhuhu
ba'dha
(1[1])
. Dari segi kejelasan, ada empat tingkat pengertian. Pertama, cukup jelas bagi
setiap orang. Kedua, cukup jelas bagi yang bisa berbahasa Arab. Ketiga, cukup jelas bagi
ulama/para ahli, dan keempat, hanya Allah yang mengetahui maksudnya
(2[2])
.
Dalam al-Qur'an dijelaskan tentang adanya induk pengertian hunna umm al-
kitab
(3[3])
yang sudah mempunyai kekuatan hokum tetap. Ketentuan-ketentuan induk itulah
yang senantiasa harus menjadi landasan pengertian dan pedoman pengembangan berbagai
pengertian, sejalan dengan sistematisasi interpretasi dalam ilmu hukum -hubungan
antara ketentuan undang-undang yang hendak ditafsirkan dengan ketentuan-
ketentuan lainnya dari undang-undang tersebut maupun undang-undang lainnya yang
sejenis, yang harus benar-benar diperhatikan supaya tidak ada kontradiksi antara satu ayat
dengan ayat lainnya.
Hal ini untuk menjamin kepastian hukum. Sementara, unsur-unsur bahasa, sistem
dan teologi dari teori interpretasi hukum masih harus dilengkapi dengan satu unsur lain yang
tidak kalah pentingnya. Itulah unsur sejarah yang melatarbelakangi terbentuknya suatu
undang-undang, yang biasa dikenal "interpretasi historis."

[1] Jalaluddin al-Suyuthi, Al-Itqan
[2] Ibn Katsir, Tafsir-u 'l-Qur'an-i 'l-'Azhim
[3] QS. Ali 'Imran: 7





2

Dalam ilmu tafsir ada yang disebut asbab al-nuzul, yang mempunyai unsur
historis cukup nyata. Dalam kaitan ini para mufassir memberi tempat yang cukup tinggi
terhadap pengertian ayat al-Qur'an. Dalam konteks sejarah yang menyangkut interpretasi
itulah kita membicarakan masalah nasikh-mansukh.

B. TOPIK PEMBAHASAN
Dalam hal ini masalah yang terpenting untuk kita soroti adalah masalah asas,
pengertian/batasan, Perbedaan Antara Nasakh, Takhshis Dan Bada', jenis-jenis, kedudukan,
hirarki penggunaan, kawasan penggunaan dan hikmah kegunaannya.



















3



BAB II
PEMBAHASAN

A. ASAS
Andaikan al-Qur'an tidak diturunkan dari Allah, isinya pasti saling bertentangan
(4[4])
.
Ungkapan ini sangat penting dalam rangka memahami dan menafsirkan ayat-ayat
serta ketentuan-ketentuan yang ada dalam al-Qur'an. Kitab Suci yang terdiri dari 6000 ayat
lebih dan terbagi dalam 114 kelompok surat, mengandung berbagai jenis pembicaraan
dan persoalan. Didalamnya terkandung antara lain nasihat, sejarah, dasar-dasar ilmu
pengetahuan, keimanan, ajaran budi luhur, perintah dan larangan. Masalah-masalah
yang disebutkan terakhir ini, tampak jelas dengan adanya ciri-ciri hukum didalamnya.
Semua jenis masalah ini terkait satu dengan lainnya dan saling menjelaskan.
Dalam kaitan itu, Imam Suyuthi maupun Imam Syathibi banyak mengulas prinsip
tersebut. Mereka mencatat adanya pendapat yang memandang adanya tiap ayat atau
kelompok ayat yang berdiri sendiri. Tapi semuanya berpendapat bahwa antara satu ayat
dengan ayat lainnya dari al-Qur'an tidak ada kontradiksi (ta'arudl). Dari asas inilah lahir
metode-metode penafsiran untuk meluruskan pengertian terhadap bagian-bagian yang
sepintas lalu tampak saling bertentangan. Adanya gejala pertentangan (ta'arudl) yang
demikian merupakan asas metode penafsiran dimana Nasikh-Mansukh merupakan salah
satu bagiannya
(5[5])
.
B. PENGERTIAN

