Anda di halaman 1dari 6

ABSTRAK

Apakah dalam Alquran ada nasikh (penghapusan hukum syara’).Ulama berbeda pendapat dalam
hal ini. Perbedaan pendapat tersebut disebabkan dua hal: pertama bagi ulama yang menyatakan ada
nasikh karena ada beberapa ayat yang dapat dijadikan dasar dan kedua faktanya ada beberapa ayat
Alquran yang sulit dipahami kecuali harus menerima konsep nasikh. Bagi ulama yang modern
menyatakan Alquran tidak ada yang kontradiksi (menimbulkan pertentangan) . Tidak ada dalil yang
bisa dijadikan dasar adanya nasikh dan kalau ada ayat yang kelihatannya sulit dipaham, maka harus
dikaji sebab turunnya, takhshis, petunjuk, dan rasionalitasnya maka hati kita akan damai.

BAB 1

PENDAHULUAN

Pandangan umat Islam bahwa al-Qur’an Ṣālih li Kulli Zamān wa Makān menyebabkan alQur’an
selalu dikaji. Kajian terhadapnya tidak akan pernah mati dilakukan oleh para pengkaji alQur’an dalam
setiap pergerakan waktu, dari era klasik sampai era modern-kontemporer ini. Salah satu bentuk
kajian terhadap al-Qur’an yang giat dieksplorasikan oleh para sarjana Muslim
sejak zaman klasik hingga sekarang adalah interpretasi terhadap al-Qur’an yang tertuang dalam kitab
tafsir mereka.

Penafsiran itu sendiri tidak akan lepas dari berbagai pendekatan dan metode yang ditawarkan
oleh sang mufassir. Perbedaan pendekatan akan melahirkan produk tafsir yang beragam. Ketika al-
Qur’an ditafsirkan dengan pendekatan filsafat, maka akan melahirkan tafsir yang bercorak filosofis.
Demikian pula ketika al-Qur’an ditafsirkan dengan pendekatan gender, maka bias-bias patriarki dalam
tafsirnya akan dieliminasi dan dieksekusi. Demikian pula ketika pendekatan-pendekatan lain
digunakan dalam upaya memahami alQur’an. Metode yang beragam pun turut mewarnai kajian
terhadap al-Qur’an, seperti metode tahlili, mauḍu’i, muqaran, semantik, dan metode-metode
yang bersifat interdisipliner. Metode yang digunakan pun berkembang dari masa ke masa. Diskursus
yang dibahas pun ada berbagai macam, mulai dari kebahasaan, kesusteraan (balaghah), asbabun
nuzul, munasabah ayat, makki madani dan masih banyak lagi. Diantara diskursus yang paling banyak
menimbulkan polemik adalah nasikh wa Mansukh. Diskursus ini hingga sekarang masih menjadi
problematika tersendiri. Ada sebagian kelompok yang menolak konsep ini dan ada Sebagian
kelompok yang menerimanya. Kelompok-kelompok tersebut dapat di klasifikasikan menjadi
3kelompok: 1) Kelompok yang menerima seutuhnya konsep nasikh dan mansukh tanpa ada batasan
tertentu. Pendapat ini kebanyakan diaplikasikan oleh ulama mutaqaddimin. 2) Kelompok yang
menerima adanya konsep nasikh dan mansukh, akan tetapi ada Batasan tertentu. Pendapat ini
kebanyakan dianut oleh ulama muta’akhkhirin. 3)kelompok yang menolak adanya konsep nasikh dan
Mansukh. Pendapat ini pada umumnya dianut oleh ulama kontemporer. Dalam artikel ini penulis
akan berusaha menjelaskan secara rinci pemikiran Syah Wali Allah Al-Dahlawi serta aplikasinya.
Adapun metode yang penulis gunakan adalah metode deskriptif dalam menjelaskan pemikiran Al-
Dahlawi.
BAB 2

PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN NASIKH DAN MANSUKH

Secara etimologis, kata “nasikh” dan “mansukh” merupakan bentuk isim failnya dan maf‘ul dari
kata naskh. Kata ini mempunyai arti yang beragam, antara lain: menghilangkan, menghapuskan,
membatalkan. Artinya, naskh berarti membatalkan. Disamping itu juga nāskh berarti memindah dari
satu wadah ke wadah yang lain, atau juga berarti penukilan dan penyalinan. Kata nāsikhmenurut sifat
sendiri memiliki banyak makna, bisa berarti: Menghilangkan (al-Izālah), Menggantikan (at-Tabdīl), at-
Tahwil (peralihan),dan Naql artinya memindahkan dari satu tempat ketempat yang lain. Jadi “nasikh”
adalah sesuatu yang membatalkan, menghapus, memindahkan dan mengubah, sedang “mansukh”
adalah sesuatu yang dibatalkan. dihapus. dipindahkan. dirubah dan lain sebagainya.
Sedang menurut istilah ulama’ ushul, nasikh adalah membatalkan pelaksanaan hukum syara’ yang
telah ada sebelumnya dengan dalil yang datang kemudian, yang menunjukkan penghapusannya
secara jelas ataupun implisit (Dzanni), baik penghapusan itu secara keseluruhan atau sebagian
menurut kepentingan yang ada.

Adanya fenomena nasikh dan mansukh dalam alQur’an dan al-Sunnah, menurut logika dapat
diterima, sebab turunnya ayat maupun wurudnya al-Hadis itu terkadang merespon langsung
kebutuhan umat yang tergantung oleh kondisi sosio-kultural. Bisa terjadi ayat yang turun kemudian
telah membatalkan kandungan ayat sebelumnya akibat perubahan
kondisi sosial. Sebagaimana dalam pengertian etimologi, nāskh dalam pengertian secara terminologi
pun memiliki pengertian yang berbeda-beda, ada yang pendapat yang mengatakan bahwa nāskh
adalah mengangkat atau menghapus hukum syara‟ dengan dalil hukum (khitab) yang lain
sebagaimana yang disebutkan sebelumnya.

Sementara al-Zarqani mengatakan bahwa definisi nāskh menurut istilah adalah mengangkat
hukum syar’i dengan dalil syara’ yang lain, ini dapat dipandang sebagai definisi yang cermat. Dan
menurut Abu Zahroh mendefinisikan nāskh dengan penghapusan hukum syar’i oleh Syāri’(Allah)
dengan dalil yang datang kemudian. Dengan demikian, nāskh secara singkat dapat dipahami sebagai
pembatalan atau pemindahan suatu hukum syariat ditandai dengan adanya dalil syariat setelahnya
yang menunjukkan pembatalan atau pemindahan hukum tersebut. Hal ini dikarenakan perubahan
konteks dan kondisi sosial-kultural pada saat syariat tersebut diberlakukan. Berdasarkan argumentasi
Qatadah, penulis menyimpulkan bahwa nāskh hanya terjadi pada ayat atau hadis yang memuat amr
(perintah) dan nahyu (larangan) ataupun khabar yang bermakna perintah ataupun larang, tidak pada
tempat selain ketiganya. Terdapat perbedaan pendapat antara ulama mutaqaddimin dan mutaakhirin
dalam mendefinisikan nasakh secara terminologi.

Perbedaan pendapat tersebut bersumber pada banyaknya pengertian nasakh secara etimologi
sebagaimana dijelaskan di atas. Cakupan makna yang ditetapkan ulama mutaqaddimin di antaranya:

1) Pembatalan hukum yang ditetapkan sebelumnya dengan hukum yang ditetapkan kemudian;
2) Pengecualian/pengkhususan hukum bersifat `am/umum oleh hukum yang lebih khusus yang
datang setelahnya
3) Bayan atau penjelasan yang datang kemudian terhadap hukum yang bersifat samar
4) Penetapan syarat terhadap hukum terdahulu yang belum bersyarat.Berdasarkan pada gugusan
paparan di atas, ulama mutaqaddimin secara terminologis mengusung makna nasakh secara
luas, yaitu tidak terbatas pada berakhir atau terhapusnya suatu hukum baru yang ditetapkan.

