Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

Pengertian dan ruang lingkup muqarana qawanin

Oleh :

TAUFIK RIFAL HASBI (193080003)

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PALU

FAKULTAS SYARIAH

JURUSAN PERBANDINGAN MADZHAB

TAHUN AJARAN

2021/2022

KATA PENGANTAR
Assalamualaikum, warahmatullahi, wabarokatuh,...

Puji dan syukur saya panjatkan kehaditar Allah SWT atas limpahan rahmat dan karuni-Nya
kepada kami, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Muqarana
Qawanin” ini dengan lancar. Penulis makalah ini bertujuan untuk memenuhi salah satu tugas
yang di berikan oleh dosen pengampuh mata kuliah Hukum Internasional.

Saya selaku penulis tentu menyadari bahwa makala ini masih jauh dari kata sempurna dan
masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, saya selaku penulis
mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya makalah ini nantinya
dapat menjadi makalah yang lebih baik lagi. Kemudian apabila terdapat banyak kesalahan pada
makalah ini, saya selaku penulis memohon maaf yang sebesar besarnya.

Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat.

Terima kasih.

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar belakang

Dalam bahasa Arab, fiqh berarti pemahaman yang mendalam. Sedangkan al-muqaran berarti
perbandingan. Jadi, Fiqih Muqaran berarti pembahasan fikih dalam berbagai mazhab, baik
dengan deskripsi maupun dengan mentarjih (menguatkan) salah satu pendapat. Dalam karya
ulama fikih klasik tidak ditemukan definisi yang secara khusus menjelaskan arti fikih muqaran.

Namun, itu tidak berarti mereka tidak membahas substansi fikih muqaran tersebut. Banyak
dijumpai buku klasik yang membahas fikih dengan cara membandingkan berbagai mazhab.
Setelah membahas literatur klasik yang membahas fikih dengan cara perbandingan, ulama fikih
kontemporer mengemukakan beberapa definisi. Muhammad Taqiy al-Hakim, ahli ushul fikih
dan fikih muqaran mengemukakan dua definisi fikih muqaran.

Definisi tersebut adalah, mengumpulkan berbagai pendapat dalam masalah fikih tanpa
melakukan preferensi (tarjih) terhadap pendapat tersebut dan definisi kedua adalah
mengumpulkan berbagai pendapat dalam masalah fikih, meneliti, membandingkan dengan
mengemukakan alasan masing-masing, serta memperkuat satu pendapat dari pendapat
lainnya.

B. Rumusan masalah

1. Bagaimana Pengertian ruang lingkup muqarana qawanin?

2. Bagaimana Interpretasi Sejarah Muqarana qawanin?

3. Bagaimana implementasi muqarana qawanin?

BAB I

PEMBAHASAN
A. Pengertian Muqarana qawanin

Definisi Fiqh Muqaran Menurut Syeikh Mahmud Syaltut. Adalah mengumpulkan pendapat para
imam mujtahid beserta dalil-dalil tentang suatu masalah yang diperselisihkan dan kemudian
membandingkan serta mendiskusikan dalil-dalil tersebut satu sama lain untuk menemukan
pendapat yang terkuat dalilnya.

Menurut Luis Ma’luf yang dikutip oleh Romli SA, (1999) secara etimologi muqaranah berasal
dari kata kerja qarana, yang artinya membandingkan dan kata muqaranah sendiri, kata yang
menunjukan keadaan atau hal yang berarti membandingkan atau perbandingan.
Membandingkan disini adalah membandingkan dua perkara atau lebih. Adapun mazhab yang
berarti aliran atau paham yang dianut. Yang dimaksud disini adalah mazhab-mazhab hukum
dalam islam. Sedangkan menurut istilah, madzhab bermakna:

a) Jalan pikiran atau metode yang ditempuh oleh seorang imam Mujtahid dalam menetapkan
suatu peristiwa berdasarkan kepada Al-Qur’an dan Hadits.

b) Fatwa atau pendapat seorang imam mujtahid tentang hukum atau peristiwa yang diambil
dari AL-Qur’an dan AL-Hadits.