4[4] QS. Al-Nisa: 82
4[5] Imam Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh
4[6] Al-Thusi, Uddat al-Ushul



4

Nasikh-Mansukh berasal dari kata naskh. Dari segi etimologi, kata ini dipakai untuk
beberapa pengertian: pembatalan, penghapusan, pemindahan dan pengubahan. Menurut Abu
Hasyim, pengertian majazinya ialah pemindahan atau pengalihan
(6[6])
.
Diantara pengertian etimologi itu ada yang dibakukan menjadi pengertian
terminologis. Perbedaan terma yang ada antara ulama mutaqaddim dengan ulama
mutaakhkhir terkait pada sudut pandangan masing-masing dari segi etimologis kata naskh itu.
Ulama mutaqaddim memberi batasan naskh sebagai dalil syar'I yang ditetapkan
kemudian, tidak hanya untuk ketentuan/hokum yang mencabut ketentuan/hukum yang sudah
berlaku sebelumnya, atau mengubah ketentuan/hukum yang pertama yang dinyatakan
berakhirnya masa pemberlakuannya, sejauh hukum tersebut tidak dinyatakan berlaku terus
menerus, tapi juga mencakup pengertian pembatasan (qaid) bagi suatu pengertian bebas
(muthlaq). Juga dapat mencakup pengertian pengkhususan (makhasshish) terhadap suatu
pengertian umum ('am). Bahkan juga pengertian pengecualian (istitsna). Demikian pula
pengertian syarat dan sifatnya.
Sebaliknya ulama mutaakhkhir memperciut batasan-batasan pengertian tersebut
untuk mempertajam perbedaan antara nasikh dan makhasshish atau muqayyid, dan lain
sebagainya, sehingga pengertian naskh terbatas hanya untuk ketentuan hukum yang
datang kemudian, untuk mencabut atau menyatakan berakhirnya masa pemberlakuan
ketentuan hukum yang terdahulu, sehingga ketentuan yang diberlakukan ialah
ketentuan yang ditetapkan terakhir dan menggantikan ketentuan yang mendahuluinya.
Dengan demikian tergambarlah, di satu pihak naskh mengandung lebih dari satu pengertian,
dan di lain pihak -dalam perkembangan selanjutnya- naskh membatasinya hanya pada satu

6[6] Al-Thusi, Uddat al-Ushul
6[7] 'Abbas Mutawalli Hamadah, Al-Sunnat al-Nabawiyyah
6[8] Ia adalah Muhammad bin Bahr yang terkenal dengan nama Abu Muslim al Ashfahani. Ia
adalah seorang Mudasir terkemuka dari kalangan Mu'tazilah. Karyanya yang paling
monumental adalah sebuah kitab tafsir yang berjudul Jami' Al Ta'wil. Ia wafat tahun 322H.
Manna' al Qaththan, Mabahits fi 'Ulum al Quran, Mansyurat al 'Ashr al Hadis, ttp., 1973 :
235.

5

pengertian
(7[7])
.

C. PERBEDAAN ANTARA NASAKH, TAKHSHIS DAN BADA'
Terdapat perbedaan diametral antara Ibnu Katsir, al Maghrabidan Abu Muslim al
Ashfahani
8[8]
dalam memandang persoalan nasakh. Ibnu Katsir dan al Maghrabi menetapkan
adanya pembatalan hokum dalam al quran. Namun dengan tegas, al Ashfahani menyatakan
bahwaal quran tidak pernah disentuh "pembatalan"9[9] meskipun demikian, pada umumnya,
dia sepakat tentang:
1. Adanya pengecualian hokum yang bersifat umum oleh hokum yang sefesifik yang
datang kemudian;
2. Adanya penjelasn susulan terhadap hokum terdahulu yang ambigius;
3. Adanya penetapan syarat terhadap hokum yang terdahulu yang belum bersyarat.
Ibnu Katsir dan al Maghrabi memandang ketiga hal diatas sebagai nasakh, sedangkan
al Ashfahani memandangnya sebagai takhshis.10[10] Tampaknya al Ashfahani menegaskan