Namun interprestasi nasakh yang diusung oleh mereka juga menyangkut yang bersifat
pembatasan, pengkhususan, bahkan pengecualian. Sementara menurut ulama mutaakhirin, nasakh
adalah dalil yang datang kemudian, berfungsi untuk menggugurkan dan menghilangkan hukum yang
pertama. Dengan demikian mereka mempersempit ruang lingkup nasakh dengan beberapa syarat,
baik yang menasakh maupun yang dinasakh Ibnu al-Barizi berkata dalam kitabnya “Nasikh al-Qur’an
al-Aziz Wa Mansukhuhu” bahwasanya ulama mutaqaddimin seperti Ibnu Abbas dan selainnya,
mereka menggunakan istilah nasakh pada pembahasan takhsis, itstisna dan hal-hal yang musykil
seperti perintah berperang setelah diperintahkan untuk bersabar. Hal ini mereka lakukan karena
kesemuanya itu sama-sama terkait mengenai menghapus hukum yang terdahulu. Sedangkan
ulama mutaakhirin tidak menganggap takhsis, itstisna dan hal-hal yang musykil sebagai naskh, karena
naskh bagi mereka adalah penghapusan hukum yang tsabit secara nash dengan nash lainnya yang
datang setelahnya.

Pada umumnya, para ulama membagi nasakh menjadi empat bagian, yaitu nasakh sunnah
dengan sunnah, nasakh sunnah dengan al-Qur’an, nasakh al-Qur’an dengan Al-Qur’an, dan nasakh
Al-Qur’an dengan sunnah.

B. DISKURSUS KONSEP NASIKH DAN MANSUKH

Naskh memang selalu menjadi bahan diskusi yang menarik, pasalnya konsep ini memilki
implikasi langsung terhadap keotentikan ajaran Islam maupun al-Qur’an sebagai kitab sucinya.
Meskipun begitu, harus diakui bahwa keberadaan naskh juga menjadi salah satu solusi (tidak
semua menerima) ketika menemukan sebuah pertentangan dalam melakukan istinbāt hukum,
terlebih jika sumber hukum tersebut berasal dari al-Qur’an dan hadis. Sayangnya di dalam teks-
teks sejarah serta islamic studies klasik permasalahan kurang begitu disinggung, sehingga untuk
mencari iformasi berkenaan dengan hal ini membutuhkan konsentrasi yang intens. Catatan-
catatan sejarah yang sampai pada generasi belakangan, hanya menunjukan bahwa naskh
mengalami konseptualisasi yang dinamis dari masa ke masa.