Perbandingan Mazhab dan Hukum adalah terjemahan dari muqaranah al-madzahib wa al-
qanun. Mazhab dapat diartikan sebagai cara berpikir dengan menggunakan metodologi
tertentu yang dilakukan secara konsisten. Cara berpikir semacam ini memang lazim
berkembang di dunia ilmu, tidak hanya ilmu-ilmu yang bersumber dari ajaran agama, tapi juga
ilmu-ilmu yang bersumber dari pengalaman empiris manusia. Akan tetapi Mazhab disini
dimaksudkan adalah Mazhab fiqh atau hukum Islam.

Qanun yang biasa diterjemahkan dengan hukum atau perundang-undangan adalah aturan-
aturan yang diberlakukan oleh masyarakat pada tempat dan waktu tertentu. Jadi berbeda
dengan Mazhab fiqh yang merupakan kajian yang tidak terkait “secara langsung” dengan
struktur masyarakat, qanun atau hukum yang berlaku dalam satu wilayah atau negara tertentu
tidak bisa lepas dari struktur kekuasaan yang ada pada masyarakat itu serta berbagai faktor lain
yang ikut mempengaruhinya seperti adat istiadat dan lain sebagainya.

Oleh karena itu munculnya Perbandingan Mazhab Dan Hukum dan hukum sebagai jurusan di
perguruan tinggi dimaksudkan sebagai wadah kajian dan pengembangan Mazhab fiqh yang
muncul di dunia Islam serta wadah kajian bagi berbagai qanun yang selama ini telah diterapkan
atau dirancang atau sedang diupayakan untuk diterapkan di berbagai kawasan di dunia Islam,
termasuk di Indonesia.
Secara historis kajian tentang Perbandingan Mazhab Dan Hukum dalam fiqh sebenamya sudah
setua kajian tentang fiqh itu sendiri. Sebab setiap muncul metode baru dalam memahami
hukum Islam, maka pada dasarnya muncul pula Mazhab baru. Mazhab baru ini kemudian ada
yang diikuti dan mendapat dukungan luas sehingga dapat bertahan dalam sejarah dan ada yang
tidak diikuti oleh orang lain sehingga tidak dapat bertahan dalam sejarah. Akan tetapi
dijadikannya Perbandingan Mazhab Dan Hukum sebagai salah satu jurusan di perguruan tinggi
yang menuntut adanya kajian yang lebih bersifat akademik dilatarbelakangi oleh dua hal.
Pertama, adanya fakta di masyarakat dimana para pengikut Mazhab banyak yang mengikuti
pendapat Mazhabnya secara emosional sehingga mudah menyulut atau paling tidak berpotensi
menimbulkan konflik di masyarakat. Kedua, adanya upaya dari berbagai dunia Islam untuk
menjadikan fiqih sebagai qanun yang berlaku dan mengikat kawasan tersebut, khususnya saat
dunia Islam bebas dari penjajahan kaum imperalis dan kolonialis.

B. Sejarah Muqarana qawanin

Dalam sistem perundang-undangan nasional, terminologi “qanun” tidak dikenal, tetapi


keberadaannya dikenal dan diterapkan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Tulisan ini akan
menyinggun sekilas etimologi dari terminologi “qanun” tersebut dan posisinya dalam hierarki
peraturan perundang-undangan di Indonesia.

Terkait ke persoalan etimologis, terminologi “qanun” ini menarik untuk dicermati karena dalam
Gereja Katolik, misalnya, juga dikenal istilah “canon law” atau hukum kanonik. Apakah kedua
istilah ini berasal dari sumber yang sama?