8[8] Ia adalah Muhammad bin Bahr yang terkenal dengan nama Abu Muslim al Ashfahani. Ia
adalah seorang Mudasir terkemuka dari kalangan Mu'tazilah. Karyanya yang paling
monumental adalah sebuah kitab tafsir yang berjudul Jami' Al Ta'wil. Ia wafat tahun 322H.
Manna' al Qaththan, Mabahits fi 'Ulum al Quran, Mansyurat al 'Ashr al Hadis, ttp., 1973 :
235.
8[9] Ibid.
8[10] Shihab, Op.cit.,:144
8[11] Al Zarqani, Op.cit.,:80





6

pendapatnya bahwa tidak ada nasakh dalam al quran. Kalaupun didalam al quran terdapat
cakupan hokum yang bersifat umum, untuk mengklasifikasinya dapat dilakukan proses
pengkhushusan(takhshis). Dengan demikian takhshis, menurutnya dapat diartikan sebagai
"mengeluarkan sebagian satuan (afrad) dari satuan-satuan yang tercakup dalam lafad
'amm"11[11]
Bertolak dari pengertian nasakh dan takhshis tersebut diatas, perbedaan prinsipil antara
keduanya bisa dijelaskan sebagai berikut:
NASAKH TAKHSHIS
1. Satuan yang terdapat dalam
Nasakh bukan merupakan bagian
satuan yang tedapat dalam
Mansukh.
2. Nasakh adalah menghapuskan
hokum dari seluruh satuan yang
tercakup dalam dalil mansukh.
3. Nasakh hanya terjadi dengan dalil
yang dating kemudian.
4. Nasakh adanya menghapuskan
hubungan Mansukh dalam rentang
waktu yang tidak terbatas.
5. Setelah terjadi nasakh, seluruh
satuan yang terdapat dalam nasikh
tidak terikat dengan hokum yang
tedapat dalam mansukh.
1. Satuan yang tedapat dalam
takhshis merupakan sebagian dari
satuan yang terdapat dalam lafadz
'aam.
2. Takhshis adalah merupakan hokum
dari sebagian satuan yang tercakup
dalam dalil 'aam.
3. Takhshis dapat terjadi baik dengan
dalil yang kemudian maupun
menyertai dan mendahuluinya.
4. Takhshis tidak menghapuskan
hokum 'aam sama sekali. Hokum
'aam tetap berlaku meskipun sudah
dikhushuskan.
5. Setelah terjadi Takhshis, sisa
satuan yang terdapat pada 'aam
tetap terikat oleh dalil am.
Adapun Bada', menurut sumber-sumber kamus yang masyhur, adalah Azh-Zhuhur ba'da al
Khofa' ( menampakkan setelah bersembunyi). Definisi ini tersirat dalam firman Allah SWT.
Surat al Jatsiyah,45:33 :



7


33. dan nyatalah bagi mereka keburukan-keburukan dari apa yang mereka kerjakan dan
mereka diliputi oleh (azab) yang mereka selalu memperolok-olokkannya.
Arti bada' yang lain adalah "nasy'ah ra'yin jaded lam yaku maujud" (munculnya pemikiran
baru setelah sebelumnya tidak terlintas). Definisi inipun tersirat dalam firman Allah SWT.
Pada surat yusuf,12:35:
12[12]