Hal ini dapat terlihat terutama pada wilayah makna naskh itu sendiri. Selain itu, perubahan
ini juga terjadi pada wilayah objek dari naskh, dimana pada awal kemunculannya menyoroti ayat-
ayat al-Qur’an yang memiliki muatan ajaran berbeda, sehingga dianggap saling bertentangan,
sampai akhirnya menyempit pada wilayah hukum-hukum yang nampak bertentangan saja. Tetapi
belakangan objek dari naskh kembali mengalami perluasan, yaitu pada wilayah penghapusan
syariat antar agama. Terlepas dari kenyataan di atas, naskh yang sejak awal telah mengalami
konseptualisasi secara berbeda, meskipun perbedaan itu bukanlah bentuk oposisi biner, telah
memunculkan pelbagai aliran, khususnya diwilayah hukum. Hal ini dikarenakan sejak
kemunculannya, naskh tidak pernah dikonsepsikan secara mapan dan final. Para ulama tidak
pernah sepakat mengenai bagaimana konsep ini seharusnya, bahkan dari makna dasar sekalipun
naskh belum pernah berada dalam konsepsi yang mapan dan disepakati oleh para ulama.
C. MACAM-MACAM NASIKH DAN MANSUKH
Menurut al-Zarkashi, ada tiga macam nasakh, khususnya dari segi tilawah (bacaan) dan
hukumnya.
A. Nasakh dari segi bacaan dan hukumnya sekaligus, yaitu bacaan dan tulisan ayatnya pun
tidak ada lagi termasuk hukum ajarannya telah terhapus dan diganti dengan hukum
yang baru. Misalnya penghapusan ayat tentang keharaman kawin dengan saudara satu
susuan karena sama-sama menyusu kepada seorang ibu dengan sepuluh kali susuan
dengan lima kali susuan saja.
B. Nasakh hukumnya tanpa menasakh bacaannya, yaitu tulisan dan bacaannya tetap ada
dan boleh dibaca sedangkan isi hukumnya sudah dihapus atau tidak boleh diamalkan.
Misalnya pada surat alBaqarah ayat 240 tentang istri-istri yang dicerai suaminya harus
ber’iddah selama satu tahun dan masih berhak mendapatkan nafkah dan tempat tinggal
selama ‘iddah satu tahun. Yang artinya: dan orang-orang yang akan meninggal dunia di
antara kamu dan meninggalkan isteri, hendaklah Berwasiat untuk isteriisterinya, (yaitu)
diberi nafkah hingga setahun lamanya dan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). akan
tetapi jika mereka pindah (sendiri), Maka tidak ada dosa bagimu (wali atau waris dari
yang meninggal) membiarkan mereka berbuat yang ma'ruf terhadap diri mereka. dan
Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana‛. (QS. al-Baqarah: 240) .
C. Menasakh bacaan ayat tanpa menasakh hukumnya.16 Yaitu tulisan ayatnya sudah
dihapus sedangkan hukumnya masih tetap berlaku. Sebagaimana hadiast Umar bin
khatahab dan ubay binKa’ab yang artinya: Orang tua laki-laki dan perempuan yang
berzina, maka rajamlah keduanya itu dengan pasti sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah
Maha perkasa lagi Maha bijaksana.
D. Nasakh dengan pengganti dan tanpa pengganti: Secara umum, bahwa adanya nasakh ini
menunjukkan bahwa syari’at Islam merupakan syari’at paling sempurna yang menasakh
syari’at-syari’at yang datang sebelumnya. Karena syari’at Islam berlaku untuk semua
situasi dan kondisi, maka adanya nasakh berfungsi untuk menjaga kemaslahatan umat.
E. Nasakh tanpa pengganti Terkadang ada nasakh terhadap suatu hukum tetapi tidak
ditentukan hukum lain sebagai pennggantinya, selain bahwa ketentuan hukumnya sudah
berubah. Misalnya penghapusan keharusan bersedekah sebelum menghadap Rasulullah
sebagaimana diperintahkan dalam firman Allah dalamm surat al-mujadalah ayat 12 yang
artinya ‛Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menghadap lalu mengadakan
pembicaraan khusus dengan Rasul hendaklah kamu mengeluarkan sedekah (kepada
orang miskin) sebelum pembicaraan itu……‛
N Ayat yang
Ayat yang Nasikh Tema Naskh
o Mans-kh
Al-Baqarah: 144
Surat ini turun
Al-Baqarah: 115
dalam rentang
Surat Perubahan
1 waktu lama
madaniyah arah kiblat
sebelumnya (16
pertama
bulan)

Al-Taubah: 60
nomor 9 turun di
Al-Baqarah: 215
Madinah
2 sama nomer 1 Asnaf zakat
(kecuali 2 ayat
terakhir)

An-Nur: 2
Al-Nisaa: 15-16
Surat no. 24 turun Hukuman
3. madaniyah
sesudah al-Hasyr bagi penzina
turun no. 4
Al-Taubah: 1-5
Upaya taqiyah
Ali ‘Imran: 28 Nomor 9 turun di
(Penyelemata
4 Nomor 4 turun Madinah(kecuali 2
n
di Madinah ayat terakhir)
Diri)
Al-Maidah: 5 turun
di Madinah kecuali
Al-Baqarah: 221 Perkawinan
5 ayat 3. Turun
sama no. 1 beda agama
sesudah al-Fath.

Al-Nisaa: 6
Al-Nisaa: 10
surat no. 4
madaniyah turun Pemeliharaan
madaniyah
6 no. 4 sesudah al harta anak
turun al
Mumtahanah yatim
Mumtahanah

Al-Tawbah: 36
Perintah
Nomor 9 turun di
Al-Baqarah: 217 memerangi
7 Madinah(kecuali 2
sama no. 1 orang
ayat terakhir)
musyrik
an-Nisa: 11-13
Al-Baqarah: 180
surat no. 4 Wasiat untuk
Surat no. 2
madaniyah turun ahli waris dan
8 surat
sesudah karabat
madaniyah
alMumtahanah lainnya
pertama
9 Al-Muzzammil: Al-Muzzammil: 20 Hukum salat
1-4 surat Ayat 10-11, dan 20
makkiyah turun
ayat 1-4 Madaniyah
tahajjut
menurut al Setelah satu tahun
Hakim dan al (1-4) turun lagi
Syafii ayat 20 ini.

Anda mungkin juga menyukai