Jika mengacu pada Al Qur-an, tepatnya pada QS An-Nisaa: 59, terdapat perintah bagi orang-
orang beriman untuk menaati Allah, Rasul-Nya, dan penguasa (ulil-amri) di antara mereka. Atas
dasar perintah ini maka berarti ada tiga sumber acuan yang menjadi otoritas di dalam Islam,
yakni Tuhan, Rasul-Nya, dan penguasa. Ketaatan terhadap Tuhan dapat dilihat sumber
utamanya pada kitab suci, sedangkan ketaatan Rasul (di sini diacu adalah Rasul terakhir,
Muhammad SAW) menunjuk pada hadits-hadits beliau. Lalu bagaimana dengan ketaatan pada
penguasa?
Dalam buku yang ditulis oleh Ahmad Sukardja dan Mujar Ibnu Syarif (2012: 43-51) disebutkan
tentang perbedaan interpretasi para ahli tafsir terkait kata “ulil amri” ini. Pandangan pertama
mengatakan “ulil amri” adalah para umara, hakim, ulama, pengalima perang, dan semua
pimpinan yang menjadi rujukan umat dalam masalah yang bertalian dengan kebutuhan dan
kemaslahatan umum”. Ada lagi yang memberi skala lebih luas, bahwa “ulil amri” mencakup
semua orang yang berpengaruh di masyarakat, sehingga termasuk pemimpin partai, redaktur
surat kabar Islami, pelopor kemerdekaan, dan lain-lain. Ada yang berpendapat, “ulil amri”
adalah para hakim dan setiap penguasa yang tunduk pada syariat Islam. Yang paling spesifik
adalah pandangan kaum Syiah, yang menyatakan bahwa “ulil amri” adalah para imam yang
ma’hsum (infallible).

Atas dasar pandangan-pandangan di atas, lalu muncul konklusi bahwa “ulil amri” terdiri dari
dua kelompok, yaitu ulama dan umara. Para ulama menghasilkan produk fikih sebagai buah dari
kegiatan ijtihad mereka. Sementara itu umara menghasilkan qanun, yaitu norma hukum Islam.

Konon kata “qanun” ( ‫ ) ق انون‬dalam bahasa Arab memiliki kesamaan dengan kata “kanon”
( κανών) dalam bahasa Yunani atau “kaneh” ( ‫ ) קנה‬dalam bahasa Ibrani. Semua kata-kata itu
memang bermakna serupa, yaitu norma hukum, legislasi, atau undang-undang. Tingkatan
qanun yang paling tinggi di suatu negara biasanya disebut “al-qanun al-asasi” atau qanun yang
paling asasi, dalam hal ini undang-undang dasar atau konstitusi. Jika ditilik ke literatur, kata
“qanun” sendiri sebenarnya tidak selalu dipakai dalam konteks norma-norma buatan penguasa
negara atau peraturan perundang-undangan. Karya Ibnu Sina dalam ilmu kedokteran, misalnya,
kerap juga disebut “al-qanun fi al-tibb” (the canon of medicine). Hal ini dapat dipahami karena
kata “hukum” memang tidak selalu harus berarti norma dan bersifat normologis, melainkan
juga nomos yang bersifat nomologis, yakni berupa dalil-dalil alamiah (law of nature atau
sunatullah). Ilmu hukum adalah contoh ilmu normologis, sementara ilmu kedokteran adalah
ilmu nomologis.

Jika kita kembali kepada “qanun” di Aceh, maka jelas yang dimaksud sebagai qanun di sini
adalah produk legislasi yang berskala kedaerahan atau lazim disebut Perda Syariah. Pasal 1 butir
21 Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh menyatakan, “Qanun Aceh
adalah peraturan perundang-undangan sejenis peraturan daerah provinsi yang mengatur
penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan masyarakat Aceh.” Di bawahnya ada qanun
kabupaten/kota. Pasal 1 butir 22 dari undang-undang tersebut menyatakan, “Qanun
kabupaten/kota adalah peraturan perundang-undangan sejenis peraturan daerah
kabupaten/kota yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan masyarakat
kabupaten/kota di Aceh.”

Terlepas dari keistimewaan yang diberikan kepada Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
(Undang-Undang No. 18 Tahun 2001 yang kemudian dicabut dengan Undang-Undang No. 11
Tahun 2006), dalam posisinya setingkat dengan peraturan daerah provinsi dan kabupaten/kota,
maka qanun tidak boleh dianggap lebih tinggi daripada peraturan perundang-undangan di
tingkat pusat. Materi muatan yang ada di dalam qanun tidak boleh melampaui materi yang
seharusnya dimuat di dalam peraturan daerah. Apabila terjadi pertentangan dengan peraturan
di atasnya, maka posisi peraturan daerah ini harus terbuka untuk dapat dikesampingkan oleh
peraturan yang hierarkinya lebih tinggi derajatnya.