O -E4 e+O TR)` Ru4 4`
W-N4D Re4OE- +OELN4O4T
4EO -RO ^QT
35. kemudian timbul pikiran pada mereka setelah melihat tanda-tanda (kebenaran Yusuf)
bahwa mereka harus memenjarakannya sampai sesuatu waktu[Setelah mereka melihat
kebenaran Yusuf, Namun demikian mereka memenjarakannya agar sapaya jelas bahwa yang
bersalah adalah Yusuf; dan orang-orang tidak lagi membicarakan hal ini.].
Dari kedua definisi tersebut, kita bisa melihat perbedaan yang sangat jelas antaranya
dengan hakikat nasakh. Dalam bada' , timbulnya hokum yang baru disebabkan oleh ketidak
tahuan sang pembuat hokum akan kemungkinan humunculnya hokum baru itu. Ini tentu
berbeda dengan nasakh, sebab dalam nasakh, bagi ulama yang mengakui keberadaannya,
Allah SWT. Mengetahui nasikh dan mansukh sejak zaman azali, sebelum hokum-hukum itu
diturunkan kepada manusia.13[13]
D. JENIS-JENIS NASKH
Masalah pertama yang ingin kami soroti dalam bagian ini ialah adanya naskh
antara satu syari'at dengan syari'at lainnya. Ini terjadi sebagaimana dapat kita amati antara
syari'at Nabi Isa as. dengan syari'at hukum agama Yahudi yang lebih dahulu ada. Dalam
hubungan ini, dapat kita katakan bilamana kita mengikrarkan Islam sebagai syari'at,
dengan sendirinya kita mengaku adanya naskh, karena syari'at-syari'at sebelumnya

12[12] Subhi ash Shalih, Mabahits fi 'Ulum al Quran, Dar al Qolam li al Malayin, Beirut 1988:271.
13[13] Badr ad Din Muhammad bin 'Abdillah az Zarkasyi, al Burhan fi 'Ulum al Quran, jilid II:78
8

tidak akan kita anut lagi dan semua hukumnya pun tidak akan kita berlakukan, sepanjang
tidak dikukuhkan kembali oleh syari'at Nabi Muhammad saw.
Jadi, adanya nasikh-mansukh antar syari'at itu merupakan salah satu jenis naskh.
Hal semacam ini jika ditinjau dari segi pendekatan ilmu hukum, sangat jelas maksudnya,
misalnya pengertian suatu pemerintahan/Negara dengan pemerintahan/ negara lainnya.
Contohnya, adanya pemerintahan/Negara kolonial Hindia Belanda dengan
pemerintahan/negara nasional Republik Indonesia. Dalam kaitan ini soal kedaulatan, hokum
dasar dan hukum-hukum yang langsung berhubungan dengan kedaulatan, serta hukum-
hukum lainnya semuanya dicabut dan tidak diberlakukan lagi sepanjang tidak dikukuhkan
pemerintah/negara baru itu.
Jika kita sudah melihat adanya nasikh-mansukh antar syari'at, apakah didalam
satu syari'at terjadi juga nasikh-mansukh antara hukum yang satu dengan hukum yang
lainnya? Jika kita kembali pada syari'at Islam sendiri, kita akan menemui beberapa kasus
yang dapat memberikan jawaban atas masalah ini.
1. Sesudah hijrah ke Madinah, kaum Muslim masih berkiblat ke arah Bait al-Muqaddas.
Sekitar enam bulan kemudian, Allah menetapkan ketentuan lain: keharusan berkiblat
ke arah Bait al-Haram
(14[14])
. Ini berarti terjadi nasikh-mansukh dalam hokum kiblat.
Kasus lain misalnya dalam hal shalat yang semula tidak diperintahkan lima waktu
dengan 17 raka'at. Ini juga berarti telah terjadi nasikh-mansukh dalam hukum shalat.
2. Kasus-kasus yang digambarkan di atas, semuanya menyangkut bidang ibadat.
Sedangkan di bidang mu'amalat, dapat pula kita catat beberapa kasus, misalnya
hukum keluarga. Sebagai contoh, semula ditetapkan masa tenggang ('iddah) bagi
seorang janda, lamanya 1 (satu) tahun
(15[15])
. Beberapa waktu kemudian ditetapkan
ketentuan hukum lain bahwa masa tenggangnya 4 bulan 10 hari
(16[16])
. Di bidang lain