Memang perlu ada kajian yang lebih hati-hati untuk menelaah apakah otonomi dalam
menjalankan syariat Islam bagi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dapat secara otomatis
ditafsirkan sebagai kewenangan khusus untuk melahirkan legislasi yang bercorak “lex specialis”.
Kontroversi yang terjadi pada sejumlah qanun beberapa waktu lalu, tampaknya berawal dari
pemahaman bahwa materi muatan qanun boleh-boleh saja memuat hal-hal spesifik untuk Aceh
terkait otonomi khusus untuk provinsi tersebut. Dengan demikian aturan yang berlaku secara
nasional atau diterapkan secara umum di provinsi-provinsi lain, tidak boleh sampai
mengenyampingkan “aturan khusus” di qanun-qanun ini.

C. Sumber Hukum perundang-undangan dalam hukum positif

Provinsi Aceh merupakan salah satu bagian dari negara Indonesia dan diakui sebagai daerah
yang diberikan otonomi khusus, sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 18B ayat (1) UUD 1945
yang menegaskan bahwa: “Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan
daerah yang bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang.” Provinsi Aceh juga memiliki
peraturan tersendiri dalam mengatur pemerintahannya, yaitu dengan diterbitkannya Undang-
Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Sehingga dengan adanya undang-
undang tersebut pemerintah Aceh mempunyai wewenang khusus untuk menjalankan
pemerintahannya secara otonom.

Salah satu daerah dalam Provinsi Aceh adalah Kabupaten Simeulue, dengan sendirinya juga
mempunyai wewenang untuk mengatur daerahnya, dalam hal in dengan cara membentuk
qanun (peraturan daerah) kabupaten. Kewenangan pembentukan qanun kabupaten berada
pada Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK), sesuai dengan Pasal 24 ayat (1) huruf a
Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 yang menyatakan: “DPRK mempunyai tugas dan wewenang
membentuk qanun kabupaten/kota yang dibahas dengan bupati untuk mendapat persetujuan
bersama.” Dalam Pasal 232 ayat (2) Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 juga disebutkan:
“Qanun kabupaten/kota disahkan oleh bupati/walikota setelah mendapat persetujuan bersama
dengan DPRK”. Dengan demikian, proses pembentukan qanun secara langsung dimiliki
kewenangan oleh Kabupaten Simeulu. Maka tanggal 6 November 2012, Pemerintah Kabupaten
Simeulue bersama DPRK Kabupaten Simeulue telah mengesahkan Qanun Nomor 31 Tahun
2012 tentang Penyelenggaraan Taman Pendidikan Al-Qur’an. Kehadiran qanun di atas sejalan
dengan penegakan syariat Islam yang sedang dijalankan oleh Pemerintah Aceh dan
penyelenggaraan sistem pendidikan nasional. Qanun ini merupakan qanun yang membentuk
bibit-bibit yang Islami di Simeulue, di mana Kabupaten Simeulue.

1) Implementasi Qanun Taman Pendidikan Al-Qur’an di Kabupaten Simeulue di Aceh

Pelaksanaan hukum memiliki ukuran tersendiri dalam hukum (Jainah, 2012; Sanyoto, 2008). Hal
ini harus mendapat perhatian dalam setiap pendalaman bagaimana hukum diimplementasikan.
Artikel ini ingin mendapat kondisi terkait dengan implementasi produk hukum pada level qanun
terkait dengan pendidikan TPA. Pada dasarnya pembelajaran agama (Al-Qur’an), sebelum
lahirnya Qanun Nomor 31 Tahun 2012 ini memang sudah menjadi tradisi dalam masyarakat
Simeulue. Hal ini ditandai dengan banyaknya ustadz yang membuka diri untuk memberikan
pelajaran Al-Qur’an kepada masyarakat di desanya, tempat pembelajaran yang biasa dilakukan
oleh ustadz-ustadz tersebut biasanya dilakukan di masjid-masjid, mushalla-mushalla, dan
bahkan di rumah mereka sendiri. Sebutan ustadz menunjuk pada orang yang memiliki ilmu
agama yang cukup.

Mengenai materi pembelajaran biasanya dilakukan dengan cara mengajarkan kepada murid
yang baru untuk mengenal huruf-huruf hijaiyah (huruf Arab yang dimulai dengan huruf alif
diakhiri dengan huruf ya, berjumlah 28 huruf). Sedangkan untuk murid yang sudah lama (yang
sudah bisa mengenal dan membaca Al-Qur’an), mereka akan diajarkan makhrajul huruf dan
juga tajwid serta diselingi dengan irama-irama yang ada dalam Al-Qur’an (Camat Alafan,
Wawancara). Walaupun pembelajaran Al-Qur’an sudah menjadi tradisi sebagaimana
disebutkan di atas, tetapi akibat dari perkembangan zaman dan dengan berubahnya corak
kehidupan manusia yang sudah mengarah kepada kehidupan materialistik, dari waktu ke waktu
tradisi pembelajaran AlQur’an dalam masyarakat sedikit demi sedikit mengalami kemorosotan
dan kemunduran. Hal ini dipengaruhi oleh kesibukan para ustad-ustad dalam menghadapi
tuntutan zaman (memenuhi kebutuhan keluarga yang semakin besar dan lain-lain), sehingga
tidak bisa lagi menyempatkan waktunya untuk mengajarkan ilmu agama kepada
masyarakatnya, dan begitu juga dengan para murid yang sudah mulai enggan untuk belajar
ilmu agama (Al-Qur’an).

Merosotnya tradisi pembelajaran Al-Qur’an merupakan dinamika dalam gejala masyarakat,


membuat pemerintah setempat risau dengan keadaan masyarakatnya yang sudah banyak tidak
mengenal pelajaran agama, terlebih lagi untuk generasi anak-anak dan remaja. Oleh karena itu
untuk menghidari kehancuran moral dan akhlak bagi generasi muda kedepannya, Pemerintah
Kabupaten Simeulue berinisiatif untuk mengeluarkan Qanun tentang Taman Pendidikan Al-
Qur’an tersebut, dengan tujuan agar masyarakat Simeulue kembali membudayakan
pembelajaran AlQur’an dalam kehidupan mereka sehari-hari (Rasmanuddin, tokoh masyarakat,
wawancara). Qanun Nomor 31 Tahun 2012 tentang Taman Pendidikan Al-Qur’an di Kabupaten
Simeulue sejak diefektipkan secara yuridis telah berlaku selama beberapa tahun. Dilihat dari
perjalanannya, qanun ini memang belum berjalan dalam kehidupan masyarakat Simeulue, hal
ini bisa dilihat dengan belum berdirinya TPA-TPA di seluruh desa dalam Kabupaten Simeulue.
Padahal kehadiran qanun ini merupakan suatu hal yang sangat istimewa bagi kehidupan
masyarakat, karena dengan adanya qanun tersebut, pembelajaran Al-Qur’an selain bisa hidup
sebagaimana yang diharapkan, juga bisa dilestarikan kembali dan juga mempunyai arah yang
sudah terstruktur dan tersistematis.