14[14] QS. Al-Baqarah: 114
14[15] QS. Al-Baqarah: 240
14[16] QS. Al-Baqarah: 234




9

ada pula perubahan-perubahan yang menyangkut ketentuan hokum pembelaan diri,
tentang minuman keras dan sebagainya.
Dari seluruh kasus-kasus tersebut dapat ditarik kesimpulan, memang terbukti adanya
nasikh-mansukh yang sifatnya intern dalam syari'at Islam. Beberapa ketentuan hukum yang
sudah berlaku, kemudian dicabut atau berakhir masa pemberlakuannya dan diganti dengan
ketentuan hukum lain. Hal seperti ini, jika dilihat dari sudut pendekatan ilmu hukum
adalah hal yang lumrah dan banyak terjadi. Bahwa suatu undang-undang atau peraturan
hukum lainnya dicabut atau dinyatakan tidak berlaku lagi, kemudian diganti dengan
menetapkan undang-undang atau peraturan lain.
Persoalan lebih jauh dalam masalah nasikh-mansukh ini ialah soal nasikh-mansukh
antara al-Qur'an dengan Sunnah. Adanya nasikh-mansukh antara satu ayat yang memuat
ketentuan hokum dalam al-Qur'an dengan lain ayat yang juga memuat ketentuan hukum
dalam soal yang sama, adalah satu hal yang tidak diperselisihkan lagi.
Demikian pula adanya nasikh-mansukh antara satu hadits yang memuat ketentuan
hukum dalam soal yang sama, merupakan satu hal yang tidak diperselisihkan lagi. Juga,
adanya nasikh-mansukh antara satu hadits yang memuat ketentuan hukum dalam Sunnah
dengan lain hadits yang juga memuat ketentuan hukum dalam soal yang sama, merupakan
satu hal yang sudah tidak diperselisihkan lagi.
Masalah yang menimbulkan perbedaan pendapat diantara para ulama ialah adanya
nasikh-mansukh silang antara al-Qur'an dengan Hadits/Sunnah. Jika disimak alasan
masing-masing pihak, mungkin dapat ditarik satu garis bahwa faktor utama terjadinya
perbedaan pendapat ialah pandangan masing-masing tentang kedudukan hirarki al-Qur'an
dan Sunnah dalam syari'at itu sendiri.
Dalam kaitan hirarki al-Qur'an dan Sunnah, ada semacam kesepakatan bahwa
dalam nasikh-mansukh kedua unsurnya harus sama tingkatnya dan sama nilai dan sifatnya.
Lembaga tawatur dan ahad termasuk faktor yang dipertimbangkan. Jalan pikiran seperti ini
terdapat juga di kalangan ahli hukum bahwa suatu peraturan hukum tidak dapat dicabut
dengan peraturan hokum lainnya yang lebih rendah tingkatannya.


10

Demikian pula lembaga yang mengeluarkan peraturan hukum menjadi factor
pertimbangan. Berdasarkan pemikiran ini, ada satu hal yang perlu kita catat bahwa setelah
Rasulullah saw wafat maka tidak ada lagi nasikh-mansukh yang mungkin terjadi pada
syari'at.
Jenis nasikh-mansukh yang diuraikan diatas, menyangkut segi formalnya. Jenis lain
yang menyangkut segi materialnya, ada yang bersifat eksklusif (sharih) dan inklusif
(dlimni). Untuk yang bersifat sharih, nasikh itu langsung menjelaskan mansukhnya, misalnya
hukum kiblat. Ketentuan yang nasikh (pengganti) ditetapkan secara jelas
(17[17])
. Ini
contoh dari al-Qur'an. Sedangkan contoh lain dari Sunnah misalnya hokum ziarah kubur.
Didalam hadits disebutkan, "Pernah aku melarang kalian melakukan ziarah kubur.
Sekarang lakukanlah!"
(18[18])
. Berbeda dengan hal tersebut diatas, nasikh yang bersifat
dlimni tidak memuat penegasan didalamnya bahwa ketentuan yang mendahuluinya
tercabut, tetapi isinya cukup jelas bertentangan dengan ketentuan yang mendahuluinya. Jenis
seperti inilah yang banyak ditemukan dalam hukum syari'at.
E. KEDUDUKAN NASKH
Masalah naskh bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri. Ia merupakan bagian yang
berada dalam disiplin Ilmu Tafsir dan Ilmu Ushul Fiqh. Karena itu masalah naskh
merupakan techniseterm dengan batasan pengertian yang baku. Dalam kaitan ini Imam
Subki menerangkan adanya perbedaan pendapat tentang kedudukan naskh: apakah ia
berfungsi mencabut (raf) atau menjelaskan (bayan)
(19[19])
. Ungkapan Imam Subki ini dapat
dikaitkan dengan hal-hal yang menyangkut jenis-jenis naskh yang diuraikan di atas. Jika
ditinjau dari segi formalnya maka fungsi pencabutan itu lebih nampak. Tapi bila ditinjau
dari segi materinya, maka fungsi penjelasannya lebih menonjol. Meski demikian, pada
akhirnya dapat dilihat adanya suatu fungsi pokok bahwa naskh merupakan salah satu
interpretasi hukum.

17[17] QS. Al-Baqarah: 142
18[18] Imam Muslim, Al-Jami' al-Shahih
18[19] Imam Al-Subki, Jam' al-Jawami'



11

F. HIRARKI PENGGUNAAN NASKH
Yang menjadi persoalan sekarang, apakah naskh menempati urutan pertama
dalam interpretasi hukum-syari'at? Dalam upaya melakukan interpretasi suatu peraturan
dalam syari'at, baik al-Qur'an maupun Hadits setiap ketentuan hukum itu harus jelas.
Pengertiannya tidak boleh meragukan, supaya kepastian hukumnya terjamin. Semua segi
yang dapat memperjelas kondisi sesungguhnya, maksud ketentuan hukum itu harus disoroti
dan didalami. Misalnya, tentang segi bahasanya, proses terjadinya, hubungannya antara
ketentuan hukum itu dengan ketentuan hukum yang lain. Dalam hal ini harus ada upaya
mengawinkan kedua ketentuan hukum itu (jam') atau memperkuat salah satu diantaranya
(tarjih). Baik upaya jam' maupun tarjih sudah mempunyai tata aturan yang sudah baku
dalam disiplin ilmu Usul Fiqh.
Jika tingkat interpretasi ini sudah ditempuh dan ternyata kontradiksi antara dua
ketentuan hukum itu juga sudah teratasi, maka pada tingkat inilah dipersoalkan
kemungkinan adanya nasikh-mansukh antara dua ketentuan hukum tersebut. Kuncinya
terletak pada soal historis yang menyangkut kedua ketentuan hukum tersebut. Faktor
asbab al-nuzul bagi ayat dan asbab al-wurud bagi Hadits, ada dalam tingkat ini. Maka setiap
masalah nasikh-mansukh berada pada tingkat akhir dari suatu upaya interpretasi
(20[20])
.
G. KAWASAN PENGGUNAAN NASKH
Masalah yang tidak kurang pentingnya disoroti, sejauh mana jangkauan naskh itu?
Apakah semua ketentuan hukum didalam syari'at ada kemungkinannya terjangkau naskh?
Dalam hal ini Imam Subki menukil pendapat Imam Ghazali bahwa esensi taklif (beban
tugas keagamaan) sebagai suatu kebulatan tidak mungkin terjangkau oleh naskh.
Selanjutnya, Syekh Asshabuni mencuplik pendapat jumhur ulama bahwa naskh hanya
menyangkut perintah dan larangan, tidak termasuk masalah berita, karena mustahil Allah
berdusta
(21[21])
. Sejalan dengan ini Imam Thabari mempertegas, nasikh-mansukh yang