Arah pembelajaran Al-Qur’an yang diharapkan oleh qanun ini adalah dengan cara menerapkan
pola-pola tersendiri yang memang mempunyai perbedaan dengan pembelajaran AlQur’an yang
dikenal dalam masyarakat Simeulue sebelumnya. Misalnya saja pembelajaran AlQur’an dengan
cara belajar dari kitab Juz ‘Amma beralih kepada kitab Iqra’, hal ini dilakukan karena sistem
belajar dengan Juz ‘Amma membutuhkan waktu yang lama dalam proses pemahaman bagi
peserta didik. Dengan beralihnya pembelajaran dari kitab Juz ‘Amma kepada kitab Iqra’
tersebut, maka pembelajaran Al-Qur’an sudah sangat mudah untuk dipahami dan dicerna oleh
peserta didik. Karena sistem pembelajaran dalam kitab Iqra’ sudah mempunyai struktur dengan
jangkauan jangkauan tersendiri. Kitab Iqra’ yang memasarkan sistem belajarnya dengan cara
enam bulan sudah bisa membaca Al-Qur’an, di mana dalam kitab tersebut dibuat enam
tingkatan yang setiap tingkatannya dipelajari dalam satu bulan. Bukan itu saja, kehadiran qanun
ini juga mengubah sistem pembelajaran yang dikenal dalam masyarakat Simeulue. Hal ini bisa
dilihat dari jam belajar yang digunakan dalam Taman Pendidikan Al-Qur’an yaitu pada siang
hari, sedangkan sebelumnya para ustadz dalam mendidik muridnya dilakukan pada malam hari
tepatnya setelah selesai waktu shalat magrib.

Masyarakat Simeulue pada awalnya sangat antusias dalam melaksanakan perintah qanun
tersebut, karena qanun tersebut telah memberikan semangat tersendiri misalnya dengan
adanya fasilitas yang ditawarkan, antara fasilitas dan honor. Bukan itu saja, dalam proses
belajar-mengajar juga qanun tesebut menawarkan adanya sertifikat (ijazah akhir studi), di mana
sebelumnya hal ini belum ada dalam praktik proses belajar-mengajar Al-Qur’an yang dikenal
dalam masyarakat Simeulue. Dengan adanya penghargaan tersebut membuat peserta didik
lebih rajin dan giat dalam mengikuti proses belajar mengajar Al-Qur’an. Walaupun qanun ini
sudah menawarkan berbagaimacam kelebihan (tempat dan honorium), namun belum semua
Taman Pendidikan Al-Qur’an di Semeulue berjalan sebagaimana yang diharapkan oleh qanun
itu sendiri. Terkait dengan pemberian sertifikat yang diberikan kepada peserta didik, mereka
tidaklah gampang untuk menerimanya begitu saja. Melainkan harus mengikuti proses-proses
yang mengarah kepada kemampuan mereka untuk mengetahui atau memahami maksud dan
tujuan dari semua materi pelajaran yang mereka pelajari sewaktu belajar. Adapun langkah-
langkah yang harus mereka lalui, untuk mendapatkan sertifikat tersebut adalah sebagai berikut:

(a) Setiap santri harus ikut aktif melakukan kegiatan belajar-mengajar dalam waktu yang telah
ditentukan oleh Qanun Nomor 31 Tahun 2012, yaitu selama minimal dua tahun (Pasal 8 ayat
(1)).

(b) Setiap santri harus mampu membaca dan menulis Al-Qur’an dengan baik dan benar (yaitu
sesuai dengan kaidah-kaidah ilmu tajwid dan makhrajul huruf) (Pasal 3 huruf a, huruf b, dan
huruf f).

(c) Setiap santri harus mengetahui bahwa shalat lima waktu sehari semalam adalah wajib
hukumnya, dan mereka juga harus mengetahui bagaimana tata cara melaksanakan shalat
tersebut, dan bukan hanya sebatas itu saja mereka juga harus terbiasa melaksanakan ibadah
shalat dalam kehidupan mereka sehari-hari (Pasal 3 huruf c).

(d) Setiap santri harus mampu menghafal beberapa surat pendek (lebih khusus kepada surat
yang terdapat dalam Juz ‘Amma (Juz terakhir dari Al-Qur’an) tepatnya surat yang sering dibaca
ketika waktu shalat dan juga surat yang selalu ditampilkan dalam perlombaanperlombaan MTQ
(musabaqah Thilawatil Qur’an) (Pasal 3 huruf d).

(e) Dan setiap santri dituntut untuk mampu mempraktikkan kehidupan islami dalam kehidupan
Setelah tujuan-tujuan di atas mampu dilewati dan dijalani oleh setiap santri, maka mereka
berhak untuk menerima dan mendapatkan penghargaan yaitu berupa sertifikat (ijazah), yang
wajib dikeluarkan oleh setiap Taman Pendidilan Al-Qur’an yang mereka duduki.
2) Kendala Yuridis Implementasi Qanun TPA Berdasarkan gambaran sebelumnya, ketika Qanun
Nomor 31 Tahun 2012 diberlakukan dalam kehidupan masyarakat Simeulue, mereka sangat
antusias dan berkeinginan keras untuk mewujudkan visi dan misi dari qanun tersebut. Namun
walaupun tanggapan masyarakat sangat positif terkait hal tersebut, banyak juga kendala-
kendala yang membuat perjalanan pendidikan Taman Pendidikan Al-Qur’an tidak berjalan
sebagaimana yang diharapkan oleh qanun itu sendiri.

Terkait dengan kendala-kendala yang menghambat pendidikan Taman Pendidikan Al-Qur’an itu
tidak hanya terdapat dalam masyarakat Simeulue, tetapi juga menyangkut kepada
Pemerintahan Simeulue juga, atau bisa dikatakan dengan adanya faktor internal dan ekternal
yang menghambat jalannya pendidikan tersebut. Berikut ini akan diuraikan secara satu persatu
tentang kendalakendala yang dihadapi dalam menjalankan Qanun Nomor 31 Tahun 2012
Tentang Taman Pendidikan Al-Qur’an di Kabupaten Simeulue.

(a) Faktor hukum.

Bisa saja disebut bahwa undang-undang harus dirancang baik (Yudho & Tjandrasari, 1987).
Faktor hukum yang terkait dalam permasalahan ini adalah ketidakpastian dari perintah Qanun
Nomor 31 Tahun 2012 tentang TPA yang menyatakan bahwa TPA wajib ada dalam setiap desa,
padahal perintah tersebut sudah sesuai dengan cita-cita pendidikan yang terdapat dalam UUD
1945 yang menjunjung tinggi nilai pendidikan di Indonesia, namun sampai saat ini perintah
tersebut masih tetap terabaikan. Adapun pasal yang menyatakan tentang hal tersebut adalah
Pasal 4 ayat (1) Qanun Nomor 31 Tahun 2012 yaitu “TPA berkedudukan di setiap Desa dan
setiap Desa wajib memiliki minimal 1 (satu ) TPA”. Ayat ini secara jelas dan tegas telah
menyatakan bahwa setiap desa di Kabupaten Simeulue wajib memiliki TPA, sedangkan praktik
yang terjadi tidak semua desa yang ada di Kabupaten Simeulue memiliki TPA tersebut, bahkan
tempat pembelajaran TPA banyak dilakukan di masjid-masjid dan mushalla-mushalla yang ada
pada masingmasing desa.

(b) Faktor penegak hukum.

Akibat tidak dibentuknya Peraturan Bupati yang diperintahkan oleh qanun tersebut, sehingga
implementasi dari qanun itu sendiri tidak bisa berjalan dengan baik. Sebab peraturan
pelaksananya belumlah ada. Hal di atas yang membuat terjadinya kekeliruan dalam hal
melaksankan segala sesuatu yang berkaitan dengan pelaksanaan qanun itu sendiri. Karena tidak
adanya sebuah struktur organisasi mengenai para penegak atau penjalan dari qanun itu sendiri,
di mana seharusnya setiap sesuatu harus ada sebuah organisasi yang terstruktur untuk
menjalankan segala visi dan misi dari sebuah lembaga atau peraturan. Begitu juga halnya
dengan qanun ini, seharusnya dibentuk sebuah organisasi pelaksana secara mendetail, agar
tanggungjawab dalam melaksanakannya mudah terlaksana dan terkoordinasi. Belum adanya
Peraturan Bupati yang menerangkan tentang perlunya menjalankan isi qanun yang masih
banyak belum dijelaskan secara terperinci dalam qanun tersebut. Dalam berbagai Pasal Qanun
Nomor 31 Tahun 2012, banyak yang menegaskan bahwa pembentukan Peraturan Bupati sangat
dibutuhkan dalam menjalankan tujuan dari qanun tersebut

Anda mungkin juga menyukai