20[20] Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul al-Fiqh
20[21] Muhammad Ali Al-Shabuni, Rawai'al-Bayan



12

terjadi antara ayat-ayat al-Qur'an yang mengubah halal menjadi haram, atau sebaliknya, itu
semua hanya menyangkut perintah dan larangan, sedangkan dalam berita tidak
terjadi nasikh-mansukh.
Ungkapan ini cukup penting diperhatikan, karena soal naskh adalah semata-mata
soal hukum, yang hanya menyangkut perintah dan larangan, dan merupakan dua unsur
pokok hukum. Hal seperti yang diuraikan di atas, di bidang ilmu Hukum dapat kita lihat
gambarnya pada Hukum Dasar, misalnya Undangundang Dasar Negara yang tidak
dapat dijangkau pencabutan. Adanya pencabutan terhadap sesuatu peraturan hukum dan
penetapan peraturan lain untuk menggantikannya hanya berlaku pada undang-undang
organik atau peraturan, kedudukan dan kawasan naskh. Dengan demikian, dengan mudah
kita dapat mengenal beberapa persyaratan, yaitu:

1. Adanya ketentuan hukum yang dicabut (Mansukh) dalam formulasinya tidak
mengandung keterangan bahwa ketentuan itu berlaku untuk seterusnya atau selama-
lamanya.
2. Ketentuan hukum tersebut bukan yang telah mencapai kesepakatan universal tentang
kebaikan atau keburukannya, seperti kejujuran dan keadilan untuk pihak yang baik
serta kebohongan dan ketidakadilan untuk yang buruk.
3. Ketentuan hukum yang mencabut (Nasikh) ditetapkan kemudian, karena pada
hakikatnya nasikh adalah untuk mengakhiri pemberlakuan ketentuan hukum yang
sudah ada sebelumnya.
4. Gejala kontradiksi sudah tidak dapat diatasi lagi.
H. HIKMAH ADANYA NASKH
Adanya nasikh-mansukh tidak dapat dipisahkan dari sifat turunnya al-Qur'an itu
sendiri dan tujuan yang ingin dicapainya. Turunnya Kitab Suci al-Qur'an tidak terjadi
sekaligus, tapi berangsur-angsur dalam waktu 20 tahun lebih. Hal ini memang dipertanyakan
orang ketika itu, lalu Qur'an sendiri menjawab, pentahapan itu untuk pemantapan,
(22[22])

khususnya di bidang hukum. Dalam hal ini Syekh al-Qasimi berkata, sesungguhnya al-

22[22] QS. Al-Furqan: 32
13

Khalik Yang Maha Suci lagi Maha Tinggi mendidik bangsa Arab selama 23 tahun dalam
proses tadarruj (bertahap) sehingga mencapai kesempurnaannya dengan perantaraan berbagai
sarana sosial. Hukum-hukum itu mulanya bersifat kedaerahan, kemudian secara bertahap
diganti Allah dengan yang lain, sehingga bersifat universal. Demikianlah Sunnah al-Khaliq
diberlakukan terhadap perorangan dan bangsa-bangsa dengan sama.
Jika engkau melayangkan pandanganmu ke alam yang hidup ini, engkau pasti
akan mengetahui bahwa naskh (penghapusan) adalah undang-undang alami yang lazim,
baik dalam bidang material maupun spiritual, seperti proses kejadian manusia dari unsur-
unsur sperma dan telur kemudian menjadi janin, lalu berubah menjadi anak, kemudian
tumbuh menjadi remaja, dewasa, kemudian orang tua dan seterusnya.
Setiap proses peredaran (keadaan) itu merupakan bukti nyata, dalam alam ini selalu
berjalan proses tersebut secara rutin. Dan kalau naskh yang terjadi pada alam raya ini tidak
lagi diingkari terjadinya, mengapa kita mempersoalkan adanya penghapusan dan proses
pengembangan serta tadarruj dari yang rendah ke yang lebih tinggi? Apakah seorang
dengan penalarannya akan berpendapat bahwa yang bijaksana langsung membenahi bangsa
Arab yang masih dalam proses permulaan itu, dengan beban-beban yang hanya patut bagi
suatu bangsa yang telah mencapai kemajuan dan kesempurnaan dalam kebudayaan yang
tinggi? Kalau pikiran seperti ini tidak akan diucapkan seorang yang berakal sehat, maka
bagaimana mungkin hal semacam itu akan dilakukan Allah swt. Yang Maha Menentukan
hukum, memberikan beban kepada suatu bangsa yang masih dalam proses
pertumbuhannya dengan beban yang tidak akan bisa dilakukan melainkan oleh suatu
bangsa yang telah menaiki jenjang kedewasaannya? Lalu, manakah yang lebih baik,
apakah syari'at kita yang menurut sunnah Allah ditentukan hukum-hukumnya sendiri,
kemudian di-nasakh-kan karena dipandang perlu atau disempurnakan hal-hal yang
dipandang tidak mampu dilaksanakan manusia dengan alasan kemanusiaan? Ataukah
syari'at-syari'at agama lain yang diubah sendiri oleh para pemimpinnya sehingga sebagian
hukum-hukumnya lenyap sama sekali?
(23[23])

Syari'at Allah adalah perwujudan dari rahmat-Nya. Dia-lah yang Maha

23[23] Al-Qasimi, Mahasin al-Ta'wil.

14

Mengetahui kemaslahatan hidup hamba-Nya. Melalui sarana syari'at-Nya, Dia mendidik
manusia hidup tertib dan adil untuk mencapai kehidupan yang aman, sejahtera dan
bahagia di dunia dan di akhirat.










BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Al-Qur'an merupakan kesatuan utuh. Tak ada pertentangan satu dengan lainnya.
Masing-masing saling menjelaskan al-Qur'an yufassir-u ba'dhuhu ba'dha. Kitab Suci yang
terdiri dari 6000 ayat lebih dan terbagi dalam 114 kelompok surat, mengandung berbagai
jenis pembicaraan dan persoalan.
Adanya nasikh-mansukh tidak dapat dipisahkan dari sifat turunnya al-Qur'an itu
sendiri dan tujuan yang ingin dicapainya.




15














DAFTAR PUSTAKA

1. Jalaluddin al-Suyuthi, Al-Itqan
2. Ibn Katsir, Tafsir-u 'l-Qur'an-i 'l-'Azhim
3. Imam Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh
4. Al-Thusi, Uddat al-Ushul
5. 'Abbas Mutawalli Hamadah, Al-Sunnat al-Nabawiyyah
6. Shihab, Op.cit.,:144
7. Al Zarqani, Op.cit.,:80
8. Subhi ash Shalih, Mabahits fi 'Ulum al Quran, Dar al Qolam li al Malayin, Beirut
1988:271.
9. Badr ad Din Muhammad bin 'Abdillah az Zarkasyi, al Burhan fi 'Ulum al Quran,
jilid II:78
16

10. Imam Muslim, Al-Jami' al-Shahih
11. Imam Al-Subki, Jam' al-Jawami'
12. Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul al-Fiqh
13. Muhammad Ali Al-Shabuni, Rawai'al-Bayan
14. Al-Qasimi, Mahasin al-Ta'wil.

Anda mungkin juga menyukai